Senin, 22 November 2010

Samepoint Social Conversation Search Ir. BAMBANG SUKMADJI | Discussion Points

Samepoint Social Conversation Search Ir. BAMBANG SUKMADJI | Discussion Points: "- Sent using Google Toolbar"

Ir Bambang Sukmadji | Mother Guides

Ir Bambang Sukmadji | Mother Guides: "- Sent using Google Toolbar"

Sebuah Sunyi Yang Penuh Makna

puspa prasasti aji
Saat Uttara yana menghembuskan angin berita…….
Tentang rumput hijau yang tiba tiba saja mongering.
Semua kawanan burung memekik tidak percaya
Seorang penggembala kerbau menyelinap ke pangkuan ibunya, seraya berkata:

“ Ibu seandainya, Sang Resi telah bersemayam di balik Mahameru, apakah masih ada lagi hari hari indah untuk anak miskin seperti aku ?”.
Saat itu sang mentaripun berkalang sejuta selendang bidadari, yang beranyam daun pandan semerbak harum mewangi, dan awan awan hitampun telah pulang ke peraduanya di balik Mount Everest.

Bulanpun di balik tirai kamar pengantinya telah sembab dengan air mata ksedihan
Sementara itu….., di pangkuan Sang Arjuna, Dewi Srikandi yang telah berslingkuh dengan Demi Amba, wanita dengan kulit kuning langsat, mengulum biji biji mentimun di bibir yang hangat menawan dan merah membara, tak ubahnya seperti merah mawar hasrat.

Demi sebuiah cinta Dewi Amba telah memperdaya busur waktu, untuk menjelajah dari episode ke episode berikutnya, guna sebuah pertemuan dengan Resi Bisma, pemuda tampan perkasa,halus budi pekertinya. Lantaran senyumnya semua Bunga Anyelir di Hastinapura menggelorakan kelopaknya.

***
Di Negara Kasi, saat Sang Resi Bisma telah menghamburkan sejuta sayap pesona, sehingga mata bening indah dari Sang Amba tiada lepas memagutnya.
Tersebutlah suatu Titah Dewa, bahwa Resi yang piawai tentang filosofis hidup,pikologi social dan pria Metroseksual serta cerdas, terbukti dengan sejuta prestasi akedemis yang pernah disandangnya berkat gemblengan Resi Bhrihaspati (Mahaguru ilmu politik ) dan Resi Vedangga (Mahaguru Ilmu Sosial ) dan ilmu perang dari Resi Parasurama. Mengikuti Sayembara tentang segala macam ilmu di Negara Kasi dan menanglah Sang Resi yang arif bijaksana tersebut.

Maka berserilah Dewi Amba yang telah merona jantung hatinya, gairah yang terpendam terus saja berkecamauk, . Namun Bisma telah bersumpah kepada dewa untuk tidak bersanding dengan siapapun. Maka merahlah wajah Dewi Amba dengan sekujur tubuhnya yang bergetar lantaran kekecewaan yang mendalam. Hatinya kini berkeping seribu lantaran langit jingga asmaranya kini menghitam jelaga.

Bahkan Sang Resi yang telah membulatkan tekad untuk menyerahkan jiwa raganya semata demi “kesentosaan hidup jalma manusia” terus saja melakukan tapa bratanya meminta Anugerah dan Petunjuk Kepada Yang Maha Kuasa. Bagi Dewi Amba sikap pemuda pujaannya itu, bukanlah halangan yang berarti, maka teruslah dia mencoba menggapai sebilah cinta yang agung itu.

Suatu saat pagi tersenyum gembira dihangati kuning langsat sang mentari yang genit, ilalang dan semak berhenti sesaat menggoyangkan badanya. Sang Merapi tiada lagi membarakan gelora amarahnya, tetapi duduk bersimpuh melihat adegan pertemuan dua insan manusia yang saling berjumpa. Sang Amba menagih janji lantaran Sang Resi yan telah memenangkan sayembara di negaranya itu. Di lain pihak Sang Resi tetap menginginkan tugas sucinya demi kedamaian umat manusia di bumi ini.

Keduanya Nampak bersitegang, kemudian berujung dengan ancaman Sang Resi dengan mengarahkan busur panahnya kepada Sang Amba, entah putaran bumi memang harus berjalan seperti itu, lepaslah anak panah dari busurnya secara tak sengaja hingga tewaslah Sang Amba dengan meninggalkan sebuah janji pada Bharatayuda kelak, dia akan menitis menjadi Dyah Woro Srikandi.

