Selasa, 02 November 2021

Di Serambi Pelangiku

 


Aku tidak memilih jalan ini

Dari lagitvsusun tujuh lah yang harus saya dahulukan

Meski telah penat sekujur rubuhku

Telah kering tenggorokanku

Nanun terus saja Rajutan itu membiramakan nadi darahku

 

 

                                                Aku terkulai

                                                Siangpun datang selalu dengan sorot tajam

                                                Malam menjadi ego, layak gadis jelita binal

                                                Aku dalam rindu

                                                Dalam apa saja yang bisa dalam seloroh

 

Tuhan maafkan aku

 

Semarang 3 nov 21

Senin, 16 Agustus 2021

NEGERI DI TITIAN PELANGI




Negeri ini telah menghambar wewangI

dari tetesan embun sorga yang menghampar

diantara teluk dan lekuk garis pantai,

mirip eksotisnya bidadari yang bermandi

di tepian pantai, yang terus menyeka buih buih laut

merka semua berdendang, mirip anak kecil di desa

yang bersenandung lagu jawa i bawah sang purnama

 

                                waktupun melesat dari detik menuju detik

                                meski dahulunya negeri ini tak nengenal kepongahan

                                namun detak jantung terus menikam kepalsuan

                                karena  pemimpin pemimpinya  bermata juling

                                dengan peut genduk ditutupi dasi warna warni

                                bahunya yang kekar membelit semua miliknya

 

negeri ini melangkah surut dengan terhuyung


tempat mandi bidadari menjadi hitam anyir

daun nyiur mengering dan lepas dari dahanya

tak lagi meneghembus angin pantai yang halus semilir

camar tersentak mencari naungan, karena ombak tak

lagi membawa ikan segar hidangan paginya

 

                                si abang becak terus menyeka keringatnya

                                rodanya terus menggilas aspal berlubang

                                telinganya memar karena tagihan SPP anaknya

                                yang masih menghantui

kemanakah merdeka ini

ke arah mana bedil bedil kita arahkan

hingga kita tak tahu warna baju yang dikenakan penjajah

derai air mata pahlawan  di jauh sana tak henti

 

                                                yang mereka saksiskan hanya roti busuk

                                                yang diperebutkan oleh tangan tangan kokoh

                                                dengan gigi besi dan taring tajam siap menyobek si kecil

                                                entah sampai kapan panggung parodi

dari tiap adegan yang kotor membosankan dan memuakan

 

biarlah satu saat

wewangi bunga dari sworgaloka kembali bertabur

menghembuskan angin gunung segar lembut dan bersahabat

semua pagi dijemput senyuman abang becak, tukang bakso dan kuli

kita bergandeng tangan menuju pantai

sambil tengadah mengucao syukur

 

Semarang, 16 Agustus 2021

                               

 

                               

 

 

                               

 

Sabtu, 07 Agustus 2021

Lelaki Tua





dalam  perjalanan detik,
lelaki tua itu terus menghimpun tenaganya
di ruas semua tulang kakinya,
agar mampu kuat mencengkeram jalan bertoreh
bengis dan membisu
ke dua bahunya telah merapat pada butir jaman
lolongan anjing malam, dengan mata terpincing
selalu menjulurkan lidahnya, busuk berona “hedonisme”
siap menerkam kegetiran yang menyulam tubuh
yang penat, melegam dan mengencang terbentur jaman
yang menyerpih dalam kemunafikan

lelaki tua itu hendak kemana ?
bila telah terkoyak semua rindu malam
semua parade bintang gemintang tertusuk panasnya durjana
penghuni tepi jaman, sementara pisau belati “kamuflase”  jaman
telah jauh menusuk jantungnya.

