Minggu, 26 September 2010

PELANGI Di ATAS ILALANG

Mungkin ini hari terakhir aku, ketika sudah melepuh kulit kakiku dan penat seluruh tubuh hampir menggrogoti hidupku busur waktu yang meluncurkan detik demi detik hingga busur waktu berikutnya. Tak segan pula mengencangkan semua otot tubuhku, demi sebuah “prosa hidup” yang mampu bertahan lantaran terselip di padang ilalang, di tengah hiruk pikuk manusia menebarkan kemunafikan dan lalu lalangnya durjana yang menguliti wajah kehormatan insan. Sebuah bisik hati yang menyerah kalah ini segera kutepis,hingga kabur entah kemana.

Aku dan Rosma mulai melekatkan sebuah pelangi,diantara terik matahari, gerimis ataupun hujan badai bahkan dikala langit berniat runtuh, lantaran kepengapan debu dan asap ego manusia. Pelangi itu tiada seberapa indahnya, namun aku dan Rosmapun mampu menitinya, dengan segala senyum Rosma yang “menawarkan hati” kami berdua selalu berpegangan tangan tangan ketabahan hati, dari gangguan durjana yang hanya berisi dasing dan tulang jemunafikan. Mereka layaknya iblis berbaju manusia. Yang siap melahap bilah hidup manusia yang tertatih.

Beruntung, meski aku dan Rosma adalah lengan lengan rapuj, namun pelangi yang kami gambar di langit telah bertaut kokoh di puncak Mahameru “kemulian hati” dan pungak Mount Everest “cita cita yang tak pernah memudar”, sehingga sebesar apapun raksasa Dajjal yang bakal menghempaskan kami selalu kandas di gulung ombak Laut Selatan yang kami semai di lubuk hati. Begitupun Rosma, wanita berkulit putih dengan paras ayu dan berambut ikal, yang pertama aku temui telah tergolek lesu di peraduan dunia yang beraroma hambar.

Sedangkan aku tak lebihnya biji ilalang yang terbawa angina kemarau terhempas dari tempat satu ke tempat lainnya. Bukankah manusia bijak akan terlahir dan dibesarkan dari berbagai benturan yang menderanya. Sehingga jadilah dia manusia yang berhati kokoh layaknya kekokohan benteng Shalahudin Al Ayyubi di negara Mesir. Inilah yang barangkali menjadi kekuatan diriku untuk menggapai tangan Rosma dan mengajak untuknya untuk kembali tegak berdiri, meski di padang ilalang.

Benturan benturan hidup layaknya bumbu penyedap hidangan di atas meja makan bambu di tengan rumah papan dan bertaplak kain lusuh, selalu saja kami hadapi dengan canda ria. Termasuk kala Rosma bercerita tentang rayuan rayuan gombal Om Junaedi yang berniat membeli tubuhnya, gairahnya bahkan sanggup membeli hidupnya.Laki laki tua bangka berhidung belang namun kaya raya itupun sanggup memberikan apa saja asal Rosmapun bersedia menuruti hasratnya mengayuh perahu di telaga yang menghitam airnya. Namun Rosma tiadapun mau bergeming, meski suaminya Adnan Handoyo adalah hanya seorang satpam di kantor perusahaan swasta.

“Lantas kalau aku menuruti kedurjanaan tua bangka itu, siapa yang akan menunggu Anis sama Ilham, Mas”, Rosma bergayut di lenganku. Hasrat hatinya hanya sekedar ngambek mengharap belay kasihku. Akupun tak kalah menggelitik hatinya, mengharap roman mukanya yang merah padam atau malu tersipu, kala aku disodori gambar wajah ayu Rosma penunggu kahyangan Jonggringsaloko tempat bersemayam Bathara Guru.

“Katanya kamu pengin punya mobil”
“Aduh,,Mas Adnan kenapa ngomong kaya gitu, sih !”
“Lho…barangkali aja kamu pengin”
“Aku memang ingin, Mas, Buka hanya mobil. Aku ingin punya rumah tembok yang kokoh kaya kantor kabuipaten. Ya Mas ?”
“Iya aja, pantesan kamu sering ngelamun “
“Nglamun apa “
“Ya , nglamun Om Junaedi, kan ?”
“Memangnya aku wanita segampang itu, Mas. Aku kasihan sama Anis dan Ilham. Aku hanya punya mereka berdua”
“Lantas, aku milik siapa ?”
“Ya sana, kembali aja ke Neng Herwati, cewek Bandung yang genit kaya Hema Malini”

Wajah itulah yang aku tunggu, kala bulan bersemayam dalam dirinya. Sembari dia merobohkan wajahnya di bahuku, ketika itu pula sama sekali hatiku menjadi teduh. Kekhawatiran selama ini yang selalu timbul di hati menjadi sirna. Meski selama ini Om Junaedi menawarkan rumahnya kepada Rosma, sebagai jaminan atas kehangatan yang bakal diterima dari bidadariku telah sirna dan berkeping menjadi debu terbawa angin Gunung Merapi.

