Sabtu, 26 Februari 2011

Bu Guru D i Tengah Hutan Pinus


Kadarwasih berkali kali mengusap tas hitamnya yang ditebari debu-debu yang hinggap di kulit hitam tasnya, hingga kelihatan kumal. Lantaran debu debu itu masih saja terus beterbangan terbawa angin kemarau yang ditiupkan dari Gunung Slamet, setelah debu debu nakal itu menjelajahi hutan hutan pinus yang mulai tandus. Apalagi di tengah hari, saat matahari benar benar lurus di atas kepala, debu itu semakin liar menempel apa saja sesukanya. Seteguk air teh dingin yang terakhir kini membasahi tenggorokanya. Nafas kelelahan kembali terdengar dari bibir guru sekolah dasar yang terpencil itu. Setelah sehari di bawah udara yang gerah, dia masih setia menyelipkan setetes pengabdian kepada bangsa ini, dengan membimbing anak anak didiknya yang berkubang dengan kesusahan hidup di dusun Sirampok, Kabupaten Brebes.

Kadang dia merenung, meski dia masih di meja kerjanya yang sudah mulai kusam warnanya, mungkinkah dia harus kembali ke Semarang yang segalanya lebih menjanjikan ketimbang hanya terselip di tengah pohon pinus dan masyarakat desa yang hanya memiliki selembar hidup, tanpa guratan warna warni eksotisnya hidup. Ataukah memang mereka tidak butuh itu semua.

Siang itu memang udara begitu panasnya, Kadarwasih menjadi bertambah heran. Mengapa di kaki Gunung Slamet yang dulunya sejuk kini mulai terasa gerah sejak beberapa tahun belakangan ini. Ataukah karena manusia sudah tidak mampu menjadi sahabat setia dengan bumi, yang justru telah menjadi rumah kehidupanya sendiri. Dalam hatinya sering dia berbisik, mengapa tidak mulai sekarang anak anaknya diperkenalkan dengan ras cinta pada lingkunganya, kepedulian terhadap sesama, penuh tanggung jawab dan disiplin.

Ruang guru kini makin bertambah lengang, setelah semua anak anaknya pulang ke rumah masing masing. Hanya tiupan angin kemarau yang meriuhkan daun daun pinus. Yang serempak mendendangkan kidung alam tanpa nada dan birama. Kadarwasih tambah bertambah sepi hatinya. Lambat laun bayang bapak, ibu serta saudara saudaranya mulai menguat di hatinya, kini bagaikan gemerincing logam yang saling beradu terdengar dekat dengan telinganya. Tawa canda mereka kala pagi hari sebelum berangkat ke sekolah masing masing dan malam hari sebelum semua beranjak ke peraduan.

Kadarwasih dengan sayap sayapnya kini terbang melintasi jarak dan waktu, yang larut dalam dunia lamunan. Hingga sebuah usapan tangan halus terasa menyentuh pundaknya. Dia segera melipat sayap sayapnya dan kembali ke ruang guru yang bertambah berdebu.

“Memang Sirampok dusun yang sepi, ya Bu ?”

“Oh Bu Endang, saya tidak tahu kedatangan ibu, tahu tahu sudah di depan saya”

“Ya, karena Bu Darsih sedang asik melamun, apa kangen dengan yang di Semarang to Bu ?”

“Ah, sekarang sudah tidak rindu lagi, Bu. Tapi maklum saja ya Bu !, saya di sini baru bertugas belum genap satu tahun. Kadang jading seperti tadi,kenangan hidup di tengah saudara saudara saya dan lebih lebih sama mama sering datang. Tapi nanti juga akan hilang, Bu ?”

“ Itulah tantangan seorang pendidik yang bertumpu pada perasaan moral, demi anak anak kita yang sudah tidak punya masa depan lagi. Kita rela bertugas di daerah terpencil jauh dari keluarga. Ini sudah rame dusun Sirampok dibanding saat pertama saya datang di sini, tahun 1974 silam. Saat itu belum ada penerangan listrik, jalanya masih tanah dan masih banyak anak anak yang tidak mau sekolah”.

“Gimana perasaan Bu Endang saat itu ?’

