Rabu, 29 September 2010

Warna Warni Hidup Dalam Puisi

BIRAMA HIDUP MANUSIA

Jalan panjang berdebu, beterbangan tak tentu arah, dihempas angin menelikung
bagai “sesaji para dewa” ….ketika marah dan menghardik.
Beberapa diantara manusia yang ada di jalan itu,
Memburu diriku seakan akan bernafsu mengulitiku,
Tanpa seloroh aku sodorkan, tanpa hendak menerjang
Mereka memburu nafas.
Mereka tiada mengrti di mana harus menyimpan hati.
Mereka tak mau membumikan sorot mata.
Hendak menghanguskan tulang igaku.

Janganlah kau timbang hidup ini.
Dengan apa apa yang tak mampu kau lihat, esok pagi……
adalah dalam tabir berkelambu benang sutra.
Jangan pula kau lepas ikatan kalau kau menghitung hari, merajut….
angin dalam keranjang bambu.
Atau meranggaskan Akasia
Tempat anak anakmu berteduh,
dari binalnya sang waktu

Larilah sekencang angin.
Kala menjemput ilalang yang hanya diam membisu.
Pada istana yang kau susun sendiri.
Di balik tempat sejuta sayap putih bergetar.
Kau tetap menghardik hatimu sendiri.
Kau tetap menyempitkan rongga dadamu.
Aku hanya memincingkan.
Sebelah mataku.
Lalu kau membara.
Sepi…….
Aku sendiri………(25 September 2010).

PERHELATAN


Belum mampu juga, awan awan langit biru meniru
manusia…dalam menjinjing warna semu.
Warna itu beruntai peluh yang menelanjangi…..
Mentari di siang hari..atau berselimut
angin …ketika malam telah dingin

Beribu genggaman mengabarkan pada ornament
di tepi jalan, tempat lalu lalang dengus nafas
Menggagahi suara alam datang dari celoteh,
beribu burung di tepi telaga tempat berlayar
perahu perahu kertas dan sauh yang tak lagi mampu menambatkan
hasrat…….
Janganlah kamu berteriak nyaring
Hingga membangunkan bidadari di Suralaya
Dan menggusarkan wajah Bethari Durga.

Perhelatan kini memenuhi setiap beranda rumah
Namun aku telah kelu lidahku
Hanya semu batas memandang, lebih baik…
aku menggapai ke tempat embung
di kaki bukit………
tempat, aku dan anak istriku membersihkan badan.
Ketika hari telah senja

Perhelatan ini menusuk tengah hari, laksana pesta pengantin
Jalan tertutup debu dan pekik serta hiruk pikuk.
Beribu kertas merah kusam memenuhi ruang nafas
Nenek nenek tua bergincu tebal
Ikut tertawa terkekeh, meronakan tengah hari

Semua meradangkan gempita
Semua menyanyikan senandung hati yang nantinya
akan terlemparkan pada fatamorgana penghias “rayuan bunga kertas”
agar si anak kecil bobo di sore hari
Jangan kau saksikan angin malam berujung tajam
Merendakan deru dan debu, mengibaskan semua santun
Yang disimpan di sudut rumah masing masing penghuni
Nusantara.

Gambarlah langit yang sesuai dengan ketiak tubuhmu
Lantaran tiada lagi kabut yang menghimpit
Setelah kembang tulip berkelopak jingga
Dan bertangkai putih salju
Telah terkubur hidup hidup di gerigi jaman
Namun jangan kau hardik
Anak desa di punggung kerbaunya
Yang masih setia dengan sawah ladangnya
Ketika rasa rindu pada padi menguning
Tidak berias di tengah perhelatan ini

Hingga kau sendiri yang mengagungkan perhelatan ini
Hanya duduk di sudut rumahmu sendiri
Akupun hanya mengerling
Lantas pergi memburu sunyi
(25 September 2010)

WARSI

Dia hanya mengenal bulan kelahiranya
hanya dengan Bulan Jawa
dia hanya mampu menumbuk padi,
memasak nasi, menyedu teh untuk suaminya
memandikan anaknya agar sedini ke sekolah
di tengah kabut pagi yang
merenggutnya.

Buah bibir manis berisi kembang setaman
Dia dapatkan dari penyihir pinggiran jalan
Untuk hidup dengan gaun nyonya belanda
Di rumah loji berlantai marmer
Bergenteng semen
Dan sebuah andong bersaiskan pemuda perlente
Tampan dan gagah

Lantas dia menerpakan debu debu jalan
Agar jalan dipenuhi dengan lunglainya tubuh manusia
Dari sebrang jalan
Yang dia sendiri tak pernah menginjaknya
warsipun meronakan wajahnya bagai kilat di tengah hujan
memusari puting beliung, hendak
mendandani moleknya Sang Ibu Pertiwi

Warsi hanyalah warsi
Tiada lebih anak desa
Yang hanya mahir bersawah
Warsipun hanya warsi
Yang tergolek sepi..di sudut jaman
(25 September2010)

MALAM PEKAT
Mereka berduyun menembus pekat malam
Mencari ilalang yang bertepi daun yang tajam
Yang sering melukai kaki si bocah
Kala bermain mencari belalang,
di padang yang gersang.

Mereka membawa lampu minyak
Yang temaram menemani sinar sang rembulan
Langkah kakipun masih belum laju
Di jalan jalan penuh kerikil dan berliku

Di malam pekat sebagian mengiba
Di malam pekat sebagian menerjang
Dengan bara api kebencian
(25 September 2010)

Selasa, 28 September 2010

Bulan Di Atap Rumah Bambu

Beberapa batang rokok telah habis dihisapnya, entah mengapa batang rokok yang dihisapnya sekarang masih saja kuat melekat di jarinya. Tubuhnya masih saja rebah di kursi kayu jati yang renta membujur di ruang tamu yang kumuh. Meski sinar mentari telah menghiasi wajah pagi yang kuning menyala, lantaran tersapu kemarau yang menerjang kotanya. Namun dia masih belum beranjak untuk memunguti kehidupanya yang tercecer di roda jaman. Padahal semburat sinar kuning mentari beberapa diantaranya telah menerobos celah dinding bambu yang berlubang, Sementara itu truk pengangkut pasir terus lalu lalang di depan rumahnya

Asap rokoknya masih saja mengepul menutupi wajahnya yang terlihat galau., segalau dunia yang masih saja liar menerima kehidupanya. Entah kehidupan macam apa yang pernah dia jalani, namun tetap saja hanya peluh dan debu yang menebari di sekujur tubuhnya. Gambaran hidup yang dia rengkuh, tak ubahnya seperti gambaran asap rokok, yang tidak pernah memilih gambaran yang pasti. Selalu saja berubah dihempas angin kemarau Gunung Merapi.

Sebentar sebentar terdengar lengkingan batuk panjang istrinya yang telah mongering tubuhnya, lantaran penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Penghasilan dia yang pas-pasan hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah ke tiga anaknya. Sumitropun hanya mendenguskan nafas panjang, saat dia mengadukan kepada sanubarinya sendiri tentang kehidupannya. Cuaca yang terus menerus dibarengi hujan meski di tengah kemarau, membuatnya tidak berdaya untuk menambang pasir di Kali Krasak. Musim yang tiada menyodorkan kepastian, menyodorkan pula kehidupanya yang kian terhimpit.

“Tiada satupun manusia yang mampu mengatur cuaca, Mas !” nyaring suara Hartini menyeruak memecahkan lamunan Sumitro yang masih menggantung tentang rencananya ke Malaysia menmgadu nasib.

“Makanya, Tin, aku sudah bosan menjadi penambang pasir yang tiada pernah memberi harapan. Aku tetap ingin kita mengambil resiko, daripada seumur hidup hanya merajut hidup yang nestapa”.Sumitro kini menjadi lebih bergairah untuk mencoba menantang sebuah kehidupan yang menurut dia adalah suatu misteri yang tiada pernah mampu dipecahkan.

“Mas, kita mengarungi kehidupan ini hanya dengan keberanian, tanpa modal apapun, itu juga sudah penuh resiko. Lantas resiko apa lagi yang kamu inginkan”

“Mestinya kita harus lebih berani lagi mengambil resiko, sudah kepalang tanggung kita mengarungi hidup yang penuh gelpmbang besar. Sementara itu kitapun tidak pernah merasa aman untuk berlabuh di kehidupan yang penuh bahagia. Kamu tidak menginginkan itu ?”.

Hartini hanya menghiaskan wajahnya dengan senyuman tipisnya, sebuah senyuman yang menjadi awal sebuah hati yang kekar milik Sumitro berhasil roboh dan mendekam dalam pelukan wanita yang santun ini. Hartini kini lebih mendekatkan duduknya di samping suamnya sambil mengaduksedikit gula dalam kopi pahit kesukaan suaminya.

“Wanita mana yang tidak ingin bahagia bersanding denga harta yang cukup, kehidupan yang tentram. Tapi coba Mas renungkan, kehidupan yang kita miliki sudah cukup bila kita tahu persis diri kita masing-masing, Kita sudah dikarunia tiga putra dan mereka sehat dan pandai. Kita sudah memiliki rumah meski hanya gubug beratap seng berdiding bambu .Mas, apa yang kurang dari kita ?”.

