Senin, 11 April 2011

Kota Pelacur


Lampu lampu jalan yang redup turut membunuh kota itu…kota di jantung
Archipelago…kubangan mandi bidadari
Yang tanpa nafas menggeliat, untuk memelantingkan rumah kardus
Di tepian sungai berwarna hitam dan menyesakan rongga dada,
Dengan langkah berat bersepatu kulit dari “Sang Koruptor” yang membuat aspal jalan
Menganga berlubang….menghardik bajaj dan abang becak,
Akupun menyelinap di sela tubuh beton pengap, tempat tawa ‘kelu’ bibir
Pucat.. untuk menghabiskan selembar demi selembar penghidupan

Noni yang hitam kelam kulitnya, namun berbibir sumbing
Melampiaskan deru eksotis Kota Pelacur ini.
Seakan sang ratu dari negeri Anderson dalam lakon Sepatu Kaca
Belum ada lekukan tubuhnya yang, membuatkan semilir sejuk angin kehidupan,
Sementara sang abang becak hanya mampu menjaring terkaman panas matahari
Roda rodanya berkeluh kesah menerbangkan debu debu,
Meninggalkan jejak kemaksiatan…


Dalam birama reformasi, yang tidak kunjung mengerti semua mata yang nanar
Dan menawarkan air tawar dalam gelas beralas daun pandan,
Hingga tulang rusukpun tidak ikut mengoyak jantung yang meradang
Dalam kota itu “Festival Pelacur” berlangsung dengan meriah,
Tidak ada lagi dada telanjang dari anak desa
Yang bermesraan dengan kelembutan malam, untuk menjemput bulan purnama

Bulan…!, jangan kau ikutkan angin yang tidak punya tautan
Menghardik semua yang mampu memincingkan mata pada Kota Pelacur ini,
Tapi tawarkan angin segar, agar wanita wanita di taman kota
Yang bergaun warna warni, tak ada lagi kain yang lapuk dan pengap,
Biarkan aku selipkan apa yang harus aku pegang kuat kuat
Meski Kota Pelacur ini telah kuat menggigitku
Hingga lengan ini tak ringan lagi bertaut dengan tubuhku
Kota Pelacurku, akupun tak akan menyambutmu dengan wajah
Berlipat, bergayut bulan mati, berenda gerigi ilalang

Aku sudah tidak sanggup lagi pada gelisah dan jalangnya
Tiap sudut Kota Pelacur yang ikut memercikan wajah wajah marah
Dengan tubuh yang terbujur kaku dan sorot kebencian,
Masih saja dalam sudut hati, aku susun sedikit bunga rampai kesabaran
Agar mampu kutautkan ornament “warna jingga” milik yang sedang menggapai
Cinta…yang membius anganku
Sehingga kau tampak seperti “Taman Pelangi”
Yang berbicara dengan bahasa warna

Mari kita labuhkan sampan…bercabda angin pagi,
Biarkan sore menunggu di balik cakrawala
Berilah kepadaku jalan jalan taman, agar aku mampu menyapu
Pandangan mata yang tampak “tak sahaja” lagi
Asal aku mengenal Kota Pelacur ini dan mampu meninggikan,
Kanopi menuju persembahan kepada Sang Penjaga Langit
Agar aku mampu mengintai jalan jalan
yang penuh dengan sedu sedan sang empu liar dan jalang

Semburat warna yang menyedu dalam tiap pagi
Yang disodorkan oleh Tangan Sang Pencipta
Akan aku tawarkan agar mampu meminang canda tawa mereka
Yang ada di cerita Kota Pelacur

Semarang, 12 April 2011-Pondok Sastra HASTI Semarang