Jumat, 16 Maret 2012

Salam Rindu untuk Negeriku


kutanyakan  pada  langit bumi

mengapa kita tak sederas air kali
yang sigap mengucuri sawah ladang dengan air
obat dahaga nafas yang hanya sampai leher
pada mentimun dan lobak yang kembali
menggapai angin, dari lekukan bukit-bukit
sepanjang cakrawala.

mengapa kita tak segesit pipit di dahan cemara
kala pagi, siang dan sore selalu saja menggambar prosa
tentang ketidakraguan, mengepakan sayap mencuri ceria
dari padang luas tempat “sang dajjal” mengumbar kesumat
di seputar atmosfer berdebu nanar dan buruk sangka

mengapa kita tak bertanam semerbak wewangi
aroma kemanusiaan,
padahal putting beliung telah merapatkan kaki
berbaris sepanjang “Negeri Archipelago”, berpagar
ratna mutumanikam, kita hanya mampu menguntai
nada parau, ditikam burung hantu yang mengepalkan tangan
“sang dajjal” telah menderapkan langkah , menebarkan
debu musim kemarau yang pengap dan anyir.

mengapa kita tak setegap petani desa
yang sahaja dari pacuan kuda binal
menerjang sisi hati setiap yang berbaju petinggi
bergigi pongah dan bibirnya yang sumbing
terus melengkingkan atmosfer hitam dan kotor
di istana berajut lengan lengan lemah sepanjang dindingnya

mengapa kita tak pandai
berbasuh air sejuk dari Puncak Semeru atau
menghangatkan badan ari bara api sepanjang
bumi Papua, yang tak mampu membendung
air matanya.

selalu mestinya kita bertanga
pada langit dan bumi

(Semarang, 17 Maret 2012)

rahwana dan ketua partai

rahwana menyisir lereng Himalaya
bara api di lidahnya
melekangkan ilalang
belukar tersenyum hambar
mahkota di istana Himalaya
bersigap

rahwana tajam mengerling
di hunian katulistiwa
riuh perhelatan  ketua partai
menyambut dengan
dentuman seribu  meriam

rahwana menajamkan taring
agar ketua partai tetap dalam seloroh
belukarpun terhempas
hingga kaki cakrawala

(Semarang, 17 Maret 2012)

pawai  artis

mereka di etalase, berbatas kaca negeri kahyangan
kita hanya setelan baju singkong.
mereka  berbaju daun pandan pengap
menjerat leher tempat merapatkan cangkul

etalase semakin glamour dengan ornament duka pilu
kita masih membasuh air negeri untuk
kebon bunga di halaman

untuk menjemput pagi penuh ceria