Jumat, 21 Oktober 2011

Di Tengah Kemarau Panjang



1.Berdiri di Kaki Langit
Mengapa kau sembunyikan, titik hujan di
tulang igamu
Bila kau harus lukiskan kanvas alam
Dengan warna bugenvile, melati, anyelir dan kenanga
Sudah pernahkah kau dengar,
Lenguh sapi yang menyusui anaknya, disamping peraduan
jerami yang mengering

Mereka semua kini berdiri di kakiMU
Dengan saling melempar sorot mata mereka
Seakan telah habis semua dengus nafas
Aku rengkuh apa yang harus aku ceritakan
Pada daun palma yang mengering
Pada tiap tepian belukar yang memalingkan muka
Menunjamkan dalam dalam dengan kesal
Pada air  sungai yang menghitam

Sudahkah kita semua mengatur nafas
Agar di nadi nadi kita tidak tertinggal tepian cakrawala
Yang menambatkan pelangi yang bersusun
warna warna ranjang peraduan dan “pakem”  hidup kita
Tentang lengan lengan kecil bocah…..
Yang kita papah untuk menerima suapan nasi

Tetapi kini semua mengering
dan mengadukan pada semua penjuru langit
yang halus KAU susun semua plasma tubuhmu (Semarang, 7 Oktober 2011)

2.Malam Bertabur Bintang

Satu dua bintang mulai bereksotis
Semakin kencang berlari jarum waktu
Semakin berani mereka mengencangkan langit
Dan kini semakin banyak mereka menyalakan
lampu lampu minyak, menggelantung
di tengah marahnya bintik hujan

Sengaja aku berhasrat memunguti bintang bintang itu,
Agar mampu merajut bintik hujan
Namun angin kemarau yang kering menghempaskanku
Dan kini menelikungku di halaman rumah yang kering
Menyendiri dalam merajut asa
Memelantingkan sorot mata kepada semua
dahan ranting yang kering dan asing

Tidak lagi lagi menyimpan jejak kaki kaki Kenari
Bahkan digantikan dengan debu yang asam
Dan mampu meluruhkan tulang belulang
Namun tidak mampu aku enyahkan
Hanya menanti semua yang telah dicatat langit biru

2
Dalam “jejer” para “nawangga” yang berdiri di panggung
Menyesakan dada akar akar rumput yang telah mulai goyah
Semakin menghiasi langit
Yang masih bertabur bintang  (Semarang, 7 Oktober 2011)

3.Nyanyian Padi

Kuning bulir padi terlihat samar, tanpa bayangan
Tanpa gemersik daun  daunya
Mereka menunda dalam perjalanan panjang
Dalam pusingan hidup manusia

Atau kini mereka telah sembunyi
Di balik gubug bambu di tengah sawah mengering
Dengan centang perentang keluhan dan umpatan
Manusia yang berlisan durjana   (Semarang, 7 Oktober 2011)

4.Dalam  Sebuah Perjalanan

Dalam perjalanan munyusur benang malam
Kita menyisihkan hardikan “Bathara Kala”
Menepiskan penat setiap sendi, yang mengencangkan
keluh kesah dari sisi bilik jantung yang kusam
Mari kita mewarnai dinding batas kita
Dengan cat berwarna putih yang kaya sulaman kain sutra
Kita ungkapkan semua yang telah menyesakan dada
Pada batas yang tiada bertepi

Bukankah kita hanya sekejap dalam menggelantungkan
semua yang kita tidak mampu simpan dalam ketiak
Meski dalam kantong baju kita
Hanya berisi “tembang dolanan” yang menggulir
Demi sesuap nasi dan secercah kuning sinar mentari
Yang menerobos rumah bambu kita yang lusuh (Semarang, 7 Oktober 2011)

5. Penatku

Jangan ada lagi umpatan
Yang mampu meruntuhkan tebing tinggi
Yang mengungkung dalam lilitan yang kokoh

Jangan ada lagi rasa penat
Dalam mengintip mendung yang menyisir
Kelambu biru

Kita gandeng alam dalam
“Panembromo” sentuhan sentuhan halus
Bila kita sekedar meraih keramahan hutan
Untuk meluuruhkan sengatan tajam
kemarau panjang (Semarang, 7 Oktober 2011)