Senin, 13 September 2010

Di Tengah Debu Terminal Gombong

Jarum jam melempar pandang
penuh kebencian…
hendak mencabik seluruh badanku
meski telah kukayuh langkah
memburu debu
bis bis kumal

Aku menyongsong bayangmu
Agar tidak ketinggalan
mendapatkan senyumu
kala memilin benang cinta
di tepian Sempor

Kau menambahkan warna lembayung
Pada langit biru di tengah hari
Lantas aku beri warna putih
Dari jiwaku yang lugu
Kau menambatkan wajah ayumu
Pada tepi Sempor yang mengusung ketidaktahuan

Di Terminal Gombong
Aku jinjing kerajang cinta
Agar disimpan jauh
di sebuah sepi…..

Gombong, Kebumen 1985

Sebuah Penantian

Selalu aku sambut mesra bila Camelia berhasrat merengkuh apa yang menurutnya indah, yang selalu tersimpan di sudut hatinya. Apalagi bila hasratnya itu berhias dengan senyuman mesra yang mengawali setiap perjumpaan kita. Saat itu sang bidadaripun berhenti mengepakan sayapnya, kupu kupu di dahan bunga yang mekar pun ikut mengerlingkan mata, bila hati ini sedang bertaut dengan telaga warna yang selalu di beranda hati. Tetapi gambaran dalam kanvas hatiku tentang Camelia kini hanya gambaran suram, seiring dengan tangan Camelia yang meluruh dari genggamanku.

Pagi tiada bosannya menampakan wajahnya dengan semburat kuning sinar mentari, seakan tahu persis hatiku yang sedang galau lantaran kenangan itu selalu saja hadir, Camelia adalah diriku yang ada di hati diriku sendiri., layaknya fatamorgana yang selalu membungkus bilah hati ini.

California di bilangan negeri Paman Sam, adalah tanah terkutuk yang mampu menyeret Camelia yang tiada berdaya, yang harus tinggal di tanah ini, lantaran harus mengikuti papinya bertugas di bilangan itu. Hanya tatap mata sendu Camelia yang mengucapkan selamat jalan, ataukah tangis dia yang mengucapkan selamat berpisah, nampaknya sesuatu yang sudah melekang kuat telah mengaburkan realitas ini semua. Camelia tak satupun mengucapkan selamat berpisah, namun akupun tiada mungkin memburu bayangnya hingga California yang aku sendiri tak tahu kemana arahnya.

“Apakah ini suatu perpisahan ?” masih terngiang di sendu hatiku ketika pertemuan terakhir di beranda rumahnya.
“Aku tak tahu, Bra !”
“Lantas apa aku harus menunggu ?”
“Aku tak tahu”
“Aku harus bagaimana ?”
“Aku juga belum tahu !”
“Menurutmu aku harus bagamana, Mel ?”
“Jadilah Bharata yang selalu kuagungkan, yang selalu mampu menjadi laki-laki jantan yang memegang teguh janjinya. Bila kau sanggup menungguku, akupun akan berusaha pulang ke Indonesia, meski tanpa papa. Tapi bila kau menginginkan perpisahan ini, kau harus jadi laki-laki yang bahagia dan selalu ingat padaku. Bra !,. Inilah yang mampu aku berikan padamu, aku nggak punya cara lain”, tutur kata Camelia hingga kini masih aku ingat betul, lantaran tutur katanya telah berubah menjadi molekul-molekul darah yang selalu mengalir di nadiku.

“Mel !,aku bukan Romeo dalam adegan drama Romie dan Juli, aku dan kau bukan pemeran adegan picisan seperti itu, tapi kita benar benar dalam realita hidup”
“Jadi kamu memilih untuk meninggalkanku, Bra ?” kedua tangan Camelia kini telah berada di leherku, bibir yang penuh pesona kini benar-benar berada di depan wajahku. Semilir angin kemarau terasa lebih riuh, di tengah udara dingin yang mulai menyengat Kota Bandung.
“Aku tak pernah sekalipun merengkuh sebuah perpisahan, sesuai janjiku, Mel ?”
“Lantas kita harus bagaimana, Bra ?”. Sebuah kecupan mesra dari gadis pujaanku, serasa meruntuhkan langit yang bertemaram sinar rembulan, dan bintang-bintangpun memilih untuk berselimut dengan gulungan awan hitam. Tidak seperti biasanya kecuman mesra dari Camelia diiringi denga matanya yang sembab lantaran dibasahi air mata pilu.

Aku tertegun dalam ketidaktahuan, apakah aku harus ikut ke California, sementara baru dua tahun aku kuliah di ITB dan tak mungkin pula aku meninggalkan bapak ibuku yang sudah uzur. Yang kini tinggal di Semarang.

“Mel, kalau aku harus married denganmu akupun tak keberatan, walaupun aku harus bekerja. Dari kecil aku terbiasa membantu bapak jualan di Semarang. Inilah jalan satu satunya”
“Bila papa mengijinkan akupun tak masalah. Hanya saja papa memintaku kuliah di Universitas California. Papa benar benar menginginkan aku sukses Bra, karena aku anak pertama. Sementara sama seperti bapakmu, papi juga sudah mulai uzur. Hanya akulah anak pertama yang diminta menggantikan bisnis ekspor-import ini. Lalu aku harus bagaimana, Bra ?”. tangan Camelia masih saja kuat bergayut di pundaku.

