Jumat, 22 Oktober 2010

Awan Gelap Di Bumi Melayu

1.Hamparan Negeri-negeri yang Subur

Ketika tabuh genderang beriuh rendah……
Dari Negeri Kahyangan , tempat dewa semayam
Menyiratkan berita gembira pada seisi alam maya
Jauh dari balik Himalaya…..hingga ke tengah Sahara
Tentang hiasan “mutumanikam” yang kini memenuhi
“jagad berkungkung samudra dan berpantai nyiur”.
Mereka melambai….saat nelayan memetik hidup….

Bila pasat meliuk…….
Bulir padi menunduk dan menguning.. menggapai damai
Sapi perahan melenguh menguntai makna
Padang luas biarlah berbenah, lantaran disitulah sebuah
Rumpun hidup tentram, damai, adil dan sentosa
Dihamparan negeri-negeri bertabur wangi bunga
(Semarang, Agustus 2010)

2.Genderang “Ganyang” 1965
Tiada kita mengerti, padi menjadi legam menghitam
Bejejer di sawah yang menghembus nyinyir darah
Sementara Sang Pasatpun menghembus deru mesiu
Semua alam meradang…..
Ditoreh pelangi merah membara

Lantas mengapa rumpun hijau kini menyodorkan
Bilah daunan yang melenggangkan kebencian
Sementara nyanyian anak di padang purnama
Berganti dengan pekik ganyang

Kita tepiskan saja keranda pembawa ajal
Di balik cakrawala yang tak kunjung fajar
Hanya pekat saja bertabur hati manusia yang nanar

Jangan kita ikuti angin kembara
Yang merajut duka lara……
Mari berhias di semai rumpun hijau menawan
(Semarang, Agustus 2010)


3. Dua Putri Ayu (Sipadan dan Ligitan )
Kala dewa hendak melepas lelah..
Di pangkuan dua putri ayu mereka melepas dahaga
Kala angin badai menggulung ombak lautan
Di pangkauan merekalah…badai meluruh

Kala kita hendak mengusap wajahnya
Sang bayang hitam berona keangkuhan
Menghardik dan menepiskan tangan kita

Kemanakah warna-warni dandananmu
Ketika kaki langit milik “Sang Putra Palapa”
Hendak melepas sauh…..
(Semarang, Agustus 2010)

4. Pentas Saudara Kembar
Panggung pentas sudah dipenuhi asap pengap
Suara “kenong kimpul” makin terdengar parau
Tampilah barong “Batu Pahat” dengan gambar wajah legam
Kedua kaki dan tanganya bergiliran menampakan getar.

Tak segan munculah Sang Reog ,
bersulam “Ki Ageng Kutu Bre Wirabumi”…..
Barongpun meliuk menapaki “Dadap Merak”
Barong tersipu malu…….
Keduanya mensenyapkan panggung yang riuh……
(Semarang, Agustus 2010)

5. Merajut Angin Kesejukan
Tiadalah beliung ataupun kemarau panjang
Berhias padang ilalang dan belalang
Tiada pula pekik tangan mengepal…..
Sehingga tiada lagi purnama bergantung

Arah tenggara ketika kita menanam palawija
Arah barat sepoi ketika kita menebar padi
Ke dua arahlah kita bergandeng
Merajut masa depan di cakrawala esok
(Semarang, Agustus 2010)

Puisi Untuk Kepapaan Negeriku

GERIMIS DI TENGAH KEMARAU

Aku mengusung singkong, ubi jalar dan tanaman sayur,
Yang tumbuh di halaman rumah
Ke dalam bilik kamarku,
Agar terasa hangat hatiku, jantungku
Darahku, yang terbujur kaku,
Meski ini bukan gerimis terakhir
Yang mengguyur dinding bilik
Terbuat dari anyaman bambu
Membasahi ilalang di atap rumahku,