“Wah seperti Bu Darsih saat ini, aku meninggalkan Klaten dengan tetesan air mata kesedihan. Apalagi saat iru aku baru saja lulus SPG dan langsung ditempatkan di daerah terpencil seperti ini. Bayngkan saja Bu, usia saya saat itu baru 17 tahun, masih berat meninggalkan emak dan bapak di desa. Tapi itulah pendidik !”

“Apa Bu Endang pernah mengajukan pindah ke Klaten ?”

“Awal awalnya memang sering, tapi setelah aku berumah tangga. Semua niat untuk kembali ke Klaten menjadi hilang. Menjadi manusia yang hidup bersama dengan keluarga yang saling mencintai adalah kebagian yang kita dambakan semua, apalagi bagi pendidik seperti kita yang bertugas mencerdaskan masyarakat. Sungguh suatu makna hidup yang berati “

Kadarwasih hanya diam sejenak, anganya berusaha menelanjangi hatinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti Bu Endang kepala sekolahnya, yang begitu mampu memaknai hidup sebagai pendidik di daerah terpencil. Ingin rasanya dia membunuh rasa sepi dan berkonsentrasi pada tugas memberi pembelajaran

Namun wajah Hardiman teman sekolah di SMP dulu masih saja terus menempel di benang otaknya. Tautan hati yang berjalan lebih dari 4 tahun serasa begiitu kuat bersimpul di hatinya. Hardiman kini memilih menjadi seorang pengusaha di Kota Jakarta, yang menurut surat terakhir yang dia terima Hardiman telah sukses dan mengajaknya ke Jakarta untuk bersama mengarungi bahtera kehidupan, ketimbang jadi guru SD di daerah terpencil. Kakalutan kina menghinggapi selembar hatinya, dalam keadaan terjepit seperti itu dia harus memilih jawaban ya apa tidak. Namun ini adalah realita, realita dimana dia harus menjadi pendidik yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sebuah realita yang dia rencanakan sejak lulus SMP untuk menjadi seorang pendidik.

“Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku, Bu ?” sela Kadarwasih memecah keheningan.

“Tentunya masalah pribadi kan Bu ?, kalau masalah dinas sepenuhnya aku Bantu, Bu ?”

“Betul Bu, tapi meski ini masalah pribadi, Bu Endang tidak merasa terganggukan kalau aku mau curhat ?”

“Oh sama sekali tidak Bu Darsih ?”

Matahari hampir berada tepat di atas atap sekolah, angin gunung dan debu yang bersuka ria selalu bercanda berkejaran dengan angin yang cukup cepat langkahnya. Mereka tidak pernah memerdulikan apa yang didera oleh manusia, termasuk pada guru yang masih gadis dan berperawakan tinggi semampai serta berwajah ayu, yang kini sedang didera kebimbangan hati.

“Yang paling berat bagi saya adalah menentukan pilihan, saya harus ke Jakarta menyusul seseorang yang saya cintai ataukah saya tetap di sini. Inilah yang selama ini membuat saya bimbang, Bu ?”. Terdengar dengusan nafas panjang dari Bu Endang kepala sekolah yang beberapa tahun lagi akan pensiun.

“Maafkan aku ya Bu, bila ini masalah privasinya ibu, Tapi aku juga pernah mengalami hal semacam itu. Tapi waktu itu saya memilh dua duanya. Saat kami masih pengantin baru, kegiatan kami hanya hilir mudik Sirampog dan Klaten. Saya sarankan Bu Darsih memilih kedua jalan”

“Memang suatu pilihan yang berat bgi aku, sebenarnya sering aku meminta Hardiman seperti itu Bu, tapi karena ambisinya yang besar untuk sukses di Jakarta dia tidak mau mengalah. Dia memaksaku untuk ke Jakarta dan saya belum memberi jawaban”

‘Huuh..kalau gitu bisa repot, Bu !”
“Betul, Bu. Dia orangnya sangat teguh pada pendirianya dan memiliki hati yang keras, selama ini saya hanya mengalah dan mengalah.”

