Senin, 26 Maret 2012

Bandungan dan Sebuah Hasrat

tanti ayu
di Bandungan  aku menyisir hati
engkau menjinjing hari,
kau sapu awan
dalam serpihan..putih bersih
kau titipkan
nyanyian hati pada
pagar bukit…hanya diam


setelah pesat angin berlalu
kau dalam sejuk
kepak sayap pipit
menggenapi gambaran jauh
di sisi  jantungku….


kita dalam tepi
balutan embun menggurati wajah
ayumu bersolek mawar dan rembulan
aku punguti…setian sudut senyumu
kau menawan
hingga tinggal bait indah menyudutkanku
di bilik roman pemuda desa
bersabung padi dan perguliran musim


lalang kunang kunang
cukup sudah untuk
menengok peraduan kita
bersandar sawah ladang
beranyam angin bukit dan warna
pelangi di episode senja
menjadi cemin hatimu




bukankah telah kau urai
kembang pengantin tujuh warna
di atas nampan kayu jati
kala tertuang di prosa hati
kala di Bandungan
kau sejukan rambutmu
dengan aku yang tertegun

(Semarang, 26 Maret 2012)

Minggu, 25 Maret 2012

Jalan Jalan Membara


KOTA ini menjadi bertambah pengap, setiap kali anak anak muda yang berstatus mahasiswa berkumpul di jalan dan segera disergap polisi, lengkap dengan letusan pistol ke udara, lengkingan sirene yang seakan berniat merobohkan kios kios dari papan di sepanjang pinggir  jalan yang pengap itu. Yang pasti debu debu musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran antara polisi dan anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir setiap hari terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan beterbangan. Karena seringnya jalan aspal yang berlobang di sana sini itu, digunakan untuk semua yang bersitegang menuntut suatu kebenaran.

Belum lagi suara klakson mobil aneka merek, dari yang jadul hingga mobil keluaran terbaru , yang meneriaki semuanya  yang ada di depanya untuk minggir. Suara lolongan anjing kudis yang kurus kering karena selama berhari hari tidak makan menambah seram dan pengap jalanan kota itu.

Panas mentari ikut juga membakar aspal dan atap asbes kios papan di pinggir jalan. Sementara suara denting benda benda kaca yang saling bersentuhan dari warung bakso, mi ayam , warung tegal , teriakan ilalang kecil yang berebut order parkir, tidak kunjung reda. Sesekali suara sirene ambulan kematian di siang hari bolong menusuk panasnya jalan itu, namun semua tak mengambil peduli dengan nasib manusia yang terbujur kaku di ambulan itu.

Semua yang menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam, saat beberapa mulut lantang meneriakan slogan “ Turunkan BBM…turunkan TDL!!!, turunkan harga sembako !!!, bantai semua koruptor di negeri pelacur ini !!! ”, bertubi-tubi teriakan itu melecut membakar udara siang itu. Kembali debu debu kotor dan pengap ikut pula menyampaikan kabar adanya demo mahasiswa kepada debu lainnya di setiap sudut jalan pengap itu.

“Tutup saja warung kita !!!” teriak Sukiman kepada istrinya  yang berlarian kecil mengemas semua peralatan warung mi ayamnya. Padahal asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di dandang besar. Hari ini sekali lagi penghidupan Sukimin dan ke empat anaknya menjadi tergerus pengap dan  membaranya jalan di kota pengap itu.

“Iya, pak aku matikan kompornya dulu, nanti sore kalau demo sialan itu sudah rampung, kita buka lagi , tho mas !”. Suaminya hanya mengangguk, sementara ke empat anaknya tidak ada satupun yang membantunya, karena semuanya sedang aktif bersekolah.
2
***
“Dooor….door…dor “ tak urung dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan polisi sudah mengangkasa, beberapa diantaranya merontokan satu dua daun Akasia yang ada di pinggir jalan membara itu. Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak menyurutkan niat para anak muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya. Bahkan letusan mesiu itu malah menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk terbang kesana kemari.

Beberapa diantaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara sebagian lagi menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut, kios mie ayam, warung bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang tadinya ganas dan melengking, kini merengek ketakutan.

“Kok tiap hari begini, ya Bang Dul “ seru Kang Dirman si tukang becak yang sedari pagi nongkrong di troktoar. Padahal sedari pagi belum ada satu penumpangpun yang mengorder dirinya. Wajah si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya yang sesak tidak berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapaun. Hanya pada Abdullah, Orang Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.

“Ah, gimana aku mau dapat duit, bang !” Sekali lagi lelaki tua yang berasal dari pinggiran kota itu mengeluh pada Abdullah.

