Rabu, 17 November 2010

Senja Di Pantai Utara

Roda roda baja terus saja menggilas batang batang baja, yang terbujur dingin di keremangan senja, hijau tanaman padi yang dari sore terus saja berkejaran sepanjang jendela kereta yang berdebu, kini lelah dan terbungkam sepi. Hanya gertakan roda dan batang baja yang menyeruak ke telinga setiap penumpang yang tertunduk lesu. Angin sore pantai utara dengan usilnya menerobos kaca jendela kereta, dan membelai hitam rambut berderai sepanjang bahu milik seorang wanita yang tepat di depan tempat duduku.. Pasang mataku menjadi cemburu, menyaksikan dengan leluasanya angin nakal membelai rambut wanita itu.

Sepasang Mata Bola dari Jogjakarta, demikian aku memberi nama pada wanita terbalut misteri itu dan berkali aku dendangkan untuk membunuh sepi yang terus menjalar , apalagi sepasang mata bola yang kerap tertunduk malu di balik kaca mata bundar sekarang benar benar di depanku.. Kala kedua mata bundar tadi berpadu dengan tatapan mata eksotis miliku, aku tak kuasa lagi menghindar kala berjuta sayap membawaku terbang ke langit. Lantas akupun hanya terdiam lantaran bara api kini bersemayam di tenggorokanku yang mengganjalku hingga tak mampu berbicara sepatah katapun.

“Hai kau laki laki dungu, bukankah kamu laki laki dungu yang belum pernah mendapat sepotong cinta dari seorang wanitapun di dunia ini. Lihatlah dia sekali kali mencuri pandang mengamati kegantenganmu. Mengapa kau diam saja, dungu !!!! “ Sebuah suara dari bilik jantungku bertubi tubi menerjang anganku. “Ah..aku tidak mau sembaragan memperlakukan wanita, aku bukan durjana. Aku manusia yang menghargai segala sesuatu meski sudah menjadi miliku. Dengan cara beginilah manusia mampu menyemai benih kebahagian di dunia”.

Aku hanya bisa diam kala suara suara itu terus menderaku hingga diapun kini terdiam lantaran telah bosan menggumuli kedinginanku. Kereta semakin lama semakin melambat dan berhenti tepat di emplacemen tasiun Pekalongan. Aku menjadi terperangah karena jarum waktu membawaku secepat kilat dan separo dari perjalanan kini telah aku tempuh tanpa mampu menyelinapkan hatiku ke tengah sepasang mata bundar dalam Kereta Senja Kaligung.

“Tidak seperti baisanya Mba, kereta ini nyanggong di Pekalongan lama seperti ini. Biasanya paling banter hanya 10 menit “. Sang mata bola masih menyembunyikan matanya, kini hanya seutas senyum kecil kala mendengar sepotong suaraku yang mencoba membunuh hening suasana kita berdua.

“Mba belum pernah naik kereta ini, kan ?” kembali aku mencoba membuka tabir dalam hatinya dan kuharap sorot sepasang mata bundar ini mampu menguliti seluruh tubuhku.

“Iya, Mas aku baru kali ini, naik Kaligung ?” .



2
“Rupanya kali ini kita terlambat sampe di Tegal. Biasanya masuk Tegal jam delapan malam, tapi malam ini sudah jam setengah sembilan baru nyampe Pekalongan. Mba mau kemana ?”.

“Aku mau ke rumah Pamanku di Tegal “

“Alamatnya mana, Mba ?”

“Adiwerna ?”

“Tepatnya, Adiwerna sebelah mana ?”

“Aku nggak tahu !”

“Jadi baru kali ini, Mba kesana ? “

“Iya !”

“Padahal, kereta ini tiba di Tegal nanti menjelang tengah malam..Lebih baik Mba mencari saudara Mba saja yang ada di Kota Tegal. Adiwerna dengan stasiun kereta masih jauh, sekitar 10 km ?” , aku terperanjat, mengapa gadis sepasang mata bola ini berani menembus pekatnya malam. Padahal kereta senja ini akan memasuki Kota Tegal hampir tengah malam nanti. Lantas akupun sama sekali tidak tega bila sepasang mata bola ini menjadi takut, mengapa ini terjadi, mana ortunya, kakaknya atau teman setianya.

Sepasang mata bola terlihat merebahkan kepalanya di sandaran kursi kereta yang berwarna biru. Sorot matanya sama sekali tidak mampu menyembunyikan kepanikanya, apalagi putih wajahnya menjadi kian meregang. Sementara kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Pekalongan menembus gelap malam. Rasa iba mulai tumbuh dalam belukar hati ini. Terkadang aku memberanikan diri menyodorkan senyuman, agar lebih mendingin wajah yang sedang dipagut kepiluan. Sepasang mata bolapun dengan tesipu memberikan senyumanya pula, seketika sudut jantungku hanya dipenuhi anyelir, mawar jingga dan harum kembang lainnya.

“Mengapa kamu sendiri ke Tegal, kok nggak ngajak teman “

“Keadaan di rumahku sedang tidak karuan, semua warga Desa Srumbung di lereng Merapi dalam keadaan kacau, aku nggak sempat mengajak teman “

“Jadi Mba, siapa ya, sampai aku lupa belum tahu nama Mba. Jadi kamu korban letusan Merapi? ”.

“Aku Mila”

“Aku Hartomo, kenapa kamu ke Tegal, mana bapak ibumu, suadara-saudaramu ?”.
3

Tanpa diminta, aku tanpa ragu memberi namaku, lantaran mulai terselip dihati ini tentang perasaan ingin lebih dekat lagi dengan sepasang mata bola yang ternyata bernasib malang .
“Aku ke Tegal mencari Paman Indrawan, satu satunya kakak bapak, yang masih hidup. Seentara bapak menunggu Ibu yang sakit asma di Rumah Sakit Boyolali, juga adiku yang sakit”

“Oh jadi semua keluargamu mengungsi ke Boyolali “. Mila hanya memberikan senyum yang masam, pertanda dalam hatinya didera kegetiran.

“Betul Mas, dan sekarang semua tetanggaku berniat untuk transmigrasi. Mereka kebanyakan sudah ngeri merasakan kegarangan Merapi “

“Lantas bapak kamu juga mau transmigrasi ?”

“Itulah Mas, maka aku ke Tegal diutus bapak, untuk menyampaikan maksud bapak pengin pindah ke Tegal saja, hanya itu pesan bapak sama Paman Indrawan “

Mila tidak melanjutkan curhatnya itu, lantaran dia lebih suka mengajak curhat dengan lampu lampu penerangan sepanjang jalan Kota Tegal yang keminclong, atau lantaran sejuta kebimbangan yang memenuhi semua sisi jantungnya. Dia hanya diam membisu dan tak merasa ahwa sepasang mata Hartomo telah mulai menelanjangi semua lekuk tubuhnya.

“Mila, kita sudah sampai Kota Tegal, biar aku antar saja kamu sampai ketemu alamat pamanmu “. Mila hanya mengangguk kecil sambil memberi senyumnya yang agak cerah.

Udara Kota Tegal malam tengah malam itu terasa kering di tengah cuaca ekstrim. Kedua remaja bagaikan sepasang insane yang telah lama saling mengenal, barangkali diantara keduanya telah tumbuh perasaan yang aneh. Mila kini merasakan dewa fortuna berada disampingnya, setelah selama hampir 3 minggu dia merasakan kegetiran hidup di bawah tenda pengungsian.