“Betul Bu, jangan membuat keputusan yang gegabah. Tapi pada saatnya nanti Bu Darsih harus mampu membuat putusan yang berani. Saya hanya menyarankan bahwa kebahagian itu bukan datang dari seseorang, tapi dari Tuhan”

Baru kali ini Bu Endang menyaksikan senyuman bu guru yang cantik di depanya, sejak dari pagi tadi. Bu Endangpun membalas senyuman itu dengan perasaan hati yang tersentuh, meski dia yakin Kadarwasih adalah figure prbadi yang tangguh, terbukti dia selama ini bersedia bertugas di daerah terpencil. Bu Endang masih saja menyodorkan senyuman simpatik meski dia bergegas untuk segera pulang, karena hari sudah cukup siang.
***
Hujan sekali sekali sudah mul;ai turun membasahi lereng Gunung Slamet. Daun daun pinus dan semak kini mulai dibasahi air hujan. Beberapa diantaranya yang dahulu mengering kini mulai bersemi lagi, Jalan jalan desa yang kini beraspal sudah tak berdebu lagi. Beberapa petani mulai membersihkan ladangnya dari semak semak untuk bertanam padi.

Memang sudah seharusnya Kadarwasih yang mendambakan hidup berprofesi sebagai pendidik, apalagi berstatus PNS, perlahan lahan mampu mengarungi segala apa yang dia harus geluti. Mulai dari alam lingkungan tempat dia mengajar, anank anak peserta didik yang tiap hari dibimbingnya, masyarakat sekitarnya dan terlebih-lebih terhadap rekan rekan seprofesi, yang tiap hari berperan terhadap dirinya guna menemukan Kadarwasih yang sebenarnya. Hingga akhirnya bayangan Hardiman, dan bukan itu saja bayangan untuk tinggal di Jakarta telah perlahan lahan telah sirna,

Tidak terasa kemudian musimpun telah berganti, silih berganti berkejaran dengan pergantian siang dan malam. Sebagaimana yang sering dialami Kadarwasih dalam menapaki lamunanya antara menitipkan hidupnya di pangkuan Hardiman di Jakarta atau menggapai masa depan di kaki Gungnug Slamet. Hingga akhirnya Kadarwasih bertambah dewsa dan berbesar hati, untuk menghadapi segala resiko hidup sebagai seorang pendidik. Bukankah semua teman sekantornya, berasal dari kota kota di Jawa Tengah yang jauh dari tempat mengajarnya kini.

Mengapa dia harus cengeng, mengapa kadang kata hati lebih menuntutya untuk bersifat rapuh. Namun Kadarwasih adalah seorang manusia apalagi wanita yang belum banyak makan garam. Perasaan bimbang dan bersedih kembali memenuhi ruang batinya, saat dia menerima surat bersampul putih dengan tulisan nama dan alamat dari coretan tangan Hardiman yang terkesan ditulis dengan perasaan kecewa. Secara perlahan dia buka sampiul tersebuit, seketika nyanyian kutilang, jalak, kenari dan alunan suara alam berenti sejenak, sementara riuh daun paku yang bergesek di terpa angina menjadi diam sesaat pula.

Dari kedua mata yang bening itu, mulailah menitik air mata kesedihan dan kedua tanganya menjadi tergetar setelah membaca isi surat itu.

“Aku tidak menghendaki ini terjadi pada diri kita, namun apa artinya sebuah kasih sayang tanpa adanya kehadiranmu di sisiku. Aku mencoba menggapai kehidupan yang sarat dengan tantangan di kota yang buas ini demi kita. Namun tiadapun kamu bergeming barang sesaat untuk memenuhi permintaanku demi masa depan kita.

