Minggu, 25 Maret 2012

Jalan Jalan Membara


KOTA ini menjadi bertambah pengap, setiap kali anak anak muda yang berstatus mahasiswa berkumpul di jalan dan segera disergap polisi, lengkap dengan letusan pistol ke udara, lengkingan sirene yang seakan berniat merobohkan kios kios dari papan di sepanjang pinggir  jalan yang pengap itu. Yang pasti debu debu musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran antara polisi dan anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir setiap hari terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan beterbangan. Karena seringnya jalan aspal yang berlobang di sana sini itu, digunakan untuk semua yang bersitegang menuntut suatu kebenaran.

Belum lagi suara klakson mobil aneka merek, dari yang jadul hingga mobil keluaran terbaru , yang meneriaki semuanya  yang ada di depanya untuk minggir. Suara lolongan anjing kudis yang kurus kering karena selama berhari hari tidak makan menambah seram dan pengap jalanan kota itu.

Panas mentari ikut juga membakar aspal dan atap asbes kios papan di pinggir jalan. Sementara suara denting benda benda kaca yang saling bersentuhan dari warung bakso, mi ayam , warung tegal , teriakan ilalang kecil yang berebut order parkir, tidak kunjung reda. Sesekali suara sirene ambulan kematian di siang hari bolong menusuk panasnya jalan itu, namun semua tak mengambil peduli dengan nasib manusia yang terbujur kaku di ambulan itu.

Semua yang menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam, saat beberapa mulut lantang meneriakan slogan “ Turunkan BBM…turunkan TDL!!!, turunkan harga sembako !!!, bantai semua koruptor di negeri pelacur ini !!! ”, bertubi-tubi teriakan itu melecut membakar udara siang itu. Kembali debu debu kotor dan pengap ikut pula menyampaikan kabar adanya demo mahasiswa kepada debu lainnya di setiap sudut jalan pengap itu.

“Tutup saja warung kita !!!” teriak Sukiman kepada istrinya  yang berlarian kecil mengemas semua peralatan warung mi ayamnya. Padahal asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di dandang besar. Hari ini sekali lagi penghidupan Sukimin dan ke empat anaknya menjadi tergerus pengap dan  membaranya jalan di kota pengap itu.

“Iya, pak aku matikan kompornya dulu, nanti sore kalau demo sialan itu sudah rampung, kita buka lagi , tho mas !”. Suaminya hanya mengangguk, sementara ke empat anaknya tidak ada satupun yang membantunya, karena semuanya sedang aktif bersekolah.
2
***
“Dooor….door…dor “ tak urung dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan polisi sudah mengangkasa, beberapa diantaranya merontokan satu dua daun Akasia yang ada di pinggir jalan membara itu. Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak menyurutkan niat para anak muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya. Bahkan letusan mesiu itu malah menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk terbang kesana kemari.

Beberapa diantaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara sebagian lagi menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut, kios mie ayam, warung bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang tadinya ganas dan melengking, kini merengek ketakutan.

“Kok tiap hari begini, ya Bang Dul “ seru Kang Dirman si tukang becak yang sedari pagi nongkrong di troktoar. Padahal sedari pagi belum ada satu penumpangpun yang mengorder dirinya. Wajah si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya yang sesak tidak berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapaun. Hanya pada Abdullah, Orang Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.

“Ah, gimana aku mau dapat duit, bang !” Sekali lagi lelaki tua yang berasal dari pinggiran kota itu mengeluh pada Abdullah.

“Masih mending kamu Kang Dirman !, coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar belanja sayur. Eh baru satu dua piring makananku terjual, demo datag lagi, datang lagi, sampai kapan selesainya !”. Bang Abdullahpun segera menutup warungnya, meski Kang Dirman sudah mengayuh becaknya untuk ngeloyor pergi.

Kini hanya beberapa puluh meter jarak antara kawanan pendemo dengan tameng fiber pak polisi, sesekali satuan  polisi itu melangkah surut,  namun tak berapa lama terdengar perintah komandan polisi untuk segera maju membubarkan pendemo. Sementara debu jalanan yang kering kerontang menjadi bertambah liar membumbung ke angkasa.

“Kami tidak melarang saudara-saudaraku untuk berdemo, tap lakukan dengan tertib, maka sekarang bubar, !!!, bubar !!! bubar !!! “ Megaphone yang terjinjing di salah satu pundak perwira itu dihadapkan kesana kemari, agar semua peserta demo dan ilalang yang menjadi penonton bisa mendengarkan.  Meski suara megaphonenya mampu menyalak, menggetarkan gendang telinga yang berkumpul di jalan kota pengap itu, namun genderang perang di hati pendemo tetap saja tersulut.