Rosmapun kian menghangatkan tubuhnya dengan memeluku lebih rapat. Seakan dia tahu kegetiran hatiku kala mendengar tentang Om Junaedi, pemilik perusahaan tempat Rosma bekerja.

‘Aku melihat Anis dan Ilham tidur nyenyak, itu saja membuat hatiku teduh. Aku pernah meraskan kebahagian semu sebelum Mas Adnan memikatku. Bagaimana rasanya hati teriris dan menjadi berkeping. Aku tak mau terulang yang kedua kali Mas !. Apalagi anak kita lagi lucu lucunya, ada ada saja kelakuan mereka berdua tiap hari. Akupun larut dengan canda mereka, kelakuanku jadi mirip mereka berdua.Kamu bahagia Mas ?”

“Ah, kamu seperti anak kecil aja. Kaya gitu nggak usah kamu tanyakan !”
“Barangkali aja kamu masih mendambakan Neng Herawati, yang kabarnya punya salon yang besar di Bandung. Dia kenes dan genit kan, Mas ?”
“Baru saja kamu tanyakan aku bahagia apa nggak, sekarang kamu ungkit lagi masa laluku”
“Aku jadi cemburu Mas, kalau dengar kisah masa lalumu”
“Kan aku sudap pnya kamu. Lagian Herawati kan sudah marrid sama temenku. Bagiku yang sudah ya sudah ?”
“Tapi Mas kan dulu pernah jadi morfinis, saat kehilangan cewek jelita itu yang penuh janji-janji. Mas frustasikan ? ditinggal sama Herawati “
“Aduh ampun, Ros !. Secuilpun aku nggak bakal mengharap dia lagi. Setelah aku ketemu kamu dengan kekagumanku, aku sudah berniat membenahi diriku. Percaya Rosma ?”

Rosma segera menarik bahuku sembari menyodorkan ciuman hangat kepadaku, lantas pelangi warna warni itupun terbesit di tengah langit. Meski hari telah larut malam, langitpun berjelaga hanya kerlipan bintang bintang tersenyum ceria. Tapi itulah pelangi milik sebuah cinta anak adam yang kokoh terjalin dalam relung hati mereka. Kini dengus nafas dan peluh memnuhi kamar pengantin mereka berdua. Rosmapun menggelepar meniti pelangi di atas illalang. Kedua tangan insan itupun saling bertaut erat di tengah bara cinta yang menyala hingga akhirnya hilang ditelan sang fajar.

****
Waktu terus berjalan hingga sampailah perjalan itu hingga suatu sore, aku melihat Rosma pulang dari kantor dengan bulan yang tiada lagi bersemayam di wajahnya. Bahkan kedua matanya kini sembab. Wajahnya merah padam, pertanda selaksa derita membebaninya. Akupun segera mletakan harian sore yang sempat aku baca. Seribu misteri kini mengganjal halaman hatiku,

“Ada apa Ros !”
“Om Junaedi memang laki laki keparat !”
“Ada apa, dia menyakitimu ?”
“Nggak Mas !”
“Lalu apa “
“Dia kembali merayuku, bahkan kini dia lebih berani lagi?”
“Maksud dia bagaimana “
“Kini dia lebih gila lagi, aku mau diberi rumahnya yang di Magelang sekaligus mobil Xenia. Asal aku mau menempati rumah itu “
“Lantas aku mau tinggal di mana ?”
“Engkau dan anak-anak tetap di sini”
“Wong edan !, lantas kamu mau “
“Apa Mas sudah nggak percaya sama aku”
“Ya aku percaya Ros, tapi mengapa kau pulang pulang sembab mata kamu”
“Sebab kalau aku tolak, lebih baik dia nggak ngliat aku lagi. Dia tidak ingin tiap hari melihatku lagi”.
“Kurang ajar, besok aku ke kantormu!”
“Nggak usah , Mas. Dia melangkah seperti ini karena dia siap menerima resiko apapun. Dia mengancamku, apabila kamu berulah macam macam, dia tidak segan segan menyakitimu?”
“Aku tak perduli, masa laluku penuh dengan kekerasan, akupun tidak takut siapapun !”
“Aku tahu itu, tapi akupun ingin masalah ini cepat selesai.Makanya aku memilih keluar dari perusaaan itu”