“Aku heran, Tin ?”
“Heran tentang, apa Mas ?”.
“Biasanya yang berkata seperti itu, adalah suami ketika istrinya merajuk menuntut dunia untuk menghiasi hidupnya., Tapi malah kamu yang bertutur seperti itu. Bagi aku kehidupan seperti ini belum puas, aku ingin kelihatan kamu lebih cantik dengan dandanan yang lebih baik, lantas aku pengin juga menyekolahkan anaku ke kota, agar mereka mengenyam universitas, jangan seperti bapaknya yang hanya sampai kelas 2 SMP”
“Bukan hanya kamu, Mas !, akupun ingin seperti itu ?”
“Lantas mengapa kamu tidak setuju aku ke Malaysia ?”
“ Kalau itu membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak Mas ?”
“ Kalau gitu, kamu setuju?”
“Ya, setuju, Mas ?”
“Terus akan kamu lepas kapan tanah itu, mumpung Pak Ranto berani membelinya !”
“Itulah yang aku tidak setuju, Mas. Tanah itu satu satunya peninggalan orang tuaku. Lagian Mas Hartono juga masih punya hak , bukan aku saja”
“Ah..itu gampang, Tin. Kalau aku sudah di Malaysia, kan bisa aku ganti Mas Har dengan gajiku kerja di sana”
“Maaf, Mas, aku tidak setuju,memang Mas Hartono tidak pernah menuntut hak itu. Tapi dia tidak setuju kalau tanah itu dijual.
“Tertus apa artinya tanah itu untuk kehidupan kita, Tin ?”
“Mas Har minta supaya tanah itu dikelola untuk usaha atau untuk ditanami apa saja, dia tidak akan menuntut hak.Tapi dia tidak akan melepas tanah itu untuk dijual”
“Kamu memang istriku yang tidak mengerti cita-cita seorang suami.”
“Mas Sumitro,apa ke Malaysia menjanjikan segalanya ?. Tetap saja manusia tidak lepas dari KodratNYA. Aku takut Mas, keberangkatan Mas ke Malaysia justru nambah kesengsaraan kita, Apalagi dengan menjual tanah kita satu-satunya”
“Terus aku harus bagaimana, apa salah bila aku berhasil membahagiaan keluargaku, termasuk kamu, Hartini !. Aku berani bersumpah, aku tidak akan jatuh ke pelukan wanita lain, kamu sudah hapal, persis wataku..kan ?”
“Bukan masalah itu,..Mas ?”
“Masalah apalagi?”
“Kita manfaatkan saja tanah itu. Selama ini kita kan belum pernah bicara masalah ini”
“Aduuuuh, setengah mati kan Tin.Mau ditanami apa ?.Musim seperti ini tidak bakalan bisa diharapkan”
“Mas, aku diberitahu Mas Koco, temenmu di Kali Krasak”
“Ada apa ?
“Dia sanggup menyediakan bibit ikan lele, dia punya relasi di Magelang. Tentu kita bisa beli, orang harganya murah. Kebetulan tanah kita bisa diairi sepanjang tahun, cocok untuk beternak lele”
“Terus mau di juual kemana lele-lele itu”
“Hualah..Mas. Setiap rumah makan pasti menyediakan menu lele kan Mas ?”
“Ah, itu terlalu beresiko, aku nggak punya modal”
‘Kebetulan Mas, aku bisa menyisihkan modal meski hanya sedikit. Tapi untuk menggali tanah itu,harus pakai tenagamu sendiri lhoMas,bisa kan Mas “

Belum sempat Sumitro memberi jawaban, sebuah pelukan kecil dan ciuman mesra telah disodorkan istri tercintanya. Dilekatkanya bibir istrinya dengan bibir pria yang sedang diliputi kegalauan. Kini pelukan itu telah direnggangkan oleh Hartini, diganti dengan bisikan penuh pesona
“Tolong ya Mas, kali ini aku dibantu, aku pengin lebih bahagia bersamamu”
Sumitropun tak mampu lagi memberi jawaban, yang ada hanya membalas dengan ciuman yang lebih hangat dan mesra, sambil membisikan di telinga istrinya “Kamulah rembulan di atap rumah bambu ini. Aku berjanji tidak akan ke Malaysia demi kamu “.

Minggu, 26 September 2010

PELANGI Di ATAS ILALANG

Mungkin ini hari terakhir aku, ketika sudah melepuh kulit kakiku dan penat seluruh tubuh hampir menggrogoti hidupku busur waktu yang meluncurkan detik demi detik hingga busur waktu berikutnya. Tak segan pula mengencangkan semua otot tubuhku, demi sebuah “prosa hidup” yang mampu bertahan lantaran terselip di padang ilalang, di tengah hiruk pikuk manusia menebarkan kemunafikan dan lalu lalangnya durjana yang menguliti wajah kehormatan insan. Sebuah bisik hati yang menyerah kalah ini segera kutepis,hingga kabur entah kemana.

Aku dan Rosma mulai melekatkan sebuah pelangi,diantara terik matahari, gerimis ataupun hujan badai bahkan dikala langit berniat runtuh, lantaran kepengapan debu dan asap ego manusia. Pelangi itu tiada seberapa indahnya, namun aku dan Rosmapun mampu menitinya, dengan segala senyum Rosma yang “menawarkan hati” kami berdua selalu berpegangan tangan tangan ketabahan hati, dari gangguan durjana yang hanya berisi dasing dan tulang jemunafikan. Mereka layaknya iblis berbaju manusia. Yang siap melahap bilah hidup manusia yang tertatih.

Beruntung, meski aku dan Rosma adalah lengan lengan rapuj, namun pelangi yang kami gambar di langit telah bertaut kokoh di puncak Mahameru “kemulian hati” dan pungak Mount Everest “cita cita yang tak pernah memudar”, sehingga sebesar apapun raksasa Dajjal yang bakal menghempaskan kami selalu kandas di gulung ombak Laut Selatan yang kami semai di lubuk hati. Begitupun Rosma, wanita berkulit putih dengan paras ayu dan berambut ikal, yang pertama aku temui telah tergolek lesu di peraduan dunia yang beraroma hambar.

Sedangkan aku tak lebihnya biji ilalang yang terbawa angina kemarau terhempas dari tempat satu ke tempat lainnya. Bukankah manusia bijak akan terlahir dan dibesarkan dari berbagai benturan yang menderanya. Sehingga jadilah dia manusia yang berhati kokoh layaknya kekokohan benteng Shalahudin Al Ayyubi di negara Mesir. Inilah yang barangkali menjadi kekuatan diriku untuk menggapai tangan Rosma dan mengajak untuknya untuk kembali tegak berdiri, meski di padang ilalang.

Benturan benturan hidup layaknya bumbu penyedap hidangan di atas meja makan bambu di tengan rumah papan dan bertaplak kain lusuh, selalu saja kami hadapi dengan canda ria. Termasuk kala Rosma bercerita tentang rayuan rayuan gombal Om Junaedi yang berniat membeli tubuhnya, gairahnya bahkan sanggup membeli hidupnya.Laki laki tua bangka berhidung belang namun kaya raya itupun sanggup memberikan apa saja asal Rosmapun bersedia menuruti hasratnya mengayuh perahu di telaga yang menghitam airnya. Namun Rosma tiadapun mau bergeming, meski suaminya Adnan Handoyo adalah hanya seorang satpam di kantor perusahaan swasta.

“Lantas kalau aku menuruti kedurjanaan tua bangka itu, siapa yang akan menunggu Anis sama Ilham, Mas”, Rosma bergayut di lenganku. Hasrat hatinya hanya sekedar ngambek mengharap belay kasihku. Akupun tak kalah menggelitik hatinya, mengharap roman mukanya yang merah padam atau malu tersipu, kala aku disodori gambar wajah ayu Rosma penunggu kahyangan Jonggringsaloko tempat bersemayam Bathara Guru.

“Katanya kamu pengin punya mobil”
“Aduh,,Mas Adnan kenapa ngomong kaya gitu, sih !”
“Lho…barangkali aja kamu pengin”
“Aku memang ingin, Mas, Buka hanya mobil. Aku ingin punya rumah tembok yang kokoh kaya kantor kabuipaten. Ya Mas ?”
“Iya aja, pantesan kamu sering ngelamun “
“Nglamun apa “
“Ya , nglamun Om Junaedi, kan ?”
“Memangnya aku wanita segampang itu, Mas. Aku kasihan sama Anis dan Ilham. Aku hanya punya mereka berdua”
“Lantas, aku milik siapa ?”
“Ya sana, kembali aja ke Neng Herwati, cewek Bandung yang genit kaya Hema Malini”

Wajah itulah yang aku tunggu, kala bulan bersemayam dalam dirinya. Sembari dia merobohkan wajahnya di bahuku, ketika itu pula sama sekali hatiku menjadi teduh. Kekhawatiran selama ini yang selalu timbul di hati menjadi sirna. Meski selama ini Om Junaedi menawarkan rumahnya kepada Rosma, sebagai jaminan atas kehangatan yang bakal diterima dari bidadariku telah sirna dan berkeping menjadi debu terbawa angin Gunung Merapi.

Rosmapun kian menghangatkan tubuhnya dengan memeluku lebih rapat. Seakan dia tahu kegetiran hatiku kala mendengar tentang Om Junaedi, pemilik perusahaan tempat Rosma bekerja.

‘Aku melihat Anis dan Ilham tidur nyenyak, itu saja membuat hatiku teduh. Aku pernah meraskan kebahagian semu sebelum Mas Adnan memikatku. Bagaimana rasanya hati teriris dan menjadi berkeping. Aku tak mau terulang yang kedua kali Mas !. Apalagi anak kita lagi lucu lucunya, ada ada saja kelakuan mereka berdua tiap hari. Akupun larut dengan canda mereka, kelakuanku jadi mirip mereka berdua.Kamu bahagia Mas ?”

“Ah, kamu seperti anak kecil aja. Kaya gitu nggak usah kamu tanyakan !”
“Barangkali aja kamu masih mendambakan Neng Herawati, yang kabarnya punya salon yang besar di Bandung. Dia kenes dan genit kan, Mas ?”
“Baru saja kamu tanyakan aku bahagia apa nggak, sekarang kamu ungkit lagi masa laluku”
“Aku jadi cemburu Mas, kalau dengar kisah masa lalumu”
“Kan aku sudap pnya kamu. Lagian Herawati kan sudah marrid sama temenku. Bagiku yang sudah ya sudah ?”
“Tapi Mas kan dulu pernah jadi morfinis, saat kehilangan cewek jelita itu yang penuh janji-janji. Mas frustasikan ? ditinggal sama Herawati “
“Aduh ampun, Ros !. Secuilpun aku nggak bakal mengharap dia lagi. Setelah aku ketemu kamu dengan kekagumanku, aku sudah berniat membenahi diriku. Percaya Rosma ?”

