Selasa, 31 Januari 2012

Saat Hari Telah Kau Kayuh dengan Pagi


saat telah sembuh telapak kakimu
dari tajamnya duri yang kau pinang sendiri
aku bawakan senampan hiasan hari
agar lebih akrab engkau dengan pagi~tanpa kedurjanaan
bukankah harus kau tawarkan semua
sembilu yang, menyudutkan hatimu

tak lupa satu bait selamat pagi,
aku hujamkan pada tepi hatimu
engkaupun merobek wajah pagi
dengan untaian mawar merah yang kau selip
pada kain beludru tirai ranjang pengantin kita

kedua lengan ini menjadi kencang
karena pagi masih membentang dalam jalan panjang
meliuk ~ menjadi pematang tanah liat,
yang licin dan mengusung sebuah cermin
agar kau pandai bergincu, meski dengan merah mawar
lebih aku suguhkan, dengan putih melati
seperti hari ini, yang kau kayuh di tengah pagi

(Semarang, 1 Pebruari 2012).  

Selasa, 24 Januari 2012

Selamat Jalan Kakanda


Iman Adji
Kau ulurkan ikatan bunga,
Dalam senyum yang “menerbangkan debu”
Untuk kau raih, aku tak mampu menggapai
Bila senja telah bertutur dalah bahasa pelangi.
Aku terbangkan angin waktu
Memburumu...tak kunjung aku sampai
Lantaran kau terselip dalam senja

Aku berikan seribu makna dalam sebuah
karangan kata, merah, jingga hingga biru
kau menolehkan wajah, dalam arti  yang aku
tak tahu.

Kau hanya memberi salam kepada angin lalu
Aku terhenyak, saat aku menggapai makna
Ini adalah garis langit
Yang bersemayam “Mahkota Bersusun Tujuh”
Akupun hanya mengakrabi doa
Agar pematang dan sawahmu dirimbuni
Padi yang menguning
Tempat kau berseloroh dengan bidadari
Selamat Jalan Kakanda.

(Semarang, 24 Januari 2012).



Minggu, 22 Januari 2012

Malam Pertama ini Untukmu


Bintang malam ,
menjadi  menyurut  pesonanya…bulan
tak kentara lagi membalikan wajah  malam
karena terpenggal satu dua nafas memburu,
kau ikat mereka menyelip di kelambu pengantinmu
aku tawarkan…pada sunyi berlarinya hari
namun kau memungutnya
hingga jarum waktu  membentak
haripun terbawa sayap seribu malaikat.

Aku bentangkan kebun bunga, agar
kau menggauli,  lepas semua sendi tulangmu
kau menerimanya…
akupun berkalang rembulan yang bernafas dengan
peluh…
kau menganyam beludru jingga, merah jambu
kelambu pengantin memang milikmu.

Hari hari telah jauh tertinggal
karena kau rajutkan peluh  dan nafas
dalam simphoni rindu…milik Dewi Supraba di
Indrakila. Aku menorehkan dalam setiap bentang
daun palma….agar  mengabarkan lewat angin
kita tak punya lagi saling menyayat hati.

Kau lumuri kanvas dalam lukisan alam
yang tanpa satupun bergambar gurat wajah,
terlipat karena eksotisnya kehidupan
lantas aku terima,
dengan menikamkan seribu  rona membara
hingga tak terdengar lagi gurau dan seloroh
semua terlipat dalam gelap malam
hingga rintihan terakhirmu,
meluruhkan tebing dan wajah malam
(Semarang, 22 Januari, 2012).




