Tampilkan postingan dengan label CERPEN KEHIDUPAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN KEHIDUPAN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Maret 2012

Jalan Jalan Membara


KOTA ini menjadi bertambah pengap, setiap kali anak anak muda yang berstatus mahasiswa berkumpul di jalan dan segera disergap polisi, lengkap dengan letusan pistol ke udara, lengkingan sirene yang seakan berniat merobohkan kios kios dari papan di sepanjang pinggir  jalan yang pengap itu. Yang pasti debu debu musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran antara polisi dan anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir setiap hari terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan beterbangan. Karena seringnya jalan aspal yang berlobang di sana sini itu, digunakan untuk semua yang bersitegang menuntut suatu kebenaran.

Belum lagi suara klakson mobil aneka merek, dari yang jadul hingga mobil keluaran terbaru , yang meneriaki semuanya  yang ada di depanya untuk minggir. Suara lolongan anjing kudis yang kurus kering karena selama berhari hari tidak makan menambah seram dan pengap jalanan kota itu.

Panas mentari ikut juga membakar aspal dan atap asbes kios papan di pinggir jalan. Sementara suara denting benda benda kaca yang saling bersentuhan dari warung bakso, mi ayam , warung tegal , teriakan ilalang kecil yang berebut order parkir, tidak kunjung reda. Sesekali suara sirene ambulan kematian di siang hari bolong menusuk panasnya jalan itu, namun semua tak mengambil peduli dengan nasib manusia yang terbujur kaku di ambulan itu.

Semua yang menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam, saat beberapa mulut lantang meneriakan slogan “ Turunkan BBM…turunkan TDL!!!, turunkan harga sembako !!!, bantai semua koruptor di negeri pelacur ini !!! ”, bertubi-tubi teriakan itu melecut membakar udara siang itu. Kembali debu debu kotor dan pengap ikut pula menyampaikan kabar adanya demo mahasiswa kepada debu lainnya di setiap sudut jalan pengap itu.

“Tutup saja warung kita !!!” teriak Sukiman kepada istrinya  yang berlarian kecil mengemas semua peralatan warung mi ayamnya. Padahal asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di dandang besar. Hari ini sekali lagi penghidupan Sukimin dan ke empat anaknya menjadi tergerus pengap dan  membaranya jalan di kota pengap itu.

“Iya, pak aku matikan kompornya dulu, nanti sore kalau demo sialan itu sudah rampung, kita buka lagi , tho mas !”. Suaminya hanya mengangguk, sementara ke empat anaknya tidak ada satupun yang membantunya, karena semuanya sedang aktif bersekolah.
2
***
“Dooor….door…dor “ tak urung dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan polisi sudah mengangkasa, beberapa diantaranya merontokan satu dua daun Akasia yang ada di pinggir jalan membara itu. Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak menyurutkan niat para anak muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya. Bahkan letusan mesiu itu malah menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk terbang kesana kemari.

Beberapa diantaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara sebagian lagi menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut, kios mie ayam, warung bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang tadinya ganas dan melengking, kini merengek ketakutan.

“Kok tiap hari begini, ya Bang Dul “ seru Kang Dirman si tukang becak yang sedari pagi nongkrong di troktoar. Padahal sedari pagi belum ada satu penumpangpun yang mengorder dirinya. Wajah si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya yang sesak tidak berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapaun. Hanya pada Abdullah, Orang Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.

“Ah, gimana aku mau dapat duit, bang !” Sekali lagi lelaki tua yang berasal dari pinggiran kota itu mengeluh pada Abdullah.

“Masih mending kamu Kang Dirman !, coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar belanja sayur. Eh baru satu dua piring makananku terjual, demo datag lagi, datang lagi, sampai kapan selesainya !”. Bang Abdullahpun segera menutup warungnya, meski Kang Dirman sudah mengayuh becaknya untuk ngeloyor pergi.

Kini hanya beberapa puluh meter jarak antara kawanan pendemo dengan tameng fiber pak polisi, sesekali satuan  polisi itu melangkah surut,  namun tak berapa lama terdengar perintah komandan polisi untuk segera maju membubarkan pendemo. Sementara debu jalanan yang kering kerontang menjadi bertambah liar membumbung ke angkasa.

“Kami tidak melarang saudara-saudaraku untuk berdemo, tap lakukan dengan tertib, maka sekarang bubar, !!!, bubar !!! bubar !!! “ Megaphone yang terjinjing di salah satu pundak perwira itu dihadapkan kesana kemari, agar semua peserta demo dan ilalang yang menjadi penonton bisa mendengarkan.  Meski suara megaphonenya mampu menyalak, menggetarkan gendang telinga yang berkumpul di jalan kota pengap itu, namun genderang perang di hati pendemo tetap saja tersulut.

