Jumat, 10 Desember 2010

"The Endess Love" Di Malam Tahun Baru

Terompet kertas dengan leher angsa pendek dan panjang dengan vatiasi warna yang kontras dijajakan sepanjang tepi jalan Malioboro, Jogja. Meski malam tahun baru kali ini masih kurang empat hari lagi. Lampu lampu jalan dengan pilar berarsitektur mataraman kini juga ikut berdandan eksotis, meski bekas debu debu Merapi sempat membuat warna pilarnya mengusam. Namun Jalan Malioboro tidak pernah sekalipun memperdulikan itu, dia lebih menyodorkan daya tarik pesta akhir tahun menyambut datangnya tahun baru. Malioboro laksana gadis yang sedang menyemai gairah cinta untuk kekasih hatinya yang bakal menjumpainya di malam tahun baru.

Dengan beralas sepatu cat dan berkaos kaki tebal warna coklat muda, Michel menapaki trotoar Malioboro pada malam hari ini. Meski dia harus meliak-liukan tubuhnya kesana kemari untuk menghindar benturan dengan meja pajangan souvenir khas Malioboro, namun semua tak mampu mencabut kepiluan yang sudah tertanam jauh di sumsum tulangnya.

puspa prasasti aji
“Selamat bahagia, Leila. Meski suatu pihan yang berat bagiku. Namun salah satu dari kita harus berani berkorban” Tangan Leila dipegangnya dengan erat, di tengah wajah Leila yang hanya mampu mengguratkan kebimbangan. Pertemuan mereka berdua memang terjadi di malam tahun baru 5 tahun lalu di Rotterdam Café di Malioboro. Sementara gerimis terus saja menyelimuti hati mereka berdua yang sedang tertusuk kepiluan. Namun anehnya hasrat cinta mereka berdua dan remaja remaja lainya yang memenuhi malam tahun baru kala itu, berhasil menghangatkan atmosfer malioboro.

Michel sengaja menapakan kakinya ke salah satu meja tempat 5 malam tahun baru yang lalu menjadi saksi pilu perpisahannya dengan Leila. Meja itu belum berpindah posisi meski lima tahun sudah ia tinggalkan. Belum pernah sekalipun dia menapakan kedua kakinya di Rotterdam Café ini, apalagi meja yang sanggup menghadirkan bayang Leila itu. Apalagi ornemen restoran itu sekarang berubah jauh dengan 5 tahun lalu, sekarang dipenuhi ornament dengan gaya western coboy, ditengah hangar bingar music country slowrock tempo dulu. Tak pelak lagi lagu The Green Green Grass, Boulevard terngiang ditelinganya.

Malam terus dengan egonya merambat menyambut saat saat pergantian tahun, udarapun terus bertambah menggigit tulang sumsum karena gerimis terus saja menawarkan siapa saja un tuk mencari kehangatan. Sebagian pengunjung café itu merasakan malam menjadi bertambah hangat dengan cumbu rayu dan buaian asmara dengan sang pujaan hati mereka. Hanya Michel saja yang terus merasakan jantung dan hatinya yang lepas dari rongga dadanya, kini sebuah lagu dari Elvys Presley “Are You Lone Some To Me” serasa berhasil menghadirkan Leila di sampingnya. Namun sebuah belaian tangan halus kini terasa menyentuh pundaknya, diapun menoleh kearah belakang dan sebuah senyum merayu dari seortang wanita penghibur café diberikan padanya.

“Maaf menganggu !, daripada melamun, kita nikmati saja malam tahun baru ini dengan dance !. Supaya malam ini terasa hangat. OK !” tangan halus wanita penghibur itu telah menarik pergelangan tangan kanan Mikhel.
2
“Oh, terimakasih. Aku lebih suka duduk saja disini sambil menikmati lagu jadul barat yang romantis”
“Kalau begitu boleh aku duduk menemani Mas malam ini”
“Oh tentu saja, silakan”. Mikhelpun menarik kursi yang ada disebelahnya agar sang wanita penghibur itu dapat leluasa duduk di sebelahnya.
“Terimakasih, sebaiknya kita ngobrol tentang apa Mas?. Atau Mas mau request lagu biar aku dampingi !”
“Trimakasih, panggil aku Mikhel saja, mau minum apa Mba ?”
“Sama dong !, kalau sama aku panggil saja Lisa, ah aku ngikut saja kamu mau minum apa”
Mikhel melewati malam saat saat menjelang berganti tahun dengan sejenak melepas kenangan terhadap Leila, meski Lisa hanya teman ngobrol saja, tapi karena dia gaul dan familiar terhadapnya, namun setidak tidaknya dia mampu menghibur hatinya yang terpagut sepi yang tiada henti dari tahun ke tahun. Apalagi sosok Lisa mirip dengan Leila, terbesit dalam benak Mikhel apa Leila kini menjelma menja di Lisa. Namun angan itu tertepis kala dia DJ Rotterdam Café mulai menyodorkan lagu lagu West Country yang lebih rancak.