Namun sepiring nasi lusuh
Dengan sekerat tempe
Dan dibasahi sayur asem
Mampu mengganjal laparku,
Dengan senyum beribu warna
Istrikupun menghangatkan tubuhnya
Dengan sayur dan kue-kue pasar
Agar di tengah malam tak terjaga
dari teriakan dinding perutnya

Di meja yang tiada seberapa kokohnya
Berkaki bambu sebesar lenganku
Tertata makanan hangat
Agar anak-anaku tiada menghujamkan
Tangis bernada sinis
Karena kosong isi perutnya,
Meski perut yang mungil itu
Telah akrab dengan jaman

Aku menari nari di atas lantai tanah
Dengan radio butut yang berwarna kusam
Sekusam warna pagar rumahku
Yang mengumandangkan tembang jawa
Anaku sontak memburuku
Bagaikan kupu kupu di kebon belakang
Berhamburan memesariku
Istriku hanya tertawa hingga jelas
Lesung pipinya

Inilah sejuk…….
Bukan lantaran rumah berdinding semen
yang halus mengkilap
Putih cemerlang, bergurat jeruji penjara
Seperti pada loji para petinggi
Berdinding marmer nan licin
Sehingga berulang menjatuhkan musuhnya

Gerimis tak berniat surut
Aroma tanah yang dilekang kemarau
Masih saja memenuhi dinding bambu
Bayang hitam merengkuh bilik bambuku
Seloroh kini telah berada di atas bantal
Dengan dengkuran yang menepiskan
Getir yang mengitari pembuluh nadi

(Semarang, 26 September 2010).


ANAK “SINGKONG REBUS”

Jangan kau malu anaku,
Kala sepeda ini dikayuh, melewati jalan
yang kering dengan batu batu terjal
mencibirkan…makna
Jangan kau berangan “duduk” di kursi
Hulubalang raja
Yang berenda kertas berhias sutra
Lantaran kau adalah anak “singkong rebus”
Yang selalu bisa mengganjal perut
Bila matamu nanar
Merangkul kegetiran……

Anaku….
Kau bukan anak menteri di atas sana
Tapi tak harus kau melangkah surut
Kejarlah kedamaian
Dengan kedua tanganmu yang teduh
Meski sorot matamu redup
Tak mampu menerangi sudut langit

Jangan kau kejar rembulan…anaku….
Bila separonya telah dihimpit awan gelap
Kejarlah bintang di langit
Bila awan telah menyodorimu
Senyum indah
Berdoalah bila benakmu telah
Menyimpan apa yang ada di kepalamu…..

(Semarang, 26 September 2010).

BINTANG KEJORA

Apa telah kau besihkan beranda rumah
Meski hanya berlantai tanah liat
Agar tegar langkahmu, membidik bintang kejora
Warna warni,
Di bibir langit,
Apakah benar kau mampu menyuntingnya,
Bila melewati remang malam
Beterbangan kelelawar penghisap darah
Dari urat nadimu yang kecil….tak berdaya

Namun tiada juga kau bersalah…..
Bila kau memungutnya dan kau simpan
Dalam cucuran peluhmu..
Karena kau masih tegar
Melangkah pada kedua kakimu
Dan legam bahumu telah cukup kokoh

Biarlah emak dan bapakmu
Melepasmu di pagar luar rumah
Janganlah kau hirau, pada guratan wajah
Yang kami sisakan untukmu…..
Tengoklah kebon sayur bila
Telah gontai langkahmu

Semarang, 26 September 2010).


ABANG BECAK
Pada langit, bumi, lembah dan ngarai
Aku pekikan…..
Aku tiada pernah merasa lelah
Mengusung kehidupan
Di hari yang mengigit dan
Dan nafas yang menerkam

Jalan ini adalah miliku
Meski dipusari gedung bertingkat
Beratap jalan laying, berwajah gincu tebal
Aku akan terus menerjang
Meski debu jalan menghardiku
Demi manja istriku dan anaku
Semarang, 26 September 2010).