3
“Majuuuu, jangan takut !!!!  “ entah siapa yang menarik tali pelatuk komando itu, yang jelas ratusan pendemo itu merangsek maju menerjang tameng fiber polisi anti huru hara. Sementara lainnya di belakang mulai melempar bom Molotov ke arah satuan polisi yang bersigap menghadang terjangan pendemo, yang telah nanar matanya, meradang dadanya dan memerah amarahnya.

“Jangan halangi kami !, kami suara rakyat !. Kalau BBM tetap dinaikan akan ada ribuan mahasiswa dan rakyat yang akan berdemo !!!“ seru seorang pendemo yang berada di lapisan paling depan.

“Kami tidak melarang kamu untuk demo !, kami hanya bermaksud menertibkan kamu semua, supaya tidak merusak kepentingan umum!”. Namun entah mengapa, apakah di negara pengap ini semua warganya sudah tidak memiliki telinga lagi, atau karena mata hati mereka semua sudah terhempas angin kembara dan entah sekarang hinggap di mana. Kedua belah pihak kini sudah tidak mampu mendengarkan teriakan satu sama lain. Mereka hanya bergumul dengan amarah mereka untuk merobohkan yang ada di depan mereka. Debu semakin kering dan begabung dengan angin kemarau, tetesan darah sudah mulai menjadi saksi atas episode yang menggetirkan hati setiap penghuni kota pengap itu.

Semua kendaran mulai menepi memnuhi semua ruas jalan pengap itu dalam antrian yang “semrawut”, sirene mobil polisi kini bertambah nyaring, menyeruak kemacetan berbagai kendaraan yang malang melintang tak tentu arah. Semua pedagang asongan sudah meletakan asonganya di tempat yang teduh dan aman.Kawanan ilalang yang mengusung penderitaaan hidup dan menggantungkan hidupnya pada keramaian jalan di kota pengap itu mulai berkumpul di seputar pertikaian antar kedua kubu. Jerit tangis wanita dan anak anak malah kini ikut mencekamkan jalan itu.

***

Ilalang yang menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya, dada mereka berguncang hebat, pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian lagi berlarian kesana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar disana sini, sementara beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan itu. Tetapi kedua kubu belum ada yang mau mengalah, bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal dan bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di pertigaan jalan pengap itu.

“Jo, mereka akan membakar pom bensin !” teriak  Dirman pada Warjo tukang tambal ban, yang membiarkan begitu saja kompresornya di pinggir jalan.
4
“Kita cegah mereka !!!” pinta Warjo

“Jangan, kita tidak bisa. Itu tugas polisi, kita menyelamatkan saja warung warung kita” jawab  Dirman.

“Tapi kita tidak boleh tinggal diam !” seru Warjp

“Kita harus bagaimana ?” tanya Kanapi

“Kita hanya bisa menolong korban korban itu” jawab Warjo

“Oh, itu  tindakan yang baik, kita angkat saja korban yang pinsan, kita bawa ke sini !” usul Santoso.

“Wah !, tapi bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu “ jawab Warjo.

“Ha, aku punya ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita kibaskan  ke tengah mereka, sementara lainya mengangkat korban yang terkapar, gimana ?” usul Kanapi kepada mereka yang ikut merasa prihatin dengan tragedy yang mengeaskan itu.

Merekakun berlarian kesana kemari, guna mencari kain apa adanya untuk mebuat bendera. Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai, bahu, lengan dan baju mereka berlepotan noda darah dari para korban yang terkapar  di tengah aspal yang membara. Sementara sinar matahari bertambah ganas memagut episode duka nestapa antara anak negeri.

Kini belasan korban telah berjejer di bawah pohon akasia, sebagian mereka merintih kesakitan, sebagian mereka masih diam terbujur dan beberapa diantaranya sudah mampu duduk kembali dengan mulut yang merintih kesakitan. Para ilalang itu dengan kendaraan apa saja kini bahu membahu membawa mereka ke rumah sakit.

Sementara matahari mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari pompa bensin yang terbakar. Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih berserakan  disana sini.  Tetasan darah masih belumkering dihisap debu debu jalan, berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu. Suasana kini menjadi lengang, belum ada kendaraan yang melewati jalan itu. Ilalangpun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini ?.***

Selasa, 13 Maret 2012

Karmila

Malam demikian larutnya, angin dingin mulai menyentuh semua sendi tulangnya. Meski baju hangat sudah berusaha menepisnya. Namun lelaki tua itu tidak menghiraukan sama sekali. Dia lebih asyik melemparkan pandangan matanya ke arah bintang gemintang yang berserakan di kain hitam malam. Sementara anganya yang liar dan tak tahan bersemayam di benaknya,  terus saja menerjang jarum waktu. Meski sebentar lagi malam terusir oleh datangnya sang fajar.