Rosma segera menarik bahuku sembari menyodorkan ciuman hangat kepadaku, lantas pelangi warna warni itupun terbesit di tengah langit. Meski hari telah larut malam, langitpun berjelaga hanya kerlipan bintang bintang tersenyum ceria. Tapi itulah pelangi milik sebuah cinta anak adam yang kokoh terjalin dalam relung hati mereka. Kini dengus nafas dan peluh memnuhi kamar pengantin mereka berdua. Rosmapun menggelepar meniti pelangi di atas illalang. Kedua tangan insan itupun saling bertaut erat di tengah bara cinta yang menyala hingga akhirnya hilang ditelan sang fajar.

****
Waktu terus berjalan hingga sampailah perjalan itu hingga suatu sore, aku melihat Rosma pulang dari kantor dengan bulan yang tiada lagi bersemayam di wajahnya. Bahkan kedua matanya kini sembab. Wajahnya merah padam, pertanda selaksa derita membebaninya. Akupun segera mletakan harian sore yang sempat aku baca. Seribu misteri kini mengganjal halaman hatiku,

“Ada apa Ros !”
“Om Junaedi memang laki laki keparat !”
“Ada apa, dia menyakitimu ?”
“Nggak Mas !”
“Lalu apa “
“Dia kembali merayuku, bahkan kini dia lebih berani lagi?”
“Maksud dia bagaimana “
“Kini dia lebih gila lagi, aku mau diberi rumahnya yang di Magelang sekaligus mobil Xenia. Asal aku mau menempati rumah itu “
“Lantas aku mau tinggal di mana ?”
“Engkau dan anak-anak tetap di sini”
“Wong edan !, lantas kamu mau “
“Apa Mas sudah nggak percaya sama aku”
“Ya aku percaya Ros, tapi mengapa kau pulang pulang sembab mata kamu”
“Sebab kalau aku tolak, lebih baik dia nggak ngliat aku lagi. Dia tidak ingin tiap hari melihatku lagi”.
“Kurang ajar, besok aku ke kantormu!”
“Nggak usah , Mas. Dia melangkah seperti ini karena dia siap menerima resiko apapun. Dia mengancamku, apabila kamu berulah macam macam, dia tidak segan segan menyakitimu?”
“Aku tak perduli, masa laluku penuh dengan kekerasan, akupun tidak takut siapapun !”
“Aku tahu itu, tapi akupun ingin masalah ini cepat selesai.Makanya aku memilih keluar dari perusaaan itu”

Angin sore melintas di beranda rumah sederhana itu. Daun daun pisang saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik. Tiupan angin itupun membuat mereka mampu mendinginkan bara api amarah dalam hati merek masing masing

“Mas aku takut ?”
“Takut sama siapa, biar aku hadapi semua masalahmu”
“Aku kehilangan pekerjaan, bagaimana nanti Anis dan Ilham”
“Ros, yang Diatas Sana juga mendengar keluh kesah kita, sebagai manusia yang jadi korban ketidakadilan dan kedurjanaan manusia sombong. Kamu jangan pernah takut dengan kehidupan. Kita beruntung selama ini kehidupan justru mendewasakan kita, sehingga kita sudah tidak mampu lagi merasakan suatu penderitaan.Percayalah, Ros ! bila masih ada cakrawala di ufuk timur, pasti semua kehidupan akan ditebarkan oleh Sang Maha Pencipta, asalkan kita pandai bersyukur “

Angin Gunung Merapi bertambah kencang, lantaran mereka segera ingin mendengar prosa romantis anak adam yang saling mengisi kehidupan dengan cinta yang kokoh, meski apaun halangan yang menghadang. Angin gunung itupun makin bertiup kencang lantaran memburu angina angin kembara lain, agar segera duduk bersimpuh di beranda rumah mungil itu. Adnan dan Rosma kini kembali larut dalam canda ria kedua anak mereka.

Selembut Benang Sutra

Wajah papinya menyimpan beribu bara yang siap membakar hasrat, angan sekaligus cintanya yang lembut, yang terpancar dari pribadi Anggun. Kala sore hari di ruang tamu berdampingan dengan mamanya, yang juga menghadang Anggun dengan sorot mata yang liar, bagai sang singa jantan yang siap menerkam kambing yang tiada berdaya. Anggunpun berusaha menyelipkan keberanian untuk menghadapi kedua insan yang sangat dicintainya itu.

Anggun hanya duduk dengan hati yang mengembara ke tiap sudut langit, setiap cakrawala di kaki langitpun menawarkan taman bunga untuk bersemayamnya dia dan Rony, mahasiswa fakultas tehnik yang papa. Namun meskipun kepapaanya itu menggayuti sejak dia di bangku SMA, upaya untuk melanjutkan sudi tak kunjung reda.

Hingga suatu senja, langit berwarna cerah. Bintang mulai menghitung awan yang memerah. Bulanpun menunjukan wajahnya, mulai memberi salam canda kepada bintang senja yang juga belum tahu perasaan Anggun menghadapi hati insan berdua yang telah lekang, yang tiada mau peduli sebuah hati yang lembut bagaikan kain sutra. Adalah hak Anggun sebagai manusia untuk menambatkan hatinya yag bening kepada Rony. Namun mereka berdua berniat untuk menepiskan, apa yang ada di hati Anggun.

Anggun hanyalah sebilah hati yang sama sekali tiada mampu menghardik kemauan mereka. Tercampaklah Anggun dengan pergulatan antar “cintanya yang sebening sutra” dengan cinta kasih kepada kedua orang tuanya. Namun hidup adalah hidup, manusia sama sekali tidak mau belajar dari apa yang pernah dialami dahulu.

Mama papanya mengemasi hidup menyatu dalam titian cinta sebening embun. Mereka berdua selalu bersama dalam perguliran suka dan duka. Merekapun tahu persis tentang cinta antara dua anak manusia, yang berusaha menerjang apa saja meskipun seribu aral menghadang. Justru warna warni kehidupan kedua orang tuanya yang telah menempa kepribadian Anggun. Namun mengapa pula mereka berusaha mengharubirukan sesuatu yang lembut, yang bersemayam di hatinya. Demikian desah hati cewek yang kaya raya namun bersahaja..

“Anggun, mama papa tahu persis getar hati setiap manusia yang lagi mengalami seperti kamu. Mama papapun pernah muda”. Suara parau dan serak itu menggema mengisi setiap udara yang ada di ruang tamu itu. Suara datar itu keluar dari mulut Wijiyo, pengusaha sukses di Jogjakarta.

Anggun hanya mampu berlarian dari awan satu ke awan lainnya, di langit biru yang telah menyodorkan kedua tanganya untuk menerima Aggun kala hatinya pilu. Anggun sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Apa yang bisa kamu harapkan dari Rony, yang hanya pedagang lesehan di malioboro. Aku nggak tega kalau kamu berumah tangga dengan dia, anaku !. Aku Ibumu, tidak mungkin akan membiarkan kamu menderita. Jauhi Rony, anaku, kamu kan masih muda.Kamu cantik lho. Banyak pria yang mengejarmu, anaku ?. Mereka mau memberikan apa saja demi mendapatkanmu”

“Betul mamamu, anaku !, papi sudah pilihkan pria yang segalanya lebih baik dari Rony. Dia nggak kalah ganteng dengan Rony, apa sih Rony hanya penjaja barang seni di malioboro. Sementara Martin, yang aku kenalkan dulu sama kamu sudah lulus dari amerika. Kamu bisa tinggal di Jakarta di blok perumahan yang elit. Mama dan aku tentunya akan bahagia, anaku !”

“Tapi, bukan itu semua yang aku cari, Pap !”
“Lalu apa yang kamu cari dalam hidup ini, Anggun !!. Cobalah mengerti maksud mamamu ini. Lagian semua bahtera rumah tangga semuanya berujung ke materi, untuk keperluan hidup ini. Cobalah mengerti, ya sayangku !” .Mamanya kini sudah berada di sampingnya, kedua tanggan Anggunpun di renggutnya. Pertandan wanita ini sama sekali tidak mau kehilangan putrid semata wayangnya.

“Mam, Anggun bahagia disamping Mas Rony. Itu saja sudah cukup !”
“Anggun !” Suara petir di tengah hujan gerimis masih kalah mencekamnya dibanding pekik papanya, yang sudah membara hatinya.

“Sabarlah Pap, jangan marah dulu. Bagaimanapun dia anak kita satu satunya. Kita berdua sudah bertekad bakal membahagiakan, bukanya menyakitinya, Pap !”

“Apa karena papa menguliahkanmu di psychology, sehingga kamu sok tahu tentang hidup. Oh…Anggun, kamu belum apa apa, cobalah kamu mengerti maksud papamu ini, yang sudah banyak makan garam. Mengerti..!!!”
“Sudahlah Pap, biar mama saja yang bicara !”
“Mam, Anggun mengerti perasaan mama dan papa. Tapi Anggun nggak bisa menerima pria lain. Aku sudah lama mencoba melupakan Mas Rony demi mama dan papa. Mas Ronypun menerima dengan besar hati. Karena Mas Rony sadar dia akan mengecewakan mama dan papa “

‘Lantas mengapa kau tidak melupakan saja anak itu, Anggun ?” Papanya dengan nafas yang panjang lantaran tidak mampu lagi menahan amarahnya. Menuntut Anggun melakukan apa yang dia tidak sangup lakukan.

“Papa, kejam…aku anakmu Pap, mengapa papa tega ?”
“Masa bodoh, anaku. Ini semua papa lakukan demi masa depanmu. Setidak tidaknya kalau kamu tidak mau menerima Martin. Carilah pria lain yang sanggup membahagiakanmu, bukan pemuda itu.!”

“Tapi aku…”
“Sudahlah Anggun, papa sudah tidak sabar lagi, papa sudah memberi waktu cukup untuk kamu. Kamu satu satunya putriku, masa depanku, buah hatiku. Maka papa sudah tidak mau main main lagi. Dari kecil hingga besar kamu papa manjakan. Tapi yang satu ini papa tidak mau mengalah,”
“Sabarlah, Mas Broto !, Anggunkan anakmu “
“Justru karena dia anaku, Mam. Maka aku harus bertindak tegas “
“Tapi Mas Broto !, Anggun anaknya lembut, Mas Broto jangan terlalu keras. Atau sekarang mama yang bicara saja”

“Biar aku yang bicara. Inilah anakmu yang selalu kamu manjakan, sehingga seperti ini jadinya. Sekarang papa beri pilihan dalam tiga hari. Kamu putuskan anak itu atau papa dan mama yang akan keluar dari rumah ini. Ambilah rumah ini seisinya beserta dengan deposito papa. Deposito itu sudah papa atas namakan kamu,ambilah. Hiduplah dirumah ini dengan pria gembel itu “

“Mas Broto !!!”.. Suara terakhir di ruang tamu Soebroto dan semuanya kini di bius pekatnya malam.