“Masih mending kamu Kang Dirman !, coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar belanja sayur. Eh baru satu dua piring makananku terjual, demo datag lagi, datang lagi, sampai kapan selesainya !”. Bang Abdullahpun segera menutup warungnya, meski Kang Dirman sudah mengayuh becaknya untuk ngeloyor pergi.

Kini hanya beberapa puluh meter jarak antara kawanan pendemo dengan tameng fiber pak polisi, sesekali satuan  polisi itu melangkah surut,  namun tak berapa lama terdengar perintah komandan polisi untuk segera maju membubarkan pendemo. Sementara debu jalanan yang kering kerontang menjadi bertambah liar membumbung ke angkasa.

“Kami tidak melarang saudara-saudaraku untuk berdemo, tap lakukan dengan tertib, maka sekarang bubar, !!!, bubar !!! bubar !!! “ Megaphone yang terjinjing di salah satu pundak perwira itu dihadapkan kesana kemari, agar semua peserta demo dan ilalang yang menjadi penonton bisa mendengarkan.  Meski suara megaphonenya mampu menyalak, menggetarkan gendang telinga yang berkumpul di jalan kota pengap itu, namun genderang perang di hati pendemo tetap saja tersulut.

3
“Majuuuu, jangan takut !!!!  “ entah siapa yang menarik tali pelatuk komando itu, yang jelas ratusan pendemo itu merangsek maju menerjang tameng fiber polisi anti huru hara. Sementara lainnya di belakang mulai melempar bom Molotov ke arah satuan polisi yang bersigap menghadang terjangan pendemo, yang telah nanar matanya, meradang dadanya dan memerah amarahnya.

“Jangan halangi kami !, kami suara rakyat !. Kalau BBM tetap dinaikan akan ada ribuan mahasiswa dan rakyat yang akan berdemo !!!“ seru seorang pendemo yang berada di lapisan paling depan.

“Kami tidak melarang kamu untuk demo !, kami hanya bermaksud menertibkan kamu semua, supaya tidak merusak kepentingan umum!”. Namun entah mengapa, apakah di negara pengap ini semua warganya sudah tidak memiliki telinga lagi, atau karena mata hati mereka semua sudah terhempas angin kembara dan entah sekarang hinggap di mana. Kedua belah pihak kini sudah tidak mampu mendengarkan teriakan satu sama lain. Mereka hanya bergumul dengan amarah mereka untuk merobohkan yang ada di depan mereka. Debu semakin kering dan begabung dengan angin kemarau, tetesan darah sudah mulai menjadi saksi atas episode yang menggetirkan hati setiap penghuni kota pengap itu.

Semua kendaran mulai menepi memnuhi semua ruas jalan pengap itu dalam antrian yang “semrawut”, sirene mobil polisi kini bertambah nyaring, menyeruak kemacetan berbagai kendaraan yang malang melintang tak tentu arah. Semua pedagang asongan sudah meletakan asonganya di tempat yang teduh dan aman.Kawanan ilalang yang mengusung penderitaaan hidup dan menggantungkan hidupnya pada keramaian jalan di kota pengap itu mulai berkumpul di seputar pertikaian antar kedua kubu. Jerit tangis wanita dan anak anak malah kini ikut mencekamkan jalan itu.

***

Ilalang yang menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya, dada mereka berguncang hebat, pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian lagi berlarian kesana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar disana sini, sementara beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan itu. Tetapi kedua kubu belum ada yang mau mengalah, bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal dan bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di pertigaan jalan pengap itu.

“Jo, mereka akan membakar pom bensin !” teriak  Dirman pada Warjo tukang tambal ban, yang membiarkan begitu saja kompresornya di pinggir jalan.
4
“Kita cegah mereka !!!” pinta Warjo

“Jangan, kita tidak bisa. Itu tugas polisi, kita menyelamatkan saja warung warung kita” jawab  Dirman.

“Tapi kita tidak boleh tinggal diam !” seru Warjp

“Kita harus bagaimana ?” tanya Kanapi

“Kita hanya bisa menolong korban korban itu” jawab Warjo

“Oh, itu  tindakan yang baik, kita angkat saja korban yang pinsan, kita bawa ke sini !” usul Santoso.

“Wah !, tapi bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu “ jawab Warjo.

“Ha, aku punya ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita kibaskan  ke tengah mereka, sementara lainya mengangkat korban yang terkapar, gimana ?” usul Kanapi kepada mereka yang ikut merasa prihatin dengan tragedy yang mengeaskan itu.