Sesekali dia berdiri mengayunkan langkahnya untuk menuju salah satu sudut beranda rumahnya yang beralas tanah. Kedua matanya kini mulai redup dipenuhi bening air matanya. Saat hatinya merintih sedih, kursi tua yang menemaninya itulah yang mampu mendinginkan hatinya. Kursi jati tua yang berkaki lengkung mendatar itu, adalah pemberian mendiang istrinya yang belum genap satu tahun meninggalkannya. Hanya kursi jati tua itu yang mampu mengusung sebuah nostalgia yang indah tentang Karmila, wanita yang bersama denganya merajut kehidupanya, detik demi detik dengan kehidupan saling asih sejati selama 40 tahun.

***
Beranda rumahnya kini menjadi terang benderang, Karmila dengan stelan daster  model Eropa saat itu, menarik lenganya saat Indrawan  belum mengganti baju kerja sepulang dari perkebunan teh. Indrawanpun hanya menuruti saja kemauan istrinya, wanita lulusan MULO Semarang yang berhasil meruntuhkan hatinya.

“Ah…ada apa Mila !. Apa apaan sih “ seru dia dengan senyum tipis di bibirnya.

“Sudahlah !, nanti juga Mas Indra tahu !, aku jamin mas akan senang melihat sesuatu “. Langkah Mila terhenti hingga sampai di beranda samping rumah berarsitektur Eropa, dengan halaman bergelar rumput Jepang yang tertata dengan apik. Senyum menawan masih menghiasi bibir Karmila saat dia membuka kain penutup sesuatu yang menyebabkan Indrawan penasaran sejak sampai di rumah sore ini. Di depan Indrawan kini, nampaklah sebuah kursi dari kayu jati yang bertumpu pada lengkungan kayu yang ada di bawah keempat kakinya. 

“Oh ternyata kursi goyang, kursi goyang seperti ini sudah lama aku impikan Karmila !, terimakasih !. Kamu memang Karmila istriku !” Sepotong kalimat yang meluncur begitu saja dari mulut Indrawan, sambil merapatkan tubuhnya pada wanita yang berperawakan sintal dan berkulit kuning.


Kursi jati itupun kemudian menjadi korban pelampiasan Indrawan yang lepas mengusung derai tawa sambil menggerakan kedua kakinya, sehingga kursi jati itupun menjadi bergoyang. Ada secercah rasa kagum pada laki laki perlente yang ganteng dan masih
muda itu tentang perhatian Karmila pada dirinya. “Apakah ini hari ulang tahunku ?, rasanya aku baru saja berulang tahun tiga bulan silam. Tapi mengapa Karmila repot repot membelikan aku kursi goyang ini ?”. Bisikan hati tentang kekaguman pada istrinya masih melekat kuat, sama seperti saat saat lainya kala Karmila dengan tulus memberinya perhatian padanya sepanjang mereka mengarungi hidup bersama.. Apalagi kursi goyang yang dia duduki kini tentunya bukan kursi yang dengan gampang tersedia di toko.

“Aku pesankan kursi ini pada Tuan Hong di kota untuk mas, agar tidak sering melamun di depan rumah hingga larut malam !”.

“Terimakasi, ya Mila !. Aku tidak pernah melamun seperti itu, Mila !”

“Ah, Mas Indra bohong, sering aku ditinggal tidur sendiri sampai larut “

“Mila, kamu kan tahu !. Tanggung jawabku berat,  karena aku mandor perkebunan teh yang membawahi 1500 buruh. Ada saja masalah yang harus aku tangani tiap hari. Padahal Menir MC. Perk tidak mau penyelesaian buruh yang berlarut-larut “

“Tapi ini rumah kita Mas, Rumah tempat kita dan anak-anak kita saling membagi kasih. Aku hanya ingin mas melupakan masalah kantor setelah di rumah. Itu juga demi kesehatan Mas Indra “ Pinta Karmila pada suaminya sambil merajuk seperti anak kecil yang kehilangan mainanya.

“Baiklah istriku yang cantik  !!!!, aku janji tidak seperti itu lagi!. Tapi kenapa kau belikan aku kursi roda ?. Katanya aku tidak boleh melamun ?”

“Ya boleh, asalkan melamun di kursi itu, Mas !”

“Lho, maksud kamu gimana ?”. Tanya Indrawan dengan penuh penasaran.

“Ya tetap melamun !”

“Melamun tentang pekerjaan di lapangan ?”

“Ya, tidak !:”


“Terus melamun tentang apa ?”

 “Melamun tentang aku !” Karmila tampak seperti anak gadis remaja yang manja kepada kekasih yang memberinya cinta pertama.