***
Rony terperanjat dan berbunga hatinya kala sebuah taksi memasuki ruangan halaman rumah kosnya di Pasar Telo. Ronypun telah menebak sebelumnya, kalau sabtu sore ini “jelita pujaan hatinya” bakal menemui dia, untuk melabuhkan perahu rindu di tengah samudra ganas yang menebar ombak bergulung. Ombak yang menghempaskan angan dihatinya untuk meniti hari hari kehidupanya bersama dengan Anggun.

Anggun melepas senyuman yang tipis di balik wajahnya yang pucat dan mata yang sembab, yang membuat deru jantung cowok ganteng itu bertambah cepat memburu misteri yang ada di balik wajah ayu kekasihnya itu.

“Aku sudah membayangkan jauh jauh hari sebelumnya, papa kamu suatu saatpun akan bertindak seperti ini !”
“Lantas kita hatus bagaimana ?”
“Anggun , aku adalah manusia yang sudah banyak mengenyam penderitaan. Karena aku hidup hanya dengan seorang ibu yang ditinggal bapaku sejak aku duduk di SMP. Aku bisa kuliah di fakultas tehnik karena aku mengais rejeki sendiri dengan cara seperti ini”
“Apa hubunganya dengan masalah kita”
“Justru inilah yang menjadi alasan utama papamu menolak aku “
“Kok kamu tega bicara seperti ini, Mas !”
“Anggun, sudah saatnya kamu mengenal dunia realita, tinggalkan jauh jauh kata hatimu. Sekarang berpikirlah dengan realita !”
“Jadi, kamu mau meninggalkanku, Mas Rony ?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Anggun. Meski suatu saat kau menjadi milik orang lain. Kamupun tetap dalam hatiku”
“Ah,,aku jadi tak mengerti. Aku tak bisa jauh darimu,, “
“Cobalah untuk mengerti, aku siap kehilangan apa saja dalam hidupku.Karena aku sudah terbiasa kehilangan hidupku sendiri. Tapi kamu anak manusia yang masih memiliki segalanya, jangan kau sia siakan sebuah harapan demi masa depanmu. Sudahlah aku siap kamu tinggalkan, kamu harus berbahagia bersama mama dan papamu “

Tubuh Rony kini, kini berguncang setelah kedua tangan Anggun merengkuhnya, Kini dara ayu yang bersahaja sesuai namanya sudah berada di pelukan Rony. Anggun sama sekali tidak menyangka Rony memilih jalan seperti itu, padahal jauh dalam hatinya dia siap menghadapi apapun yang terjadi demi sebuah cinta. Anggunpun tahu bahwa cintanya kepada cowok malang ini, bukanlah sesuatu yang buta melainkan cinta yang bening dan lembut. Selembut benang benang sutra yang diharapkan bisa saling merajut membentuk kain sutera.

“Anggun, cobalah mengerti, kau harus bahagia. Bukan mengais kehidupanmu nanti dengan cara seperti aku. Kamu dan aku tidak pernah akan merasa kehilangan bila kita saling menerima atau kehilangan segala sesuatu dengan ikhlas. Kamu kan nggak mau kehilangan mama dan papamu, sayang ?’

Anggun mulai melepas pelukannya secara pelan meski dia sama sekali belum siap menerima kenyataan ini. Antara papa dan kekasihnya, tiada yang mampu dia pilih. Hanya desir angin malam Kota Jogja yang kini membaluti tubuh kedua anak Adam.
‘Hari sudah malam, aku antar kau pulang. Pasti mama dan papamu mengkhawatirkanmu”.

Anggun memilih berjalan kaki menuju rumahnya melewati jalan jalan kota Jogja yang mulai lengang. Keduanya melewai malam ini sebagai malam terakhir sebuah pertemuan cinta anak manusia yang lembut, agung sekaligus romantis. Meski harus berakhir di pintu gerbang rumah Anggun yang kokoh, yang menjadi saksi akan perpisahan kedua insan itu. Meski Anggun masih belum mampu menerimanya.

“Mas Rony, terimalah aku lagi, bila suatu saat aku kembali”. Ronypun hanya menganggukan kepalanya sembari melepas kedua tangan Anggun, yang hilang di kegelapan malam halaman rumahnya.

Jumat, 24 September 2010

Puisi Hanya Miliku Sendiri

TUHAN
Berilah aku pagi......
agar mampu aku kayuh
perahu yang t'lah sarat
ke tepian
pantai ASMAMU

Tuhan....
berilah aku waktu
untuk ku naiki
agar tiada lagi
gelombang pantai
yang liar....
bersamaku sla'lu
TUHANKU........(23 September 2010)



BULAN
Saat kau terjaring..
di rimbun palma dan semak
akupun masih..berkalang ufuk
diantara ilalang
aku tepis..samar hati
lantas kujebak rembulan
aku terkapar........(.23 September 2010 )






BULAN DI KANTONG BAJUKU
Bukankah telah aku semai...
biji biji tanaman hati..untuk esok
kala lusuh dan hambar..menjadi satu
aku menggeliat....menggambar warna
di depan bilahhati dan beranda
Jiwamu.....

Namun engkau memilih gerimis
berkalang hitam jelaga langit
aku sodorkan halaman
berpagar kembang bakung

Bulan di kantong bajuku
mengerling tajam
dan bersapa senyum...
hening.........(.24 September 2010 )




NYNDIA

Dalam ikatan satu rumpun
aku ikat mawar, melati, kenanga
saling mengenalkan warna...
anyelir pun tak mau surut

Semua menjadi satu...
tak ada yang mau...berkawan senja
lantas aku pikat dengan SMARANDANA
semuanyapun menyodorkan senyum...
tapi aku terburu....terselip di sudut asa

Aku berikan taman bunga..
tempat aku membenahi...
kumbang dan bunga yang
memekik seru..aku terhampar
dalam sayap DE'AMOUR...
karya seorang pujangga..
yang menelisik telaga cinta..



NYNDIA....
di tepinya telaga...
tak ada lagi belalang padang
yang meranggas pilu..
aku bersemayam dalam halamanmu
NYNDIA.................(.24 September 2010 )



SAYAP....
lajulah...
.tanpa batas.....
pada sebuah guratan tentang ASMAMU..

agar mampu merajut......
langit yang tiada terperi luasnya.
.aku ditepinya,
menjinjing kecerahan jiwa.
.yang pernah kubuang
di Samarathonga atau Semeru.

.SAYAP...lajulah......
kedua tangankupun telah pulih..
aku tengadahkan untuk kemurahanNYA...
(Mohon maaf lahir dan batin, pada semua temanku)...
(8 September 2010)


HUJAN SEPANJANG HARI

Kala hari telah lusuh
Istriku menyiram pagar rumah
yang ditumbuhi beluntas
dengan embun dini hari

Aku masih terpaku
di kakiku sendiri
secangkir kopi pahit
adalah wujud cintanya....Jum'at. di tengah hujan 24/9

Kamis, 23 September 2010

CINTA...,,,,EMANGYA BERANI...?

Penuh ketidaktahuan kini dirasakan oleh cowok yang satu ini, Agusta demikian fans–fansnya yang seabreg memanggilnya demikian , getar hatinya merambat sangat kuat hingga keseluruh tubuhnya. Entah dalam jantung hatinya ada perasaan aneh, hingga terus menggrogoti dirinya, terlebih lebih bila malam telah larut.

Terasa hanya dia dan malam saja yang saling membisu sepi, semakin malam larut semakin tertusuk jantungnya dengan keegoan malam ini. Apa lantaran dia mulai menambatkan hatinya pada Ellisa siswi baru, kala dia mengenal cewek ini pada acara Opsek siswa baru di sekolahnya. Toh perkenalannya hanya sepintas saja karena dia sendiri kala itu, sibuk sebagai ketua panitia opsek.

Setelah itu, pertemuannya antara Ellisa hanya sebatas ketemu di sekolah, kala kebetulan bareng di acara rapat osis. Sikapnya hanya biasa, tidak ada pandangan mata mereka berdua yang memiliki arti. Apalagi dari sikap Ellisa yang kaya mayat hidup aja. Sama sekali tidak ada desiran hati yang aneh dalam diri Agusto.

Waktu berjalan terus tanpa ada yang mampu menghentikan, Agustopun larut dengan seabreg tugas – tugas guru dan ulangan. Belum lagi aktifitas midsemester. Sangat menyita waktunya untuk belajar, agar dia bisa mendapatkan nilai maksimum.
Namun pertemuan antar mereka memang harus berlanjut. Kala sekolah mengadakan kegiatan classmeeting, usai ulangan umum semester genap kemarin.Ellisapun aktif di kepanitiaan classmeeting tadi, yang kebetulan diketuai oleh Agusta. Sehingga hampir tiap hari mereka berdua saling dekat. Saat itupun hati mereka berduapun tetap dungin, nggak punya geter apa –apa. Ellisapun tetap bermanja-manja dengan dia kalau ada maunya saja.

Menanggapi perilaku Ellisa ini, Agustopun memaklumi karena bagaimanapun juga Ellisa dalah cewek teenager yang masih lugu dan polos. Sebaliknya kalau Ellisa lagi nggak butuh pertolongannya, berubahlah Ellisa menjadi sosok yang dingin dan membisu seribu bahasa, layaknya mayat hidup.

Namun demikian juga Agusto tak pernah menghirukan Ellisa. Bagi Agusto Ellisa adalah cewek yang tidak begitu istimewa, lantaran menurutnya masih banyak cewek – cewek di sekolahnya yang segalanya lebih baik ketimbang Ellisa. Toh ada satu dua cewek seangkatannya yang sempat hadir di hati Agsto, namun Agustopun tak tahu, harus darimana dia akan memulainya.