Sehingga inilah yang terpaksa aku lakukan agar kita mampu membenahi masa depan kita sendiri sendiri, tanpa adanya kehadiran kita berdua dalam satu pelaminan. Selamat Berbahagia”

Berkali kali tulisan dari Hardiman ini dia baca, hingga yakin betul apa yang seharusnya dia sikapi, sebuah perpisahan harus dia alami dengan perasaan yang terguncang Jauh dari lubuk hatinya yag paling dalam, timbul sesuatu yang mampu menepiskan kegontaian hatinya itu, yaitu nasehat Bu Endang yang mengatakan bahwa kebahagian bukan dari manusia datangnya, tapi dari yang Maha Kuasa. Kata kata itu kini menjadi seteguk air dingin yang mampu membasahi jiwanya yang sedang meradangkan bara asmara.
***

Jumat, 25 Februari 2011

Aku Hanya Mampu Berteriak

• Teriakan untuk Kasihku

Biar aku ikatkan suara hatiku pada seutas tali….
Yang aku tautkan pada dinding tebing
Dengan dendam di mata dan merah rona yang menghimpitku
Tak perduli bidadari malam mencibirkan bibir bunganya..
Aku telah terlanjur menitipkan tubuh ini, pada….
keremangan dan kegelapan malam,

Jangan kau sombongkan dan perlihatkan tentang…
Yang kau pergunakan untuk melipat hari hari
Di ketiakmu………
Dengan rajutan fatamorgana dan rajutan kembang halus
Yang kuning keemasan dari keranjang sinar mentari
Bukankah kau hanya debu, bila sudah
Meluruh warna pelangi …..

Akankah hari hari kau jadikan tangga
Lantas kau suruh mereka untuk bersyahwat dengan pelangi
Jangan kau harap mendapatkan …bibir langit
Lantas kau usung pula malam yang merenda,,,bunga bakung
Dan anyaman sutera yang pernah aku sodorkan

Aku coba pula mengunci jendela kamar.
Agar anginpun mau menelanjangi dirinya sendiri
Setelah menerjang malam yang belum mengenal arah
Sementara cakrawala telah aku benahi dengan
Sejuta lampu erotis dan dandanan taman bunga

Mengapa pula tidak kau titipkan
Sebuah sorot mata penuh dengan perjalanan menempuh……..
Mahameru yang digurati lekuk negeri dongeng
Kasihku, mampukah kau pegang erat sebelah tanganmu
Agar kau kokoh menerjang tabir hidup dank au jinjing
Pada sebelah tangan lainnya.

• Teriakan untuk Sang Negeri

Rajutan akar rotan cukup kokoh untuk menjadi kaitan
Saat ibu mengayunku di batang pohon belimbing
Rambut suteranya berderai diterkam angina pasat, yang membawa….
butir hujan dan pesan……

agar seteguk air tawar, jangan kau tinggalkan
hingga basah tenggorokan ini, yang merusak pagar bunga mawar
yang mengelilingi negeri dongeng di serambi sorga
entah karena kemarau yang telah buta matanya
menghempas semua dada yang dulunya kokoh,
membenamkan cangkul di semaian padi

Negeri ini telah dilingkungi batas langit
Yang bergigi tajam dan bernafas api dengan kerlingan mata tajam
Mendidihkan Bromo dan Merapi
Mana mungkin kita menitipkan sepotong tiwul untuk hidup
Bila semua kini bukan yang dulu lagi.

• Teriakan Lirih pada Tuhan

Tuhan, telah aku yakini, masih banyak hari
Yang kau taburkan pada semaian hidup manusia
Agar kami mau menjelang apa yang harus kami raih

Tuhan, telah aku dengar dari bahasa isyarat alam
Bahwa mutumanikam yang kau taburkan telah menanti di balik
Cakrawala negeri Archipelago ini
Namun kami telah memilih jalan lain
Yang tidak mungkin kami bertaut pada jalinan
Penuh misteri yang selama ini hanya berada di atas kepala kami

Tuhan, kiranya Engkau hanya sejenak
Menghiasi senyum di wajahMU

Semarang, 26 Pebruari 2011. PONDOK SASTRA HASTI

Selasa, 22 Februari 2011

Semua Nanti Kan Usai

“Sebuah Pesan Untuk Tiap …..ANAK BANGSA”


Bila hari masih saja berselingkuh dengan halimun pagi…
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidup…di negeri penuh dongeneg dan taman bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..

Kita yang masih, berlantai tanah di gubug bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi berharum anyelir.

Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…

Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar surgawi

Semarang, 22 Pebruari 2011, PONDOK SASTRA HASTI