Senin, 28 Maret 2011

Bayang Bayang Malam

Lampu hias di jalan sepanjang Kota Semarang telah mengguratkan wajah kota ini menjadi tambah moncer, bagaikan gadis gadis penari di latar Prambanan kala bulan purnama tiba, meski kerlip sinarnya tidak mampu meyaingi sang rembulan yang berdandan lebih menantang, dengan kuning sinarnya menambah terangnya lorong lorong Kota Semarang di malam itu. Eksotis malam itu telah sanggup memagutkan remaja remaja yang sedang merajut hati, untuk sekedar menuangkan komposisi warna amour dalam kanvas hidup.

Namun malam ini bagi Rinjani tak lebih hanya malam yang bertabur bayang bayang hitam dari hantu hantu entah datang dari penjuru mana. Sehingga warna malamnya hanya hitam kelam, tak satupun berkas sinar rembulan yang menggapai bernnda rumahnya, sejak perpisahan dia dengan Albert. Hati rinjani kini tak ubahnya media untuk merekam saat saat mereka berdua dipeluk dewi asmara. Meski mereka kala itu saling menyayangi, menghormati serta saling mengerti pribadi masing masing. Namun Albert juga tetap manusia biasa.

Malam bertambah menampakan sifatnya yang egois, tetap saja patuh dengan kendaraan waktu yang merambat dari sisi ke sisi, sementara beranda rumahnya kini masih tetap membujur dingin. Hanya sebentar sebentar Rinjani hinggap terkulai dengan suara sauara hatinya sendiri, yang kadang lebih tajam dai belati yang menusuk dalam dalam jantungnya. Segera Rinjani kumpulkan kekuatan untuk menikam suara hatinya dan menelikungnya. Namun lama kelamaan dia sendiri tifsak msmpu melawanya. Karena begitu kuatnya mmenerang anganya.

Barngkali saja karena malam minggu ini dia hanya sendiri di beranda rumahnya, sementara rembulan kini telah mengerutkan wajahnya, dan awan hitam terus saja melingkungi. Maka suara cegkerik dari kebun sebelah rumah setengah tembok yang mau menerima kegetiran hati putri lajang yang anggun itu. Ditambah dengan desah suara daun pisang yang terirama angin malam. Rinjani kini terperosok jauh dengn suara nhatinya

“Lantas untuk apa kamu menyendiri di sini. Sementara Albert kini bercumbu dengan Netty di pavilyun cintanya”. Gemetar seluruh tubuh Rinjani mendengar suara hatinya yang tak mampu ditepisnya.

“Dunia yang aku rengkuh, tidak sebatas Kota Semarang saja, tapi dunia terhampar dari mulai Artic hingga Antartika, dari mulai Mount Everest hingga Mahameru. Kenapa mesti Abert yang harus disisiku ?”

“Tapi mengapa engkau malam ini terkulai lesu, kenapa pula kau bohongi malam jalang ini ?, kamu merindukan Albert kan ?”

Rinjani tersentak kaget, mendengar halilintar yang memecut hati yang sedang meradang pilu itu. Nama yang disebut hatinya sendiri, kini bagaikan bara api yang menguliti seluruh hatinya dan menyalakan bara amarah. Nama itu beberapa hari lalu, ia rasakan bagaikan seribu keindahan yang mewarnai prosa hidupnya. Namun kini nama itu bagaikan bara dari gunung Merapi yang hendak menelan hidup hidup seluruh tubuhnya yang tidak seberapa kuatnya.

“Hai !, hati yang sedalam laut Atlantik, jangan kau sebut lagi nama Albert. Enyahlah kau sejauh jauhnya. Biarkan malam jalang ini menemaniku. Lebih baik aku terpagut dengan kelamnya malam ini, ketimbang aku harus dekat dengan durjana itu”

Baik Rinjani dan malam jalang itu kini sendiri sendiri saling memagut sepi di sisi yang brsebrangan. Namun masih sekali sekali suara angin malam yang jalang itu menyebut nama Raymond. Cowok ganteng, berkulit sawo matang agak gelap dan bertubuh atletis. cowok ini memang piawai untuk mejeng, saat Albert masih di sisinya, diapun sering terkesima melihat sang actor yang senang berkaca mata hitam mirip Tom Cruise. Tapi bagi Rinjani kala itu tidak pernah berniat untuk membuat sayatan luka di hati Albert, yang kadang bersikap seperti gunung es namun kadamg pula dia melebihi adegan sinetron picisan kalau sedang mabok kasmaran.

Desir angin malam bertambah kuat, dentang jam dinding di ruang tamu memecut udara malam hingga sebelas kali. Angin malam kini lebih lantang lagi menyebut nama Raymond.

“Rinjani !, Raymond malam ini merindukanmu, berdandanlah seperti bulu burung merak yang meregangkan seribu warna. Hiasi senyumanmu dengan hiasan penuh rasa simpatik pada pria ganteng itu. Desiran hati kamu sering mengakui kalau dia lebih pinter mejeng ketimbang Albert?”

