Jumat, 28 Oktober 2011

Dendam Rindu pada Negeriku


Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak cucu
Yang memburu belalang liar...
dan tidur di ilalang yang mengering

Baru saja udara yang pengap
Berselingkuh dengan rongga dadaku,
Hingga penat menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak bangsa yang menyelipkan
segudang geram,  mampu merobohkan
Anak Krakatau dan Rinjani

Aku tak ingin pulang
Sebelum bunga bunga  kering di tengah jalan
yang ditebar dengan sebelah mata
menjadi bersemi lagi
harum mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya.
(Semarang, 29 Oktober 2011)



Prosa Alam Tentang Negeri


Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar  pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh  “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah  dan gunung.

Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan,  yang tak pernah
melangkah surut ,  meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”

Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa  (Semarang, 29 Oktober 2011)

Sebuah Pesan untuk Saudaraku


Sudah berabad lamanya, nenek moyang kita....
mengikat  pagi,siang dan senja hari
dengan  jagung, ketela rambat dan bayam
tak ada duri tajam di sawah ladang mereka....

mereka siram dengan air Anugerah dari
Yang Kuasa.
Tiada gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan  dan durjana,  sawah merekapun ditanami
“tanaman kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada pernah ada makar, anarkis  dan mesiu

Mari kita menambatkan perahu di  pantai mereka
meski  akan kita temui jalan dari tanah liat yang
licin, lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan “sang  gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu pintu depan rumah gubug mereka.

Kita sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu  memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan bertembok tulang belulang
dari belukar ,  yang tumbuh di tengah padang penuh batu
bergerigi.

Kita sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di Pantai
Dengan mengemudikan angin fajar.

Mari kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang datang dari sudut langit, yang kau penuhi dengan
iri  dengki dendam dan hasut
tiadakah pagi, tempat  memainkan buluh kembang tebu
untuk dijadikan seruling.

Atau kita hanya diam....
Sepi.

Semarang, 29 Oktober 2011.