Senyum renyah istrinya di senja hari beberapa puluh tahun silam  betul betul terasa masih mengelitik gendang telinganya. Indrawan yang kini telah renta dan lemah,  kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tua itu. Sementara dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan, yang mampu melipatkan  sayap-sayap lelaki tua itu. Sehingga berhentilah pengembaraan anganya dari penjuru langit satu ke penjuru lainnya.
Bahkan dinginnya embun dini hari disela suara adzan Subuh membawa lelaki tua itu untuk meninggalkan beranda depan rumahnya. Untuk kali ini kursi goyang itu dibiarkan dingin terbujur sepi.

***
Seperti biasanya tiap siang hari, kursi goyang tua kali ini kembali bergoyang, di tengah perkebunan teh Cianjur  yang dibangun pada tahun 1927-1929 oleh Belanda, tepatnya 30 Oktober 1927 oleh M.C. Perk. Meski Indrawan kini telah pensiun, tetapi dia tidak berniat untuk meninggalkan rumah tua berarsitektur Eropa yang telah menimbun sejuta kenangan bersama Karmila dan ketiga putranya yang kini telah hidup di Jakarta dan di manca negara. Semilir angin dari Gunung Gede semakin kuat mencengkerami tubuhnya. Bintik embun sudah mulai tertepis oleh radiasi elektromagnetik sinar mentari. Hanya seduhan asli hangat yang dicampur gula menemani lelaki tua itu. Direguknya perlahan teh  hangat itu bersama dengan kursi goyang yang ikut bercengkerama denganya.

Kembali kursi goyang itu membisikan sebuah nostalgia padanya, saat beberapa waktu silam Karmila yang wajahnya pucat pasi duduk di kursi itu dengan tatapan mata kosong tetapi bilah wajahnya masih terus mengusung senyuman meski terlihat masih mengusung sebuah kegetiran hatinya. Indrawan kala itu duduk sebelahnya dengan kursi penjalin berukir Jepara. Kenangan siang itu memang sangat kuat menyelinap dalam benak hatinya. Karena  ternyata pertemuan itu adalah pertemuan terakhir dirinya dengan Karmila. Persis seperti goyangan kursi perlahan pada siang hari ini.

“Nampaknya dokter sudah tidak sanggup apa-apa lagi dengan kanker rahimku, Mas !”
Rintihan kelu terusung dari bibir pucat pasi Karmila.

“Jangan putus asa dahalu, Mila !. Besok aku ajak lagi kamu ke Batavia, semoga dokter Albert sudah mengirim telegram ke Netherland”. Dibelainya rambut Karmila, dengan penuh harap agar Karmila  bisa betahan selama mungkin melawan kanker ganasnya.

“Apa dia tidak mampu menangani sendiri, Mas ?”

“Stovia belum memiliki peralatan khusus untuk operasi kankermu, sayang !”

“Tapi aku sudah tidak tahan. Tubuhku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang. Untuk pergi ke Batavia aku sudah tidak sanggup, Mas !”

“Istirahatlah di dalam Karmila, biar aku ambilkan obat.Tidak akan lama lagi tubuhmu akan kuat lagi “. Karmila hanya membiarkan tubuhnya diangkat oleh suaminya yang berbadan kekar. Karmila masih sempat menderaikan sebuah senyuman, namun sorot mata Indrawan terlihat semakin redup dan mulai terlihat bintik-bintik air mata menggenangi kedua bola matanya.

“Mas Indrawan ! “

“Ya, Mila !”

“Jangan sedih ya Mas Indrawan , bila semuanya sudah menjadi suratan takdir “

“Engkau bicara apa, Mila !. Aku yakin tidak akan terjadi apa apa pada kamu, Mila.Kamu  adalah wanita yang kuat, bertahun tahun aku merasakan hal itu, Mila !”

“Tapi kalau Tuhan menghendaki lain ?”

“Tidak akan, Mila !”

“Maafkan aku, ya Mas !. Aku ngantuk, aku akan tidur dulu Mas. Jangan pergi dulu, rebahlah disampingku Mas !. Tunggulah sampai aku bangun…”. Cengkeraman tangan Karmila pada bahu Indrawan kini telah terlepas, karena kedua tangan Karmila kini telah lunglai, detak jantungnyapun telah berhenti dan terbujurlah tubuh Karmila tak berdaya.

Indrawan hanya mampu berusaha tabah sesuai pesan istrinya, rumah gedong megah itupun kini senyap, sementara kursi goyang di beranda depan turut terpagut sepi ***

Selasa, 17 Mei 2011

LEILA


Entah sudah berapa kali Santiago Prayogo mendenguskan bilah nafas gelisah di kursi pesawat, yang menghantarkan dia dari Banjarmasin untuk pulang ke Semarang kampung halamannya. Perasaanya begitu getir, meski dari balik jendela pesawat terlihat gugusan awan berkejaran, mencoba mendinginkan hati Prayogo yang sedang diterjang bara api. Sesekali dia menengok kursi disampingnya,yang kini tidak lagi diduduki Leila dan anak mungil mereka Rakian, yang meluruhkan seluruh kekuatan sendi tulang Prayogo.