“Tapi aku bukan cewek murahan yang gampang jatuh kepelukan pria, aku memang kesepian. Betapa kejamnya kau hai malam, kejalanganmu semakin dalam menghimpitku”

Sementara jalangnya malam diam membisu, bahkan sekarang menebar kembang setaman warna warni yang semerbak harum memenuhi beranda hati Rinjani sang bidadari malam yang kehilangan sayap sayap. Maka malampun lantas meminjami sayap yang berwarna merah jambum, hingga membuat Rinjani mampu terbang menuju pintu langit menjumpai Sang Dewi Asmara, yang telah siap membukakan buku harian sang bidadari malam kala masih bersanding dengan Albert.

Lembar demi lembar buku harian terbaca Rinjani, hingga akhirnya pada bagian akhir buku harian, kala dia berjumpa dengan Albert yang terakhir kali, malam minggu yang lalu di Great Zone Coffe di tengah Kota Semarang. Rinjani kala itu sempat kagum dengan dirinya sendiri yang tegar berhadapan dengan durjana cintanya, yang telah menjual cinta gombalnya pada Netty.

Perpisahan memang harus terjadi antara mereka bedua, disaksikan ornament Great Zone Coffe yang flamboyant yang masih menyisakan aura De’Amour. Namun Rinjani telah kukuh hatinya, sekuat tenaga dia harus mampu menepiskan jerat jerat sutera yang terus ditebarkan Albert, namun bagi Rinjani jerat itu hanya belati tajam yang akan mengoyak beranda hatinya.

Kala harmoni malam jalang telah menyuguhkan kidung tengah malam, sayap sayap Rinjani kembali melipat dan luruh di beranda rumahnya, diapun segera dengan perlahan mencabut belati belati yang mengkoyak hatinya. Buku harian yang bersampul pelangi jingga segera ditutupnya, senyum manis Albert masih tertera dengan samara di sampul belakangnya itu. Rinjani kembali duduk terkulai di korsi rotan beranda rumahnya, angina malam jalang yang dingin mulai merambah ke sumsum tulangnya. Namun kejalangan malam itu, kembali mendekati dan mulai menjamah hati Rinjani dengan bahasa malam.

“Bukankah Raymaond yang ganteng itu bukan type cowok penjaja cinta. Rinjani. Raymond yang dulu menjadi sasaran mata kamu yang nakal, seakan akan kau berniat menelan dia hidup hidup. Bukankah kau hanya tergoda dengan mobil mewah Albert, gaya hidup gokil Albert “

Rinjani menjerit dan sekuat hati berniat menepis godaan malam jalang, namun semakin keras Rinjani memekik semakin lantang malam jalang menelikung hatinya.

“Bukankah kau duku menolak Raymond karena tidak mampu memenuhi seleramu, dia hanya pakai sepeda motor untuk kuliah. Sementara sang bunga kampus dan bidadari malam harus duduk di kursi empuk yang mewah ? Apa beda Raymond dan Albert, Rinjani !!!”

Rinjani sudah tidak mampu berkilah lagi, suara hatinya telah redup bahkan telah tersumbat oleh sikapnya sendiri. Namun masih ada satu dua bisikan yang datang dari hatinya yang paling dalam “ Raymond datanglah, akan aku berikan sisa sisa hariku hingga kita mampu bermandikan embun dini hari yang berharum bunga De’Amour “. Seketika itu riuh rendah suara gumam jalangnya malam pekat telah memenuhi seluruh rumahnya, pekarangan dan sisi hati Rinjani. Rinjani kinipun terbang menerjang bintang di langit untuk menerangi hari hari yang akan datang.

Jumat, 04 Maret 2011

Biar Kuselipkan Dalam Doa


Dahulu pernah aku katakan…….
Bahwa lembayung senja akan selalu menjauh..
Sembari aku semai semua tanaman sayur..
Berdaun anggrek bulan dan bertangkai mawar biru…
Dapatkah kau selipkan…fajar, kala melati berembun pagi

Namun tetap saja aku sampaikan kala lidah telah kelu
Nyanyian itik dan unggas telah berteriak parau…

Aku telah membawakan seutas “kanvas dengan warna”
merah jambu, untuk kau lukis dendang semua tautan
di antara “ilalang” bertabur warna sorga

Apa harus lengkap aku tuliskan semua bait syair
Untuk sebuah nyanyian jiwa, yang hendak meraih bukit hidup
dalam rajutan warna langit
Kala masih ada guratan awan hitam….lantas
Semua cakrawala telah memalingkan…
Lantaran tiada hari yang bertanam halaman hidup

Jangan kau terburu untuk meruntuhkan langit
Bila ruang dadamu masih kau isi sayatan luka
Yang kau kerlingkan sorot matamu…..
Pada tulang igaku yang mulai rapuh….masihkah ada..?
Sebuah nampan beralas sutera merah jambu
Dengan buah segar menawan….

Sehingga semua belalang pada padang gersang
Berteriak lantang, lantaran telah dekatnya jarak hati
Antara kekesalan dan rumah bambu di tepi telaga
Yang kau pagari dengan tanaman pandan,
Dapatkah kau ceritakan lagi kisah cinta
Antara bidadari Supraba dengan Arjuna

Mengapa engkau terbungkam
Selamat pagi, namun tetap terselip dalam do’a

Semarang, 5 Maret 2011(PONDOK SASTRA HASTI)