Merekakun berlarian kesana kemari, guna mencari kain apa adanya untuk mebuat bendera. Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai, bahu, lengan dan baju mereka berlepotan noda darah dari para korban yang terkapar  di tengah aspal yang membara. Sementara sinar matahari bertambah ganas memagut episode duka nestapa antara anak negeri.

Kini belasan korban telah berjejer di bawah pohon akasia, sebagian mereka merintih kesakitan, sebagian mereka masih diam terbujur dan beberapa diantaranya sudah mampu duduk kembali dengan mulut yang merintih kesakitan. Para ilalang itu dengan kendaraan apa saja kini bahu membahu membawa mereka ke rumah sakit.

Sementara matahari mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari pompa bensin yang terbakar. Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih berserakan  disana sini.  Tetasan darah masih belumkering dihisap debu debu jalan, berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu. Suasana kini menjadi lengang, belum ada kendaraan yang melewati jalan itu. Ilalangpun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini ?.***

Sabtu, 17 Maret 2012

Sahabat Sahabat Sejati

Apa mau dikata sebelum semua ini terjadi,  memang hari hari yang dilewati terasa indah dan berlalu begitu saja. Bagi Cassy jarum waktu menebas atmosfer yang dihirupnya, terlewatkan begitu saja. Namun ternyata Tuhan Yang Kuasa menghendaki lain, hari hari yang melingkungi kini bagaikan rantai berduri yang melilit leher dan sekujur tubuhnya. Setiap sorot mata teman sekelasnya, bagi dia serasa menyudutkanya. Entah apa dan dosa dia ataukah ini hanya perasaan dia saja yang sudah tidak memiliki hari indah penuh enjoy. Mengapa pula tumpahan cobaan hidup bagi remaja flamboyant ini, harus dia hadapi saat dia duduk di kelas XII, yang beberap pecan lagi dia harus menempuh UN.

Sempat Cassy hampir satu bulan  tidak masuk sekolah semenjak mama dan papinya berpisah dihempas prahara yang membuat getir hatinya. Maka saat itu hanya dinding kamarnya saja yang mampu dia jadikan tumpahan curhat, meski selama itu dinding dinding kamarnya hanya diam membisu. Seloroh seloroh dalam canda ria bersama dengan teman sekelasnya, yang cuakepnya hampir sama dengan Boneka Barbie saat itu dia tepiskan, atau dia lebih memilih untuk menuangkan air matanya di atas bantal gulingnya.

Sesekali Cassy lebih memilih duduk termenung di ayunan di bawah pohon jambu di belakang rumah. Tempat itulah yang kerap menjadi tumpahan manja dia pada papinya, saat dia masih kecil. Setiap Hari Minggu dia selalu bermanja dalam canda sayang bersama papi dan adik-adiknya. Termasuk suatu hari, saat hari menjelang senja di awal bulan ini. Saat saat itu kembali datang, meski dalam kemasan lamunan. Hingga Cassy  terlihat sering tertawa sendiri, lantas tak berapa lama air matanya meggantikan tawa riangnya. Betapa papanya meninggalkan dia begitu saja, begitu juga maminya yang masih kelihatan cantik dan muda, yang lebih senang bergumul kepalsuan hidup dengan pria lainya.

Hati Cassy terus menjadi bulan bulanan ombak Laut Selatan, terombang ambing antara kenyataan yang merenggutnya dan sebuah  protes entah kepada siapa, mengapa kenyataan ini meski terjadi. Mengapa sesuatu yang terindah di dunia ini, harus hiolang begitu saja ?. Meski pada sore itu telinganya  mendengar deru mobil yang dia kenal telah memasuki halaman rumahnya yang senyap. Diapun segera beranjak dari kursinya untuk segera menjumpai sokib satu kelasnya.

“Oh..sokibku semua, met jumpa lagi….dari mana saja kamu !..yuk silakan duduk ?” Senyum halus Cassy tersungging dengan renyah wajah yag disodokan pada Kimberly,
2
Albert dan Siska, yang begitu saja pada sedang merebahkan punggungnyadi kursi bambu
yang tertata di beranda depan rumah Cassy yang luas. Sementara  mendung mengintip di belahan langit sebelah barat. Pertanda sebentar lagi hujan akan menyambangi mereka.

“Cassy !, kamu tambah nekad ya !, eh kamu sudah dua hari ini tidak ikut try-out. Tadi pagi Pak Chandra nanyain kamu. Ayo dong be happy masa so sad terus. Kalau kota kita berselimut mendung tebal, janganlah hati kamu juga ikut mendung, piss friend !” pinta Kimberly yang sudah lama kental dengan Cassy seperti saudara sekandung.