Mata Rakian bocah mungil itu, tawa candanya dan celoteh celotehnya yang memberikan kedamamian hatinya, kini hanya ada di langit menggelantung bersama awan hitam, yang dihembuskan oleh prahara di tengah bahtera rumah tangga Prayogo. Dia merasakan seluruh hidupnya terhempas prahara. yang ditiupkan oleh kedua orang tua Leila sendiri, hingga tibalah kursi pesawat yang diduduki, langit biru di balik jendela pesawat dan barangkali desah nafas yang masuk tenggorokannya ikut pula menyalahkan dan menyudutkan, mengapa dia harus kalah begitu saja. Padahal Leila masih membuka kedua tanganya, meski berada di tengah himpitan yang kuat dari sorot mata kebencian ortunya dan semua saudara saudara Leila yang cantik itu.

Kini dari kaca jendela, Prayogo hanya melihat permadani biru bertabur buih putih. Jelas sudah dia tahu kini, kalau Banjarmasin telah jauh dia tinggalkan. Berkali kali dia mengeluarkan HP dari kantong bajunya, karena berharap HP itu akan memekakan telinganya, lantaran panggilan dari Leila yang menyuruhnya dia kembali ke Banjarmasin demi Leila dan anak tunggal satu satunya. Meski Pengadilan Agama telah mensahkan perceaian antara mereka, namun Prayogo masih saja menyimpan nomor panggilan Leila. Wanita berkulit kuning langsat, anak Juragan Romli pedagang besar kayu, bersama dengan putri tunggalnya itulah Prayogo telah 12 tahun mengarungi hidup di Banjarmasin, sebagai guru swasta.


Masih kuat dalam ingatan Prayogo, beberapa tahun yang lalu, Si Kuning Langsat jelita hatinya, terus saja melipat wajahnya tiap dia pulang dari mengajar. Namun unjuk easa Leila, yang tambah kelihatan cantik itu, tak begitu digubrisnya, apalagi bila putra tuggalnya berada dalam pangkuanya. Prayogo tahu betul, bila bahtera rumah tangganya telah menemui lautan dangkal berpasir, yang dikelilingi karang terjal, Siap menghancurkan bahteranya yang tidak seberapa kokohnya.

“Bapak terus saja mengejar uang yang abang pinjam, mengapa hingga kini abang belum mulai membayarnya, abang kan bisa saja mengangsur hutang modal itu Bang ?” bibir merah yang berhasil merontokan hati Prayogo, seperti biasanya terus saja menghakimi Prayogo yang sering tersudut dalam kekalutan hidupnya.

“Kalau saja aku tahu bakal seperti ini. Tentu saja aku tidak mau berdagang kayu seperti Bapak, Leila !!!! “ entah perasaan apa yang mengganjal sanubari Prayogo kala itu, tidak pernah selama jarum waktu bergerak menghantarkan sang waktu, Prayogo menepis permintaan Leila sekasar itu. Bilah hati yang sedang disudutkan kekalutan itu, tidak mampu lagi menerima permintaan Leila. Seribu kunang kini bertebaran di sekitar kepalanya, tubuh Rakian didekapnya kuat kuat dan kini dia duduk di sofa penganti baru pemberian mertuanya yang bergelimang harta.

Prayogo mengusap punggung Rakian berkali kali, yang melengkingkan tangis manjanya, seakan akan tahu keadaan orang tuanya yang sedang didera kekalutan hidup.

“Bang Yoga !, bapak juga mengerti keadaan kita. Tapi seharusnya abang juga tahu kalau bapak minta abang lebih serius lagi dalam mengembangkan usaha kayu”

“Leila !, kamu kan tahu, aku sering rugi berdagang kayu. Aku jadi bertambah pusing ! ”

*Percuma saja aku bicara dengan abang, modal yang bapak pinjamkan kan tidak sedikit. Wajar saja bila bapak menanyakan usaha kayu kita, bang ? ” .

“Kamu kan bisa menjadi wakil aku di depan bapak tentang bisnis kayu kita. Katakan saja !, kalau aku bangkrut, modalnya akan aku kembalikan secepatnya, Leila ?”

“Bukan begitu bang !, jangan abang menempatkan masalah ini hanya dari aspek bisnis saja. Bang !, aku anak tunggal, jadi wajar bila bapak ingin aku bahagia, termasuk diri abang. Bapak hanya ingin tahu tentang usaha kita. Usaha yang diharapkan bisa berkembang demi masa depak kita bersama’

“Tidak usah kamu ajari, aku tahu masalah itu. Aku hanya minta waktu ?”