Angin sore melintas di beranda rumah sederhana itu. Daun daun pisang saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik. Tiupan angin itupun membuat mereka mampu mendinginkan bara api amarah dalam hati merek masing masing

“Mas aku takut ?”
“Takut sama siapa, biar aku hadapi semua masalahmu”
“Aku kehilangan pekerjaan, bagaimana nanti Anis dan Ilham”
“Ros, yang Diatas Sana juga mendengar keluh kesah kita, sebagai manusia yang jadi korban ketidakadilan dan kedurjanaan manusia sombong. Kamu jangan pernah takut dengan kehidupan. Kita beruntung selama ini kehidupan justru mendewasakan kita, sehingga kita sudah tidak mampu lagi merasakan suatu penderitaan.Percayalah, Ros ! bila masih ada cakrawala di ufuk timur, pasti semua kehidupan akan ditebarkan oleh Sang Maha Pencipta, asalkan kita pandai bersyukur “

Angin Gunung Merapi bertambah kencang, lantaran mereka segera ingin mendengar prosa romantis anak adam yang saling mengisi kehidupan dengan cinta yang kokoh, meski apaun halangan yang menghadang. Angin gunung itupun makin bertiup kencang lantaran memburu angina angin kembara lain, agar segera duduk bersimpuh di beranda rumah mungil itu. Adnan dan Rosma kini kembali larut dalam canda ria kedua anak mereka.

Selembut Benang Sutra

Wajah papinya menyimpan beribu bara yang siap membakar hasrat, angan sekaligus cintanya yang lembut, yang terpancar dari pribadi Anggun. Kala sore hari di ruang tamu berdampingan dengan mamanya, yang juga menghadang Anggun dengan sorot mata yang liar, bagai sang singa jantan yang siap menerkam kambing yang tiada berdaya. Anggunpun berusaha menyelipkan keberanian untuk menghadapi kedua insan yang sangat dicintainya itu.

Anggun hanya duduk dengan hati yang mengembara ke tiap sudut langit, setiap cakrawala di kaki langitpun menawarkan taman bunga untuk bersemayamnya dia dan Rony, mahasiswa fakultas tehnik yang papa. Namun meskipun kepapaanya itu menggayuti sejak dia di bangku SMA, upaya untuk melanjutkan sudi tak kunjung reda.

Hingga suatu senja, langit berwarna cerah. Bintang mulai menghitung awan yang memerah. Bulanpun menunjukan wajahnya, mulai memberi salam canda kepada bintang senja yang juga belum tahu perasaan Anggun menghadapi hati insan berdua yang telah lekang, yang tiada mau peduli sebuah hati yang lembut bagaikan kain sutra. Adalah hak Anggun sebagai manusia untuk menambatkan hatinya yag bening kepada Rony. Namun mereka berdua berniat untuk menepiskan, apa yang ada di hati Anggun.

Anggun hanyalah sebilah hati yang sama sekali tiada mampu menghardik kemauan mereka. Tercampaklah Anggun dengan pergulatan antar “cintanya yang sebening sutra” dengan cinta kasih kepada kedua orang tuanya. Namun hidup adalah hidup, manusia sama sekali tidak mau belajar dari apa yang pernah dialami dahulu.

Mama papanya mengemasi hidup menyatu dalam titian cinta sebening embun. Mereka berdua selalu bersama dalam perguliran suka dan duka. Merekapun tahu persis tentang cinta antara dua anak manusia, yang berusaha menerjang apa saja meskipun seribu aral menghadang. Justru warna warni kehidupan kedua orang tuanya yang telah menempa kepribadian Anggun. Namun mengapa pula mereka berusaha mengharubirukan sesuatu yang lembut, yang bersemayam di hatinya. Demikian desah hati cewek yang kaya raya namun bersahaja..

“Anggun, mama papa tahu persis getar hati setiap manusia yang lagi mengalami seperti kamu. Mama papapun pernah muda”. Suara parau dan serak itu menggema mengisi setiap udara yang ada di ruang tamu itu. Suara datar itu keluar dari mulut Wijiyo, pengusaha sukses di Jogjakarta.