 


Rabu, 18 Januari 2012

Puisi Tentang Negeri Anggek Bulan


kita berdiri bersusun
membentuk mahkota warna warni Bunga Wijaya Kusuma
mesti terselip di tengah Ombak Laut Selatan,
aku kembalikan kerling mata….yang mampu mengecoh
gulungan awan hitam dari langit berwajah bengis
yang menerpakan  atmosfer berjelaga, menghitamkan
pucuk palma sepanjang pantai negeri Anggrek Bulan
yang Indah Bestari.

dalam perjalanan tali sutera sebening embun pagi
kita mampu menukilkan sebuah prosa
yang bertulisan wajah yang berkerut karena kesabaran
dada yang bertelanjang keterbukaan, pagipun
masih berjendela kasih sayang, kita bernyanyi pagi
dengan simponi melodi burung burung manja
kita lupakan, angin prahara dari empat penjuru samudra
dari dua bantalan kutub terpagut dingin membisu.

Kita masih punya arah, yang ditunjukan
angin dua musim yang menyemai hijau tanaman sayur
di kebon belakang rumah kita yang teduh.
Kita acapkali mendengarkan lengking teriakan “Koruptor”.
menggema di tengah kamar berlantai marmer
berpilar romawi kuno dengan altar berlumuran merah darah
dari nafas si kecil yang memungut harap
di tengah sawah, kebon dan pinggir jalanan
kumal dan lusuh, ditengarai dengan mata nanar.

Kita masih memiliki suara hari
“Sebening Batas Pandang” tentang negeri indah
Sepoi angin santun masih mengipasi dada yang telanjang bulat
karena kita  masih menutup rapat catatan Dwikora dan Trikora
atau saudara kembar dari Timor Leste
meski Papua dan Serambi Aceh masih meradang luka
namun balutan kain putih berseri
dari koyakan saudara saudara negeri santun
masih mampu menepis deru dan debu.


Biar saja bulir mutiara berkelip sang mentari
masih mengalungi leher Bukit Barisan dan Jaya Wijaya
membahana menjadikan lembah berpenghuni asri
tempat anak anak kita berkejaran, memungut
layang laying kertas yang terombang-ambing angin katulistiwa
jangan hardik mereka dengan siulan keras menembus
kemanusiaan, seperti punggawa raja yang lapar perutnya.

Mari kita benahi
sayup hasrat mengatur nafas, menjadi dentuman seribu meriam
agar kita bersatu, menuai padi di sawah***

Kamis, 12 Januari 2012

Episode Cinta Remaja

Anita si cewek cantik jelita,  saat itu memucat wajahnya, apalagi setelah melihat Bu Anggun melipat wajahnya, yang kini duduk di depanya terbujur dingin. Anita tidak tahu lagi apa yang akan terjadi, bila Bu Guru Anggun yang hitam manis itu tanpa sedikitpun berhias senyum indah seperti biasanya. Hari ini memang bagi Anita kegiatan belajar sedari pagi tadi kelihatan hambar, setelah Bu Anggun sendiri yang menyuruhnya menghadap seusai sekolah berakhir.
“Anita duduklah !, langsung saja to the point tentang  sesuatu yang ingin ibu sampaikan. Anita jawablah ?. Ini ibu yang jadul, nggak tahu “playing love”nya anak muda atau kamu yang harus menuruti nasehat ibu “. Sesuatu yang dibayangkan sebelumnya oleh Anita kini memang menjadi realita, setelah Bu Anggun mencoba menelisik privasinya.  “Mengapa kedekatan aku dan Ryan mengusik hatinya ?, apakah bu guru yang cantik itu cemburu denga aku yang lagi enjoy ?. huuuh, aku cuekin aja. Mama papaku saja tidak melarang aku dekat dengan Ryan , apa urusanya dia marah sama aku “ bisik hati Anita kini menggayuti beranda hatinya.
“Anita, mengapa diam ?.
“Anita tidak mengerti apa yang ibu maksud ?”
“Kamu mau belajar ?, apa mau terus-terusan main dan bolos sekolah !”
“Anita mau sekolah, Anita kemarin-kemarin ijin bu ?. Papa sendiri yang buatkan surat ijin “
“Oh, ya !, betul papamu yang nulis ijin ?. Bukanya Ryan yang nulis surat ini!. Anita akulah mamamu, akulah papamu di sini. Sejak kapan kamu pandai berdusta “
“Tapi, bu…..!”
“OK !!!, Anita seribu alasan pasti akan kamu ajukan ke ibu ?. Karena ibu tahu saat saat seperti kamulah semua akan terasa kecil, resiko apapun akan kamu abaikan. Anita !, ibu harapkan kamu sudah mampu membedakan siapa yang tulus memperhatikan kamu dan tidak. Bu guru sama sekali tidak melarang kamu untuk berpacaran, selama itu menjadi penyemangat untukmu “
“Tapi Ryan hanya teman Anita, tidak lebih dari itu !”. Anita masih menyerpihkan seberkas alasan kepada guru yang selama ini menjadi guru pujaan baginya.
“Inilah yang ibu khawatirkan, Anita !. Kamu tahu maksud ibu ?”
“Tidak bu !”
Anita sekarang tidak lebih dari anak ingusan yang tidak berkutik sama sekali di depan wali kelasnya.  Meski selaksa untaian kata telah dia persiapkan sebelum bertemu Bu Anggun. Namun sentuhan halus guru yang piawai itu telah membuat tenggorokanya terseumbat. Lantas bagaimana nantinya aku akan enjoy dengan Ryan, bila aku tak mampu menghadapi guru ini. Tapi bukankah selama ini Bu Anggunlah yang membimbing aku segalanya ?, berkat sentuhan halus darinya, aku mampu terus-terusan mendapat rangking di sekolah ini.
“Anita ? hargailah ibu jangan kamu diam seribu bahasa. Bu guru tidak pernah berniat menjerumuskan kamu. Meski hati kamu sekarang sedang tidak di hadapan ibu lagi “

