KOTA ini menjadi
bertambah pengap, setiap kali anak anak muda yang berstatus mahasiswa berkumpul
di jalan dan segera disergap polisi, lengkap dengan letusan pistol ke udara,
lengkingan sirene yang seakan berniat merobohkan kios kios dari papan di
sepanjang pinggir jalan yang pengap itu.
Yang pasti debu debu musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran
antara polisi dan anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir
setiap hari terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan
beterbangan. Karena seringnya jalan aspal yang berlobang di sana sini itu,
digunakan untuk semua yang bersitegang menuntut suatu kebenaran.
Belum lagi suara
klakson mobil aneka merek, dari yang jadul hingga mobil keluaran terbaru , yang
meneriaki semuanya yang ada di depanya untuk
minggir. Suara lolongan anjing kudis yang kurus kering karena selama berhari
hari tidak makan menambah seram dan pengap jalanan kota itu.
Panas mentari
ikut juga membakar aspal dan atap asbes kios papan di pinggir jalan. Sementara
suara denting benda benda kaca yang saling bersentuhan dari warung bakso, mi
ayam , warung tegal , teriakan ilalang kecil yang berebut order parkir, tidak
kunjung reda. Sesekali suara sirene ambulan kematian di siang hari bolong
menusuk panasnya jalan itu, namun semua tak mengambil peduli dengan nasib manusia
yang terbujur kaku di ambulan itu.
Semua yang
menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam, saat beberapa mulut
lantang meneriakan slogan “ Turunkan BBM…turunkan TDL!!!, turunkan harga
sembako !!!, bantai semua koruptor di negeri pelacur ini !!! ”, bertubi-tubi
teriakan itu melecut membakar udara siang itu. Kembali debu debu kotor dan
pengap ikut pula menyampaikan kabar adanya demo mahasiswa kepada debu lainnya
di setiap sudut jalan pengap itu.
“Tutup saja
warung kita !!!” teriak Sukiman kepada istrinya
yang berlarian kecil mengemas semua peralatan warung mi ayamnya. Padahal
asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di dandang besar. Hari ini sekali
lagi penghidupan Sukimin dan ke empat anaknya menjadi tergerus pengap dan membaranya jalan di kota pengap itu.
“Iya, pak aku
matikan kompornya dulu, nanti sore kalau demo sialan itu sudah rampung, kita
buka lagi , tho mas !”. Suaminya hanya mengangguk, sementara ke empat anaknya
tidak ada satupun yang membantunya, karena semuanya sedang aktif bersekolah.
2
***
“Dooor….door…dor
“ tak urung dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan polisi sudah
mengangkasa, beberapa diantaranya merontokan satu dua daun Akasia yang ada di
pinggir jalan membara itu. Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak
menyurutkan niat para anak muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya.
Bahkan letusan mesiu itu malah menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk
terbang kesana kemari.
Beberapa
diantaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara sebagian lagi
menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut, kios mie ayam, warung
bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang tadinya ganas
dan melengking, kini merengek ketakutan.
“Kok tiap hari
begini, ya Bang Dul “ seru Kang Dirman si tukang becak yang sedari pagi
nongkrong di troktoar. Padahal sedari pagi belum ada satu penumpangpun yang
mengorder dirinya. Wajah si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya
yang sesak tidak berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapaun. Hanya pada
Abdullah, Orang Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.
“Ah, gimana aku
mau dapat duit, bang !” Sekali lagi lelaki tua yang berasal dari pinggiran kota
itu mengeluh pada Abdullah.
“Masih mending
kamu Kang Dirman !, coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar belanja sayur. Eh
baru satu dua piring makananku terjual, demo datag lagi, datang lagi, sampai
kapan selesainya !”. Bang Abdullahpun segera menutup warungnya, meski Kang
Dirman sudah mengayuh becaknya untuk ngeloyor pergi.
Kini hanya
beberapa puluh meter jarak antara kawanan pendemo dengan tameng fiber pak
polisi, sesekali satuan polisi itu
melangkah surut, namun tak berapa lama
terdengar perintah komandan polisi untuk segera maju membubarkan pendemo.
Sementara debu jalanan yang kering kerontang menjadi bertambah liar membumbung
ke angkasa.
“Kami tidak
melarang saudara-saudaraku untuk berdemo, tap lakukan dengan tertib, maka
sekarang bubar, !!!, bubar !!! bubar !!! “ Megaphone yang terjinjing di salah
satu pundak perwira itu dihadapkan kesana kemari, agar semua peserta demo dan
ilalang yang menjadi penonton bisa mendengarkan. Meski suara megaphonenya mampu menyalak,
menggetarkan gendang telinga yang berkumpul di jalan kota pengap itu, namun genderang
perang di hati pendemo tetap saja tersulut.