Gusti Ingkah Makaryo Jagadpun mengabulkan sumpah janji Sang Amba,dengan mempertemukan Sang Resi dengan Srikandi, yang berakhir dengan gugurnya Sang Resi.

Rabu, 17 November 2010

Senja Di Pantai Utara

Roda roda baja terus saja menggilas batang batang baja, yang terbujur dingin di keremangan senja, hijau tanaman padi yang dari sore terus saja berkejaran sepanjang jendela kereta yang berdebu, kini lelah dan terbungkam sepi. Hanya gertakan roda dan batang baja yang menyeruak ke telinga setiap penumpang yang tertunduk lesu. Angin sore pantai utara dengan usilnya menerobos kaca jendela kereta, dan membelai hitam rambut berderai sepanjang bahu milik seorang wanita yang tepat di depan tempat duduku.. Pasang mataku menjadi cemburu, menyaksikan dengan leluasanya angin nakal membelai rambut wanita itu.

Sepasang Mata Bola dari Jogjakarta, demikian aku memberi nama pada wanita terbalut misteri itu dan berkali aku dendangkan untuk membunuh sepi yang terus menjalar , apalagi sepasang mata bola yang kerap tertunduk malu di balik kaca mata bundar sekarang benar benar di depanku.. Kala kedua mata bundar tadi berpadu dengan tatapan mata eksotis miliku, aku tak kuasa lagi menghindar kala berjuta sayap membawaku terbang ke langit. Lantas akupun hanya terdiam lantaran bara api kini bersemayam di tenggorokanku yang mengganjalku hingga tak mampu berbicara sepatah katapun.

“Hai kau laki laki dungu, bukankah kamu laki laki dungu yang belum pernah mendapat sepotong cinta dari seorang wanitapun di dunia ini. Lihatlah dia sekali kali mencuri pandang mengamati kegantenganmu. Mengapa kau diam saja, dungu !!!! “ Sebuah suara dari bilik jantungku bertubi tubi menerjang anganku. “Ah..aku tidak mau sembaragan memperlakukan wanita, aku bukan durjana. Aku manusia yang menghargai segala sesuatu meski sudah menjadi miliku. Dengan cara beginilah manusia mampu menyemai benih kebahagian di dunia”.

Aku hanya bisa diam kala suara suara itu terus menderaku hingga diapun kini terdiam lantaran telah bosan menggumuli kedinginanku. Kereta semakin lama semakin melambat dan berhenti tepat di emplacemen tasiun Pekalongan. Aku menjadi terperangah karena jarum waktu membawaku secepat kilat dan separo dari perjalanan kini telah aku tempuh tanpa mampu menyelinapkan hatiku ke tengah sepasang mata bundar dalam Kereta Senja Kaligung.

“Tidak seperti baisanya Mba, kereta ini nyanggong di Pekalongan lama seperti ini. Biasanya paling banter hanya 10 menit “. Sang mata bola masih menyembunyikan matanya, kini hanya seutas senyum kecil kala mendengar sepotong suaraku yang mencoba membunuh hening suasana kita berdua.

“Mba belum pernah naik kereta ini, kan ?” kembali aku mencoba membuka tabir dalam hatinya dan kuharap sorot sepasang mata bundar ini mampu menguliti seluruh tubuhku.

“Iya, Mas aku baru kali ini, naik Kaligung ?” .



2
“Rupanya kali ini kita terlambat sampe di Tegal. Biasanya masuk Tegal jam delapan malam, tapi malam ini sudah jam setengah sembilan baru nyampe Pekalongan. Mba mau kemana ?”.

“Aku mau ke rumah Pamanku di Tegal “

“Alamatnya mana, Mba ?”

“Adiwerna ?”

“Tepatnya, Adiwerna sebelah mana ?”

“Aku nggak tahu !”

“Jadi baru kali ini, Mba kesana ? “

“Iya !”

“Padahal, kereta ini tiba di Tegal nanti menjelang tengah malam..Lebih baik Mba mencari saudara Mba saja yang ada di Kota Tegal. Adiwerna dengan stasiun kereta masih jauh, sekitar 10 km ?” , aku terperanjat, mengapa gadis sepasang mata bola ini berani menembus pekatnya malam. Padahal kereta senja ini akan memasuki Kota Tegal hampir tengah malam nanti. Lantas akupun sama sekali tidak tega bila sepasang mata bola ini menjadi takut, mengapa ini terjadi, mana ortunya, kakaknya atau teman setianya.

