Selasa, 13 Maret 2012

tentang aku

kumbang Jalang

aku bagai kumbang jalang
tak mengenal janji
atau lagu rindu,
aku melupakan hari
warna sayap kupu-kupu
biru beruntai merah
dalam seduhan
menyudutkanku

aku mengepakan sayap
menerjangkan detak jantung
mencari kebun bunga
agar daraku mendidih
melentingkan kedua kakiku
menggapai kelopak
bersari bibir gincu

kuulurkan benang
agar engkau
mampu berteriak lantang
mengggurkan  daun akasia
menerbangkan debu
pada tepi pelangi
bersusun gairah hatimu

enyahlah kau
nyanyian getir mengubur makna
karena aku yang member arti
tentang rajutan hidup
dalam kidung asmara
bersama kau di pualam malam

(Semarang, 13 Maret 2012)

ingkar

aku dalam penat
memilih jalanku
kau masih menuai angan
aku hanya tergolek lesu
sudahkah kau warnai
atau kau benahi
saat kau gambar langit
bermanikam getir

(Semarang, 13 Maret 2012)



Karmila

Malam demikian larutnya, angin dingin mulai menyentuh semua sendi tulangnya. Meski baju hangat sudah berusaha menepisnya. Namun lelaki tua itu tidak menghiraukan sama sekali. Dia lebih asyik melemparkan pandangan matanya ke arah bintang gemintang yang berserakan di kain hitam malam. Sementara anganya yang liar dan tak tahan bersemayam di benaknya,  terus saja menerjang jarum waktu. Meski sebentar lagi malam terusir oleh datangnya sang fajar.

Sesekali dia berdiri mengayunkan langkahnya untuk menuju salah satu sudut beranda rumahnya yang beralas tanah. Kedua matanya kini mulai redup dipenuhi bening air matanya. Saat hatinya merintih sedih, kursi tua yang menemaninya itulah yang mampu mendinginkan hatinya. Kursi jati tua yang berkaki lengkung mendatar itu, adalah pemberian mendiang istrinya yang belum genap satu tahun meninggalkannya. Hanya kursi jati tua itu yang mampu mengusung sebuah nostalgia yang indah tentang Karmila, wanita yang bersama denganya merajut kehidupanya, detik demi detik dengan kehidupan saling asih sejati selama 40 tahun.

***
Beranda rumahnya kini menjadi terang benderang, Karmila dengan stelan daster  model Eropa saat itu, menarik lenganya saat Indrawan  belum mengganti baju kerja sepulang dari perkebunan teh. Indrawanpun hanya menuruti saja kemauan istrinya, wanita lulusan MULO Semarang yang berhasil meruntuhkan hatinya.

“Ah…ada apa Mila !. Apa apaan sih “ seru dia dengan senyum tipis di bibirnya.

“Sudahlah !, nanti juga Mas Indra tahu !, aku jamin mas akan senang melihat sesuatu “. Langkah Mila terhenti hingga sampai di beranda samping rumah berarsitektur Eropa, dengan halaman bergelar rumput Jepang yang tertata dengan apik. Senyum menawan masih menghiasi bibir Karmila saat dia membuka kain penutup sesuatu yang menyebabkan Indrawan penasaran sejak sampai di rumah sore ini. Di depan Indrawan kini, nampaklah sebuah kursi dari kayu jati yang bertumpu pada lengkungan kayu yang ada di bawah keempat kakinya. 

“Oh ternyata kursi goyang, kursi goyang seperti ini sudah lama aku impikan Karmila !, terimakasih !. Kamu memang Karmila istriku !” Sepotong kalimat yang meluncur begitu saja dari mulut Indrawan, sambil merapatkan tubuhnya pada wanita yang berperawakan sintal dan berkulit kuning.


Kursi jati itupun kemudian menjadi korban pelampiasan Indrawan yang lepas mengusung derai tawa sambil menggerakan kedua kakinya, sehingga kursi jati itupun menjadi bergoyang. Ada secercah rasa kagum pada laki laki perlente yang ganteng dan masih
muda itu tentang perhatian Karmila pada dirinya. “Apakah ini hari ulang tahunku ?, rasanya aku baru saja berulang tahun tiga bulan silam. Tapi mengapa Karmila repot repot membelikan aku kursi goyang ini ?”. Bisikan hati tentang kekaguman pada istrinya masih melekat kuat, sama seperti saat saat lainya kala Karmila dengan tulus memberinya perhatian padanya sepanjang mereka mengarungi hidup bersama.. Apalagi kursi goyang yang dia duduki kini tentunya bukan kursi yang dengan gampang tersedia di toko.

“Aku pesankan kursi ini pada Tuan Hong di kota untuk mas, agar tidak sering melamun di depan rumah hingga larut malam !”.

“Terimakasi, ya Mila !. Aku tidak pernah melamun seperti itu, Mila !”

“Ah, Mas Indra bohong, sering aku ditinggal tidur sendiri sampai larut “

“Mila, kamu kan tahu !. Tanggung jawabku berat,  karena aku mandor perkebunan teh yang membawahi 1500 buruh. Ada saja masalah yang harus aku tangani tiap hari. Padahal Menir MC. Perk tidak mau penyelesaian buruh yang berlarut-larut “

“Tapi ini rumah kita Mas, Rumah tempat kita dan anak-anak kita saling membagi kasih. Aku hanya ingin mas melupakan masalah kantor setelah di rumah. Itu juga demi kesehatan Mas Indra “ Pinta Karmila pada suaminya sambil merajuk seperti anak kecil yang kehilangan mainanya.

