Selasa, 13 Desember 2011

Hanya Sebuah Biduk


gita sekar aji
Ke mana arah benua ?
hanya layar yang kokoh
sanggup menunjukan dengan seloroh angin laut.
Biduk kecil hanya menelan ludah,
bersama ‘ilalang rapuh” 

Pernahkah kita dahulu menakar batas langit
dengan nafas kita sendiri, bukan hanya elang yang mengerling
namun kawanan pasatpun semakin kokoh menjerat.
Jangan berpaling, biar sang pipit yang memunguti buku harian kita.
Sementara ajaklah semua cemara yang menjulang untuk  menuai
angan, yang  membisikan sayatan pilu.

Kita bergegas menyongsong atmosfer berperdu merdu,
dalam rindu ...menghela nafas di bilik bambu rumah kita.
Berhalaman Anyelir dan Kenanga, namun ilalangpun mengurai senyum.

Kita adalah nafas-nafas kecil......
Dengan guratan otot   yang sarat dengan peluh. Masihkah hadir hari -hari
yang  membawakan sajian sarapan ubi dan sekerat daging,
puspa prasasti aji
yang mampu   menawan kita dalam prosa cita rasa
Milik kita yang menyelinap di tepi waktu
Kita telah  terlanjur membuka jendela,
Di tengah sang waktu yang berwajah garang dan bertaring tajam

Rebahkan punggung kita,  pada dinding  beluntas
Agar nafas tak hanya tersimpan di dada,tapi mengalun
dan menjaring perputaran bumi, sang nyanyian burungpun termenung lesu.
Karena belum ada angin sejuk membawa berita,
Kemana cakrawala yang masih  berselingkuh dengan galau.
Saat kita telah bediri tegak,
Namun  sepi.....

(Semarang, 13 Desember 2012).