Sepasang mata bola terlihat merebahkan kepalanya di sandaran kursi kereta yang berwarna biru. Sorot matanya sama sekali tidak mampu menyembunyikan kepanikanya, apalagi putih wajahnya menjadi kian meregang. Sementara kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Pekalongan menembus gelap malam. Rasa iba mulai tumbuh dalam belukar hati ini. Terkadang aku memberanikan diri menyodorkan senyuman, agar lebih mendingin wajah yang sedang dipagut kepiluan. Sepasang mata bolapun dengan tesipu memberikan senyumanya pula, seketika sudut jantungku hanya dipenuhi anyelir, mawar jingga dan harum kembang lainnya.

“Mengapa kamu sendiri ke Tegal, kok nggak ngajak teman “

“Keadaan di rumahku sedang tidak karuan, semua warga Desa Srumbung di lereng Merapi dalam keadaan kacau, aku nggak sempat mengajak teman “

“Jadi Mba, siapa ya, sampai aku lupa belum tahu nama Mba. Jadi kamu korban letusan Merapi? ”.

“Aku Mila”

“Aku Hartomo, kenapa kamu ke Tegal, mana bapak ibumu, suadara-saudaramu ?”.
3

Tanpa diminta, aku tanpa ragu memberi namaku, lantaran mulai terselip dihati ini tentang perasaan ingin lebih dekat lagi dengan sepasang mata bola yang ternyata bernasib malang .
“Aku ke Tegal mencari Paman Indrawan, satu satunya kakak bapak, yang masih hidup. Seentara bapak menunggu Ibu yang sakit asma di Rumah Sakit Boyolali, juga adiku yang sakit”

“Oh jadi semua keluargamu mengungsi ke Boyolali “. Mila hanya memberikan senyum yang masam, pertanda dalam hatinya didera kegetiran.

“Betul Mas, dan sekarang semua tetanggaku berniat untuk transmigrasi. Mereka kebanyakan sudah ngeri merasakan kegarangan Merapi “

“Lantas bapak kamu juga mau transmigrasi ?”

“Itulah Mas, maka aku ke Tegal diutus bapak, untuk menyampaikan maksud bapak pengin pindah ke Tegal saja, hanya itu pesan bapak sama Paman Indrawan “

Mila tidak melanjutkan curhatnya itu, lantaran dia lebih suka mengajak curhat dengan lampu lampu penerangan sepanjang jalan Kota Tegal yang keminclong, atau lantaran sejuta kebimbangan yang memenuhi semua sisi jantungnya. Dia hanya diam membisu dan tak merasa ahwa sepasang mata Hartomo telah mulai menelanjangi semua lekuk tubuhnya.

“Mila, kita sudah sampai Kota Tegal, biar aku antar saja kamu sampai ketemu alamat pamanmu “. Mila hanya mengangguk kecil sambil memberi senyumnya yang agak cerah.

Udara Kota Tegal malam tengah malam itu terasa kering di tengah cuaca ekstrim. Kedua remaja bagaikan sepasang insane yang telah lama saling mengenal, barangkali diantara keduanya telah tumbuh perasaan yang aneh. Mila kini merasakan dewa fortuna berada disampingnya, setelah selama hampir 3 minggu dia merasakan kegetiran hidup di bawah tenda pengungsian.

Selasa, 16 November 2010

Nyanyian Duka Archipelago Yang Terkoyak

Birama lagu senja masih akrab dengan senandung, halaman pagi yang teduh…
Dibuai bulir asa dari kanvas lukisan hidup, yang mengalir dalam butir peluh milik
petani petani…yang menyisir sawah ladang dengan pematang yang rapi
Matahari terjerambab dalam kidung mesra, dengan kerbau yang mengeluh, benak benak yang teduh bersandar pada tali langit.

Namun tak tahu lagi kita, dalam seloroh dan cumbu alam yang berselimut keranda dan nisan. …….
Kita sambangi saja dengan menyodorkan sekuntum kembang setaman berikat tali sutra, agar sorot matanya tak lagi curiga, karena semalam sumpah serapah alam telah terhampar dalam wujud pesta petir, dan angin badai dari ketiaknya…..
Jangan ada lagi dandananmu yang koyak…..
Sehingga tsunami mampu menerobos,……
Tak ada lagi gincu tebal yang seronok menakutkan anak ayam yang bercicit
Menepiskan awan senja yang menghalangi keceriaanya.

