Minggu, 23 Oktober 2011

Kala Di Tengah Sayap Cintamu



Kutitipkan Miliku Untukmu

Hanya sebuah awal saja, bila kau torehkan..
sebuah senyap, ....
lantas bila dinding  bambu, yang mengungkungmu,
apalagi  angin prahara yang bermata juling
telah mau pula, menumpahkan cawan cawan seduhan teh
kala beranda rumah telah kau tanami melati

lekuk kali di belakang rumah
kini ikut pula menghitam, mengungsikan tetumbuhan
“bunga sedap malam”,  yang  lekang terpagut kemarau
aku hanya memiliki karangan bunga
berkemas rindu.....tetapi jangan kau tumpahi
dengan angan kosong, dendam dan prahara

Aku titipkan bunga semusim, agar menjulur kelopak kelopak
lalu kau hias dengan minyak wangi tubuhmu
saat kau tak ragu, berlabuh di peraduan
namun kau tetap terjaga....
dan memunguti sisi malam yang tak berbintang

Sudah berapa lagi, kau pelantingkan pagi
dalam keranjang sampah, di bilik hati....
akupun hanya berkelana bersama angin senja hari
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Kupatahkan Sayapku sendiri

Biarkan aku terkucil...
membunuh  sorot mata,
membekukan  sudut kamarku,
membelenggu lengan lenganku

aku terbangkan kain hitam tak  bertepi
untuk menghalangi mentari,
hingga pagi terbunuh,
cinta anak ingusan tersayat pilu,

semai cinta dalam vas bunga
telah berkali membentur tebing kokoh
dalam lembah penuh manusia durjana

kupatahkan sayapku
dan  mengait  pada buluh rindu
yang dirajut sang rembulan
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Tetaplah Menjadi  Miliku Apa yang Kupunya

Kau inginkan “bulan berenda emas” ?
di tengah pesta minuman, dengan gelas kaca berelief
negri impian....lantas bajumu bermanik
mutiara tujuh warna...
bukankah itu milikmu sendiri
biarlah ada dalam kantong bajumu
jangan lagi mengerling matamu,
pada diriku  yang galau dan risau

hidup yang kita miliki,
adalah perjalanan menyeberangi benang bertinta hitam
yang kau kaitkan di tengah malam gulita
sehingga langkahku
hanya mampu setengah hati,

Aku adalah ilalang yang kini punya nyali
untuk melepas mawar jingga berduri tajam
yang telah lama menjadi ornamen
baju tidurku.....

(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Sajak untuk Effinta

Kita berdandan bagai raja dan ratu,
dalam kereta berkuda delapan ekor
di depan kita terdengar teriakan nyaring
genderang genderang yang menggetarkan
wajah bumi.....

bergetar debu debu jalan
hingga petirpun tak berani berpose di atas
aku menggunakan topi sang pangeran
dan kaupun mengikat rambutmu
dengan ikatan emas bergambar  melati

dalam sekali ini
kau lupa bahwa kita tidak memiliki apa apa
untuk sarapan “tiwul dan singkong rebus”, yang tiap pagi
memenuhi perut perut kita
yang tak pernah menggerutu

kau begitu bahagia
dengan sorot mata sejuk dan terkadang liar
ingin menggandeng bumi dan seisinya
selamat pagi Effinta........
negeri  “atas angin” ingin berselingkuh denganmu
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Lajulah Perahu Cintamu

Sudah kita kemasi angin prahara,
yang bergambar  sayatan bambu, dengan mata sebelah
pernah menghardikmu,  hingga tidak tersisa tulang igamu
Bersabarlah, kita mampu berdiri tegak
meski lutut kita masih ditelan bumi,
hanya air mata saja yang patut kita takuti
saat tertumpah di halaman rumah
yang mampu menyingkap bau busuk
bila debu telah memenuhi jantung kita

Dengan kedua mataku yang terpincing
aku menyaksikan lenganmu yang tak kukuh
menggelar layar kumal,
namun ombak siapa yang berani menantangnya
mereka semua menggerutu  dengan kata yang dalam
tapi tak jelas......
apa kau mampu berpijak di pantai biru
bila kau hanya mampu membuka layar
tak tegar......
kenali dahulu sayap- sayap burung camar
nyanyian ombak yang sendu dalam rindu
nyanyian ombak yang menjalin cinta,
nyanyian ombak yang meradang berang

Namun, bukankah tetap kau bersikeras melaju
dengan perahu, yang berkayu tekad, bertiang semangat
hidupmu....
nanti juga bakal kau temui, malam berbenah kembang
setaman.... (Semarang, 23 Oktober, 2011)


Bulan dalam Keranjang Cinta

Bertahun aku jaring sinar rembulan
dalam keranjang cinta, dari bambu yang menggambar
kehalusan...
beralas sutra jingga, milik para dewa
dan kau adalah bidadari,
yang bersemayam di tengahnya

(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Bambang Sukmadji-Semarang.