Minggu, 12 September 2010

Nyanyian Kosong Demi Sebuah Rindu

Memburu KaruniaMU
(Coretan dari Sastrawan Pinggiran)

Aku kembali terkapar….sementara…..
Langit masih menampakan kain sutra biru berenda
syahdu……
Di bawahnya bersusun angin yang meniup keteduhan
Tangga menuju pintuMU…
Telah aku sandarkan pada…
telaga bertepi untaian bulu gagak…
sementara aku biarkan mandi didalamnya

Aku terbangkan dengan nafas yang membulat
Agar menjauh dari “cermin miliku sendiri”
Atau aku yang hanya berani……
Mengayuhkan perahu berlayar getir
Berpilar duka lara

Sauh yang hanya untuk miliku
Tertambat pada bingkai hari yang menjauh
Sementara peluhpun memburu tepi tiada akhir
Aku lontarkan gemuruh nyanyian pilu
Agar terasa lega apa yang masih di tengah awan mendung
Aku coba mengaitkan pada seribu bidadari
Bermandi air sorga penuh warna

Tapi kembali, aku terjaga
Di tepi peraduan yang hampa menista
Aku kembalikan pula sebuah hasrat
Meraut ujung senja berlatar roda jaman bergigi tajam
Telikunglah aku…hingga penuh makna.

Semarang, 13 September 2010


Biarkan Aku Liar,

Biarkan seribu kuda binal
Berotot dalam hempasan apa yang di depan
Berkaki menebarkan debu yang menghitamkan wajah
Biarkan pula langit berjelaga.
Bergambar debu gunung yang liar

Biarkan fatamorgana di kaki langit
Akan aku robek
Layaknya pengantin putri yang berkhianat
pada jejaka di malam penganten

Biarkan pula aku tumpahkan telaga
Yang menyimpan seribu kebohongan
Akan aku tusuk juga mata burung hantu
Yang tak berkedip memandangku.

Akupun lari sekencang anganku
Merengkuh Jonggringsaloko tempat…..
Bidadari dan para dewa mengatur nafasnya
Akan aku tebas pula dengan nafsu amarah
Peraduan Gondo Mayit, tak perduli amarahnya
Ratu demit Bathara Durga,
Lantaran diapun takut dengan demit di hatiku
Aku dan hanya aku……
Yang mencoba melemparkan Ismoyo
Agar tiada penghalang lagi
Untuk terus liar yang kugalang..
Tuhan…..akupun bertepi.

Semarang, 13 September 2010

Larut Dalam Bening


Aku jadi larut…
Menjadi memudar ..segala yang meratap
Telah aku penuhi juga
Perjalanan menyebrang tujuan dalam hati
Menyelnap tiap lekukan tubuhku
Aku jadi dikemas daun yang melekang

Telah pula aku langkahi
Untuk satu mahkota bersusun seribu
Aku tiada arti
Hingga Tuhan sendiri memberiku arti

Semarang, 13 September 2010

Rindu Kepada KOTAKU

Sepanjang jalan merengkuh Semarang Bulan sabit bertepi pita jingga, aku sertakan pada deru debu. sepanjang jalan dengan gempita manusia yang mengais sebuah Kota Besar aku terjepit di dalamnya, Mana sawah ladang kalian atau hanya ditumbuhi ilalang dan belalang bukankah di pematang, juga terselip kehidupan selamat berjuang saudara Semarang, 13 September 2010

ARINI

Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?.

Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku.
”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku..

“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. Betapa aku tidak mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas pnggang. Namun dibalik keindahan wajahnya, tersembunyi hati yang keras sekeras batu karang di lautan.

“Mengapa, apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu. Aku manusia biasa lho Rin, apalah artinya Septian ? “ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan ketidaktahuanku.

“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! “. Sekali lagi aku coba, mungkin ini kata-kataku yang terakhir kali.
”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku disampingmu

”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” .
Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut.

Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu akupun melangkah pergi, sempat mungkin yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini. Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini.

Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu menundukan kehidupan ini, akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan. Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini demi kebahagiaan Arini.
Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku terima. Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun dibalik itu semua tersimpan hikmah yang begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri ini.

Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti bulan dan datanglah waktu hampir satu tahun . Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang sebuah kata maaf yang dia tulis dari rumah sakit.

Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras. Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama kali masuk SMA. Kini dia terbaring lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi. Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini hanyalah tatapan kosong untuk menerima kenyataan ini.

Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini.

” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata.
”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup Arini

”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa membesarkan hatinya.

”Aku tidak pernah merasakan perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ”
” Benar, Yan ”
” Sungguh ”
” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ”
” Tapi keadaanku begini, Yan ”
”Tapi, kau tetap Arini ”
” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta perpisahan ini, Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ”
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita tentunya masih bisa berbuat salah ”
” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !, aku minta kau menungguiku ”
” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ”

Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali.
” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati.

” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”.
Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan pertanda bahwa operasi berlangsung. Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.

Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang hidupku hampir tak berujung