Merajut Cakrawala Negeriku

SEBUAH PERJUMPAAN

Saat datangnya sang rembulan
Menjenguk langit malam yang mengering
Ketika kaki langitpun menebarkan……
Semai mawar dan harum semua
yang di dekatnya…
Kapankah ?...untuk sebuah hati kecil

Semua yang telah menghitam kulit tubuhnya
Wajah tertunduk lantaran letih
Sementara gemerisik ilalang masih saja
Menjadi teman kala gersang meradang
Dipingit kabut yang menyesak dada
Kitapun perlu berjumpa

Ketika lidah membeku dalam kelu
Dunia hanya dalam kanvas semu
Tertatih di tengah sawah ladang
Yang diterjang kemarau tanpa mengenal iba
Petirpun tak pernah menjinjing hujan
Hingga pandang mata tak lebih dari bias

Angin yang tiada menyodorkan nama
Terus saja melambungkan tubuh
hingga menyentuh dinding suara di jauh sana
yang dikerumini sayap malaikat
dengan sayap yang tergelar rapi…untuk sebuah
bilik jantung……..
Lantas mengapa belum juga meminangku
Sang penganten di sudut senja yang sepi…
.
Semarang, 14 September 2010

KETIKA FAJAR

Tiap pagi yang kutemui
Adalah kekasih pujaan sang fajar
Saling memberi arti dengan untaian bunga
Bila sang kupu-kupu masih setia
hadir mengusung suka cita

Di tengah fajar merekah menjadi samudra
Belaian manis sepoi angin
Turut mengurai hadirnya bayang hitam
Yang kencang melilit tulang tulangku
Dan hampir tiap jarum jam menelan hidup
Tebing tebing terjalpun
Tak henti ingin melumatku
Akupun menghampiri sang fajar

Semarang, 14 September 2010

SAYAP SAYAP

Dengan kukunya yang runcing
Sayap sayap itu menelikung bumi
Layaknya sudah tak mampu lagi
bumi berputar mengusung kehidupan

Sayap sayap itupun dijaga
Sebagian manusia yang sedang menghardik
Buih laut yang bergelombang
Menelan pantai, kala manusia menunggu
lambaian daun nyiur
untuk mengatur nafas

Sayap sayap
Teruslah mencengkeram bumi
Agar tiada liar lagi
Sayap sayap
Teruslah menggambar langit
Agar tiada lagi badai
Di sejengkal tanahku
Di dalamnya terdapat seribu nafas
Inilah nusantaraku

Semarang, 14 September 2010

MASIH KUDENGAR SUARA ALAM

Kita memang manusia dungu
Ysng tak mampu mensirati bahasa
Stunami ketika bertandang di serambi rumah
Membawa kabar
Untuk bekal manusia esok hari

Lantas karena kita bungkam
Sinabungpun ikut larut dalam
percakapan alam
Namun sekali lagi
kita lebih senang bahasa
dalam oplosan yang meringkuk di botol
Hingga mampu menerbangkan
Semua tubuh dalam langit
Bersusun tujuh

Bahasa lainpun datang
Dari dalam bumi yang melambung tinggi
Hingga bertandang ke rumah
semua yang masih menyelip asa

Namun manusia menyodorkan
Bahasa yang aneh untuk alam
Lebih suka memenuhi kantong bajunya
Yang sarat denga catatan harian si miskin
Entah nafas ini milik siapa
Bukan para petinggi negeri hujan setahun

Suara alam…
Entah datang kapan lagi
Cakrawalapun menunggu
agar engkau tak lagi garang menerjang

Semarang. 14 September 2010


TAMAN HATIKU

Istriku yang elok
Bersama anaku…di pagi
Memenuhi seloroh kala hati berbunga
Berhias taman hati…
Berkubang archipelago dan angin muson
Sebuah taman hati disusun bersama

Berdinding bukit barisan
Kala pagi membujurkan dingin
Nyalakan kawah Jaya Wijaya agar
Hangat memenuhi jiwa kita

