Jumat, 21 Oktober 2011

Puisi Tentang Hujan



Menyapa Hujan

Sepotong hujan menyelinap dalam kamarku
berdinding anyaman bambu,…tak sempat ku tanya
apa yang kau jinjing

dengan bibir gincu
kau merengkuh selimut biru malamu…
lantas kau berikan sedikit canda
agar aku mampu …terbang ke langit jingga
tempat sekumpulan awan berseloroh
hujanku, kini mulai membasahi
selimut malamku  ……(Semarang, 20 Oktober 2011)


Merajut Bunga Setaman

Kini kau kehilangan nafas
setelah seharian membasahi  bumi ini
namun masih kau kuat menerkam
sudut jantungku yang  bersemayam sebuah prosa hidup

terbangkan juga bilik jantung ini
hingga aku tidak letih memungut nafasku,
dan kau ikat saja pada kilat dan petirmu
agar mampu menggertak tidur pagiku,

agar rajutan bunga setaman
mulai nampak indah…akupun berteman dengan
kupu kupu, tanpa melipat wajahnya
karena telah letih sudah
dan penat semua sendi tulangku
terbangkan aku dalam taman bunga
yang kurajut sendiri    ,,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Pesta Petir                         

Saat ini, semua  temaram jalan bergerigi
dari basahnya tanah liat, dan timbunan jerami
adalah milikmu

Tidak usah kau tebak,
warna apa yang melecut, membelah gerimis senja,
yang menukik dan menyergap
semua yang berlengan kurus
karena semua adalah milikmu

Sempat aku buru, pijakanmu
tempat kau menebarkan petir, dan mengosongkan atmosfer
tempat kita bertaut nafas,
namun tiada satupun burung, awan dan pelangi
yang aku jinakan

semua hanya membanting sorot mata
pada tatapanku yang kosong              ….Semarang, 20 Oktober 2011)



2
Nyanyian Tentang Hujan

Bila kau tautkan ujung ujung langit
dalam mozaik yang memenuhi atmosfer
yang dahulu, adalah bening melebihi ketulusan
sebuah kaca

Lantas kau redupkan hingga menghitam
dan tak mampu lagi, menidurkan bocah pada tidur siangnya
saat kau menghujam mereka dengan
kuku dan taringmu yang menghitam,

Adakah karena hutan, yang tak semulus
pipi perawan desa
yang  melegamkan pula tanah gambut
karena berteman dengan api

Padahal dahulu adalah tempat bercengkerama dewata
di bawah naungan daun palma dan nyiur
di pantai penuh kesejukan dan canda riuh
dari semua yang diusung alam ini ,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Hujan Yang Tak Kumengerti
Masih saja kau ikatkan
seloroh yang menghempaskan sungai, ladang, sawah
padi menguning dan sekeranjang harap ilalang
yang berderet di wajah bumi

Masih saja kau menghempas
kaki  kaki telanjang, dengan genggaman hidup
yang rapuh, meski sempat menengadahkan kedua tangan
agar kau lebih ramah lagi
menyanyikan tembang dolanan
pada haribaan yang menguning padinya
telah ranum buah buahan
telah matang palawija dan seikat bunga harap

Lantas mengapa kau usung juga wajah garang
hingga lepas semua mentimun
dari ranting ranting yang ringkih
jangan kau tebarkan kelopak bunga yang berduri
hingga membuat manusia menyeringai
dan mengeluh bermandi peluh

Mengapa tak kau sejukan atap rumbai
gubug bambu  di tengah sawah
agar lebih terasa leluasa angin barat
yang membawamu ke tiap penjuru bumi ,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Hujan, Sebuah Kado untuk Istriku

Masihkah kau ulang lagi……..
kau rajut  pagi dengan mata nanar, hingga gendang telingaku
ikut larut dalam sumpah serapah
kala halaman rumah kita, hanya menyongsong tawa parau
berlantai  rumput liar dan ilalang yang mengering
3
sekali sekali hanya meluruh bunga kamboja
lantas kau terkam aku dengan senyum hambar

Kini telah basah,  halaman rumah, kebon singkong
di sisi taman bunga anyelirmu, saat kau tanam
di tengah kemarau yang menelan kulit dan dagingmu

Istriku, kini sambutlah hari yang sejuk dan dingin
berenda pagi dan nyanyian kenari
serta riang dan jenaka anak anak kita
yang telah kenyang dengan tiwul dan nasi aking,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)