Waktu terus menggeliat tiada satupun yang mampu menghentikannya, tibalah saat pembaagian rapot akhir tahun sekaligus pengumuman kenaikan kelas. Sudah barang tentu baik Agusto maupun Ellisa termasuk siswa yang tidak bermasalah, aktifis osis dan santun kepada semua guru. Sehingga wajar saja bila mereka kini meraih siswa teladan di sekolahnya. Tepuk tangan yang hingar bingar dari simpatisan baik guru maupun siwa memenuhi aula sekolah mereka. Merekapun kini berdua bersanding layaknya pengantin baru, untuk meraih tropi siswa teladan putra dan putri.

Senyum yang indah terpancar dari bibir Ellisa yng tipis itu membuat Agusto sebentar-sebentar melempar pandang pada gdis yang tinggi, berkulit kuning langsat dan berambut sedang hingga bahu. Ditambah dengan harum parfum kazi feminin dari baju Ellisa, mengukir keindahan tersendiri untuk hati Agusto, yang lagi happy hari ini. Serasa kakinya tidak menyentuh tanah kini, hatinya begitu dipenuhi wangi bunga selama berdampingan dengan Ellisa. Apalagi kini mereka menjadi pusat perhatian seluruh yang hadir di aula sekolah ini.

“Gus kalian berdua emang mirip raja dan ratu, nah gitu dong berdiri lebih dekat lagi. Biar gambarnya jadinya bagus “ teriak Hendra sambil melangkah surut untuk mengambil gambar pasangan ideal ini. Keduanyapun hanya tersenyum tipis, sesekali Agustopun melempar pandang. Sedangkan Ellisapun hanya membalasnya dengan senyum menawan dan tidak pernah melepaskan gayanya yang fotogenik.

Kini Agustopun tidak segan lagi untuk menawarkan diri mengantar Ellisa pulang. Meski dia tahu Ellisa tentunya akan keberatan membonceng sepeda motornya yang sudah agak gaek. Sementara itu Ellisa tiap hari diantar jemput dengan mobil gedongan.
“Lu kan bisa telepon sopir lu agar dia nggak usah jemput lu. Sekali kali aku ingin tahu rumahmu “
“Ntar aku telepon driver papiku dulu. Sabar ya. Kok tumben lu ngebet mau ngantar gua, ono po jal ! “ seru Ellisa yang nggak tahu entah karena apa hari ini kelihatan ganjen bener.
“Ah, , , nggak apa apa “ . Agusta menjawabnya dengan senyuman tipis terurai di wajahnya. Emang kalau cowok ini pemalunya minta ampun. Klo soal wajah semua temen ceweknya mengakui, layaknya actor ganteng pemain sinetron. Tapi kalau soal pemalu nggak ada duanya juga.

Namun meski demikian Ellisa adalah termasuk cewek yang pinter menilai cowok. Dasar Ellisa adalah cewek gaul, maka jumpa dengan cowok kaya Agusta dia nggak canggung. Dia seenaknya aja ceplas-ceplos, karena Ellisapun tahu meski Agusta adalah cowok dari kalangan keluarga yang biasa-biasa, namun dari dalam diri cowok ini ada banyak kelebihan.Dan inipun sudah lama Ellisa ketahui. Tapi karena Ellisa kala itu nggak ada perlunya maka dia cuek aja dengan cowok pemalu ini.

“Eh kenapa bengong, emang rumahku banyak hantunya ?, Ayo dong masuk !. Mam ini lho Mas Agus main ke sini . Keluar dong mam, kenalkan temenku “ pinta Ellisa.
Kini mamanya Ellisa sudah berada di ruang tamu, duduk bersebrangan dengan Agusta, di sofa berkulit bulu warna hijau. Persis di tengah ruang tamu yang besar dan mewah. Wajahnya tak jauh berbeda dengan Ellisa, meskipun usianya telah menginjak setengah baya, namun wajahnya tetap kelihatan masih ayu dan lembut, Berbeda dengan Ellisa yang suka berang. tegas dan ceplas-ceplos.

“Oh ini to yang namanya Agusta. Kamu yang siswa teladan itu ya mas ?.
“Betul tante, tahu dari mana ?“ jawab Agusta dengan sikap yang malu-malu dan merendah.
“Tadi Lis sms, selamat ya. Oke silakan diminum jus jeruknya, tante tak kebelakang dulu, masih banyak pekerjaan dapur. Lis kalau mau makan silakan kalian berdua langsung aja ke dapur “.

Kini merekapun hanya berdua duduk di ruang tamu. Suasana romantispun menjadi milik mereka berdua. Sebentar-sebenta mereka berdua diam seribu bahasa, kadang pula salah satu dari mereka mencoba memecahkan kebisuan, dengan melontarkan bahan cerita yang sebenarnya nggak perlu.

Sebenarnya ada apa, tidak biasanya aku bersikap seperti ini. Mulutku terasa terkunci, aku merasakan melayang jauh tinggi ke tempat yang aku sendiri tidak tahu. Apa lntaran aku duduk berdua dengan Ellisa. Kenapa sebelumnya sikapku nggap seperti ini, padahal aku sering ngobrol bersamanya. Dulu sikap dia seperti mayat hidup yang berparas ayu, kini wajah itu memerah dan romantis, demikian bisik hati Agusta.
“Lis ini dah siang, aku pulang dulu ya “ seru Agusta.

“He..eh, makan dulu to mas, mami kan udah nyiapan makan, Ayo dong ms jangan malu “
“Lain kali aja Lis, aku. ..nggak tahu ah..”. Jawab Agusta dengan sikap canggung yang kentara sekali. Menghadapi sikap temannya itu, Ellisapun memaklumi, karena sikap seperti ini adalah sikap bawaan Agusta. Bersalahlkah dia dengan kesemuanya ini, Justru sikap inilah yang menjadikan Agusta berbeda dengan cowok lainnya, dan berhasil meruntuhkan kebekuan hatinya. Setelah sekian lama tiada satupun cowok yang bisa meruntuhkan kedinginan hatinya itu.
_______________ooo_____________

“Ndra, tolong dong! , aku harus bagaimana “ . Tak lama setelah Agusta duduk di teras rumah Hendra sahabatnya untuk curhat, kata-kata itu muncul begitu saja.
“Harus bagaimana apaan ?. Emangnya lu lagi bentrok ama bapak lu “. Seru Hendra penasaran

“Nggak gitu, Ndra. Itu tuh tentang Ellisa, aku harus gimana “
“Ya nggak gimana-gimana to friend !, diakan ratumu dan kau adalah sang pangeran. Ngapain susah amat, sih !. Kalau dia milikmu, nggak usah pakai susah-susah friend ! “ .
“Ah….Lu emang susah diajak curhat “ teriak Agusta yang jadi kesel pada Hendra.
“OK. . deh aku tak ndengerin, curhat Lu, cobadeh lu crita. Please ! “
“Aku kemarin nganter Ellisa pulang ke rumah “. Tutur Agusta dengan sikap malu-malu dan sejenak terdiam.
“Bagus dong, Gus !. Terus gimana “
“Aku lama ngobrol berdua aja dengan Ellisa, tapi aku tak bisa ngomong, jantungku berdegup keras, memandanginya aja nggak berani. Lantas aku harus gimana “
“Ini pertanda lu naksir dia, lho sikapnya dia gimana. Apa dia happy atau salah tingkah diantar pulang lu atau gimana ? “ tanya Hendra pada temanya ini yang kelihatan lagi salah tingkah nggak seperti biasanya.
“Ellisapun juga sama, nggak seperti biasanya dia ngobrol sama aku lepas dan ceplas-ceplos, tapi kali ini dia banyak diam. Hanya wajahnya aja yang kelihatan malu-malu “
“Terus sebelum pulang lu buat janji apa ama dia “
“Nggak sih, boro-boro janji, ngomong aja aku susah. Tapi Ndra. Semalam aku nggak bisa tidur penginya cuma bertemu dia terus “
“Kalau gitu, ya kalian berdua sama-sama naksir, Gus !. Lu yang lincah dong, jangan malu-malu. Nggak mungkin Ellisa yang lincah. Lu kan cowok, mestinya harus pandai-pandai buat acara. Eh Gus, kalau lu nggak lincah, keburu digaet Rio, aku dengar dia lagi pdkt ama cewek lu “
“Tapi aku yakin, Ellisa nggak bakalan mau “
“Itulah Gus kelebihan lu, aku liatain Ellisa selalu ceria di samping lu. Nggak seperti biasanya, kayanya lu adalah cowok pujaannya. Sikap Ellisa akhir-akhir ini berbeda dengan dulu-dulunya.

“Lho lu kok tahu
“Lho dia dulu adik kelasku di smp, jadi aku tahu betul. Eh Gus. .dia waktu di smp juga menjadi cewek pujaan bagi cowok-cowok. Jangan lu lepas begitu saja. Dia bukan hanya caem lho Gus, tapi cuakepnya kaya artis sinetron. Lu kemarin nganterin dia pake apa “
“Ya tak boncengin pakai motorku “
“Ah. . yang bener Gus, apa dia mau “
“Bener Ndra dia mau !, tadinya kan aku cuma basa-basi, tapi dia mau beneran. Ya udah pakai motor bututku tak anterin “

“Gila lu Gus, anak gedongan lu boncengin motor gaek. Udah nunggu apa lagi, aku yakin dia naksir lu juga. Eh Gus, aku liatin sudah seabreg cowok gedongan yang naksir dia juga. Beruntung lu nggak pake susah-susah dia mau ama lu “
“Lantas aku harus bagaimana ?. Aku jadi salah tingkah ngadepin cewek ini, Nggak seperti biasanya aku punya temen yang beda ama lainnya, Ndra “
“Sementara lu aktifin dia di kegiatan osis aja. Nantinya lu kan biasa berdua ama dia terus. Jadi nantinya lu nggak canggung lagi. Masa siswa teladan takut ama cewek
“Biasanya juga aku nggak takut, Ndra !, tapi ngadepin dia aku jadi grogi. Oh bidadariku. . . “ seru Agusta sambil berusaha tetap happy, kayanya advisenya Hendra bisa obat hatinya.