“Bu Anggun tidak perlu khawatir pada Anita, Anita sudah dewasa bu !”
“Dewasa ?,  mana Anita yang dewasa !. Persahabatan biasa tidak mungkin membawamu menjadi siswa yang sering ke cafe pada jam sekolah, tidak mungkin menjadikanmu siswa yang malas belajar. Tapi persahabatan itu tidak lebih dari simpatik kamu yang gelap mata pada cowok ganteng seperti Ryan. Inikah yang disebut dewasa ?”
“Anita tidak pernah ke café, bu ?”
“Inilah yang sekali lagi  membuat aku kecewa. Anita ?”
“Sungguh, bu !”
“Demi Ryan kamu berbohong pada ibu ?”
“Tapi Anita sudah gede, bu !”
“Anita !, bu guru tidak pernah menelisik kamu pacaran sama Ryan apa tidak ?. Karena kamu sudah gede seperti katamu. Tapi yang ibu harapkan, kehadiran Ryan dihatimu justru menambah spirit kamu untuk meraih prestasi. Bukan malah menjadi cewek badung seperti sekarang ini“
Seberkas titik air kini mulai membasahi kelopak mata Anita, yang sebenarnya tahu persis bahwa selama ini dia di depan guru sekaligus figur penyejuknya itu dia berbohong. Mengapa Bu Anggun selama ini tahu persis tentang dirinya dan Ryan.
“Anita sayang ?, Bu Anggun sudah sering kali menjumpai kasus seperti ini. Tapi Bu Anggun tidak pernah melarang siapa saja untuk pacaran. Bu Anggunpun pernah muda dan pernah juga bepacaran. Tapi yang ibu selalu hindari adalah perasaan yang lebai, yang hanyut dengan romantisma picisan, yang justru akan menenggelamkan kamu ke dalam lumpur yang dalam. Itulah yang bisa ibu berikan pada kamu, Anita !”
Goresan goresan kecil yang ada di libuk hati Anita, yang semula menimbulkan kegalauan kini mulai tertepis karena sentuhan nalar Anita. Hatinya semula terpingit oleh Ryan yang tampil seperti actor Tom Cruise, dengan janji janji wangi bunga yang tumbuh di taman hatinya. Namun bukan berarti dia harus menghempaskan Ryan yang mencuri separo hatinya. Tapi justru dia harus mampu menyejukan cowok badung itu yang melekang diterpa eksotis jaman.
“Sudahlah, Anita !, maafin ibu ya !. Semua yang ibu katakan sama kamu semata semata permintaan mama kamu yang sayang sama kamu. Selebihnya terserah kamu saja “
“Maafin ya bu, Anita tadi berbohong !”
“Sudahlah, Bu Anggun tidak menyalahkan kamu. Asal kamu mau berjanji pada ibu “
“Janji apa Bu ?”
“Anita !, jangan kamu yang tersihir rayuan Ryan. Tapi justru kamulah yang harus mampu membuat Ryan menjadi anak baik. Perlu kamu ketahui, Anita !. Apabila Ryan masih sering membolos, maka terpaksa sekolah akan mengeluarkan dia dan ibu harap kamulah sang dewi penolong bagi Ryan, sanggup ?”