Terasa kebimbangan yang mencekam kini menggrogoti hatinya, demikian juga aku yang tak mampu mengurai benang cinta yang mengusut. Namun sebagai anak laki-laki yang sudah kenyang dengan cobaan hidup, akupun akan terus berusaha tegar. Demikian juga akupun harus benar benar mampu menguatkan hati Camelia yang mulai limbung, meski hati ini juga tak kalah dalam kebimbangan.

“Bra aku ingin kau malam ini jangan pulang,, duduklah disampingku sampai larut malam
“Mel, perpisahan ini memang berat bagiku, aku tak bisa berpikir harus bagaimana, tapi hari sudah malam. Aku harap kau dewasa, memang ini kenyataan. Bila Tuhan memepertemukan kita lagi, kenapa nggak…kita ketemu lagi !”
“Tapi besok pagi, kita sudah nggak ketemu lagi, Bra !. Sebuah perpisahan?, yang aku sendiri tak tahan menghadapinya “
“Lantas, aku harus bagaimana Mel ?. Aku yakin papamu menaruh harapan besar untukmu, demi masa depanmu. Kuatkan hatimu, Mel !. Aku harap kabar yang kuterima darimu nantinya, adalah kabar tentang kebahagianmu “
“Kok kamu ngomong, kaya gitu, Bra !. Kamu sudah lega dengan perpisahan ini, bagi seorang pria perpisahan seberat apapun akan mudah dilupakan, tapi bagi wanita sepertiku…” Camelia tidak mampu meneruskan lagi, dadanya kini berguncang, pipinya hanya dipenuhi oleh air mata.

Sementara daun palma yang berjejer di halaman rumah Camelia kini terpagut dalam kebisuan. Mereka seakan hendak menyimak episode tentang hidup yang diusung dua remaja yang mencoba menggapai masa depan dengan benih-benih cinta yang tumbuh jauh di dalam hatinya. Suara batuk batuk kecil Om Allan, papi Camelia sekali sekali terdengar dari dalam rumah besar dan kokoh itu.
Camelia merasakan tubuhnya bertambah dingin lantaran terbalut dengan angin malam Bulan Agustus yang kering dan dingin. Namun disamping pria pujaan yang kini disampingnya, pada malam terakhir mampu menepiskan kedinginan itu.

“Bra, aku minta tolong untuk malam ini ?”
“Tentu, Mel untuk siapa lagi diriku ini,kalau bukan untukmu?”
“Jadi kau tidak menghendaki perpisahan ini?”
“Aku tak pernah berpikir untuk meninggalkanmu, Mel”
“Kamu tentunya mau kan menungguku kembali ke Bandung?”
“Tentu, Mel. Tapi aku tidak suka sebuah luka hati”
“Maksud kamu gimana ?”
“Bila aku harus menunggumu, akupun minta tidak ada satu priapun pernah menyentuhmu. Kecuali itu pilihanmu yang terakhir, akupun nggak keberatan asalkan aku dikasih tahu. Aku akan menunggumu dengan penuh kejujuranku dan kejujuran kamu “
“Kamu kok punya pikiran, klo aku berkhianat “

Bhatara hanya diam membisu, anganya kembali ke masa lima tahun lalu ketika dia harus menerima kenyataan berpisah dengan Andry kala masih di SMA dulu, yang mencampakan dia begitu saja. Luka itu hingga kini masih membekas lantaran dia masih belum menemukan pembalut luka yang menyembuhkan luka dalamnya. Pertemuan dengan Camellia memang mampu sedikit menyembuhkan luka hatinya. Namun baru saja dia menggapai kembang warna warni pembalut luka, sebuah penantian harus dia hadapi.

“Kenapa, Bra”
“Ah..nggak. Aku cuma lagi membayangkan betapa kamu nanti di amrik jatuh ke pangkuan pria bule!”
“Ah kamu kok gitu, Bra !, aku akan menghargai sebuah penantianmu Bra” Kembali kedua tangan Camela menggapai leher Bharata, kedua tubuh insan yang dipagut dewa Amour itu kian mendekat membangkitkan kehangatan pada tubuh mereka dengan dada mereka yang saling berguncang.

“Bra, aku akan tetap setia, aku tak akan membuat hatimu terluka” desah bisik bibir Camelia kini persis di telinga Bharata. Bhatarapun kini merenggangkan pelukanya.
“Kalau kamu jujur sama aku, akupun akan menantimu di Bandung”

Kedua insan itupun tak mampu lagi melawan datangnya sang fajar. Kini rumah mewah mirip gedung kompeni menjadi sunyi.

Dan kini Bhatara memenuhi hari hari penantianya dengan hati berhalaman sepi. Metamorfosis detik, menit, jam hingga hampir lima tahun terasa memberati perjalanannya. Kini lamunanya berangsur memudar lantaran ujian skripsi menghadangnya. Namun tiba tiba saja, hari hari penantianya berubah wujud menjadi raksasa yang menghimpit tubuhnya,hingga terasa semua tulangnya telah berpisah dari dagingnya. Kala sebuah surat berada di kedua tanganya dengan nama Rista Camellia Anderson, yang kini menjadi warga negara amrik lantaran bersanding dengan Stewart Anderson. Seorag doctor ahli dirgantara.

Sang pria yang terpagut sepi dalam penatian itupun menjadi bertambah sunyi hatinya.