Jangan pula gincu tebal yang berpupur “wedus gembel”
Biarlah kita sulam sudut bajumu yang koyak
Dengan pohon Waisor,………
Atau kita benahi Pantai Mentawai sehingga engkau mampu mencelupkan wajah jelagamu………..
Esok akan aku jinjing sebuah keberanian,
Dari kawan kawan satu desa yang sigap dan tak bersuara nyaring
Untuk menyulam langit………
Yang tertawan amarahnya alam,,,hingga membuat Archipelago terkapar dan teraniaya
Setelah seharian mereka berkubang amarah di pantai Aceh, Mentawai, Waisor, Pangandaran…….
Dan bersembunyi di puncak Merapi.

(Semarang, 17 Nopember 2010).

Rabu, 10 November 2010

Cinta Bertatap Sendu

sekar kusuma adji
Serba susah memang bagi Odie, bila hatinya telah liar ingin menerjang apa saja yang ada di dalam dadanya. Sesuatu yang dengan halus memekikan hasrat untuk mengenal lebih dekat dengan Sandy. Memang belum lama Odie mengenal Sandy, teman satu kampus di Fakultas Psykhologi Universitas Hamparan Bangsa. Namun kini apabila Sandy berada di dekatnya, hatinyapun selalu dipenuhi kunang malam yang selalu menggelitik dengan nakalnya, mencukil sisi hati ini untuk merapatkan sesuatu kepada bunga kampus itu.

Awalnya memang biasa saja, perjumpaan demi perjumpaan. Hingga mulailah guratan hati Odie berkata lain kala fakultas mengadakan kegiatan refreshing dan pelipur hati pada pasien-pasien rumah sakit yang butuh bimbingan psychologis. Tanpa ingin menengok sudut hati Sandy, Odie cowok yang cuek dengan segala macam Lady Performance tiba tiba saja runtuh hatinya berkeping

Acuh tetap saja menyelimuti hati dan wajah Oddie kala mereka berdua bareng dalam satu kelompok kegiatan bakti social itu. Mereka berdua saling menuai canda, yang semakin lama semakin akrab dan mulai mengenal sisi hati mereka masing masing. Oddie mulai merasakan getar asmara kala pandangan mata mereka berdua saling bepadu dan berakhir dengan goresan di hati Oddie yang mendalam.

Tugas bimbingan pada pasien pasien yang memilukan hati, hari itu usai sudah. Meninggalkan rasa penat dan lapar di tubuh masing masing praktikan. Ada keraguan di hati Oddie kini tentang rencananya mentratrik makan siang Sandy di kantin rumah sakit. Hatinya masih diterkam rasa khawatir entah apa, Di sisi lain hatinya mulai galau ingin segera Oddie melebarkan sayapnya dan merengkuh Sandy untuk terbang dan berjalan di awan, Namun disisi lain, Sandy hanyalah teman satu krlompok praktikan, toh hal yang biasa bila dia berbuat baik pada Sandy. Atau karena pesona yang selalu ditebarkan Sandy, memaksa Oddie untuk menuruti kata hatinya yang lebih ditelikung romantis.

“San, aku cape dan lapar kita ke kantin, OK ?”.
“OK lah, aku juga dah lapar, sekalian aku mau nyiapin berkas laporan di kantin“
“Ah.kalau untuk laporan biar aku kerjain di rumah aja, sekarang kita butuh refershkan ?”
“Oh, dewi fortuna alangkah beruntungnya aku hari ini, udah ditlaktir makan siang dibuatin laporan lagi “
“Dewi fortuna kayanya lebih dekat aku hari ini San, ketimbang sama kamu “
“Alasanmu ?” tanya Sandy “ Kan harusnya aku yang beruntung, kok malah kamu ?”
“Iya lah, eh tapi nggak tahu ?”
“Kok nggak jadi ngomong, sejak kapan Oddie jadi cowok pemalu ?”
“Nggak tahu lah San, aku lagi cape aja, lagi nggak suka ngomong “
“Katanya kamu mau refresh tadi ?”
“Iya, inikan sudah refersh, bisa canda sama kamu “
sekar kusuma adji
“Bisa aja kamu Oddie”

Oddie sendiri tidak tahu persis, mengapa kali ini dia bisa sedekat itu dengan Sandy. Padahal selama ini dia hanya tersihir hatinya dengan lagu lagu ciptaanya sendiri, apalagi bila sudah di atas pangung dengan sesatu yan paling dekat dengan dirinya, yaitu hanya sebuah gitar elektrik. Jeritan hatinya hanya dituangkan dengan string elektrik sambil berjingkrakan mirip gitaris Jimy Hendrik. Dan kalau sudah begini, beribu kunang malampun beterbangan disisinya.