“Baiklah istriku yang cantik  !!!!, aku janji tidak seperti itu lagi!. Tapi kenapa kau belikan aku kursi roda ?. Katanya aku tidak boleh melamun ?”

“Ya boleh, asalkan melamun di kursi itu, Mas !”

“Lho, maksud kamu gimana ?”. Tanya Indrawan dengan penuh penasaran.

“Ya tetap melamun !”

“Melamun tentang pekerjaan di lapangan ?”

“Ya, tidak !:”


“Terus melamun tentang apa ?”

 “Melamun tentang aku !” Karmila tampak seperti anak gadis remaja yang manja kepada kekasih yang memberinya cinta pertama.

Senyum renyah istrinya di senja hari beberapa puluh tahun silam  betul betul terasa masih mengelitik gendang telinganya. Indrawan yang kini telah renta dan lemah,  kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tua itu. Sementara dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan, yang mampu melipatkan  sayap-sayap lelaki tua itu. Sehingga berhentilah pengembaraan anganya dari penjuru langit satu ke penjuru lainnya.
Bahkan dinginnya embun dini hari disela suara adzan Subuh membawa lelaki tua itu untuk meninggalkan beranda depan rumahnya. Untuk kali ini kursi goyang itu dibiarkan dingin terbujur sepi.

***
Seperti biasanya tiap siang hari, kursi goyang tua kali ini kembali bergoyang, di tengah perkebunan teh Cianjur  yang dibangun pada tahun 1927-1929 oleh Belanda, tepatnya 30 Oktober 1927 oleh M.C. Perk. Meski Indrawan kini telah pensiun, tetapi dia tidak berniat untuk meninggalkan rumah tua berarsitektur Eropa yang telah menimbun sejuta kenangan bersama Karmila dan ketiga putranya yang kini telah hidup di Jakarta dan di manca negara. Semilir angin dari Gunung Gede semakin kuat mencengkerami tubuhnya. Bintik embun sudah mulai tertepis oleh radiasi elektromagnetik sinar mentari. Hanya seduhan asli hangat yang dicampur gula menemani lelaki tua itu. Direguknya perlahan teh  hangat itu bersama dengan kursi goyang yang ikut bercengkerama denganya.

Kembali kursi goyang itu membisikan sebuah nostalgia padanya, saat beberapa waktu silam Karmila yang wajahnya pucat pasi duduk di kursi itu dengan tatapan mata kosong tetapi bilah wajahnya masih terus mengusung senyuman meski terlihat masih mengusung sebuah kegetiran hatinya. Indrawan kala itu duduk sebelahnya dengan kursi penjalin berukir Jepara. Kenangan siang itu memang sangat kuat menyelinap dalam benak hatinya. Karena  ternyata pertemuan itu adalah pertemuan terakhir dirinya dengan Karmila. Persis seperti goyangan kursi perlahan pada siang hari ini.

“Nampaknya dokter sudah tidak sanggup apa-apa lagi dengan kanker rahimku, Mas !”
Rintihan kelu terusung dari bibir pucat pasi Karmila.

“Jangan putus asa dahalu, Mila !. Besok aku ajak lagi kamu ke Batavia, semoga dokter Albert sudah mengirim telegram ke Netherland”. Dibelainya rambut Karmila, dengan penuh harap agar Karmila  bisa betahan selama mungkin melawan kanker ganasnya.

“Apa dia tidak mampu menangani sendiri, Mas ?”

“Stovia belum memiliki peralatan khusus untuk operasi kankermu, sayang !”

“Tapi aku sudah tidak tahan. Tubuhku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang. Untuk pergi ke Batavia aku sudah tidak sanggup, Mas !”

“Istirahatlah di dalam Karmila, biar aku ambilkan obat.Tidak akan lama lagi tubuhmu akan kuat lagi “. Karmila hanya membiarkan tubuhnya diangkat oleh suaminya yang berbadan kekar. Karmila masih sempat menderaikan sebuah senyuman, namun sorot mata Indrawan terlihat semakin redup dan mulai terlihat bintik-bintik air mata menggenangi kedua bola matanya.

“Mas Indrawan ! “

“Ya, Mila !”

“Jangan sedih ya Mas Indrawan , bila semuanya sudah menjadi suratan takdir “

“Engkau bicara apa, Mila !. Aku yakin tidak akan terjadi apa apa pada kamu, Mila.Kamu  adalah wanita yang kuat, bertahun tahun aku merasakan hal itu, Mila !”

“Tapi kalau Tuhan menghendaki lain ?”

“Tidak akan, Mila !”

“Maafkan aku, ya Mas !. Aku ngantuk, aku akan tidur dulu Mas. Jangan pergi dulu, rebahlah disampingku Mas !. Tunggulah sampai aku bangun…”. Cengkeraman tangan Karmila pada bahu Indrawan kini telah terlepas, karena kedua tangan Karmila kini telah lunglai, detak jantungnyapun telah berhenti dan terbujurlah tubuh Karmila tak berdaya.

Indrawan hanya mampu berusaha tabah sesuai pesan istrinya, rumah gedong megah itupun kini senyap, sementara kursi goyang di beranda depan turut terpagut sepi ***