3
“Majuuuu, jangan takut !!!!  “ entah siapa yang menarik tali pelatuk komando itu, yang jelas ratusan pendemo itu merangsek maju menerjang tameng fiber polisi anti huru hara. Sementara lainnya di belakang mulai melempar bom Molotov ke arah satuan polisi yang bersigap menghadang terjangan pendemo, yang telah nanar matanya, meradang dadanya dan memerah amarahnya.

“Jangan halangi kami !, kami suara rakyat !. Kalau BBM tetap dinaikan akan ada ribuan mahasiswa dan rakyat yang akan berdemo !!!“ seru seorang pendemo yang berada di lapisan paling depan.

“Kami tidak melarang kamu untuk demo !, kami hanya bermaksud menertibkan kamu semua, supaya tidak merusak kepentingan umum!”. Namun entah mengapa, apakah di negara pengap ini semua warganya sudah tidak memiliki telinga lagi, atau karena mata hati mereka semua sudah terhempas angin kembara dan entah sekarang hinggap di mana. Kedua belah pihak kini sudah tidak mampu mendengarkan teriakan satu sama lain. Mereka hanya bergumul dengan amarah mereka untuk merobohkan yang ada di depan mereka. Debu semakin kering dan begabung dengan angin kemarau, tetesan darah sudah mulai menjadi saksi atas episode yang menggetirkan hati setiap penghuni kota pengap itu.

Semua kendaran mulai menepi memnuhi semua ruas jalan pengap itu dalam antrian yang “semrawut”, sirene mobil polisi kini bertambah nyaring, menyeruak kemacetan berbagai kendaraan yang malang melintang tak tentu arah. Semua pedagang asongan sudah meletakan asonganya di tempat yang teduh dan aman.Kawanan ilalang yang mengusung penderitaaan hidup dan menggantungkan hidupnya pada keramaian jalan di kota pengap itu mulai berkumpul di seputar pertikaian antar kedua kubu. Jerit tangis wanita dan anak anak malah kini ikut mencekamkan jalan itu.

***

Ilalang yang menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya, dada mereka berguncang hebat, pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian lagi berlarian kesana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar disana sini, sementara beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan itu. Tetapi kedua kubu belum ada yang mau mengalah, bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal dan bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di pertigaan jalan pengap itu.

“Jo, mereka akan membakar pom bensin !” teriak  Dirman pada Warjo tukang tambal ban, yang membiarkan begitu saja kompresornya di pinggir jalan.
4
“Kita cegah mereka !!!” pinta Warjo

“Jangan, kita tidak bisa. Itu tugas polisi, kita menyelamatkan saja warung warung kita” jawab  Dirman.

“Tapi kita tidak boleh tinggal diam !” seru Warjp

“Kita harus bagaimana ?” tanya Kanapi

“Kita hanya bisa menolong korban korban itu” jawab Warjo

“Oh, itu  tindakan yang baik, kita angkat saja korban yang pinsan, kita bawa ke sini !” usul Santoso.

“Wah !, tapi bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu “ jawab Warjo.

“Ha, aku punya ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita kibaskan  ke tengah mereka, sementara lainya mengangkat korban yang terkapar, gimana ?” usul Kanapi kepada mereka yang ikut merasa prihatin dengan tragedy yang mengeaskan itu.

Merekakun berlarian kesana kemari, guna mencari kain apa adanya untuk mebuat bendera. Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai, bahu, lengan dan baju mereka berlepotan noda darah dari para korban yang terkapar  di tengah aspal yang membara. Sementara sinar matahari bertambah ganas memagut episode duka nestapa antara anak negeri.

Kini belasan korban telah berjejer di bawah pohon akasia, sebagian mereka merintih kesakitan, sebagian mereka masih diam terbujur dan beberapa diantaranya sudah mampu duduk kembali dengan mulut yang merintih kesakitan. Para ilalang itu dengan kendaraan apa saja kini bahu membahu membawa mereka ke rumah sakit.

Sementara matahari mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari pompa bensin yang terbakar. Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih berserakan  disana sini.  Tetasan darah masih belumkering dihisap debu debu jalan, berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu. Suasana kini menjadi lengang, belum ada kendaraan yang melewati jalan itu. Ilalangpun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini ?.***