Rocker yang satu ini, memang telah mati hatinya terpagut oleh benang sutra cinta milik Evelyn beberapa tahun silam, saat mereka mengucapkan perpisahan sebelum kanker otak membisukan Evelyn selamanya. Namun Evelyn lainya datang menjemputnya dalam sebuah metamorfosis berupa getaran string elektrik, penuh nada eksotis dan terkadang melangkonis. Disitulah Oddie merasakan kehadiran Evelyn kembali, apalagi bila dia membawakan lagu Are You Lonesome To Night kesukaan Evelyn. Bunga bunga cinta yang terus saja membara namun hanya kesemuan yang Oddie dapatkan.

Terbesit dalam angan yang nakal dari Oddie, mungkinkah Sandy mampu menggantikan Evelyn, yang memiliki pesona hamper menyerupai Evelyn.

“Eh, melamun, mana bisa kamu refresh,kalau terus melamun kaya gitu “ . Sebuah teriakan kecil Sandy membuat kedua kaki cowok ganteng itu kembali menginjak bumi, setelah lama Oddie terbawa angan mengunjungi persinggahan Evelyn di langit biru.

“Ah, nggak San, aku cuma kecapean, semalam aku corat coret buat lagu “
“Aku heran sama kamu, kadang kamu kelihatan enjoy, tapi kadang kelihatan murung dan melamun. Sorry ya Oddie, kalau aku nimbrung privasimu”

“Ya nggak apa apa sih, hanya saja aku seorang penulis lagu. Meski belum ada laguku yang masuk rekaman” getar suara Oddie terdengar jelas, pertanda dia tidak menuturkan lisanya sesuai dengan kata hatinya. Sandypun mampu menangkap gejolak hati yang ada di dada Oddie.

“Kamu lagi naksir cewek ya Odd ?”
“Ah, kaya anak kecil aja, an !”
“Lho, emangnya kamu si gaek yang loyo ?, kamu kan masih muda ?”
“Ah, nggak kaya gitu, San!. Ku nggak gampang naksir cewek”
“Emangnya kenapa ?”

Seteguk es jeruk terakhir bagi Oddie kini membasahi tenggorokanya, ditengah mereka berdua yang kini bertambah asyik lagi untuk saling mengelupas jantung hatinya masing masing. Kini lebih kerap Oddie melempar sorot matanya pada wajah Sandy, yang kadang dibalas dengan senyum bunga kapus itu. Seketika itu Oddie merasakan bayangan Evelyn dating menjenguknya dengan wajah yang meradang kemarahan dan wajah cemburu yang membuat selama ini hati Oddie mendingin bagai salju, seketika itu pula Oddie beusaha menepisnya.

“Sudahlah Evelyn, hiduplah kamu dalam kehidupanmu. Biarlah aku hidup kembali bersama Sandy untuk mengarungi dunia yang bertaman kembang warna warni seperti yang dulu pernak kau janjikan”, bisik hati Oddie terus menggumpal di sudut jantungnya. Sementara itu semua ruangan di rumah sakit itu kini mulai ramai oleh pengunjung yang berniat menjenguk saudara dan kerabat yang sakit. Lantaran hari telah ditelikung senja, pertanda mereka harus bergegas pulang di tengah hari yang melelahkan.

“Aku antar kau pulang, San !”
“Aku booking taksi aja, kasihan kamu cape kan, Odd ?”
“Ya cape, tapi nggak apa, aku kan belum tahu rumah kamu” Sandy hanya melempar senyum halus dan lembut, Kini mobil Oddie melaju menembus keremangan senja bersama dengan hatinya yang kini mulai ditanami bunga bunga cinta.

Minggu, 07 November 2010

Wedus Gembel

Semua melempar pandang, satu dan lainya
Dan berebut  roti, lauk, sayur dan kue manisan
Bila saja “Semar “ mengkanvas dalam kolom Merapi
Lantas semuanya menjulurkan tangan
Hendak menyapa dara manis Merapi
Dan mengelus pada dahinya, Merapi yang menepis keangkuhan.

Bila Semar memberikan selorohnya
Lantas semuapun bergegas menyebar benih
Pada lereng, ngarai, sawah serta di tepi gemercik
Air pengharapan

Bila Semar merindukan bulan
Merapipun menyunting hasrat birahi dengan Merbabu
Tak pandang bulu, siapa yang menghias janur
Dan memberi kue selamat sang mempelai

Bila Semar menjulurkan tanganya
Pertanda telah berganti musin yang
Mengambar sebuah kedamaian
Bila Semar menadahkan wajahnya ke langit
Puja dan Puji untuk Sang Chalik
Harus terus menyatu dalam dada
(Semarang, 8Nopember 2010).