“Teman teman dari klas lain malah mengira kamu pindah kota. Mereka berusaha calling kamu, tetapi hp kamu tidak aktif. Ayo dong, Cinderella ! besok gabung lagi dengan kita, aku mau deh njemput kamu, asal kamu mau berangkat, gimana ?” pinta Albert yang ikut merasa kegetian hati Cassy, Cinderella yang sekarang berwajah seperti kotanya, tertutup gulungan tebal awan hitam.

“Terimakasih, sokibku semua. Sungguh aku sama sekali tidak ingin datang ke sekolah, jangankan untuk ikut try-out. Seluruh hatiku tertutup awan gelap, sama sekali aku tak selera berbuat apapun. Aku tidak sanggup ikut try out, biar aku langsung ikut UN saja, sampaikan Pak Chandra, ya !”.

“Cassy !, bukan itu masalahnya !. Tapi kita sekarang  kehilangan kamu !. Kamu sanggup memberi inspirasi pada kita semua, bila kita sedang menghadapi masalah. Lagian kamu memang selalu ceria sepanjang hari, ini yang membuat kita kehilangan, friend !” seru Siska di tengah wajah Cassy yang mulai memerah jambu, setelah beberapa saat lalu wajah yang cantik dan melangkonis itu pucat pasi. Selintas hadir di sisi hati Cassy betapa bahagianya saat di tengah mereka. Baik sokib cewek ataupun yang cowok selalu memanggilnya “Cinderella Putri Negeri Kaca”. Memang wajah Cassy cantik jelita, seperti mamanya yang keturunan Belanda dan Ambon. Sedangkan papanya meski kelahiran asli Jawa, namun wajahnya ganteng seperti actor sinetron.

Selain itu Cassy dikenal semua sokibnya sebagai cewek yang luwes, familiar dan mau dekat dengan sokib dari kalangan mana saja. Perihal kehalusan dan budi pekertinya semua sokib dan guru-gurunya tidak memungkiri kelebihanya itu. Meski dia sanggup tampil elegan di tempat manapun, tapi dia memilih untuk tampil bersahaja. Namun saat saat ini dia berubah karakter begitu saja, sepertinya iblis bersayap telah merenggut seluruh hatinya, tinggalah sisi gelap hatinya yang terus membawanya bersikap acuh pada siapapun, malas dan tidak memiliki tanggung jawab pribadinya terhadap masa depanya, yang seindah rajutan benang sutra.

3
Hujan deras kini menerpa kota itu, mereka bertigapun segera pamit setelah mendapatkan
janji dari Cassy untuk gabung lagi dengan mereka semua esok hari.

Cassy menjadi acuh tanpa alasan pada Stevan yang telah lama berusaha mendekati dirinya, meski sebelum itu Stevanpun hanya dianggap sahabat biasanya. Namun bagi Stevan sikap Cassy yang lembut dan penuh peduli, dianggapnya telah membuka kedua tanganya pada hasrat Stevan.Pada suatu pagi Stevanpun datang ke rumah Cassy dengan bekal mampu menjadi dewa penolong terhadap keterpurukan hati Cassy.

“Akupun sama sepertimu Cassy !, menjadi korban perpisahan mama dan papaku. Tapi aku biasa saja, karena semua manusiapun akan mendapat giliran dari Yang Kuasa mendapatkan cobaan “. Stevan berharap sekali mampu menyembuhkan sisi hati Cassy yang sedang sakit.

“Itulah bedanya aku dan kamu, Stev !!!”

“Bedanya di mana ?”

“Kamu mungkin terbiasa dengan sikap tidak saling mencintai sesama keluarga “ jawab Cassy dengan suara yang pelan dan datar.

“Mana bisa dalam satu keluarga tidak saling menghargai satu sama lain ?“ jawab Stevan.

“Bisa saja, Stevan !,  dan banyak contohnya. Mama dan papa mereka sibuk dengan bisnis dan ambisinya masing masing. Sementara putra-putranya menjadi liar tak pernah tersentuh kasih sayang. Mungkin  kamupun  terbiasa bersikap acuh dengan mama dan papamu”

“Kamu seperti psikolog Cassy !, kalau mama papamu masih serasi dan bahagia, mengapa mereka berpisah ?”