Anggun hanya mampu berlarian dari awan satu ke awan lainnya, di langit biru yang telah menyodorkan kedua tanganya untuk menerima Aggun kala hatinya pilu. Anggun sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Apa yang bisa kamu harapkan dari Rony, yang hanya pedagang lesehan di malioboro. Aku nggak tega kalau kamu berumah tangga dengan dia, anaku !. Aku Ibumu, tidak mungkin akan membiarkan kamu menderita. Jauhi Rony, anaku, kamu kan masih muda.Kamu cantik lho. Banyak pria yang mengejarmu, anaku ?. Mereka mau memberikan apa saja demi mendapatkanmu”

“Betul mamamu, anaku !, papi sudah pilihkan pria yang segalanya lebih baik dari Rony. Dia nggak kalah ganteng dengan Rony, apa sih Rony hanya penjaja barang seni di malioboro. Sementara Martin, yang aku kenalkan dulu sama kamu sudah lulus dari amerika. Kamu bisa tinggal di Jakarta di blok perumahan yang elit. Mama dan aku tentunya akan bahagia, anaku !”

“Tapi, bukan itu semua yang aku cari, Pap !”
“Lalu apa yang kamu cari dalam hidup ini, Anggun !!. Cobalah mengerti maksud mamamu ini. Lagian semua bahtera rumah tangga semuanya berujung ke materi, untuk keperluan hidup ini. Cobalah mengerti, ya sayangku !” .Mamanya kini sudah berada di sampingnya, kedua tanggan Anggunpun di renggutnya. Pertandan wanita ini sama sekali tidak mau kehilangan putrid semata wayangnya.

“Mam, Anggun bahagia disamping Mas Rony. Itu saja sudah cukup !”
“Anggun !” Suara petir di tengah hujan gerimis masih kalah mencekamnya dibanding pekik papanya, yang sudah membara hatinya.

“Sabarlah Pap, jangan marah dulu. Bagaimanapun dia anak kita satu satunya. Kita berdua sudah bertekad bakal membahagiakan, bukanya menyakitinya, Pap !”

“Apa karena papa menguliahkanmu di psychology, sehingga kamu sok tahu tentang hidup. Oh…Anggun, kamu belum apa apa, cobalah kamu mengerti maksud papamu ini, yang sudah banyak makan garam. Mengerti..!!!”
“Sudahlah Pap, biar mama saja yang bicara !”
“Mam, Anggun mengerti perasaan mama dan papa. Tapi Anggun nggak bisa menerima pria lain. Aku sudah lama mencoba melupakan Mas Rony demi mama dan papa. Mas Ronypun menerima dengan besar hati. Karena Mas Rony sadar dia akan mengecewakan mama dan papa “

‘Lantas mengapa kau tidak melupakan saja anak itu, Anggun ?” Papanya dengan nafas yang panjang lantaran tidak mampu lagi menahan amarahnya. Menuntut Anggun melakukan apa yang dia tidak sangup lakukan.

“Papa, kejam…aku anakmu Pap, mengapa papa tega ?”
“Masa bodoh, anaku. Ini semua papa lakukan demi masa depanmu. Setidak tidaknya kalau kamu tidak mau menerima Martin. Carilah pria lain yang sanggup membahagiakanmu, bukan pemuda itu.!”

“Tapi aku…”
“Sudahlah Anggun, papa sudah tidak sabar lagi, papa sudah memberi waktu cukup untuk kamu. Kamu satu satunya putriku, masa depanku, buah hatiku. Maka papa sudah tidak mau main main lagi. Dari kecil hingga besar kamu papa manjakan. Tapi yang satu ini papa tidak mau mengalah,”
“Sabarlah, Mas Broto !, Anggunkan anakmu “
“Justru karena dia anaku, Mam. Maka aku harus bertindak tegas “
“Tapi Mas Broto !, Anggun anaknya lembut, Mas Broto jangan terlalu keras. Atau sekarang mama yang bicara saja”

“Biar aku yang bicara. Inilah anakmu yang selalu kamu manjakan, sehingga seperti ini jadinya. Sekarang papa beri pilihan dalam tiga hari. Kamu putuskan anak itu atau papa dan mama yang akan keluar dari rumah ini. Ambilah rumah ini seisinya beserta dengan deposito papa. Deposito itu sudah papa atas namakan kamu,ambilah. Hiduplah dirumah ini dengan pria gembel itu “

“Mas Broto !!!”.. Suara terakhir di ruang tamu Soebroto dan semuanya kini di bius pekatnya malam.