Jumat, 05 November 2010

Merapiku Mana Senyum Malumu ?

puspa prasasti aji
Merapiku Tak Pernah Hilang

Bila senja, menjelang malam
Engkau terlebih dahulu berselimut kain putih
Membalut dagu dan wajahmu….
Namun aku tetap memincingkan mata,
Dan sekali mengerling
Untuk menautkan pandang mata berbatas
Liuk tubuhmu yang biru
Bagai “Sang Kumbokarno” menanti…
perintah “Sang Rahwana”…
untuk menerjang siapa saja
yang pantas menerima, dengan dengus nafas
yang tajam bagai …
pagutan ular berbisa

Namun tetap saja akan kujinjing
Keranjang berisi wangi bunga
Untuk kutebarkan di atas puncakmu
Engkaupun akan berdandan lebih seronok
Bila telah kau lepaskan lilitan..
Pada kerongkonganmu yang kering
Lantaran tiada lagi tetes hujan…..
Membiramakan dadamu yang longgar
Karena gerigi roda jaman telah…
mengkhiatimu.,,,

Aku akan kembali, Merapiku…..
Engkaulah dara jelita
Meski telah kau pincingkan kelopak matamu
Hingga terlihat merah sorot matamu…
Redupkanlah, dara jelitaku…
Agar angina pagi mampu
Menelisik dan membisikan semua lekuk
tubuhmu ..ke seantero penjuru langit. (Semarang, 6 Nopember 2010)


Kemana Senyum Malumu

Bagai gadis remaja di halte bis
Kala menunggu teman, untuk menuai janji
Penuh mesra, berjalan sepanjang pematang
Yang melintang di tengah permadani kuning kehijauan

Senyum manja adalah kala kau…
Kepakan sayapmu…mengundang langit tak
bergurat taring dan kuku kuku tajam
kala air tawar pelepas dahaga
kau suguhkan pada biji biji ilalang
yang terbawa angin menguliti tubuhmu

Bila engkau tersenyum
Ranum buah pisang, papaya dan jambu
puspa prasasti aji
Tiada lagi berseloroh dengan pupur …
Dengan nafas tersengal
Meski sempat mereka menyodorkan kedua tanganya

Agar engkau menggetarkan bibit
Menjadi senyuman di akhir tahun ini…(Semarang, 6 Nopember 2010)


Jangan Ada Lagi Pilu Hati

Saat kau buka jendela rumahmu
Batuk batuk kecilmu
Sempat terdengar oleh kawanan kenari
Dan bertanya…
Mengapa kau lipat pagiku
Padahal belum usai aku berjemur
Di sepenggalah matahari
Kenariku terbanglah memenuhi langut biru…(Semarang, 6 Nopember 2010)


Aku dan Kau

Jadilah satu…
Agar kita mampu
Bermain di kaki langit
Agar semua bibir
Tidak terkunci rapat
Telah lupakah kau
Pada seutas tali
Yang kita mainkan
Engkau dan aku
Saling memamndang jendela langit

Tetapi dengan
canda…tetap kau
sodorkan
Bukan lagi
Dengan wajah
Saling bersungut sungut
Kau buka lebar lebar
Jemarimu yang memercikan
Air bunga
Bagai air mandi pengantin baru.
Kau tak pernah kulupakan …(Semarang, 6 Nopember 2010)


Jangan Kau Abaikan Merbabu Kasihmu

Saudara kembar menjulang
Bagai payudara sang bidadari
Merbabu hanya diam termenung
Di depan serambi langit
Sedangkan kau
Menebar dahaga
Pada kawanan ilalang

Bukankah lebih baik
Engkau bermain sepanjang hari
Dengan Merbabu
Sang dara jelita
Yang tertunduk malu

(Semarang, 6 Nopember 2010)

Merapi Dan Sebuah Cinta

Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.

Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.

Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.

Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.

Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni. Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.

Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.

Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi, mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.

Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.

“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya menghilang entah kemana “

“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”

“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “

“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”

“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”

“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “

“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “

“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.

Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.

“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung. Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.

“Maya kau di mana ?”

“Anto, aku dalam lubang ini ?’

“Maya!, kau tidak apa-apa ?”

“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidakbisa naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.

“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “

“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.

Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.

***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.

Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini. “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.

Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.
***

Selasa, 02 November 2010

Peraduan Yang Hangat

Berkali kali Mahendra mendenguskan nafas panjang sambil mengkerutkan alisnya dan terus mengganti beberapa kali chanel televisinya. Setelah yang dia dapatkan hanya tayangan anarkis yang dilakukan pendemo dari beberapa kalangan. Lengkap dengan penuturan reporternya tentang kerugian harta benda dan tak jarang korban luka luka yang diakibatkan anarkisme itu. Tak urung juga tayangan tentang pertikaian petinggi negeri ini, yang justru ikut mempengaruhi meradangnya rakyat yang telah diliputi oleh berbagai macam kesulitan hidup. Kini ulahnya bertambah tidak dapat dimengerti, kala mulutnya mulai mencaci maki entah di arahkan kemana, setelah sebuah tayangan melaporkan tentang kenaikan harga untuk barang apa saja.

Sementara istrinya sibuk di dapur menanak nasi dan menghangatkan sayur asem dan ikan asin, sebuah menu yang menjadi kesukaan Mahendra dan anak istrinya. Menu sehari hari mereka semua didapatkan hanya dari sayur sayur yang dipetik dari kebun belakang rumah. Namun ikan asinya memang harus dibeli dari pasar, itupun setelah Rakhmawati menjual beberapa telur ayam kampung. Terkadang Mahendra sengaja menyembelih ayam kampungnya, agar anak anaknya tidak bosan dengan menu sayur dari kebon belakang rumah.

Sang istrinyapun hanya tersenyum mendengar cacian suaminya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Terkadang pula suaminya bersikap sok piawai dalam beberapa hal. Sehubungan dengan beberapa ulah anak bangsa yang ada ada saja, yang mampu menghangatkan atmosfer Negara ini dan menampilkan sikap yang tak sepadan dengan budaya asli masyarakat yang melingkungi mereka.

“Huuuh..negara kita ini ibarat rumah tak jelas menghadap ke mana. Mengapa banyak masyarakat dan oknum pejabat yang gampang naik pitam “. Tanpa meminta persetujuan dan pedapat istrinya, berkali kali Mahendra melontarkan sebuah caci maki. Sementara itu istrinya segera menyajikan makan malam mereka semua. Di depan televise mereka bersama sama menikmati hidangan hangat dan sederhana, namun sama sekali tak pernah mereka keluhkan.

“Bisa bisa Negara kita hanya tinggal nama bila terus terusan tercampak dengan berbagai tindak anarkis !”. Sambil melahap nasi hangat Mahendra terus saja berceloteh mirip jurkam parpol di masa kampanye.

“Ya, biar saja, Pak. Asal kita pandai pandai menjaga sikap , jangan seperti mereka “

“Ya, nggak gitu to, Wat. Mereka seenaknya membuat ulah, sehingga membuat resah wong cilik seprti kita. Kalau sudah seperti ini banyak pedagang besar menaikan harga barang barang. Coba yang rugi siapa?, mereka para pemimpin apakah merasakan seperti ini ?”.

“Hmmm….memang repot kalau sudah seperti ini, Pak !. Tapi bagai kita yang penting pandai pandai menyikapi saja !”.

“Sikap yang seperti apalagi, Wati ?”

“Paling tidak, kita harus tabah menjalani kehidupan ini, bersama kita menyekolahkan ketiga anak kita hingga sampai perguruan tinggi. Meski kita hanya lulusan SMA dan keluarga kecil yang hidup di desa. Namun anak anak kita jangan sampai seperti kita. Tentang carut marutnya negeri ini kita sikapi dewasa saja, habis perkara !”

“Tambah pandai, kau Wati ?. Siapa yang mengajarimu ?”

“Siapa sih Pak yang mau mengajariku ?, Siapa pula yang mau perduli dengan kehidupan orang desa seperti kita. Namun tekanan hidup dan ketabahan kita bersamalah yang mencetak kita menjadi orang dewasa”.

“Kau ini terlalu idealis Wat, Kamu cuma memikirkan kepentingan diri sendiri. Bila setiap masyarakat Indonesia berpikiran seperti kamu, mana ada demokrasi?, mana ada pembaruan dan kapan kita maju ?”.

“Kamu juga jangan ego, Pak !. Apa hanya laki laki yang boleh berbicara masalah politik saja. Aku bicara seperti ini, karena sebagian besar ibu ibu berpendapat sepertiku.Mereka tidak butuh partai !, mereka tidak butuh ini dan itu! , mereka butuhnya hanya kedamaian”

“Kamu dengar dari mana ?”