“Tapi hati-hati lho, Gus “
“Hati-hati, apaan “
“Yang bikin Ellisa dingin seperti mayat hidup, adalah sikap papinya yang minta ampun galaknya. Wajar aja kalau banyak cowok yang pdkt jadi kelimpungan “
“Galak gimana, Ndra”
“Bapaknya Ellisa itu orang sukses, maka dia menuntut anak-anaknya harus seperti dia “ Lho gua kan cuma teman Ellisa “

“Klo lu Cuma temen ngapain pakai kangen segala, ngapain lu semalam nggak bisa tidur. Hai sobat !, papinya Ellisa bukan orang bego, tau nggak !. Yang penting lu harus siap mental kalau ketemu papi doimu itu. Understood ? “
“Kok jadi gitu, Ndra !, udah deh gua tak modal optimis aja Ndra, yang penting aku berteman dengan Ellisa maksudku baik “

Agusta kembali memiliki kekuatan hatinya. Meski dia tidak punya rencana apa bila kepergok papinya Ellisa nantinya. Apapun yang ada di dalam hatinya, hanyalah semata ingin berteman dengan Ellisa. Kalau toh lebih dari itu, kenapa harus pakai ngacir, ngadepi papinya Ellisa. Toh sekeras apaun ortunya Ellisa, pastilah akan bisa menerimanya, bila Agusta mampu menghadapi ortunya itu dengan sikap dewasa, tanggung-jawab dan jujur.

Kapan gua ketemu papinya Ellisa, tapi gue juga belum siap. Ntar bisa berabe klo aku ketemu dia. Aku nggak mau bersikap pengecut. Tapi masalahnya lain lagi bila papinya hanya mengijinkan Ellisa berteman dengan cowok gedongan. Kalau seperti itu, gua nggak bisa berbuat apapun. Tinggal Ellisa sendiri bersikap bagaimana. Seandainya Ellisa hanya menuruti kemauan papinya itu, ya itulah kehidupan. Demikian bisik hati Agusta yang terus mengalir tiada pernah berhenti.

Keduanya kini kembali aktif di setiap kegiatan sekolah, mereka berdua memang telah melupakan perbedaan antar mereka. Karena mereka hanyalah remaja yang hanya sekedarkan ingin menghadirkan suasana romantis di kehidupan mereka. Saling memberi dan melampiaskan curhat, saling bermanja dan memberi ataupun mencari perhatian satu sama lain.

“Mas Agus, udah siang kita langsung balik aja “ pinta Ellisa kepada cowok ganteng itu, sambil tangannya bergayut di pundak Agusta. Agusta hanya mengangguk kecil dan mereka berduapun meninggalkan ramenya kompitisi Kejuaraan Footsal antar sma se Kodya Semarang,
”Ngapain lu buru-buru pulang Lis, padahal permainan footsal lagi asyik-asyiknya ” tanya Agusta di tengah perjalanan mereka pulang.
” Lu, kecewa, Mas ! ”
” Ah, nggak, Cuma ingin na
nya doang, ada acara apa di rumah ? ”
”Rencananya papi hari ini pulang, aku dah kangen ingin segera ngobrol ”
”Kok lu nggak ngomong sih, kalau lu tadi pagi ngomong, kita nggak usah lihat footsal. Kita nunggu bareng kedatangan papimu di rumah,
”Apa lu berani ketemu papiku, Mas ! “
“Kenapa takut ?. Aku nggak pernah punya niat jahat terhadap lu kan ?”
”Bukan itu maksudku, Mas. Papi memang hidup hanya untuk harta Mas. Segala sesuatu di lihat dari sudut pandang uang. Termasuk dalam mendidik anak-anaknya juga dia sangat keras, semata – semata agar anak-anaknya berhasil seperti dia”
”Tapi lu kan berhasil membuktkan sama papimu, nyatanya lu bisa jadi siswi teladan ”
”Ya Mas, tapi bukan itu saja yang diharapkan papi, nantinya papipun minta agar semua anak-anaknyapun mendapatkan pendamping hidup yang sukses, Papi nggak mau anak-anaknya menjadi terlantar karena penderitaan hidup. Sebaiknya Mas Agusta jangan ketemu papiku dulu ”

”Kok nggak boleh ketemu papimu ?, apa AKU nggak boleh punya hak untuk menemui papi dari orang yang paling aku sayangi ?. Ayo dong Lis, nggak usah takut dengan resiko apapun ” jawab Agusta dengan nada yang meyakinkan.
”Aku takut Mas Agus akan sakit hati dengan sikap papiku, Dan maaf Mas,biasanya kan Mas Agus suka pemalu dan canggung. Lantas bagaimana papiku menilai mas nanti ? ” Tentang sikap papimu nggak usah lu pikir, yang aku butuhkan hanya hatimu. Bila engkau mau melangkah bersamaku, menggapai masa depan, itu sudah cukup untuku ” tutur Agusta.

Ellisapun hanya terdiam dan menundukan kapalanya, namun bibir yang tipis dan menawan itu masih memberikan senyum bahagia kepada cowok yang paling dicintainya. Sebuah senyuman yang menggambarkan kebahagian dan keteduhan hatinya berada disamping cowok yang berhasil meruntuhkan hatinya. Ellisapun merapatkan duduknya disamping Agusta yang sibuk memegang stir mobil.
_________oooo___________

Ellisa sontak berteriak kegirangan seraya berlari kecil menuju papinya, yang emang udah lama menunggunya. Keduanya lantas berpelukan mirip adegan sinetron. Rasa kangen antara keduanya memang langsung dilampiaskan dengan peluk manja antara bapak dan anaknya yang paling dimanja.

Agustapun segera mendekat mereka yang lagi kangen-kangenan, kentara dari sikap mereka, bahwa papi Ellisa sangat menyayangi putri bungsunya itu, demikian juga sebaliknya. Maka wajar saja, bila sikap papinya Ellisa sangat memperhatikan Ellisa dalam segalanya, termasuk juga bersikap hati-hati terhadap temen-temen Ellisa.

”Oh silakan duduk, ini temanya Ellisa, ya ? ” seru Pak William Laksono bapaknya Ellisa yang segera mengulurkan tangannya untukmemperkenalkan diripada Agusta. Karuan saja Agusta segera menyambutnya dengan membungkukan badan pada lelaki separoh baya, tapi masih kelihatan ganteng dengan kumis melintang di atas bibirnya. Apalagi dengan hem yang bercorak garis dan gaul. Nampak sama sekali tidak terlihat angker, namun bersahaja dan lembut. Tidak sesuai dengan yang dibayangkan Agusta sebelumnya.

”Betul Om, aku Agusta temannya Ellisa ”
”Ellisa !, temenmu dibuatin minum dong !,Kamu tinggal di mana Gus ? ” .
”Saya tinggal di Seroja, Om ! ”
”Bapakmu kerja di mana ?, apa pengusaha ? ”
”Nggak Om, bapak hanya kerja di bengkel di kawasan LIK ”
”Lantas bagaimana nanti bapakmu membiayai kuliah kamu ” tanya Om William yang langsung menanyakan pada inti permasalahan. Agustapun menyadarinya, karena dia memaklumi sikap seorang ayah yang sangat mengkhawatirkan masa depan putri kesayangannya.

”Aku berhasil lulus masuk Undip dengan program khusus Om, lagian aku mendapat program bea siswa dari Undip. Sehingga bisa meringankan biaya kuliah Om ”
”Oh...sungguh pandai lho, kamu Gus !. OK deh belajar yang tekun ya Gus. Sekarang jaman serba susah, tapi lain lagi bila kita pandai, itu akan sedikit menolong kehidupan kita ”
”Iya Om, terimakasih nasehatnya. Sama seperti bapak juga menasehati seperti itu. Dan hingga kini aku tetap ingat nasehat bapak ”
”Bagus, itu namanya anak yang baik. Kamu kenal Ellisa dah lama ? ”
”Belum Om, baru saja saat Ellisa masih di kelas sebelas ”
”Boleh kamu berteman dengan anaku, asal jangan seperti anak gaul yang kebablasan seperti anak sekarang. Kamu nggak boleh macam-macam dengan anaku ”

”Oh nggak . Om. Saya adalah dari keluarga yang tidak mampu Om. Maka dalam segala hal, aku harus berhati-hati. Bila saya bertindak gegabah maka kasihan bapak-ibu ” jawab Agusta dengan lantang. Sama sekali tidak terlihat rasa canggung atau minder dari cowok ganteng ini. Hal ini menambah rasa kagum dalam diri Ellisa.

Meliahat situasi yang demikian Tante Rima, maminya Ellisapun Cuma tersenyum senyum kecil, berbeda dengan Ellisa yang hanya duduk dengan wajah yang ditundukan.
”Oh ya, kamu mau kuliah di Undip mengambil jurusan apa ? ”
”Jurusan sipil, karena yang paling aku sukai Om ? ”
”Bagus semoga kamu berhasil, yang tekun belajar ya Gus ! ”

”Baik Om ”
”Om denger dari putra temen Om, yang satu sekolah denganmu. Kamu banyak yang naksir ya ! ” tanya Om William.
”Ah nggak tahu Om, itu cuma pendapat mereka. Yang jelas saya dipercaya temen-temen untuk menjadi ketua osis. Sehingga tiap hari banyak dekat dengan mereka
”Tapi banyak yang naksir kamu kan ? ”

”Persisnya aku nggak tahu. Kadang mereka sering ke rumah. Namun selalu saya anggap temen biasa, temen untuk urusan organisasi ”
”Ntar kamu bosan dengan Ellisa kalau lu nantinya banyak dekat cewek ca”em”
”Tapi aku baru kenal cewek yang cuakep hatinya Om, kalau cakep wajahnya sering aku menemukan. Seperti yang dinasehatkan bapak dan ibu, untuk tidak sembarangan bergaul dengan cewek, meski cukup banyak yang deket dengan aku, Om ! ”.
Om William tidak mampu lagi meneruskan obrolanya itu, yang ada di hatinya kini hanyalah rasa kagum terhadap cowok yang ada dihadapnya. Mungkin dalam hatinya mulai timbul rasa percaya dengan kejujuran cowok ini. Kehati-hatian dirinya dengan semua temen dekatnya Ellisa memang cukup beralasan, karena Ellisa putri bungsunya adalah segala-galanya bagi dia.