***
Rony terperanjat dan berbunga hatinya kala sebuah taksi memasuki ruangan halaman rumah kosnya di Pasar Telo. Ronypun telah menebak sebelumnya, kalau sabtu sore ini “jelita pujaan hatinya” bakal menemui dia, untuk melabuhkan perahu rindu di tengah samudra ganas yang menebar ombak bergulung. Ombak yang menghempaskan angan dihatinya untuk meniti hari hari kehidupanya bersama dengan Anggun.

Anggun melepas senyuman yang tipis di balik wajahnya yang pucat dan mata yang sembab, yang membuat deru jantung cowok ganteng itu bertambah cepat memburu misteri yang ada di balik wajah ayu kekasihnya itu.

“Aku sudah membayangkan jauh jauh hari sebelumnya, papa kamu suatu saatpun akan bertindak seperti ini !”
“Lantas kita hatus bagaimana ?”
“Anggun , aku adalah manusia yang sudah banyak mengenyam penderitaan. Karena aku hidup hanya dengan seorang ibu yang ditinggal bapaku sejak aku duduk di SMP. Aku bisa kuliah di fakultas tehnik karena aku mengais rejeki sendiri dengan cara seperti ini”
“Apa hubunganya dengan masalah kita”
“Justru inilah yang menjadi alasan utama papamu menolak aku “
“Kok kamu tega bicara seperti ini, Mas !”
“Anggun, sudah saatnya kamu mengenal dunia realita, tinggalkan jauh jauh kata hatimu. Sekarang berpikirlah dengan realita !”
“Jadi, kamu mau meninggalkanku, Mas Rony ?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Anggun. Meski suatu saat kau menjadi milik orang lain. Kamupun tetap dalam hatiku”
“Ah,,aku jadi tak mengerti. Aku tak bisa jauh darimu,, “
“Cobalah untuk mengerti, aku siap kehilangan apa saja dalam hidupku.Karena aku sudah terbiasa kehilangan hidupku sendiri. Tapi kamu anak manusia yang masih memiliki segalanya, jangan kau sia siakan sebuah harapan demi masa depanmu. Sudahlah aku siap kamu tinggalkan, kamu harus berbahagia bersama mama dan papamu “

Tubuh Rony kini, kini berguncang setelah kedua tangan Anggun merengkuhnya, Kini dara ayu yang bersahaja sesuai namanya sudah berada di pelukan Rony. Anggun sama sekali tidak menyangka Rony memilih jalan seperti itu, padahal jauh dalam hatinya dia siap menghadapi apapun yang terjadi demi sebuah cinta. Anggunpun tahu bahwa cintanya kepada cowok malang ini, bukanlah sesuatu yang buta melainkan cinta yang bening dan lembut. Selembut benang benang sutra yang diharapkan bisa saling merajut membentuk kain sutera.

“Anggun, cobalah mengerti, kau harus bahagia. Bukan mengais kehidupanmu nanti dengan cara seperti aku. Kamu dan aku tidak pernah akan merasa kehilangan bila kita saling menerima atau kehilangan segala sesuatu dengan ikhlas. Kamu kan nggak mau kehilangan mama dan papamu, sayang ?’

Anggun mulai melepas pelukannya secara pelan meski dia sama sekali belum siap menerima kenyataan ini. Antara papa dan kekasihnya, tiada yang mampu dia pilih. Hanya desir angin malam Kota Jogja yang kini membaluti tubuh kedua anak Adam.
‘Hari sudah malam, aku antar kau pulang. Pasti mama dan papamu mengkhawatirkanmu”.

Anggun memilih berjalan kaki menuju rumahnya melewati jalan jalan kota Jogja yang mulai lengang. Keduanya melewai malam ini sebagai malam terakhir sebuah pertemuan cinta anak manusia yang lembut, agung sekaligus romantis. Meski harus berakhir di pintu gerbang rumah Anggun yang kokoh, yang menjadi saksi akan perpisahan kedua insan itu. Meski Anggun masih belum mampu menerimanya.

“Mas Rony, terimalah aku lagi, bila suatu saat aku kembali”. Ronypun hanya menganggukan kepalanya sembari melepas kedua tangan Anggun, yang hilang di kegelapan malam halaman rumahnya.