Namun batas taman hatiku
Telah dirusak kucing hitam
Yang haus sekerat daging
Yang dibumbui sedapnya rempah rempah
Yang tumbuh di taman hati

Akupun menjadi jalang
Melempar kucing hitam dengan
Kepalan tangan
Agar tiada lagi kepala yang mengeras
Karena diganjal kesombongan
Dari balik bangunan loji kompeni

Semarang, 14 September 2010

NEGERI PARA DEWA

Ketika sang dewa di kahyangan
Tersenyum berseri, hingga nampaklah
gigi mereka tergambar biji mentimun
lahirlah tanah berpantai nyiur melambai
dengan kubangan kerbau
di tengah sawah yang menguning

Semarang, 14 September 2010

SAJAK TANAH AIRKU

Merah Padam Ronamu

Ketika kita beranjak dari peraduan…
Bermandi semilir angin dari tengara
Yang mengusung buih laut
Menuju pantai…
Tanpa berkawan lembayung jingga

Ada seuntai “janji”….
Yang meringkuk di kepalan tangan kita
Untuk menandu sang ibu pertiwi
Agar tiada lagi kerikil tajam
Yang tiada pernah mengerti akan iba
Dari sebuah perjalanan

Akupun hanya menguatkan pegangan
Agar tangan ibu yang keriput memucat
Bernafas lega…….
Mampu bermandi air bunga
Dalam gubug sederhana
Beranyam bamboo
Berhalaman bunga melati, kenanga dan mawar

Jangan kau biarkan ibu
Merah rona wajahmu…
Terbawa angin debu mengusung biadab
Biarkan ibu bersemayan dalam cakrawala archipelago

Semarang, 12 September 2010

Episoda Negri Sebrang

Meski nasi dan jagung..
Beralasan piring tanah..
Dimasak dari tungku tanah liat…
Berteman sepotong ubi…
Tertata rapi di atas daun pisang

Kita terlahir dari lengan yang legam
Bahu yang melepuh karena terik matahari…
Mengatur beberapa nafas dari bilik bambu
Tapi kita rimbuni dengan pohon buah
Yang menjadi lalu lalang kenari, perkutut dan kutilang

Kita batasi gubug kita yang kokoh
Meski dari batang kayu nangka
Rumputpun menebar hijau
Yang tertata bagi permadani dewa.

Jangan kita sodorkan rembulan
Yang telah hinggap di atap rumah kita
Meski lantang dan angkuh mengusik
Dari negeri sebrang..yang nampak
berceloteh dari balik gedong loji
berkelambu sutra
belantai marmer pujaan para raja

Kita adalah kita…
Meski negri sebrang meradangkan
singa lapar, bersuara sampai ke ujung fatamorgana
tidak pernah di lingkaran langit nusantara
Kita surut untuk memangku nestapa
Kita mampu menerjang bak prajurit ‘segelar sepapan”
Dari Majapahit yang merengkuh negeri para dewa

Semarang, 12 September 2010

Bara Api dari Rumpun Bambu

Di tepian telaga
Tempat mandi bidadari
Sang jalak menawarkan bulu hitamnya
Pada kutilang yang bersayap putih
Kenaripun manyimpan rapat rapat bulu kuningnya

Sang perkutut diam membisu..
Meski dia ingin meminjam bulu merah
dari Cendrawasih

Telagapun menjadi bermandi kuning keemasan
Dari semburat sinar mentari
Yang mengalahkan warna bulu mereka semua
Namun tiada mereka mau membasuh
bulu mereka dengan air telaga…
Mereka malah menajamkan paruh dan cakar
untuk memungut sebuah bara…...

Tiada pernah mereka tahu.
Bahwa negeri gerimis ini …
Adalah negeri tempat mandi bidadari
Ketika Manikmaya membasuh mahkotanya
Untuk pertemuan agung esok hari…
Mereka tidak pernah tahu…..
di bawah lambaian daun nyiur di tepi pantai..
adalah tempat dewa melepas lelah
“Jayalah Negeriku”

Semarang, 12 September 2010