“Itulah manusia, Stev !, dan akupun menjadi shok karena perpisahan mereka. Semua yang aku hadapi tiap hari hanya limpahan kasih sayang mereka berdua dan sebaliknya. Maaf Stevan, aku harap kita hanya sebatas sahabat saja tanpa lebih dari itu. Apa yang kamu pinta sebelum itu, akupun tidak mengerti. Kan sudah sewajarnya sesama karib saling menyayangi “

“Cassy !, OK !, aku rela menjadi korban pelampiasan hati kamu, tapi jujur saja Cassy,
aku tidak mampu jauh dari kamu “ rintih Stevan seperti hari-hari sebelumnya selalu
4
bersikap seperti itu.
“Aku harap engkau bisa menjadi sahabatku, maka berilah aku kebebasan untuk
menentukan apa yang ada di hatiku. Sungguh Stevan !, semua teman pria yang berada diseputarku, aku anggap sebagai teman biasa. Piss, Stevan !!!! “. Stevan tak mampu lagi member jawaban pada semua yang dikatakan Cassy, dia hanya pamit dan pergi.

***
Pak Chandra hanya mengusung sebuah senyuman yang menyuratkan bahwa dia tahu persis apa yang sedang menyelimuti hati dan perasaan Cassy. Maka dia sebagai kepala sekolah tanpa banyak bersikap menyalahkan Cassy. Pak Chandra hanya meminta Cassy untuk kembali terlibat aktif di try out terakhir minggu ini.

“Cassy apa kabar !, Cinderella kita hadir lagi !” teriak Bram.

“Rencana hari ini kami semua akan ke rumahmu untuk meminta kamu comeback “ . Sahut Puguh ketua kelas mereka.

“Oh My God, bidadarimu kembali tampak di depan kita semua “ Siska segera menyeruak ke tengah kerumunan mereka dan segera menyodorkan jabat tangan pada sahabat setianya. Sementara Stevan dengan langkah perlahan mendekati Cassy sambil juga menyodorkan tangan kananya untuk sebuah jabat tangan, dengan sebuah bisikan “ Cass, habis try out aku antar kamu ke Bu Wulan” pinta Stevan.

“Tidak usah Stev !, biar aku saja yang menghadap sendirian.
***

“Nah, kamu lihat tadi teman temanmu kehilangan kamu semua, kan Cass ?”

“Iya bu !”

“Mereka semua tetap ceria dan aktif sekolah !”

“Mereka tidak punya masalah keluarga, bu !”

“Siapa bilang, Cass !, Bu Wulan sebagai wali kelas, biasa mendapat pengaduan dari mereka. Mereka semua juga punya masalah sepertimu !”

“Tapi masalahnya lain dengan Cassy, bu !”

5
“Ya, betul, Cassy !. Tetapi ada beberapa yang yang jauh lebih berat dari kamu “

“Mereka semua tidak pernah cerita sama Cassy “
“Kamu tahu Kimberly ?, dia diasuh oleh bukan ortunya sendiri. Sementara hingga kini dia pengin sekali bertemu dengan ortu kandungnya. Juga Nur Hayati yang mamanya dikabarkan meninggal di Arab, sedangkan bapaknya di rumah  stress. Akhirnya Bu Wulan ikut membantu biaya sekolah, karena dia sebentar lagi ikut UN. Cassy !, cerialah seperti sebelumnya !” pinta Bu Wulan.

“Iya bu !, Cassy akan berusaha !”

“Cassy bahagia dan kesedihan dari setiap manusia, itu hanya tergantung dari sisi hati sebelah mana. Bu Wulan sudah lama mengamati kamu dan Bu Wulan kagum dengan pribadimu. Bu Wulan yakin kamu akan mampu mengurai derita hatimu !. Untuk melupakan derita itu, cobalah kamu teruskan bisnis mamamu, kamu saya yakin mampu bisnis di bidang boutiq, menggantikan mamamu”

“Cassy mengerti Bu !”

Udara di sinang hari itu kembali cerah, sang mentari tak lagi bermuka cemberut, demikian juga hati Cassy yang mulai benderang. Sementara itu sayap Sang Putri Negeri Kaca kembali berkepak lagi***

Jumat, 16 Maret 2012

Salam Rindu untuk Negeriku


kutanyakan  pada  langit bumi

mengapa kita tak sederas air kali
yang sigap mengucuri sawah ladang dengan air
obat dahaga nafas yang hanya sampai leher
pada mentimun dan lobak yang kembali
menggapai angin, dari lekukan bukit-bukit
sepanjang cakrawala.

mengapa kita tak segesit pipit di dahan cemara
kala pagi, siang dan sore selalu saja menggambar prosa
tentang ketidakraguan, mengepakan sayap mencuri ceria
dari padang luas tempat “sang dajjal” mengumbar kesumat
di seputar atmosfer berdebu nanar dan buruk sangka

mengapa kita tak bertanam semerbak wewangi
aroma kemanusiaan,
padahal putting beliung telah merapatkan kaki
berbaris sepanjang “Negeri Archipelago”, berpagar
ratna mutumanikam, kita hanya mampu menguntai
nada parau, ditikam burung hantu yang mengepalkan tangan
“sang dajjal” telah menderapkan langkah , menebarkan
debu musim kemarau yang pengap dan anyir.