“Bang !, aku anak seorang pedagang. Dari kecil aku menyaksikan betapa sengsaranya bapak yang jatuh bangun mengembangkan usaha ini. Hingga kinipun bapak masih hati hati mengembangkan usaha ini. Inilah yang akan bapak ajarkan pada abang dan aku “

“ Leila !, aku bosan dengan ini semua, cobalah bicara yang lain saja. “

“Lantas, apa lagi yang akan aku bicarakan, Bang Yoga !!!! “

“Maksud kamu ? “

“Ya !, karena kita sudah tidak punya apa apa lagi, rumah yang kita tempati, sepda motor dan lainya adalah milik bapak. Masa depanpun kita sudah tidak punya lagi, jadi apa yang dapat kita bicarakan lagi “

Pandangan mata Prayoga seluruhnya dilemparkan kea rah tembok tembok rumah yang kini mulai kusam. Tembok tembok itu dulu berwarna putih bersih, kala mereka menempati sejak malam pertama. Prayoga masih terdiam, hanya anganya yang mengembara bberapa tahun silam, kala mereka bersua masih menjadi mahasiswa IKIP di Semarang. Leila kala itu, dikenal kembang kampus dari sebrang, dengan penampilan sederhana meski putra tunggal seorang pedagang kayu yang sukses.

Prayoga menautkan cintanya kepada si kuning langsat, lantaran awalnya Prayoga tidak menduga bahwa Leila anak tunggal seorang pedagang besar yang kaya raya, namun memiliki cita cita sederhana ingin menjadi seorang pendidik. Sungguh bersahaja cewek gedongan ini, tak melekat sedikitpun di tubuhnya yang atletis segala macam perhiasan yang gemelap, meski bagi Leila yang berkelas milyarder, masalah itu gampang saja.

“Bang Yoga !, aku serius !, abang sebaiknya bertemu bapak untuk mempertanggung jawabkan modal itu “

“Dengan apa aku bisa membayar, Leila ?”

“Bertemu dengan bapak dulu, bang !. Meski rugi dan habis modal abang, bapak kan memaklumi bila abang bersedia menelaskan alasan yang tepat. Siapa tahu bapak akan memberi solusi yang tepat?”

“Aku belum siap, Leila ?”. Santiago Prayogo tanpa berkata lagi sepatah katapun, membawa tubuhnya dengan bergegas ke luar rumah dengan membanting pintu dan pergi tak tentu arah entah kemana, kini tinggal

“Abang, abang…!!!!”
***

Suara batuk batuk dari Juragan Romli memenuhi seluruh ruang tamu rumah besar itu, sementara Leila sedang asyik menidurkan Rakian di Sofa tamu berwarna hijau lembut. Cuaca siang itu memang sangat panas, namun tidak sepanas perasaan Leila yang membarakan amarah dan kekecewaan kepada Santiago Prayoga, yang selalu menghindar dari pembicaraan serius tentang nasib meeka. Leilapun mengerti bahwa mereka berdua adalah sama sama berprofesi sebagai pendidik, sesuai yag dicita citakan meeka berdua. Meski untuk beberapa tahun ini Leila memilih untuk berhenti sementara, karena kesibukan membantu usaha mereka dan mengasuh Rakian.

“Leila ! Itulah kehidupan. Dahulu tentu saat kamu masih kecil, kamu sering menyaksikan bapak dan mamak bertengkar. Namun saat terjadi pertengkaran, salah satu harus bersikap dingin, yang dapat menyiram bara api yang hinggap di hati yang membara. Bila kedua belah pihak saling membara hatinya, maka darimana mereka akan mendapat kedamaian ?“

“Aku sangat prihatin dengan sikap Bang Yoga, aku harapkan Bang Yoga mau mempertanggung jawabkan modal yang diberikn bapak, mengapa rugi dan berapa sisa modal yang ada ?” Suara Leila terdengar terbata, di kedua pipinya kini mengalir titik titik air mata.

“Leila !, bagi bapak tidak menjadi masalah serius tentang kerugian Prayoga, karena modal itu memang milik kamu, dan bapak masih punya banyak harta milik kamu. Semua itu tidak dibawa mati bapak dan emakmu. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan !”

“Betul Pak, tapi aku tidak enak sama bapak dan emak, bagi Leila abang Yoga mau ketemu dan mempertanggungkawabkan sama bapak itu saja sudah senang, Pak ?”