“Mikhel, kamu kan suka nyanyi, ayo dong request lagu seperti beberapa waktu dulu !” sepotong kalimat terlepas begitu saja dari mulut Lisa, namun sanggup merontokan jantung dan hati Mikhel. Lantaran meski hanya sebuah pertanyaan, namun dia kini bukan berada di pub itu, angan dia menjadi melangkah surut kembali, kala dia dan Leila menyanyikan lagu “The Endless Love” di malam tyahun baru 5 tahun lalu. Mikhel kini berusaha meniti kembali kenangan itu, setidak tidaknya dari pertanyaan yang dilontarkan Lisa.
“Sorry Lis, mengapa kamu tahu aku dengan Leila request lagu disini dulu”
“Oh sorry, Mikhel. Kebetulan aku masih ingat saat kamu sama cewekmu menyanyikan lagu… ah.. aku sendiri lupa judulnya. Sorry Mikhel aku nggak control kata kataku?”
“Aku nggak tersinggung, Cuma memang kenangan itu begitu dalam bagi aku. Aku tidak menyangka kalau setelah Leila menyanyikan lagu itu, dia meminta suatu perpisahan. Karena suatu sebab dia harus married dengan dosen pembimbing skripsinya. Kini dia di mana aku tidak pernah tahu, aku sengaja ke pub ini hanya sekedar mengenang Leila kembali di tengah kesepian yang menyelimuti hatiku ini. Boleh aku tanya, mengapa kamu ingat kejadian itu”
“Saat Mbak Raras masih kerja disini dia sering cerita tentang kamu berdua”
3
“Siapa Mbak Raras ?”
“Dia teman Leila waktu di SMA dulu, Tapi kini dia tidak kerja disini lagi. Leila dulu sering main ke sini bertemu Mbak Raras, bahkan dia dulu sering menerima telepon dari Leila”
“Maaf Lisa, bukan aku sok seperti detektif swasta, tapi aku memang butuh kabar tentang Leila, meski hanya sebuah kabar saja aku sudah senang. Apa yang dikatakan Mba Raras tentang Leila sebelum dia pindah kerja”
“Leila minta doa dari Mbak Raras dan mohon maaf bila dia banyak bersalah dengan Mbak Raras”
“Ada apa dengan Leila ?” desak Mikhel pada Lisa, yang merasakan sesuatu layaknya dia menerima beban berat yang menindih semua rongga dadanya, jantungnya berdegu keras, serasa putaran nadi darahnya menjadi melonjak tak karuan.
“Maaf Mikhel, persisnya aku nggak tahu. Hanya Mbak Raras pernah cerita sama aku, kalau Leila mengidap penyakit kanker darah!”
“Kanker darah?, oh Leila di mana kamu sekarang ?”
“Maafkan aku Mikhel, aku membuatmu sedih ?”
“Tak apa Lisa, aku memang sengaja ingin menggali kenangan lama sebelum aku mencari pengganti Leila, aku tak ungkin terus memburu bayang Leila. Sedangkan aku putra tunggal. Mama papiku mendesaku untuk married secepatnya. Teruskan Lisa kabar apa lagi tentang Leila yang kamu tahu ?”
“Menjelang kepindahan Mbak Raras dari pub ini, dia sama sekali tidak lagi bicara masalah Leila. Namun dia suka bersedih bila ingat nasib Leila”
“Leila…Mengapa ?”
“Aku nggak tahu lagi, Mikhel ?, hanya kata Mba Raras dia masih menyimpan surat surat Leila di kamarnya”
“Terus sekarang suratnya di mana ?, apa sudah hilang ?. Tolonglah Lisa !, antarkan aku untuk bisa bertemu dengan Mbak Raras” untuk sekian kali, Mikhel mendesak Lisa untuk terus memburu bayang Leila, yang entah kemana setelah terhempas angin kembara yang tak pasti bertaut pada apapun.
“Kebetulan kamar Mba Raras sekarang aku tempati, dan surat surat itu masih ada !”
“Tunggu apa lagi, Lisa !. Sekarang juga antar aku ke kamarmu”
4
Mereka berdua kini melewati pintu bagian belakang pub itu, sesuatu dirasakan aneh oleh Mikhel saat Lisa merapatkan tubuhnya lebih rapat sambil menggandeng tangan Mikhel untuk berjalan melewati Malioboro menuju kamar Lisa, yang ternyata sebuah hotel berbintang. Berdesir sekali lagi perasaan aneh pada Mikhel, namun karena bayang Leila begitu kuatnya maka sementara itu keganjilan pada Lisa dia tepiskan.
“Inilah kamarku sekarang, Mikhel !”
puspa prasasti aji
“Oh sungguh bagus kamarmu. Lisa. Tapi mana surat itu, Lisa ?’
“Sabarlah dulu Mikhel sayang !, nanti aku berikan surat itu!”. Lisa segera merangkulkan kedua tanganya ke leher Mikhel, untuk mencium laki laki ganteng itu. Dengan penuh perasaan Lisa mencium berkali kali semua yang Mikhel miliki.
“Lisa, apaan sih, kamu mau menipuku ?”
“Lisa ?, Mikhel tidak ada yang bernama Lisa di sini ?”
“Jangan coba kamu menipuku Lisa ?”
Lisa segera melepas rambut wignya yang berwarna pirang dan melepas kaca mata bulat telurnya. Rambutnya yang hitam kini dia biarkan terurai sebatas bahunya. Mikhel merasakan langit yang ditunggu selama lima tahun kini runtuh sembari menaburkan bunga asmara pada mereka berdua.
“Leila…kaulah Leila…mengapa ?”
“Kenapa, ada yang salah tentangku ?. Kalau Tuhan menggariskan kita memang harus bersatu lagi, Kenapa tidak, kau masih mau menerimaku lagi ?”
Mikhel masih terpaku di sofa berwarna merah muda di kamar hotel itu, malam ini dia merasakan ketidak percayaan yang besar sekali, mengapa kenyataan ini begitu gampang terjadi di balik penantianya yang begitu lama.
“Mikhel, aku tidak menyalahkan kamu, rasa tidak percaya pasti menyelimutimu. Hanya saja aku perlu berpura pura menjadi Lisa untuk mengetahui apa kamu masih menginginkan kehadiranku, setelah aku membuatmu kecewa lima tahun yang lalu. Maafkan aku Mikhel ?, kalau aku langsung mengaku Leila, aku takut menimbulkan sakit hatimu ?. Maafkan ya sayang ?”.Kini giliran Mikhel yang sudah mampu menerima kenyataan, kemudian melepas kerinduan itu dengan peluk dan cium mesra untuk bunga sorga yang lama meninggalkanya.
“Aku punya permintaan sayang, ?”
“Katakan, saja ?”
“Kita nyanyi bersama “Endless Love” seperti lima tahun lalu?”
“Why not “
***
Pondok Sastra HASTI Semarang, 2010