mengapa kita tak setegap petani desa
yang sahaja dari pacuan kuda binal
menerjang sisi hati setiap yang berbaju petinggi
bergigi pongah dan bibirnya yang sumbing
terus melengkingkan atmosfer hitam dan kotor
di istana berajut lengan lengan lemah sepanjang dindingnya

mengapa kita tak pandai
berbasuh air sejuk dari Puncak Semeru atau
menghangatkan badan ari bara api sepanjang
bumi Papua, yang tak mampu membendung
air matanya.

selalu mestinya kita bertanga
pada langit dan bumi

(Semarang, 17 Maret 2012)

rahwana dan ketua partai

rahwana menyisir lereng Himalaya
bara api di lidahnya
melekangkan ilalang
belukar tersenyum hambar
mahkota di istana Himalaya
bersigap

rahwana tajam mengerling
di hunian katulistiwa
riuh perhelatan  ketua partai
menyambut dengan
dentuman seribu  meriam

rahwana menajamkan taring
agar ketua partai tetap dalam seloroh
belukarpun terhempas
hingga kaki cakrawala

(Semarang, 17 Maret 2012)

pawai  artis

mereka di etalase, berbatas kaca negeri kahyangan
kita hanya setelan baju singkong.
mereka  berbaju daun pandan pengap
menjerat leher tempat merapatkan cangkul

etalase semakin glamour dengan ornament duka pilu
kita masih membasuh air negeri untuk
kebon bunga di halaman

untuk menjemput pagi penuh ceria

Rabu, 14 Maret 2012

Biru Rindumu


bila kau beruntai biru rindu, istriku !,
kejarlah awan putih  dalam bentang  cemerlang
berilah mereka wewangi dalam benakmu
agar bertaut pada rentang jarum detik  lepas bebas,
aku memberimu, eksotis  fajar
langit biru kau gambar dalam  celoteh syair
cinta remaja, saling menaut janji
hingga mentaripun menyisir rambut sinarnya

bila kau menyirat puisi duka, istriku !
jangan tutup tirai hati, tempat kau bergincu bibir
sawah ladang dipenuhi air sungai hitam kelam
hingga batang padi meradangkan sendu,
kau jangan membuang wajah
dalam padang kering kerontang

bila kau bahagia, bersama bunga bunga
hadapkan kelopak penuh guratan “tawakal”
pada mahkota di atas puncak gunung gunung
meski kau samar memandangnya
tebarkan sari dalam putikmu,
kibaskan angin  penuh suka cita,
hingga hinggap di rumpun rerumputan

kita hanya milik nafas kita sendiri, istriku !
meski hanya kau yang mengusung rinduku
akupun dalam rindu, saat  semua terbungkam bisu
akupun menulsikan dalm kanvas
yang telah kau simpan
di tengah hari-hari lusuh

Semarang, 15 Maret 2012



Selasa, 13 Maret 2012

tentang aku

kumbang Jalang

aku bagai kumbang jalang
tak mengenal janji
atau lagu rindu,
aku melupakan hari
warna sayap kupu-kupu
biru beruntai merah
dalam seduhan
menyudutkanku

aku mengepakan sayap
menerjangkan detak jantung
mencari kebun bunga
agar daraku mendidih
melentingkan kedua kakiku
menggapai kelopak
bersari bibir gincu

kuulurkan benang
agar engkau
mampu berteriak lantang
mengggurkan  daun akasia
menerbangkan debu
pada tepi pelangi
bersusun gairah hatimu

enyahlah kau
nyanyian getir mengubur makna
karena aku yang member arti
tentang rajutan hidup
dalam kidung asmara
bersama kau di pualam malam

(Semarang, 13 Maret 2012)

ingkar

aku dalam penat
memilih jalanku
kau masih menuai angan
aku hanya tergolek lesu
sudahkah kau warnai
atau kau benahi
saat kau gambar langit
bermanikam getir

(Semarang, 13 Maret 2012)



Karmila

Malam demikian larutnya, angin dingin mulai menyentuh semua sendi tulangnya. Meski baju hangat sudah berusaha menepisnya. Namun lelaki tua itu tidak menghiraukan sama sekali. Dia lebih asyik melemparkan pandangan matanya ke arah bintang gemintang yang berserakan di kain hitam malam. Sementara anganya yang liar dan tak tahan bersemayam di benaknya,  terus saja menerjang jarum waktu. Meski sebentar lagi malam terusir oleh datangnya sang fajar.

