Senin, 04 Oktober 2010

BIDADARI JALANG

KEMBALIKAN SAWAH Dan LADANG HIDUPKU

Bila aku harus terkungkung……
Oleh langit hitam, yang lama mengirimkan senyum kegetiran tanpa adanya
Daun daun hijau keteduhan,
Agar ranum bumi enggan di tawan jaman,
Menggilas tiap sudutnya, hingga bumipun meronta,
Kini bumipun terperosok dalam kubangan yang menggeliatkan
senyumnya di wajah pagi
Lantas pengembala kerbau di suatu sudut
Menarik nafas panjang, …….

Nyanyian alam ini…..
Telah menghardik semua mata yang meredup
Yang lama menjaring hari dalam tawanan musim
Dalam cengkeraman udara yang anyir….
Mereka begitu pandainya….
Menyimpan senyumnya, pada sekotak kisah”bidadari jalang”
Yang menurunkan nafas busuk
Hingga menusuk kulit mereka yang di tengah sawah

Kita terpelanting dalam pusaran
Tiada akhir, tentang gugurnya sayap belalang
Meronanya daun palma dan tak mampu lagi menjadi gambaran
Riuh rendahnya manusia melepas rindu
Hingga bilah hati saling membaca
Dalam buku harian alam……..
Yang memberi ornamen pada dinding kabut
Yang kini mampu membuat hidung, tempat nafas bersulang
Tak lebihnya hanya melekangkan paru kita

Aku tak mau lagi berkungkung langit
Bergambar ego manusia mendenguskan keangkuhan
Menebar jala-jala tajam ketiap sendi tulang, hingga lunglai
hidup semua yang bertumpuk pada tulangnya sendiri
hingga tersudutkan di pinggir bumi
Menantikan pergantian angina pasat
Yang membawa semi padi.
Menjinjing keranjang palawija
Bersembunyi di rimbun kebun sayur

Tak ada lagi tanaman mesiu
Berbunga pecahan kaca dan paku
Berpekik hingga bergaung ke seantero kaki langit
Manusia tak lebih dari benih ilalang
Yang tertiup angin menyebrangi wajah senja
Kita adalah yang mencangkul lading
Membalik tanah sawah, mengaliri dengan gemercik
Air kali di pagi hari
Yang melintang di tengah sawah dan kebon hidup kita
Lantas tidak kau terbangkan saja
Sayap sayapmu yang hitam berkuku tajam

Tak kuhiraukan meski engkau telah merobek langit
Meski engkau telah menawan bulan purnama
Meski pagar tumbuhan di pematangku
Telah kau robohkan, lantaran kegalauan dalam hatimu
Aku tetap melahap ubi jalar yang tumbuh di halamanku
Atau singkong rebus berselimut gula jawa
Atau pula pagi ini adalah miliku sendiri
Terbanglah engkau ke jaman milikmu sendiri
Bukan di sawah lading dan hidupku
Engkau merajut nafasmu…..

Semarang, 5 Oktober 2010

TEDUHKAN HATIMU

Pernahkah kau berpikir tentang selimut pagi
Hingga anak anakmu berceria
Berlarian di halaman rumahmu
Mengejar kupu-kupu jaman
Yang cantik, elok dan bersayap lincah

Dari pagi hingga senja berikutnya
Adalah kehidupan dengan prosa
Beruntai kata kata pujangga
Yang harus kau beri makna
Untuk penghibur jiwamu yang tenggelam
Dalam kawah gunung Merapi…

Nampaknya pagimu hanya
Dirajut oleh sejuta sembilu
Dari pohon bambu yang tak pernah kau tanam sendiri
Maka engkaupun harus menuai kalap

Srmarang, 5 Oktober 2010

MENJARING ANGIN

Bila engkau mengepalkan dan mengayuhkan kedua kakimu
Akan kau temui telaga bertepi nyanyi burung kenari
Berpita alam gemercik air kali menawarkan sendu dan indah
Awan di pagi dan senja hari.
Lantas mengapa kau menolehkan batas pandang pada detak nadi yang melemparkan makian. Padahal guratan gubug bamboo dengan halaman anyelir
Mampu kau singgai sekedar menyejukan kata hatimu

Kembalilah pada yang meminangmu
Seorang ibu dengan ayunan dan tembang”lagu jawa”
Kala kau kecil di pangkuanya

Mengapa pula kau simpan sembilu pada ruang jantungmu
Sehingga nafasmu selalu menyodorkan kata sumbang, dan amukan bedil
Lebih kau senangi, dengan merangkai pekik ketakutan dari……
Semua manusia.
Bila di sawah ladangmu telah kau tanami perdu dan beluntas
Lalu sayur , buah delima ranum memerah
Membasahi halaman hatimu yang telah meradangkan bara…..
Engkaupun mampu melepas lelah dalam buaian alam
Betapa syahdunya menjaring angin di halaman gubug bambumu
Ketimbang bergelut dengan aspal jalanan