”Om tak istirahat dulu ya, karena semalam rapat proyek di Jakarta sampai larut. Pagi-pagi tadi Om sudah di bandara mengejar pesawat ke Semarang yang paling pagi, karena kangen dengan Ellisa. Ayo silakan di minum ”
Ternyata sikap papinya Ellisa biasa saja, layaknya seorang bapak yang ingin melindungi putrinya. Agustapun hampir tak percaya dengan dirinya sendiri atas keberaniannya itu, berbeda dengan bayangan kengerian sebelumnya menghadapi bapaknya Ellisa.

Namun itu semua ia lakukan demi tetap dekat dengan cewek pujaan hatinya, yang kini duduk di sebelahnya. Dan merekapun kini saling pandang. Sebuah ucapan kecil terdengar dari mulut Agusta.
”Lis, kamu cuakep bener. Aku sayang ama kamu ” . Ellisapun hanya memandangi Agusta, dan tak lama kemudian dia hanya menundukan wajahnya. Sangat berbeda jauh dengan Ellisa dulu. Ellisa sekarang adalah Ellisa yang penuh dengan kesejukan dan dambaan hati Agusta.
_____________ooo_________

Senin, 13 September 2010

Di Tengah Debu Terminal Gombong

Jarum jam melempar pandang
penuh kebencian…
hendak mencabik seluruh badanku
meski telah kukayuh langkah
memburu debu
bis bis kumal

Aku menyongsong bayangmu
Agar tidak ketinggalan
mendapatkan senyumu
kala memilin benang cinta
di tepian Sempor

Kau menambahkan warna lembayung
Pada langit biru di tengah hari
Lantas aku beri warna putih
Dari jiwaku yang lugu
Kau menambatkan wajah ayumu
Pada tepi Sempor yang mengusung ketidaktahuan

Di Terminal Gombong
Aku jinjing kerajang cinta
Agar disimpan jauh
di sebuah sepi…..

Gombong, Kebumen 1985

Sebuah Penantian

Selalu aku sambut mesra bila Camelia berhasrat merengkuh apa yang menurutnya indah, yang selalu tersimpan di sudut hatinya. Apalagi bila hasratnya itu berhias dengan senyuman mesra yang mengawali setiap perjumpaan kita. Saat itu sang bidadaripun berhenti mengepakan sayapnya, kupu kupu di dahan bunga yang mekar pun ikut mengerlingkan mata, bila hati ini sedang bertaut dengan telaga warna yang selalu di beranda hati. Tetapi gambaran dalam kanvas hatiku tentang Camelia kini hanya gambaran suram, seiring dengan tangan Camelia yang meluruh dari genggamanku.

Pagi tiada bosannya menampakan wajahnya dengan semburat kuning sinar mentari, seakan tahu persis hatiku yang sedang galau lantaran kenangan itu selalu saja hadir, Camelia adalah diriku yang ada di hati diriku sendiri., layaknya fatamorgana yang selalu membungkus bilah hati ini.

California di bilangan negeri Paman Sam, adalah tanah terkutuk yang mampu menyeret Camelia yang tiada berdaya, yang harus tinggal di tanah ini, lantaran harus mengikuti papinya bertugas di bilangan itu. Hanya tatap mata sendu Camelia yang mengucapkan selamat jalan, ataukah tangis dia yang mengucapkan selamat berpisah, nampaknya sesuatu yang sudah melekang kuat telah mengaburkan realitas ini semua. Camelia tak satupun mengucapkan selamat berpisah, namun akupun tiada mungkin memburu bayangnya hingga California yang aku sendiri tak tahu kemana arahnya.

“Apakah ini suatu perpisahan ?” masih terngiang di sendu hatiku ketika pertemuan terakhir di beranda rumahnya.
“Aku tak tahu, Bra !”
“Lantas apa aku harus menunggu ?”
“Aku tak tahu”
“Aku harus bagaimana ?”
“Aku juga belum tahu !”
“Menurutmu aku harus bagamana, Mel ?”
“Jadilah Bharata yang selalu kuagungkan, yang selalu mampu menjadi laki-laki jantan yang memegang teguh janjinya. Bila kau sanggup menungguku, akupun akan berusaha pulang ke Indonesia, meski tanpa papa. Tapi bila kau menginginkan perpisahan ini, kau harus jadi laki-laki yang bahagia dan selalu ingat padaku. Bra !,. Inilah yang mampu aku berikan padamu, aku nggak punya cara lain”, tutur kata Camelia hingga kini masih aku ingat betul, lantaran tutur katanya telah berubah menjadi molekul-molekul darah yang selalu mengalir di nadiku.

“Mel !,aku bukan Romeo dalam adegan drama Romie dan Juli, aku dan kau bukan pemeran adegan picisan seperti itu, tapi kita benar benar dalam realita hidup”
“Jadi kamu memilih untuk meninggalkanku, Bra ?” kedua tangan Camelia kini telah berada di leherku, bibir yang penuh pesona kini benar-benar berada di depan wajahku. Semilir angin kemarau terasa lebih riuh, di tengah udara dingin yang mulai menyengat Kota Bandung.
“Aku tak pernah sekalipun merengkuh sebuah perpisahan, sesuai janjiku, Mel ?”
“Lantas kita harus bagaimana, Bra ?”. Sebuah kecupan mesra dari gadis pujaanku, serasa meruntuhkan langit yang bertemaram sinar rembulan, dan bintang-bintangpun memilih untuk berselimut dengan gulungan awan hitam. Tidak seperti biasanya kecuman mesra dari Camelia diiringi denga matanya yang sembab lantaran dibasahi air mata pilu.

Aku tertegun dalam ketidaktahuan, apakah aku harus ikut ke California, sementara baru dua tahun aku kuliah di ITB dan tak mungkin pula aku meninggalkan bapak ibuku yang sudah uzur. Yang kini tinggal di Semarang.

“Mel, kalau aku harus married denganmu akupun tak keberatan, walaupun aku harus bekerja. Dari kecil aku terbiasa membantu bapak jualan di Semarang. Inilah jalan satu satunya”
“Bila papa mengijinkan akupun tak masalah. Hanya saja papa memintaku kuliah di Universitas California. Papa benar benar menginginkan aku sukses Bra, karena aku anak pertama. Sementara sama seperti bapakmu, papi juga sudah mulai uzur. Hanya akulah anak pertama yang diminta menggantikan bisnis ekspor-import ini. Lalu aku harus bagaimana, Bra ?”. tangan Camelia masih saja kuat bergayut di pundaku.

Terasa kebimbangan yang mencekam kini menggrogoti hatinya, demikian juga aku yang tak mampu mengurai benang cinta yang mengusut. Namun sebagai anak laki-laki yang sudah kenyang dengan cobaan hidup, akupun akan terus berusaha tegar. Demikian juga akupun harus benar benar mampu menguatkan hati Camelia yang mulai limbung, meski hati ini juga tak kalah dalam kebimbangan.

“Bra aku ingin kau malam ini jangan pulang,, duduklah disampingku sampai larut malam
“Mel, perpisahan ini memang berat bagiku, aku tak bisa berpikir harus bagaimana, tapi hari sudah malam. Aku harap kau dewasa, memang ini kenyataan. Bila Tuhan memepertemukan kita lagi, kenapa nggak…kita ketemu lagi !”
“Tapi besok pagi, kita sudah nggak ketemu lagi, Bra !. Sebuah perpisahan?, yang aku sendiri tak tahan menghadapinya “
“Lantas, aku harus bagaimana Mel ?. Aku yakin papamu menaruh harapan besar untukmu, demi masa depanmu. Kuatkan hatimu, Mel !. Aku harap kabar yang kuterima darimu nantinya, adalah kabar tentang kebahagianmu “
“Kok kamu ngomong, kaya gitu, Bra !. Kamu sudah lega dengan perpisahan ini, bagi seorang pria perpisahan seberat apapun akan mudah dilupakan, tapi bagi wanita sepertiku…” Camelia tidak mampu meneruskan lagi, dadanya kini berguncang, pipinya hanya dipenuhi oleh air mata.

Sementara daun palma yang berjejer di halaman rumah Camelia kini terpagut dalam kebisuan. Mereka seakan hendak menyimak episode tentang hidup yang diusung dua remaja yang mencoba menggapai masa depan dengan benih-benih cinta yang tumbuh jauh di dalam hatinya. Suara batuk batuk kecil Om Allan, papi Camelia sekali sekali terdengar dari dalam rumah besar dan kokoh itu.
Camelia merasakan tubuhnya bertambah dingin lantaran terbalut dengan angin malam Bulan Agustus yang kering dan dingin. Namun disamping pria pujaan yang kini disampingnya, pada malam terakhir mampu menepiskan kedinginan itu.

“Bra, aku minta tolong untuk malam ini ?”
“Tentu, Mel untuk siapa lagi diriku ini,kalau bukan untukmu?”
“Jadi kau tidak menghendaki perpisahan ini?”
“Aku tak pernah berpikir untuk meninggalkanmu, Mel”
“Kamu tentunya mau kan menungguku kembali ke Bandung?”
“Tentu, Mel. Tapi aku tidak suka sebuah luka hati”
“Maksud kamu gimana ?”
“Bila aku harus menunggumu, akupun minta tidak ada satu priapun pernah menyentuhmu. Kecuali itu pilihanmu yang terakhir, akupun nggak keberatan asalkan aku dikasih tahu. Aku akan menunggumu dengan penuh kejujuranku dan kejujuran kamu “
“Kamu kok punya pikiran, klo aku berkhianat “

Bhatara hanya diam membisu, anganya kembali ke masa lima tahun lalu ketika dia harus menerima kenyataan berpisah dengan Andry kala masih di SMA dulu, yang mencampakan dia begitu saja. Luka itu hingga kini masih membekas lantaran dia masih belum menemukan pembalut luka yang menyembuhkan luka dalamnya. Pertemuan dengan Camellia memang mampu sedikit menyembuhkan luka hatinya. Namun baru saja dia menggapai kembang warna warni pembalut luka, sebuah penantian harus dia hadapi.

