Kamis, 06 Januari 2011

Kisah Tentang Negeri Tiwul

Entah memang kita pandai bermimpi…atau telah habis mimpi kita
Biar disemai saja dalam haribaan Archipelago
Yang bermanik Merapi, Krakatau atau Bromo,
Kita memang tidak pandai lagi, dalam merajut bunga bunga wangi
Dalam karangan yang bertepi Jaya Wijaya dan Semenanjung Malaka
Ataukah hanya deru dan debu prosa…..
Yang sarat dengan tema “kaki ilalang”, yang menepi…
Diantara buritan yang hendak mengencangkan layar
Melaju di birunya perdebatan kata hati……
Sang bunga bangsa yang telah lenyap separo hatinya

Kita hanya mampu belajar dari sesuap tiwul
Yang menyergap hidung, mulut dan tenggorokan kita
Hingga menyampakan tuang tulang iga yang kini
telah menusuk dada kita sendiri

Kita tidak lagi berseloroh dengan rayuan pulau kelapa
Kala anak anak kita bertelanjang kaki
Di pagi penuh halimun…….
Untuk menyuapi asa pada serumpun kembang taman
Ini adalah nanar pandang mata dengan lengan kecil
Meluruh, tak lagi mampu memaksakan kepalan tangan

Negeri ini telah bermandi air bunga surga
Saat bunga bangsa memerahkan mawar dengan darahnya sendiri
Melatipun memutihkan dinding hati mereka
Hingga kenanga dan anyelir tetap saja menerjangkan mereka
Melawan “water canon” milik begundal tanah sebrang
Merekapun menikmati tiwul…
Lantaran telah senyap rumah loji bertengger ornamen romawi
Lantran telah sunyi pula …melumat ilalang hingga berkeping

Tetapi tiwul yang berwarna lusuh dan kehitaman
Yang mampu membuat ilalang menjadi lunglai kakinya
Menatap jalan jalan reformasipun harus terhempas
Angina senja……
Lantas kepada siap lagi tiwul sebaiknya diramu
Dari singkong yang tak mengerti akan egoisme
Dari kelapa yang tetap menjulang di pohanya

Tiwulpun terasa masam
Tak lagi mampu menyanyikan kidung Sriwijaya
Samudra Pasai atau bahkan Majapahit
Selamat pagi negeri tiwul
(Semarang, 7 Januari 2011)
Penulis: Ir. Bambang Sukmadji Semarang