“Memang bagi Prayoga yang dilahirkan bukan dari keluarga pedagang, susah untuk berhasil. Maka dulu bapak kan pernah memberi saran, untuk menjadi pedagang kayu yang sukses, Prayoga harus mulai dari bawah.Tetapi kau memaksakan diri “

“Aku memang tidak mengerti, Pak. Sejak dari kami berpacaran dahulu, kami berjanji bersama untuk belajar bersama menjadi saudagar sukses seperti bapak. Makanua dengan modal 250 juta, kami berdua ingin belajar pada bapak hingga sukses. Tapi kini Bang Yoga sepertinya tidak serius lagi”

“Memang kalau bapak perhatikan, Prayoga bukan tipe pedagang tangguh, sama sekali tidak berani mengambil resiko dan takut tantangan. Mungkin saja dia lebih suka menjadi pendidik, disitulah kepuasan moral Prayoga “.

“Lantas aku harus bagaimana, Pak ! “

“Cobalah dinginkan perasaan kalian berdua dulu, nanti kalau sudah tenang mintalah pertanggungan jawab dari Praypga, meski modal itu dari bapak, tapi modal itu adalah uang, yang harus jelas pengeluarannya. Aku menginginkan kalian berdua belajar professional, aku percaya semua pengeluaran Prayoga tidak untuk hal yang tak berguna. Dari kehati hatian bapak terhadap pengeluaran itulah, bapak bisa sukses seperti ini “

Leila tidak menjawab kata kata bapaknua, Leila hanya mampu menyimpanya dalam hati. Ayahnya yang bijak itupun kini pamit, hingga tinggalah penantian Leila di dawai sang waktu hingga kepulangan Prayoga, yang akhir akhir ini sering beberapa hari tidak pulang, entah kemana perginya sang suami yang tercinta. Namun tidak ada satupun makhluk di dunai ini yang mampu menghentikan sang waktu. Santiago Prayoga yang mengalami kerugian besar, tidak segera untuk minta advis istri apalagi bapak dan emaknya Leila, tapi malah semakin nekat perilakunya.

Leilapun merasakan kini hidup bagai di atas panggangan api, demikian juga Rakian yang merasa asing dengan kedatangan Prayogo bapaknya,yang sering pulang malam tanpa memberi sentuhan kasih sayang. Tiap malam tiba, tembok kokoh rumah dengan arsitek Eropa itu telah bergetar, genting beton yang kokoh kinipun seakan beterbangan tiap kedua insan itu saling bertengkar hingga larut malam. Demikian juga kala di sebuah malam yang tidak pernah Prayoga lupakan. Pertengkaran natara mereka berbuah pada perpisahan yang diminta Leila sendiri.

“ Sebaiknya kita tidak usah bertengkar setiap saat di rumah ini, bang ?”

“Mengapa kamu bersikap seperti ini sekarang ?”

“Barangkali saja abang, lebih memilih tidak bertemu aku lagi yang selalu mengganggu kehidupan abang ?”
“Maksudmu ?”

“Abang tidak usah setiap hari pulang malam, hanya untuk menghilangkan beban yang ada di pundak abang “

“Leila !,. aku tiap hari mengejar teman teman yang meminjam uangku, banyak mandor hutan yang pinjam uang sama aku, teman guru dan juragan lainnya. Aku ingin uangku kembali dan mempertanggungkan pada bapakmu “

“Abang !, mereka semua saling kenal baik dengan bapak. Mestinya bapak cerita semua tentang itu. Jelas abang tidak jujur dengan aku ?”

“Leila !, jangan sembarangan kamu bicara ?.Apa karena kamu dan bapakmu orang kaya terus bisa bicara senaknya denganku ?”

“Tolong bang jangan sebut nama bapak dalam hal ini. Dia sudah berlaku baik dengan kita semua “

“Lantas maumu apa, Leila ?”

“Sederhana saja bang. Abang silakan bebes kemana saja tanpa diganggu aku”

Prayoga ingat betul, mengapa di malam berbintang terdengar suara petir yang mampu menghanguskan hatinya. Leila menginginkan perpisahan denganua bukan karena salahnya atau dia, tetapi memang suratan takdir berkata demikian. Lamunan itu kemudian terpagut, kala announcer dalam pesawat itu memberitahu kepada semua passenger, bahwa mereka kini telah tiba di Semarang

Sabtu, 26 Februari 2011

Bu Guru D i Tengah Hutan Pinus


Kadarwasih berkali kali mengusap tas hitamnya yang ditebari debu-debu yang hinggap di kulit hitam tasnya, hingga kelihatan kumal. Lantaran debu debu itu masih saja terus beterbangan terbawa angin kemarau yang ditiupkan dari Gunung Slamet, setelah debu debu nakal itu menjelajahi hutan hutan pinus yang mulai tandus. Apalagi di tengah hari, saat matahari benar benar lurus di atas kepala, debu itu semakin liar menempel apa saja sesukanya. Seteguk air teh dingin yang terakhir kini membasahi tenggorokanya. Nafas kelelahan kembali terdengar dari bibir guru sekolah dasar yang terpencil itu. Setelah sehari di bawah udara yang gerah, dia masih setia menyelipkan setetes pengabdian kepada bangsa ini, dengan membimbing anak anak didiknya yang berkubang dengan kesusahan hidup di dusun Sirampok, Kabupaten Brebes.