Sesekali dia berdiri mengayunkan langkahnya untuk menuju salah satu sudut beranda rumahnya yang beralas tanah. Kedua matanya kini mulai redup dipenuhi bening air matanya. Saat hatinya merintih sedih, kursi tua yang menemaninya itulah yang mampu mendinginkan hatinya. Kursi jati tua yang berkaki lengkung mendatar itu, adalah pemberian mendiang istrinya yang belum genap satu tahun meninggalkannya. Hanya kursi jati tua itu yang mampu mengusung sebuah nostalgia yang indah tentang Karmila, wanita yang bersama denganya merajut kehidupanya, detik demi detik dengan kehidupan saling asih sejati selama 40 tahun.

***
Beranda rumahnya kini menjadi terang benderang, Karmila dengan stelan daster  model Eropa saat itu, menarik lenganya saat Indrawan  belum mengganti baju kerja sepulang dari perkebunan teh. Indrawanpun hanya menuruti saja kemauan istrinya, wanita lulusan MULO Semarang yang berhasil meruntuhkan hatinya.

“Ah…ada apa Mila !. Apa apaan sih “ seru dia dengan senyum tipis di bibirnya.

“Sudahlah !, nanti juga Mas Indra tahu !, aku jamin mas akan senang melihat sesuatu “. Langkah Mila terhenti hingga sampai di beranda samping rumah berarsitektur Eropa, dengan halaman bergelar rumput Jepang yang tertata dengan apik. Senyum menawan masih menghiasi bibir Karmila saat dia membuka kain penutup sesuatu yang menyebabkan Indrawan penasaran sejak sampai di rumah sore ini. Di depan Indrawan kini, nampaklah sebuah kursi dari kayu jati yang bertumpu pada lengkungan kayu yang ada di bawah keempat kakinya. 

“Oh ternyata kursi goyang, kursi goyang seperti ini sudah lama aku impikan Karmila !, terimakasih !. Kamu memang Karmila istriku !” Sepotong kalimat yang meluncur begitu saja dari mulut Indrawan, sambil merapatkan tubuhnya pada wanita yang berperawakan sintal dan berkulit kuning.


Kursi jati itupun kemudian menjadi korban pelampiasan Indrawan yang lepas mengusung derai tawa sambil menggerakan kedua kakinya, sehingga kursi jati itupun menjadi bergoyang. Ada secercah rasa kagum pada laki laki perlente yang ganteng dan masih
muda itu tentang perhatian Karmila pada dirinya. “Apakah ini hari ulang tahunku ?, rasanya aku baru saja berulang tahun tiga bulan silam. Tapi mengapa Karmila repot repot membelikan aku kursi goyang ini ?”. Bisikan hati tentang kekaguman pada istrinya masih melekat kuat, sama seperti saat saat lainya kala Karmila dengan tulus memberinya perhatian padanya sepanjang mereka mengarungi hidup bersama.. Apalagi kursi goyang yang dia duduki kini tentunya bukan kursi yang dengan gampang tersedia di toko.

“Aku pesankan kursi ini pada Tuan Hong di kota untuk mas, agar tidak sering melamun di depan rumah hingga larut malam !”.

“Terimakasi, ya Mila !. Aku tidak pernah melamun seperti itu, Mila !”

“Ah, Mas Indra bohong, sering aku ditinggal tidur sendiri sampai larut “

“Mila, kamu kan tahu !. Tanggung jawabku berat,  karena aku mandor perkebunan teh yang membawahi 1500 buruh. Ada saja masalah yang harus aku tangani tiap hari. Padahal Menir MC. Perk tidak mau penyelesaian buruh yang berlarut-larut “

“Tapi ini rumah kita Mas, Rumah tempat kita dan anak-anak kita saling membagi kasih. Aku hanya ingin mas melupakan masalah kantor setelah di rumah. Itu juga demi kesehatan Mas Indra “ Pinta Karmila pada suaminya sambil merajuk seperti anak kecil yang kehilangan mainanya.

“Baiklah istriku yang cantik  !!!!, aku janji tidak seperti itu lagi!. Tapi kenapa kau belikan aku kursi roda ?. Katanya aku tidak boleh melamun ?”

“Ya boleh, asalkan melamun di kursi itu, Mas !”

“Lho, maksud kamu gimana ?”. Tanya Indrawan dengan penuh penasaran.

“Ya tetap melamun !”

“Melamun tentang pekerjaan di lapangan ?”

“Ya, tidak !:”


“Terus melamun tentang apa ?”

