Kamis, 27 Oktober 2011

Doa untuk Negeriku


Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur

Dalam doa, tak ada saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini

(Semarang, 27 Oktober 2011).

Merajut Pagi Bumi Nusantara


Benang sutra kini sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir mozaik wajah wajah tunduk,
betapa tingginya bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar kemarau panjang

Telah kering air kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi negeri
hanya duduk melamun dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan sesejuk
buih Danau Toba

Kita telah berada di beranda jaman
yang berisi dunia maya dan “solar flare”
mampukah kita menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi tak membutuhkan lagi

(Semarang, 27 Oktober 2011).

Negeri Bunga Sorga


Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air sejuk pancuran sorga,
mengalirlah air kehidupan , sebening embun
yang menepikan birama tanah retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua.

Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki” dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang- karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya kapal kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi lambung kapal kapal mereka yang pongah
bunga sorgapun terpingit dalam halimun kelam

Lengan lengan rapuh, tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang yang terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga lengan lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana Sinderalla.

Jangan kau remehkan tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus nasi
dan adonan daun pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby yang terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.

Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang lemah santun menjadi saling pandang
2
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik

Perahkah kau dengar cerita dari sekumpulan awan ?....
yang tergelar karena bunga yang “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
membuat angin padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut

Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air Danau Toba
untuk sekedar mandi anak cucu kita di pancuran sorga.

Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.

Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak cucu kita yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.

Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan.

(Semarang, 27 Oktober 2011).