“Kenapa, Bra”
“Ah..nggak. Aku cuma lagi membayangkan betapa kamu nanti di amrik jatuh ke pangkuan pria bule!”
“Ah kamu kok gitu, Bra !, aku akan menghargai sebuah penantianmu Bra” Kembali kedua tangan Camela menggapai leher Bharata, kedua tubuh insan yang dipagut dewa Amour itu kian mendekat membangkitkan kehangatan pada tubuh mereka dengan dada mereka yang saling berguncang.

“Bra, aku akan tetap setia, aku tak akan membuat hatimu terluka” desah bisik bibir Camelia kini persis di telinga Bharata. Bhatarapun kini merenggangkan pelukanya.
“Kalau kamu jujur sama aku, akupun akan menantimu di Bandung”

Kedua insan itupun tak mampu lagi melawan datangnya sang fajar. Kini rumah mewah mirip gedung kompeni menjadi sunyi.

Dan kini Bhatara memenuhi hari hari penantianya dengan hati berhalaman sepi. Metamorfosis detik, menit, jam hingga hampir lima tahun terasa memberati perjalanannya. Kini lamunanya berangsur memudar lantaran ujian skripsi menghadangnya. Namun tiba tiba saja, hari hari penantianya berubah wujud menjadi raksasa yang menghimpit tubuhnya,hingga terasa semua tulangnya telah berpisah dari dagingnya. Kala sebuah surat berada di kedua tanganya dengan nama Rista Camellia Anderson, yang kini menjadi warga negara amrik lantaran bersanding dengan Stewart Anderson. Seorag doctor ahli dirgantara.

Sang pria yang terpagut sepi dalam penatian itupun menjadi bertambah sunyi hatinya.

Minggu, 12 September 2010

Nyanyian Kosong Demi Sebuah Rindu

Memburu KaruniaMU
(Coretan dari Sastrawan Pinggiran)

Aku kembali terkapar….sementara…..
Langit masih menampakan kain sutra biru berenda
syahdu……
Di bawahnya bersusun angin yang meniup keteduhan
Tangga menuju pintuMU…
Telah aku sandarkan pada…
telaga bertepi untaian bulu gagak…
sementara aku biarkan mandi didalamnya

Aku terbangkan dengan nafas yang membulat
Agar menjauh dari “cermin miliku sendiri”
Atau aku yang hanya berani……
Mengayuhkan perahu berlayar getir
Berpilar duka lara

Sauh yang hanya untuk miliku
Tertambat pada bingkai hari yang menjauh
Sementara peluhpun memburu tepi tiada akhir
Aku lontarkan gemuruh nyanyian pilu
Agar terasa lega apa yang masih di tengah awan mendung
Aku coba mengaitkan pada seribu bidadari
Bermandi air sorga penuh warna

Tapi kembali, aku terjaga
Di tepi peraduan yang hampa menista
Aku kembalikan pula sebuah hasrat
Meraut ujung senja berlatar roda jaman bergigi tajam
Telikunglah aku…hingga penuh makna.

Semarang, 13 September 2010


Biarkan Aku Liar,

Biarkan seribu kuda binal
Berotot dalam hempasan apa yang di depan
Berkaki menebarkan debu yang menghitamkan wajah
Biarkan pula langit berjelaga.
Bergambar debu gunung yang liar

Biarkan fatamorgana di kaki langit
Akan aku robek
Layaknya pengantin putri yang berkhianat
pada jejaka di malam penganten

Biarkan pula aku tumpahkan telaga
Yang menyimpan seribu kebohongan
Akan aku tusuk juga mata burung hantu
Yang tak berkedip memandangku.

Akupun lari sekencang anganku
Merengkuh Jonggringsaloko tempat…..
Bidadari dan para dewa mengatur nafasnya
Akan aku tebas pula dengan nafsu amarah
Peraduan Gondo Mayit, tak perduli amarahnya
Ratu demit Bathara Durga,
Lantaran diapun takut dengan demit di hatiku
Aku dan hanya aku……
Yang mencoba melemparkan Ismoyo
Agar tiada penghalang lagi
Untuk terus liar yang kugalang..
Tuhan…..akupun bertepi.

Semarang, 13 September 2010

Larut Dalam Bening


Aku jadi larut…
Menjadi memudar ..segala yang meratap
Telah aku penuhi juga
Perjalanan menyebrang tujuan dalam hati
Menyelnap tiap lekukan tubuhku
Aku jadi dikemas daun yang melekang

Telah pula aku langkahi
Untuk satu mahkota bersusun seribu
Aku tiada arti
Hingga Tuhan sendiri memberiku arti

Semarang, 13 September 2010

Rindu Kepada KOTAKU

Sepanjang jalan merengkuh Semarang Bulan sabit bertepi pita jingga, aku sertakan pada deru debu. sepanjang jalan dengan gempita manusia yang mengais sebuah Kota Besar aku terjepit di dalamnya, Mana sawah ladang kalian atau hanya ditumbuhi ilalang dan belalang bukankah di pematang, juga terselip kehidupan selamat berjuang saudara Semarang, 13 September 2010

ARINI

Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?.

Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku.
”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku..

“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. Betapa aku tidak mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas pnggang. Namun dibalik keindahan wajahnya, tersembunyi hati yang keras sekeras batu karang di lautan.

“Mengapa, apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu. Aku manusia biasa lho Rin, apalah artinya Septian ? “ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan ketidaktahuanku.

“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! “. Sekali lagi aku coba, mungkin ini kata-kataku yang terakhir kali.
”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku disampingmu

”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” .
Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut.

Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu akupun melangkah pergi, sempat mungkin yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini. Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini.

Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu menundukan kehidupan ini, akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan. Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini demi kebahagiaan Arini.
Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku terima. Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun dibalik itu semua tersimpan hikmah yang begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri ini.

Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti bulan dan datanglah waktu hampir satu tahun . Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang sebuah kata maaf yang dia tulis dari rumah sakit.

Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras. Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama kali masuk SMA. Kini dia terbaring lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi. Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini hanyalah tatapan kosong untuk menerima kenyataan ini.

Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini.

” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata.
”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup Arini

”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa membesarkan hatinya.

”Aku tidak pernah merasakan perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ”
” Benar, Yan ”
” Sungguh ”
” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ”
” Tapi keadaanku begini, Yan ”
”Tapi, kau tetap Arini ”
” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta perpisahan ini, Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ”
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita tentunya masih bisa berbuat salah ”
” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !, aku minta kau menungguiku ”
” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ”

Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali.
” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati.

” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”.
Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan pertanda bahwa operasi berlangsung. Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.

Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang hidupku hampir tak berujung

Sabtu, 11 September 2010

BERCERMIN DI GAGAHNYA TANAH AIRKU

Merah Padam Ronamu

Ketika kita beranjak dari peraduan…
Bermandi semilir angin dari tenggara
Yang mengusung buih laut
Menuju pantai…
Tanpa berkawan lembayung jingga

Ada seuntai “janji”….
Yang meringkuk di kepalan tangan kita
Untuk menandu sang ibu pertiwi
Agar tiada lagi kerikil tajam
Yang tiada pernah mengerti akan iba
Dari sebuah perjalanan

Akupun hanya menguatkan pegangan
Agar tangan ibu yang keriput memucat
Bernafas lega…….
Mampu bermandi air bunga
Dalam gubug sederhana
Beranyam bambu
Berhalaman bunga melati, kenanga dan mawar

Jangan kau biarkan ibu
Merah rona wajahmu…
Terbawa angin debu mengusung biadab
Biarkan ibu bersemayan dalam cakrawala archipelago

Semarang, 12 September 2010

Episoda Negri Sebrang

Meski nasi dan jagung..
Beralasan piring tanah..
Dimasak dari tungku tanah liat…
Berteman sepotong ubi…
Tertata rapi di atas daun pisang

Kita terlahir dari lengan yang legam
Bahu yang melepuh karena terik matahari…
Mengatur beberapa nafas dari bilik bambu
Tapi kita rimbuni dengan pohon buah
Yang menjadi lalu lalang kenari, perkutut dan kutilang

Kita batasi gubug kita yang kokoh
Meski dari batang kayu nangka
Rumputpun menebar hijau
Yang tertata bagi permadani dewa.

Jangan kita sodorkan rembulan
Yang telah hinggap di atap rumah kita
Meski lantang dan angkuh mengusik
Dari negeri sebrang..yang nampak
berceloteh dari balik gedong loji
berkelambu sutra
belantai marmer pujaan para raja

Kita adalah kita…
Meski negri sebrang meradangkan
singa lapar, bersuara sampai ke ujung fatamorgana
tidak pernah di lingkaran langit nusantara
Kita surut untuk memangku nestapa
Kita mampu menerjang bak prajurit ‘segelar sepapan”
Dari Majapahit yang merengkuh negeri para dewa

Semarang, 12 September 2010

Bara Api dari Rumpun Bambu

Di tepian telaga
Tempat mandi bidadari
Sang jalak menawarkan bulu hitamnya
Pada kutilang yang bersayap putih
Kenaripun manyimpan rapat rapat bulu kuningnya

Sang perkutut diam membisu..
Meski dia ingin meminjam bulu merah
dari Cendrawasih

Telagapun menjadi bermandi kuning keemasan
Dari semburat sinar mentari
Yang mengalahkan warna bulu mereka semua
Namun tiada mereka mau membasuh
bulu mereka dengan air telaga…
Mereka malah menajamkan paruh dan cakar
untuk memungut sebuah bara…...

Tiada pernah mereka tahu.
Bahwa negeri gerimis ini …
Adalah negeri tempat mandi bidadari
Ketika Manikmaya membasuh mahkotanya
Untuk pertemuan agung esok hari…
Mereka tidak pernah tahu…..
di bawah lambaian daun nyiur di tepi pantai..
adalah tempat dewa melepas lelah
“Jayalah Negeriku”

Semarang, 12 September 2010

Menjaring Lazuardi ASMAMU

Langit telah membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit yang biru-terharu.

Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit

“Akulah sinar putih dari beranda langit”

“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.

“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”

“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”

“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...

Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.

Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”

“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.

“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.

Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.

Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.

“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.

“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”

“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”

“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”

“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “

“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”

Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.

Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.

Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.