 “Melamun tentang aku !” Karmila tampak seperti anak gadis remaja yang manja kepada kekasih yang memberinya cinta pertama.

Senyum renyah istrinya di senja hari beberapa puluh tahun silam  betul betul terasa masih mengelitik gendang telinganya. Indrawan yang kini telah renta dan lemah,  kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tua itu. Sementara dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan, yang mampu melipatkan  sayap-sayap lelaki tua itu. Sehingga berhentilah pengembaraan anganya dari penjuru langit satu ke penjuru lainnya.
Bahkan dinginnya embun dini hari disela suara adzan Subuh membawa lelaki tua itu untuk meninggalkan beranda depan rumahnya. Untuk kali ini kursi goyang itu dibiarkan dingin terbujur sepi.

***
Seperti biasanya tiap siang hari, kursi goyang tua kali ini kembali bergoyang, di tengah perkebunan teh Cianjur  yang dibangun pada tahun 1927-1929 oleh Belanda, tepatnya 30 Oktober 1927 oleh M.C. Perk. Meski Indrawan kini telah pensiun, tetapi dia tidak berniat untuk meninggalkan rumah tua berarsitektur Eropa yang telah menimbun sejuta kenangan bersama Karmila dan ketiga putranya yang kini telah hidup di Jakarta dan di manca negara. Semilir angin dari Gunung Gede semakin kuat mencengkerami tubuhnya. Bintik embun sudah mulai tertepis oleh radiasi elektromagnetik sinar mentari. Hanya seduhan asli hangat yang dicampur gula menemani lelaki tua itu. Direguknya perlahan teh  hangat itu bersama dengan kursi goyang yang ikut bercengkerama denganya.

Kembali kursi goyang itu membisikan sebuah nostalgia padanya, saat beberapa waktu silam Karmila yang wajahnya pucat pasi duduk di kursi itu dengan tatapan mata kosong tetapi bilah wajahnya masih terus mengusung senyuman meski terlihat masih mengusung sebuah kegetiran hatinya. Indrawan kala itu duduk sebelahnya dengan kursi penjalin berukir Jepara. Kenangan siang itu memang sangat kuat menyelinap dalam benak hatinya. Karena  ternyata pertemuan itu adalah pertemuan terakhir dirinya dengan Karmila. Persis seperti goyangan kursi perlahan pada siang hari ini.

“Nampaknya dokter sudah tidak sanggup apa-apa lagi dengan kanker rahimku, Mas !”
Rintihan kelu terusung dari bibir pucat pasi Karmila.

“Jangan putus asa dahalu, Mila !. Besok aku ajak lagi kamu ke Batavia, semoga dokter Albert sudah mengirim telegram ke Netherland”. Dibelainya rambut Karmila, dengan penuh harap agar Karmila  bisa betahan selama mungkin melawan kanker ganasnya.

“Apa dia tidak mampu menangani sendiri, Mas ?”

“Stovia belum memiliki peralatan khusus untuk operasi kankermu, sayang !”

“Tapi aku sudah tidak tahan. Tubuhku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang. Untuk pergi ke Batavia aku sudah tidak sanggup, Mas !”

“Istirahatlah di dalam Karmila, biar aku ambilkan obat.Tidak akan lama lagi tubuhmu akan kuat lagi “. Karmila hanya membiarkan tubuhnya diangkat oleh suaminya yang berbadan kekar. Karmila masih sempat menderaikan sebuah senyuman, namun sorot mata Indrawan terlihat semakin redup dan mulai terlihat bintik-bintik air mata menggenangi kedua bola matanya.

“Mas Indrawan ! “

“Ya, Mila !”

“Jangan sedih ya Mas Indrawan , bila semuanya sudah menjadi suratan takdir “

“Engkau bicara apa, Mila !. Aku yakin tidak akan terjadi apa apa pada kamu, Mila.Kamu  adalah wanita yang kuat, bertahun tahun aku merasakan hal itu, Mila !”

“Tapi kalau Tuhan menghendaki lain ?”

“Tidak akan, Mila !”

“Maafkan aku, ya Mas !. Aku ngantuk, aku akan tidur dulu Mas. Jangan pergi dulu, rebahlah disampingku Mas !. Tunggulah sampai aku bangun…”. Cengkeraman tangan Karmila pada bahu Indrawan kini telah terlepas, karena kedua tangan Karmila kini telah lunglai, detak jantungnyapun telah berhenti dan terbujurlah tubuh Karmila tak berdaya.

Indrawan hanya mampu berusaha tabah sesuai pesan istrinya, rumah gedong megah itupun kini senyap, sementara kursi goyang di beranda depan turut terpagut sepi ***