Anita hanya mengganggukan kepala dan segera berlalu.
Mata yang berkaca kini mulai menampakan menggambar hati insane remaja itu, pertanda di hatinya mulai tumbuh semi yang bakal mengokohkan hatinya demi Ryan, demi cintanya, demi maminya dan Bu Anggun serta demi segalanya.
***
Sebuah sedan biru sendu metalik  kini menderukan mesinya menggilas genangan air di jalan aspal sisa hujan semalam. Mobil keluar meninggalkan halaman sekolah di tengah hari dan mobil itu seakan sedang berbagi rasa dengan seseorang yang duduk di belakang kemudinya, untuk sebuah niatan tulus demi Sang Dewi Amour. Sementara terlihat cewek remaja itu sibuk merogoh kantong bajunya untuk mendapatkan Hpnya yang berdering lembut.
“Anita !, aku mau jumpa kamu sebentar saja. Tadi ngapain kami dipanggil Bu Anggun “
“Ah..nanti saja kita jumpa, aku capek, aku mau jumpa mamiku dulu, besok besok saja kita ketemu !”
“Anita, nanti dulu..”
“Dah Yan, bye bye…klik”. Anita segera mematikan Hpnya dan menaruhnya di Dashboard mobilnya.Sementara dari HiFi stereo mobilnya bergema lagu jadul Elvis Presley “Are You Lonesome To Night “. Anita kini tertikam udara musim hujan yang dingin dan semilir untuk beristirahat tidur siang di rumahnya.
***
“Aku tidak mau lagi nongkrong di café sama kamu lagi Yan !. Aku malu ditegur Bu Anggun dan mami sekarang demam setelah tahu aku sering bolos sekolah”, pinta Anita seusai sekolah di siang hari.
“Tapi, kapan kita bisa bebas jumpa kamu !”
“Kita bukan anak kecil lagi !,  simpan saja egomu yang kaya anak ABG saja !. Aku nggak mau seperti itu lagi. Yan kamu sudah diancam guru guru, kamu harus rajin masuk karena sebentar lagi UN “ sekali lagi pinta Anita disodorkan pada Si Ganteng itu.
“Ah, masa bodo Anita, aku ya seperti ini. Kamu nggak usah ngatur aku piss !”
“Ya sudah!, Cuma kamu harus tahu Yan !, kalau kamu mencintai seseorang kamupun harus bisa berbagi perhatian dengan lainnya, kamu hanya bisa mencintai egomu saja . Itulah permintaanku pada kamu. Yan aku pulang saja, mami sudah menungguku di rumah “
“Eh Anita, tunggu dulu !”
“Aku harus menunggu apa lagi “
“Aku tadi Cuma ngomong nggak serius !”
“Kamu masih suka saja sama egomu itu !”
“Nanti dulu Anita, OK, OK, ya aku janji . Aku pengin bareng pulang sama kamu. Aku pengin njenguk mamimu. Aku mau minta maaf sama mami kamu, papi kamu dan kamu,     sayang !”
“Sungguh Yan !, aku sungguh sungguh ! “
“Ya, sayang !”
Daun daun palma di depan sekolah kembali bereksotis ditiup angin musim hujan. Gerimis mulai membasahi bumi, sebasah hati Ryan yang mulai lapng dan sejuk ***