“Pak, aku kan pedagang barang kelontong di pasar, aku kenal banyak ibu ibu di sana. Juga saat aku hadir di arisan RT dan dasa wisma ibu ibu PKK “

“Tapi memang kenyataanya demikian, bahwa negeri in telah bobrok, bayak korupsi dan lain sebagainya dan ini kenyataan ?. Apa kamu mengerti ?. Apa ibu ibu temenmu mengerti?”

“Ya ampun Mas, kalau cuma itu anak kecil saja mengerti. Tapi yang penting kita menjadi keluarga yang tidak mudah patah dan menyerah bila keadaan negeri kita sudah seperti ini”

“Itulah kesalahan kira semua, hanya mementingkan keluarganya masing masing?’

“Mas, jangan kamu gampangkan peran masing masing keluarga. Bila masyarakat kita disusun dari keluarga yang baik, tentu masyarakatnyaoun akan baik jua”.

“Kamu memang sok pintar, Negara harus diusung oleh anak bangsanya yang mau berkorban apa aja demi eksistensinya. Bukan diusung oleh anak bangsanya yang hanya cuma memikirkan keluarga masing masing. Inilah hancurnya Negara kita, karena merebaknya hedonisme, bermegah megahan, sehingga nasionalisme menjadi hilang lenyap “. Entah setan mana yang merasuki jiwa laki laki muda ini sehingga dia sekarang mirip anggota partai yang mempertaruhkan segala yang dia miliki demi visi yang dibelanya. Mahendra segera menghentikan makanya, meski nasi yang masih di piring makanya masih banyak tersisa. Mukanya kini merah membara. Sedangkan ketiga anaknya sudah merajut mimpi mimpi indah di tengah angin senja yang dingin dari Gunung Merapi.

Rachmawati istrinya kini hanya tersenyum, diapun tahu bahwa suaminya kini sedang diterjang amarah yang konyol. Dan bagi Rachmawati sikap kekonyolan suaminya itu bukan hal yang serius. Inilah cinta kasih yang menyatu dalam tiap nadi kehidupan mereka, menyatu dengan dinding rumahnya yang masih centang perontang, menyatu dengan atap rumahnya yang hanya tersusun dari asbes, menyatu dengan kebun sayur dan buah serta bunga bunga di halaman depan mereka.

Tanpa ada sapaan dan seberkas senyum Mahendra segera berlalu dari istrinya yang mulai sibuk membersihkan makanan mereka. Mahendra segera menuju peraduanya di kamar tengah. Tidak seperti biasanya dia selalu menyaksikan tayangan acara demi acara televise hingga larut. Apalagi belakangan ini dia sangat setia menyaksikan kejadian pilu saudara saudara dari Kepulauan Mentawai dan Gunung Merapi.

Rachmawati hanya diam membisu, meski hatinya sekarang tersenym geli menyaksikan tingkah polah kekanak kanakan suaminya. Bagi dia sikap suaminya ini hanyalah ego yang belum juga mau surut, meski mereka telah menyatu dalam segala hal hampir 15 tahun lamanya. Dalam hal ini dialah wanita satu satunya yang mampu menyurutkan ego yang konyol ini. Karena pada dasarnya mereka emiliki peraduan yang suci tempat mengurai segala permasalahan, menyatukan silang pendapat antara mereka serta merenanakan apa yang bakal mereka hadapi bersama esok pagi.

***
Pintu kamar tidur di bagian tengah mereka berderit, karena telah aus engsel engselnya dimakan jaman. Rachmawati segera medampingi suaminya yang diam seribu bahasa. Kala sang suami tercinta menolehkan wajah ke arahnya, seberkas senyum wanita desa itu berhasil mencairkan hati Mahendara yang semula sekeras batu karang. Mahendra segera menarik tubuh sang istrinya untuk mendekatkan tubuhnya, sementara wajah Rachmawati kinipun terbenam di atas dada yang bidang itu. Dengan penuh kemesraan tangan Mahendra tak hentinya mengusap rambut hitam pujaan hatinya itu.

“Tadi kiya ngapain, ya Pak ?” .Suara Rachmawati memecahkan sunyi peraduan mereka.
“Ah…nggak tahu ?”
“Kamu marah sama aku, Pak ?”
“Ya, tadi. Sekarang sudah nggak lagi”

Angin malam mengiringi dua ekor kobra yang saling memagut satu sama lain di atas peraduan yang basah dan hangat. Tidak perduli di luar sana manusia saling menjatuhkan satu sama lain, saling mengusung harta Negara dan saling berebut kekuasaan. Tapi bagi sepasang insane yang sederhana tapi berjiwa matang itu sibuk membenahi peraduan mereka yang tak pernah lekang. ***