Rabu, 01 Desember 2010

Aku, Kasihku Dan Waktuku

Jangan kau enggan lagi, kasihku…..
Untuk meniti apa yang kita punya, untuk membentangkan
Kata hati hingga menawan “Puncak Mount Everest”
Yang menangis pilu dan menyembunyikan wajahnya di ketiakmu….
Walau malam yang kau lewati mengutukmu sekeras hati.
Meski juga belum kau miliki hari hari beruntungmu
Dengan segelas air susu segar, penumbuh harap
Atau rumah pengantin beratap daun pandan
Dan berlantai keharuman…….
Dengan halaman luas bertanam bunga Anyelir

Bila sang waktu telah menyelinap di kantong bajumu
Embun pagipun mampu melonggarkan nafasmu
Kita mampu menyiangi sawah sawah berpagar lamtoro, daun milik
lenguh sapi, kambing dan domba milik kita, yang melingkungimu di pusaran.....
hari tanpa buruk sangka, sumpah serapan, gegap gempita
Bahasa hati yang serakah dan melekang tanpa bermandi…….
Gemercik air di tengah sawah kita.

Bila waktu kita telah tiba.
Tiada lagi wereng coklat atau wedus gembel, yang mengguratimu
Dengan lara hati…
Bila juga telah sirna panorama padang belantara
Dengan segudang panorama tanaman berduri…
Aku hanya mampu menyisipkan hati
Pada kesegaran air tawar dan sejuk dari telaga
Yang membentang di balik langit

Bila waktu kita tiba, kekasihku…..
Kita dirikan saja rumah bambu, yang berornamen Suralaya…..
Dari jendelanya kita mampu memandang “hati hati bersenyum kebon bunga”
Bukan hati hati layaknya singa lapar
Yang mampu mengoyak tabir zaman yang rapuh,
Biarlah anak anak kita mampu menepisnya
Dan bermain sesuka hati di beranda
“Awang Awang Semilir” yang bertangga “Amarta, Widarakandang, Jodipati
Rose Wiki 2010
Karang Kedempel” dan jargon para ksatria.

Bukan di beranda penuh kambing menjulurkan lidahnya
Karena ringkih termakan nafsu hedonism, suka memfitnah
Dan menganyam keranjang perseteruan
Kekasihku,….kita adalah anak bangsa yang…
Memiliki bilah hati,

(Semarang, 2 Desember 2020, Pondok Sastra HASTI Semarang).