Atau masih ada rindu tentang rajutan sutra kehidupan
yang tergambar dalam sketsa langit mencibirkan fatamorgana hidup
bagai dewa dewa di balik kabut cakrawala
namun jalan jalan kota yang kumuh dan pengap
terus saja menelanya hidup hidup,
terus saja dia menggapai naungan untuk melintasnya separo nafas
karena telah hampir putus urat lehernya diterkan kerumunan manusia
bejad, laknat dan mirip anjing kudis

hingga kelambu malam
menutupnya rapat rapat
agar dia mampu bersemai sejuta warna

kemana lelaki tua itu
sepi.....
Semarang, 16 Januari 2021

Puisi dari Semak Ilalang







Se
mua Resah

 

panas merekah...

peluh membasah...

aku tengadah, menghitung awan
tak juga menjinjing air tercurah...
karena hati manusia telah pongah..

janganlah resah
hidangkan pujian padaNYA, hingga lidah
menjadi basah...
kenapa kau memilih susah
tunggulah hingga kehendak NYA yang Pemurah
dan Pengasih....

 


 Si Abang Becak

peganglah kuat kuat  kemudi becakmu....
agar tidak ditelan aspal mengelupas,
ditelan koruptor durjana...
dengan perut seluas samudra...


milikilah hari dalam dekapan bulan bersinar


peluh dan kesah...adalah birama hidup
yang kau kantongi..

untuk istri dan anakmu..


jangan kau melempar pandang pada rumah loji


berlantai rupiah milik rakyat...


karena kau akan terjerambab dalam pusaran Dajjal...


simpan erat erat dalam kantong bajumu


hari indah...direnda atmosfer sejuk
yang bersemilir di rumah papanmu


kau akan bahagia, meski hanya
dengan sekerat ubi dan sebungkus nasi sejuk....


21 SEP 2020

 



 Gerimis

 Negeri ini..

berpagar gerimis setahun..

meski saat ini, gerimis mulai melangkah surut...

menerbangkan debu liar...dalam deru kemarau...

daun hijaupun menjerit , Archipelago dalam suram

tarian bidadari tak lagi seanggun

kala mereka bermandi canda ria

di Toba dan Telaga Sarangan

 

Negeri ini tak lagi bermanik..

kalungan mutiara di leher bidadari

hanya saling pekik dan kepalan tangan

memenuhi jalan jalan centang perentang

untuk menggali kuburnya sendiri

 

kta adalah hamba Tuhan, yang berbaju

senyum renyahm warna warni bulu Cendrawasih

adalah saksi untuk kita, dalam damai

syahdu seperti tidurnya sang pengantin

selalu dalam mesra dan tali asih...23 Sept 2020

 



Kemarau...

Kemarau panjang...
tenggorokan terasa kering...
dahaga tiada henti...
matahari tegak lurus di kepala kita....

angin kemarau..
turut memberi hidangan...
dengan nyanyianya
yang menggigit sendi tulang...

debu menyongsong kita..
memberi pesan..agar kita tengok hati ini...
adakah debu hitam..
yang menyumbat jiwa kita
untuk menautkan benang putih...
padaNYA di langit tujuh....

dariNYA awan akan membasahi
Anggrek Bulan kita...yang kita simpan
rapat rapat dalam dinding hidup...
kemarauku janganlah kau seganas
Raksasa binal. pemansgsa kita semua.....SEMARANG, 29 Sept 2020

 


Berserah..

Mungkin lebih baik kita menata hari
tidak ada yang hilang...
atau terselip dalam istana yang kita susun..
lalang seribu kunang..
atau tajamnya taring hidup..

seloroh angin musim...
tetap kita hardik dengan teriakan nyaring...

selembut saat kita..
berbenah dan tengadah ke Yang Kuasa...
hidup tak lebih dari adonan yang lezat
saat anak anak kita menerkam...
dalam hitungan jari...

