Senin, 27 Februari 2012

Pelacur dari Bibir Neraka




memang kita belum mampu merapikan pagar bunga

pada halaman rumah berdinding rajutan ilalang,

berlantai tanah yang menggeliatkan nafas yang berlalu lalang

memburu tirai jaman, yang tertusuk jarum waktu

hingga kita terlentang, dalam atmosfer kemunafikan


satu dua bilik bambu kita lewati

dari jaman negeri ini meradang dalam nanar merah darah

hingga senyum semu dari perlente, yang berkerah baju sutera

tiada pernah punya rasa malu, terpinang angin tenggara

yang ganas dan bergigi pongah


kita lebih memilih seloroh pelacur berliuk tubuh anyir

yang bangkit dari bibir neraka, yang membenamkan

kepedulian di tengah lumpur hitam

bersendi tulang rapuh dihempas prahara Papua dan Negeri Serambi

telah kering sudah peraduan pengantin baru

di balik kelambu biru malam, bersimphoni belalang padang.

kita enggan mentautkan angin segar dari beranda

Jaya Wijaya hingga Bukit Barisan.


mengapa tiada lagi stambul dari para pujangga

dengan untaian kata santun dan senyum tipis

semesra ibu ibu dari negeri yang menyodorkan sarapan pagi

dengan secagkir kopi hangat dan ubi rebus

menyambut pagi dengan “Gamelan Jawa” dan “Serampang Dua Belas”


kita hanya pandai menjinjing amarah di tepi jantung

tak ada lagi, anak desa berlarian mengejar kupu kupu

di tengah padang menghijau, menautkan empat cakrawala

kita hanya mampu menghempaskan debu konflik

menyesakan dada dan nafas yang saling memburu


kita kaya dengan kepalan tangan

dan makian pada semua yang berjejer di remang panggung opera

kita tiada lagi di tengah “Tarian Santun” di benang katulistiwa

hingga senja di pantai menuggu biduk kertas untuk berlabuh

mari kita buka jendela langit

agar benang putih mampu menjemput doa kita 

(Semarang, 27 Februari 2012)







Minggu, 26 Februari 2012

Bulan di Atas Pohon Jambu


kau simpan sebagian warna emasnya
kala ku tunggu di pohon jambu…senyum rembulanku
menunggu biru malam, menjadi tirai hatimu…
kau telah mengikat sari dalam kelopakmu
sedangkan aku kumbang yang melipat sayap
kutunggu saat angin padang bertiup sepoi
aku hadirkan rajutan bunga jingga bertepi
benang emas…
kau menggodaku dengan alunan resah
hingga tepi malam mengkaitkan diri
liuk nadi darah yang mendidih

masih ada satu lagi yang kau tinggalkan
aku yang tersudut dalam birama jarum waktu
menjaring prosa lakon dalam Arjuna dan Dewi Supraba
meski hanya mengais di pucuk pohon jambu’
tapi biarkan bulanku memiliki malam ini

dengan separo nafasku di bawah pohon jambu
saat merindu…
dengan seribu buluh cinta.......(Semarang, 27 Februari,  2012)



Kamis, 16 Februari 2012

Negeri Genderuwo



Hingga kemana kita mencari
dalam tepi dan tak terdengar teriakan kita  lagi
lolong anjing ikut pula menitipkan sayatan
yang terdalam  menoreh fatamorgana...manusia
hanya dalam batas tulang dan daging

bila kita dalam ikatan “Swargaloka”
hijau  huma dan biru dalamnya samudra
menjadi naungan untuk kita  berbagi sendi yang lepas
mengapa tak kita benahi kepalan tangan
luruh buih di pantai ~ mengusung sebuah hardikan
pada langit yang berjelaga
merah padam semua wajah yang kelu
bersimphoni dengan lengkingan parau pipit
di beranda pagi

kita dalam jaman
ornamen atmosfer telah siaga dengan taring tajam
kuku panjang bermanik saling menghempas
mari kita  menantang pantai
agar anak anak kita menyambung layar
tak koyak~ kita hanya saling pandang

(Semarang, 16 Februari 2012)

Senin, 13 Februari 2012

Malam Biru untuk Valentine Day


Selimut malam......
untuk sepasang merpati di “Valentine Day”

dalam canda suka, sepasang merpati
memunguti halimun pagi
mengepak sayap, meluruh debu   jalanan
seakan telah lumat tirai waktu
berganti dengan terpelantingnya ,
semua warna dunia dalam sendi tulang mereka

kala mereka menyemai  kelopak jingga
di atas kanwas penuh warna
sang bidadaripun tersenyum malu
bunga dalam suntingan mereka
menaburkan sari hingga menyentuh langit

kala kedua sayap mereka bertaut
sepi...dalam tautan malam

(Semarang,  14 Februari 2012)