3
“Majuuuu, jangan
takut !!!! “ entah siapa yang menarik
tali pelatuk komando itu, yang jelas ratusan pendemo itu merangsek maju
menerjang tameng fiber polisi anti huru hara. Sementara lainnya di belakang
mulai melempar bom Molotov ke arah satuan polisi yang bersigap menghadang
terjangan pendemo, yang telah nanar matanya, meradang dadanya dan memerah
amarahnya.
“Jangan halangi
kami !, kami suara rakyat !. Kalau BBM tetap dinaikan akan ada ribuan mahasiswa
dan rakyat yang akan berdemo !!!“ seru seorang pendemo yang berada di lapisan paling
depan.
“Kami tidak
melarang kamu untuk demo !, kami hanya bermaksud menertibkan kamu semua, supaya
tidak merusak kepentingan umum!”. Namun entah mengapa, apakah di negara pengap
ini semua warganya sudah tidak memiliki telinga lagi, atau karena mata hati
mereka semua sudah terhempas angin kembara dan entah sekarang hinggap di mana.
Kedua belah pihak kini sudah tidak mampu mendengarkan teriakan satu sama lain.
Mereka hanya bergumul dengan amarah mereka untuk merobohkan yang ada di depan
mereka. Debu semakin kering dan begabung dengan angin kemarau, tetesan darah
sudah mulai menjadi saksi atas episode yang menggetirkan hati setiap penghuni
kota pengap itu.
Semua kendaran
mulai menepi memnuhi semua ruas jalan pengap itu dalam antrian yang “semrawut”,
sirene mobil polisi kini bertambah nyaring, menyeruak kemacetan berbagai
kendaraan yang malang melintang tak tentu arah. Semua pedagang asongan sudah
meletakan asonganya di tempat yang teduh dan aman.Kawanan ilalang yang
mengusung penderitaaan hidup dan menggantungkan hidupnya pada keramaian jalan
di kota pengap itu mulai berkumpul di seputar pertikaian antar kedua kubu.
Jerit tangis wanita dan anak anak malah kini ikut mencekamkan jalan itu.
***
Ilalang yang
menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya, dada mereka
berguncang hebat, pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian lagi
berlarian kesana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar disana sini, sementara
beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan itu. Tetapi kedua kubu belum
ada yang mau mengalah, bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal dan
bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di pertigaan
jalan pengap itu.
“Jo, mereka akan
membakar pom bensin !” teriak Dirman
pada Warjo tukang tambal ban, yang membiarkan begitu saja kompresornya di
pinggir jalan.
4
“Kita cegah mereka !!!” pinta Warjo
“Jangan, kita
tidak bisa. Itu tugas polisi, kita menyelamatkan saja warung warung kita” jawab
Dirman.
“Tapi kita tidak
boleh tinggal diam !” seru Warjp
“Kita harus
bagaimana ?” tanya Kanapi
“Kita hanya bisa
menolong korban korban itu” jawab Warjo
“Oh, itu tindakan yang baik, kita angkat saja korban
yang pinsan, kita bawa ke sini !” usul Santoso.
“Wah !, tapi
bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu “ jawab Warjo.
“Ha, aku punya
ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita
kibaskan ke tengah mereka, sementara
lainya mengangkat korban yang terkapar, gimana ?” usul Kanapi kepada mereka
yang ikut merasa prihatin dengan tragedy yang mengeaskan itu.
Merekakun
berlarian kesana kemari, guna mencari kain apa adanya untuk mebuat bendera.
Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai, bahu, lengan dan
baju mereka berlepotan noda darah dari para korban yang terkapar di tengah aspal yang membara. Sementara sinar
matahari bertambah ganas memagut episode duka nestapa antara anak negeri.
Kini belasan
korban telah berjejer di bawah pohon akasia, sebagian mereka merintih
kesakitan, sebagian mereka masih diam terbujur dan beberapa diantaranya sudah
mampu duduk kembali dengan mulut yang merintih kesakitan. Para ilalang itu
dengan kendaraan apa saja kini bahu membahu membawa mereka ke rumah sakit.
Sementara matahari
mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari pompa bensin yang terbakar.
Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih berserakan disana sini. Tetasan darah masih belumkering dihisap debu
debu jalan, berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu.
Suasana kini menjadi lengang, belum ada kendaraan yang melewati jalan itu.
Ilalangpun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang
berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini ?.***