Kita tak lebih dari...
apa yang ditoreh dengan tinta emas
dalam buku harian langit ..
padaNYA kita menjaring Rahmat..
untuk aku dan kasihku...Semarang 29 Sept 2020

 


Dari VOC hingga Reformasi

 saat biduk "Negeri Kaca " dan "Bunga Sakura "..

merapatkan punggungnya di pantai..berpagar bakau
dan alunan nyiur melambai...
mereka terperangah dalam canda ria gadis desa berenyah senyum...
menyambut pagi dalam seloroh santun,

tak ada kata setajam bedil dan samurai mereka

mereka mengelupas hari, dengan keranjang pandan
berisi sajian hari esok, mereka bermandi air sejuk...
sesejuk air telaga dari mata air sahaja dan tawakal...
entah mengapa mereka menukar sketsa halus kain sutra
dengan mesiu dan asap tebal...

mereka kini kembali ke istana mereka dengan getir..
kini si anak negeri lebih tajam dan pongah ketimbang mereka
dengan gambar buncit di perut, karena berisi..
peluh dan resah ilalang kecil...yang terseok memunguti
nasib mereka demi sekolah anak mereka...

kita terustelanjang dari wasiat para leluhur kita
yang memberikan separo nafasnya pada si abang becak
pengemis jalanan dan si penghitung hari...
bukan dalam adonan partai dan janji palsu...
kawan !, yang di sana...
apakah kau mendengar keluhanku.....Semarang  4 OKTA 2020....



Merpati Terbang Tinggi

alam hijau laut biru…

bebas, berbatas  pandang dan angan

lepaslah merpati memburu mega,

mengupas warna pelangi dan meluruhkan

untuk pematang dan tanaman padi di sawah

jangan kau mengatur langkah

untuk menjenguk  biru samudra luas…

 

bila tebing dingin membisu

mengoyak sayapmu…

sulamlah dengan halus benang hati…

kau mampu memejamkan mata di tidur

malamu…sementara terkaman sinar mentari

biarlah dibasuh….pancaran air jernih

dari kelopak dan putik Kenanga

 

hinggaplah di batas cakrawala

tak ada lagi mega hitam

kau gayuti saja lazuardi dan melipatkan sayapmu

 

lepaslah terbang…

biru langit menunggumu,

 

(Semarang, 26 Mei 2012)

 


Sebuah Puisi untuk Kotaku

Kotaku menenggelamkan seluruh tubuhku

meski aku dilahirkan di sini...

aku kokohkan sendi tulangku sendiri,

agar temaram senja tak menjauhkan aku

kotaku tak menyisakan satupun yang kumiliki

telah aku benahi segalanya, tatapan mataku, kayuh kakiku

beribu mulut parau melemparku hingga pucuk ilalang

 

semua  nampak tak sedikitpun meraih eksotis mawar

padahal dengan angin kembara aku hiaskan

di wajah kotaku, yang menyimpan seribu sembilu

aku tersudut di kotaku sendiri, namun semuanya

memburu detik,  demi sayap sayap burung merak

aku sekejap dalam separo nafasku

 

segalanya memang Kodrat dan Iradat dariNYA

aku sambut dengan percikan air kembang

dan bentangan puji memenuhi kamarku, aku menggapai arti

lantas sederetan puncak bukit menyerpihkan asa padaku

hingga aku meluruskan batas pandang

 kotaku tertinggal di jauh detik yang menerkamku

 

                        di kota ini.....

kembali aku lahir, dengan selendang bidadari

dan angin sejuk membawakan  keranjang hidup

aku bersama wewangi bunga setaman

indah menggurat wajah pagi, tanpa suara parau

tanpa layu bunga, tanpa hunian gersang dan tanpa

debu debu kemarau yang menderaku

 

 


bukankah aku lahir di kotaku

dengan semburat awan jingga dan tujuh warna pelangi?

lantas mengapa kau diam membisu, saat aku berkemas

dengan dewa dewi Indraloka bertabur tarian gadis manja

barangkali lantaran aku terselip dalam nyanyi jalang

burung hantu di siang hari bolong

 

sehingga semua tertawan dalam tawa renyah

lantas aku melipatkan sayap, menukik tubuhku

memunguti bumiku sendiri...lengang

aku tak akan pernah melempar wajah berkerut

tetaplah kau kotaku dalam biru rinduku

karena aku terlahir sebagai tulang dan daging

 

hari hari adalah miliku sendiri

hari hari adalah langkahku sendiri

hari hari adalah wajahku sendiri

 

aku terselip di kotaku yang baru, yang melahirkan

kasih suci bersama istri dan anaku

 

Semarang, 14 Desember 2020



Maaf

Dalam kerinduanku.....