Rabu, 08 Februari 2012

Doa Sang Lelaki

1.      Dalam Doa Malam

sekeping hidup dalam buai panjang
pernah singgah,  menepikan seraut  episode menakutkan
di tengah makian debu debu menyesak dada
tak urung,   nyanyian duka
telah disemai di puncak yang bukan milikmu
meski bibir gincu, menyapa hari hari yang asing
tak satupun nama tertanam di pepohonan
yang kekar dan sejuk

merah jambu awan senja
bertepi putih membiru tepi langit
telah menyongsong wajah yang akrab dengan
lipatan jaman…guratan hidup mencumbu nafas
kala terlihat lelah kedua mata kita.

kau mencoba mengukir sisi langit
yang membentuk barisan awan…bertanam mekar sari
seberkas himpitkan  tajam  sebagian langit
meluruhkanmu, …..kembali sepi
dari indahnya wajah bulan di bumi dongeng
hanya tinggal, bahtera yang mengusung
serpihan layar menantang angin buritan

lebih baik kau tawarkan mawar jingga
dalam sebagian malam
bertabur sayap malaikat dari rajutan langit
kemana lagi akan kau cincang hidup ini
bukankah potongan doa lebih indah
dari jarum waktu yang kau tinggalkan……(Semarang, 9 Februari 2012)


2.      Entahlah Meski di Mana Aku Berada

hanya bentangan kuning padi berseri,
terbawa liarnya angin memburu seribu makna
kadang menengadahkan bulirnya ke mentari
berkuning rapat rambut sutra
atau meliukan rindu ke biru gunung menawan
menata kembali nafas yang terpagut merona tepi jaman
entahlah hanya tangkainya yang menggenggam makna
dari dahinya yang berkerut
dan rongga matanya yang dalam membisu.

atau……….
biarkan saja awan jingga dalam angkuhnya
menerpakan sisi cakrawala barat
tempat merpati meluruskan sayap
aku terselip di dalamnya ikut menggetarkan
makna – makna yang meluruh di gerimis senja

aku kencangkan genggam jemari
yang tergolek lesu kalau seribu cermin ego menghimpitku
aku kabarkan dalam seloroh prosa pujangga
namun hanya bait yang menunggu merekahnya mawar jingga
beruntai gerigi tajam menghanyutkan sisi sendiku
aku  kembali dalam canda manja alam
atau kepak kenari yang melambungkanku
menuju batas pandang yang samar
aku tak tahu….

sempat pula sang camar
membenah pantai dari rerimbunan durjana
yang menghitami, jantungnya
namun tanpa mata nanar dan syak wasangka
sang camarpun hinggap di biru langit
dengan wajah menunduk, memunguti  bentangan harap
aku dalam sepi….

masih ada sisa bait, yang terpendam pada
dalamnya kalbu, hanya makna yang aku sendiri
lelah menjinjing di balik wajah yang mencibirkan kelu
mari kita kembali untuk mengetam padi
meluruskan pematang sawah kita
agar kuning padi menyeringai dalam seloroh mentari
hingga belalang melipatkan sayapnya
kita dalam damai
agar tiada lagi sepi….sebuah gambar alam……(Semarang, 8 Pebruari 2012)



3.       Semuanya Kan Usai

lantaran apa kita pinang embun pagi
yang renyah menyelerohkan cakrawala di balik gunung
hingga kita terpikat pada lesung pipit
dan gemulai Gambir Anom sang pesinden penuh
cahaya malam…dan lampu jaman

tulang-tulang iga kita tlah merapat
dijemput maghligai susun tujuh empat penjuru langit
gendang dan kecapi tak mampu lagi
menarikan dedaunan palma di ujung rumah kita
apalagi lagi  dolanan anak anak  yang bertembang
hanya seberkas kenangan dalam rindu hati
bersama kekasih kita

lekaslah mencanda jantung kita masing-masing
agar nyaman tidur siang kita…………(Semarang, 8 Pebruari 2012)

4.      Senyum

dalam senyum sang lelaki tak lagi memincingkan mata
bila rerimbunan pohon tlah menyejuk jiwa
semua gambaran alam..melapangkan dadanya
 lembayung senja bertanam bunga melati
lelaki itupun….entah milik siapa……(Semarang, 9 Februari 2012)

Senin, 06 Februari 2012

Entahlah


hanya bentangan kuning padi berseri,
terbawa liarnya angin memburu seribu makna
kadang menengadahkan bulirnya ke mentari
berkuning rapat rambut sutra
atau meliukan rindu ke biru gunung menawan
menata kembali nafas yang terpagut merona tepi jaman
entahlah hanya tangkainya yang menggenggam makna
dari dahinya yang berkerut
dan rongga matanya yang dalam membisu.