Episode untuk Orang Orang Kecil


Masih Ada Waktu

Jarum  waktu  menerkamkan  bara membakar semua yang kumiliki
untuk  di pinang  pada kantong bajunya, akupun enggan menjadi mempelainya,
meski bintang gemintang telah aku buru,
menyelinap di tengan kelambu langit,
namun birunya  telah menyapaku gelisah.
Akupun masih dalam jingganya apa yang kau cibirkan.

Aku berniat berkawan  awan…..
Melepas lepuh tubuh, dengan kawanan “merpati” bertatap elok
Membangunkan gelisah sang palma di hujat jaman
Biarkan semai bulir padi, tetap digenggamanku
Untuk sesuap sarapan pagi kita,  menantang jaman
bersama istriku, “Sang Rembulan”
Meski kita berdua tak memiliki rajutan kain sutera esok pagi
Namun air Toba tetap menjadi penyejuk

Agar pematang di sawah tidak bercampur dengan noda busuk
Seperti yang dijinjing punggawa negeri,  menebar sembilu
hingga “perih dan pedih” menyelingkui Ibu Pertiwi.
Aku orang kecil, menebas halimun “Solar Flare”  tak mampu,
Apalagi larut dalam tepuk riuh dendang “Sang Koruptor”

Mari kita hiasi tepi jarum waktu
Dengan seloroh yang lebih renyah, hingga waktu dapat kita pungut
Taringnya yang tajam tidak mengoyak jantung kita
Sehingga tidak terlepas ikatan tentang sebuah Negeri Bidadari
Yang bersemayam di beranda Toraja, dan menebar wangi bunga
diantara Serambi dan Puncak Jaya Wijaya

(Semarang, 13 Januari 2012).

Aku Bukan Malin Kundang

Bila Sang Ibu bersedih,
Biar air matanya kesedu dalam peluh
hingga hilang penat tubuhku
aku tetap menjagamu

Bila Sang Ibu mengerlingkan mata
Seribu makna akan aku buru
hingga ke ujung langit
akupun tetap dalam cumbu rayu

Bila Sang Ibu berduka
Akupun menebas langit, mencari selendang
bidadari, agar  engkau terlelap dalam negeri gubug bambu
akupun menunggu pagi

Bila Sang Ibu menjenguk langit
Hingga badai di beranda rumahku
Akupun tersungkur dalam doa
Pada Sang Segalanya di atap langit
Agar Ibu menjenguku lagi.

(Semarang, 13 Januari 2012).

Surat untuk Negriku

 Matahari telah lama dalam canda
di pelataran Bukit Barisan, untuk bercumbu
dalam riang pesta teh hangat
yang disidorkan di atas nampan Negri Seribu Dongeng.
Bertiup semilir angin dari celah Pegunungan Kidul

Nyanyian burung pagi hari
Menjadi  hidangan wajah bergincu syahdu
Yang tak pernah terlewatkan dewa dewa di “Indrakila”
Karena darinya,  negeri ini terbujur dalam bentangan
Akupun terkungkung,  dalam taman bunga
Yang tak lelah menjulurkan kelopaknya

Hingga dalam episode orang kecilpun
Mereka masih memingit mega-megamu
Berjaga di pagar bambu  halaman rumahmu

Kamis, 05 Januari 2012

Bernaung di Negeri Hujan


Awalnya hanya senyum ranum....sekumpulan beluntas
yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.

Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.

Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA”  berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata kosong

Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.

Dalam hujan, basahi kita dalam damai

(Semarang, 5 Januari 2012 )