Satu dua pelangi masih menghiasi langit biru kita,

Setelah sekian lama gerimis, mengukuhkan tekad gulungan

awan hitam, tanpa bersolek dengan senyuman

Seribu warnanya masih kokoh bepegangan satu sama lainnya

Tak satupun berhasrat melongar dan menjenguk pada perdu

Yang melemparkan senja pada padang rumput meranggas tergelar

Untuk hunian kupu-kupu bersayap temaram lesu

 

Maafkan aku, yang baru saja menjangkau istana di balik cakrawala

Berlantai marmer cemerlang dengan ikatan daun pandan di halamanya

Tak ada lagi pagar bambu, hanya Kuda Sembani berbulu hitam mengkilat

Aku mencoba membuka pintu gerbang yang kokoh bertepi kayu

jati setebal nyaliku yang meradangkan mata yang nanar

Namun sang malaikatpun menghepaskanku.

 

Aku hanya mampu melincur turun

Dengan sayap terlipat

Meski jauh aku memandang tempat mandi bidadari, dengan air bunga

berkulum senyum, agar liku tubuh bidadri bertambah segar dan merebah

di hunian pagi yang sarat nyanyi alam.

 

Namun kosong dalam nadi darahku

Kembali sepi.....

 

Aku coba memingit Sang Dévavrata... hingga dia bersemayam di

Uttarayana. Tempat sang guru bersemayam.

 Agar mampu aku pasang di figura gambarku,

Agar pula aku mampu menjadi guru sang hidup.

namun tak kutemui jawaban...

 

Maafkan aku, yang tidak mampu mengajakmu

Mencandai sang pelangi yang menyelorohkan warna warni gamelan jawa

Agar engkau tersenyum dininabobokan angin gunung dan samudra.   

Maafkan aku yang tidak mampu meminang sang rembulan

Dengan serpihan mutiara retak yang dapat aku punguti

Sehingga tidak ada lagi arah angin yang melajukaperahu kita.

 

Maafkan aku,  yang telah kandas ditikam nyanyi jaman

Dipusari warna pelangi yang lusuh ...hingga tak ada lagi sang elang

yang hinggap untuk mengais butir-butir hidup

Berilah aku secawan nyanyi bahagia, agar aku tidak menerjang

batas horizon antara kebub bunga yang kau semai, dan sayap hitam

iblis pembaa angkar dan amarah

 

Akan aku letakan sebagian ornamen pagi di bahu yang satu

Sementara bahu lainnya membawa kelopak sang mawar

Untuk gincu bibirmu, agar bunga ilalang bersemayam

Tidak terpagut melekangnya kemarau panjang...hanya sebuah

kata maaf, selayaknya ku berikan untuk gincu bibir

sang rembulan yang bergaun lamam

menanti Don Juan yang berwajah sang maestro Dewa A’mour.

 

Tiada lagi pelabuhan yang dipenuhi melati

Agar aku terlelap dalam harumnya

(Semarang, 2 Januari 2021)

 

Sebuah Doa

Tuhan...
berilah aku sebuah bisikan..
agar menjelma menjadi asa..
dan menggumpal dalam sudut benaku
akan aku padukan dengan kayuh biduk..

mengarungi kain biru terbentang luas...

Saat aku hidup dengan tulang igaku sendiri
lantas Kau tiup, sebuah Inayah..menjadi kawanku
aku tidak mau terkubur dalam belantara
syak wasangka pada hidupku sendiri..

Berilah aku atmosfer di atas  atap rumahku
yang berumbai ilalang, dan berbagai pelik..
hingga aku terbang bersama kawanan merpati
memburu daratan menjulang di pantai lepas
buih putih yang mampu meneriaki aku dengan lantang
akan aku tawarkan dengan nyanyi pagi...

Bangkitkan.....
riuh daun nyiur dihembus angin Kumbang...
untuk menilik kebon sayur dan palawija
agar aku dan kasihku mampu memanen hidup
di tengah KaruniaMU....
Selamat Malam TUHAN........Semarang, 25 NOV 2020