atau……….
biarkan saja awan jingga dalam angkuhnya
menerpakan sisi cakrawala barat
tempat merpati meluruskan sayap
aku terselip di dalamnya ikut menggetarkan
makna – makna yang meluruh di gerimis senja

aku kencangkan genggam jemari
yang tergolek lesu kalau seribu cermin ego menghimpitku
aku kabarkan dalam seloroh prosa pujangga
namun hanya bait yang menunggu merekahnya mawar jingga
beruntai gerigi tajam menghanyutkan sisi sendiku
aku  kembali dalam canda manja alam
atau kepak kenari yang melambungkanku
menuju batas pandang yang samar
aku tak tahu….

sempat pula sang camar
membenah pantai dari rerimbunan durjana
yang menghitami, jantungnya
namun tanpa mata nanar dan syak wasangka
sang camarpun hinggap di biru langit
dengan wajah menunduk, memunguti  bentangan harap
aku dalam sepi….

masih ada sisa bait, yang terpendam pada
dalamnya kalbu, hanya makna yang aku sendiri
lelah menjinjing di balik wajah yang mencibirkan kelu
mari kita kembali untuk mengetam padi
meluruskan pematang sawah kita
agar kuning padi menyeringai dalam seloroh mentari
hingga belalang melipatkan sayapnya
kita dalam damai
agar tiada lagi sepi….sebuah gambar alam


(Semarang, 8 Pebruari 2012)



Minggu, 05 Februari 2012

Dusta

jangan kau terburu, melempar dusta
menimang perguliran hari
lantas kau suguhkan, sayatan demi sayatan
hingga tak lagi, aku sempat menilik jantung hati
yang seharusnya berada di kubangan air bunga.
bila aku raih yang nampak dalam guratan tanganku
namun kau hanya mencanda tiupan angin
dari sisi bukit yang menjulang anggun
sementara hariku kau tepis ke tengah fatamorgana
dengan kemilau warna pelangi
yang kusam...lantas sepi
akupun tak tahu

dalam hitungan hari dan deru waktu
kau ayunkan langkah kaki
hingga ke puncak bukit pesona
dengan gaun Sinderella...kau senyum ramah
meluruhkan semua daun palma
menerbangkan sulaman kain kelambu
yang aku bentangkan memenuhi semua liuk tubuhmu

akupun memunguti langkah surut
di batas senja dengan seribu tangan malaikat
yang menghipnotisku, dalam hari hari biru
masih mampu aku ikat benang benang merah jingga
sampai ke semua penjuru langit
hingga Sang Supraba aku teriaki
meski parau suaraku, namun seribu derai tawa
puncak bukit sepanjang negeri sorga
menelikungku.aku terhenyak

wajah hari semakin aku kenal...nyanyian kutilang
tak memekakan telingaku
kerutan dahi yang memerah....telah bertumbuh
sesubur bunga di taman halaman gubugku
biar saja kau pincingkan kedua matamu
tak lagi menyelingkuhi hari hari dalam memburu
(Semarang, 5 Pebruari 2012).

Sabtu, 04 Februari 2012

Saat Perahu Cintaku Kau Tepis


telah aku coba membentangkan sayap hari
saat kau merebahkan sebuah benang kelabu membisu
bertaut pada semu sang wajah bulan
aku terperangah dan enggan membuka tabir
yang kau tautkan pada tepi hati
dengan seribu karang bertabur liuk yang tajam

baru kemarin kau selipkan ranum bunga
yang tertanam rapi bermesra dengan kiasan alam
rona kanvas dalam seribu misteri
telah mengungkungi penat sendi sendiku
untuk menerbangkan erotis lampu jalan
hingga terpingit di beranda rumah  kita

engkau menghujamkan detik waktu
yang berlari memburu hari- hari bergerigi tajam
kau usung bersama burung burung camar
melipat dan mengoyak sisi perahu kita
layar perahu telah bersulam benang benang
yang membungkam kering lidahku

Perahu cinta kita
telah tertanam di tengah buih kepalsuan

(Semarang, 5 Pebruari 2012)

Kamis, 02 Februari 2012

Tuhanku


Tuhan, aku datang lagi
Dengan kemasan kado berbalut kain pasrah
Telah meluruh bintang-gemintang
Saat aku pingit di kering tenggrokanku

Aku dengan genggaman yang longgar
Saat menerkam semua belantara bermanik hitam
Melilit dan memelantingkan, hingga
tinggal satu dua nafas yang aku punguti
Lantas aku ikat dalam ikatan bunga ibadah
Hingga aku tersungkur
Menelan ludahku sendiri

Aku dalam ritmis yang sahaja
Mengokohkan AsmaMU, di tiap rentangan angan
Berbatas tiada dan tiada
Engkaupun datang dalam bahasa angin, hujan dan debu
Namun hanya batas pandangku yang dapat
kuhadirkan ~Engkau tiada terkira
gemerlap semua puncak gunung dan padang
untuk menyunting bulan dan bintang

aku dalam pangkuanMU (Semarang, 3 /2/12).