Kadang dia merenung, meski dia masih di meja kerjanya yang sudah mulai kusam warnanya, mungkinkah dia harus kembali ke Semarang yang segalanya lebih menjanjikan ketimbang hanya terselip di tengah pohon pinus dan masyarakat desa yang hanya memiliki selembar hidup, tanpa guratan warna warni eksotisnya hidup. Ataukah memang mereka tidak butuh itu semua.

Siang itu memang udara begitu panasnya, Kadarwasih menjadi bertambah heran. Mengapa di kaki Gunung Slamet yang dulunya sejuk kini mulai terasa gerah sejak beberapa tahun belakangan ini. Ataukah karena manusia sudah tidak mampu menjadi sahabat setia dengan bumi, yang justru telah menjadi rumah kehidupanya sendiri. Dalam hatinya sering dia berbisik, mengapa tidak mulai sekarang anak anaknya diperkenalkan dengan ras cinta pada lingkunganya, kepedulian terhadap sesama, penuh tanggung jawab dan disiplin.

Ruang guru kini makin bertambah lengang, setelah semua anak anaknya pulang ke rumah masing masing. Hanya tiupan angin kemarau yang meriuhkan daun daun pinus. Yang serempak mendendangkan kidung alam tanpa nada dan birama. Kadarwasih tambah bertambah sepi hatinya. Lambat laun bayang bapak, ibu serta saudara saudaranya mulai menguat di hatinya, kini bagaikan gemerincing logam yang saling beradu terdengar dekat dengan telinganya. Tawa canda mereka kala pagi hari sebelum berangkat ke sekolah masing masing dan malam hari sebelum semua beranjak ke peraduan.

Kadarwasih dengan sayap sayapnya kini terbang melintasi jarak dan waktu, yang larut dalam dunia lamunan. Hingga sebuah usapan tangan halus terasa menyentuh pundaknya. Dia segera melipat sayap sayapnya dan kembali ke ruang guru yang bertambah berdebu.

“Memang Sirampok dusun yang sepi, ya Bu ?”

“Oh Bu Endang, saya tidak tahu kedatangan ibu, tahu tahu sudah di depan saya”

“Ya, karena Bu Darsih sedang asik melamun, apa kangen dengan yang di Semarang to Bu ?”

“Ah, sekarang sudah tidak rindu lagi, Bu. Tapi maklum saja ya Bu !, saya di sini baru bertugas belum genap satu tahun. Kadang jading seperti tadi,kenangan hidup di tengah saudara saudara saya dan lebih lebih sama mama sering datang. Tapi nanti juga akan hilang, Bu ?”

“ Itulah tantangan seorang pendidik yang bertumpu pada perasaan moral, demi anak anak kita yang sudah tidak punya masa depan lagi. Kita rela bertugas di daerah terpencil jauh dari keluarga. Ini sudah rame dusun Sirampok dibanding saat pertama saya datang di sini, tahun 1974 silam. Saat itu belum ada penerangan listrik, jalanya masih tanah dan masih banyak anak anak yang tidak mau sekolah”.

“Gimana perasaan Bu Endang saat itu ?’

“Wah seperti Bu Darsih saat ini, aku meninggalkan Klaten dengan tetesan air mata kesedihan. Apalagi saat iru aku baru saja lulus SPG dan langsung ditempatkan di daerah terpencil seperti ini. Bayngkan saja Bu, usia saya saat itu baru 17 tahun, masih berat meninggalkan emak dan bapak di desa. Tapi itulah pendidik !”

“Apa Bu Endang pernah mengajukan pindah ke Klaten ?”

“Awal awalnya memang sering, tapi setelah aku berumah tangga. Semua niat untuk kembali ke Klaten menjadi hilang. Menjadi manusia yang hidup bersama dengan keluarga yang saling mencintai adalah kebagian yang kita dambakan semua, apalagi bagi pendidik seperti kita yang bertugas mencerdaskan masyarakat. Sungguh suatu makna hidup yang berati “

Kadarwasih hanya diam sejenak, anganya berusaha menelanjangi hatinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti Bu Endang kepala sekolahnya, yang begitu mampu memaknai hidup sebagai pendidik di daerah terpencil. Ingin rasanya dia membunuh rasa sepi dan berkonsentrasi pada tugas memberi pembelajaran

Namun wajah Hardiman teman sekolah di SMP dulu masih saja terus menempel di benang otaknya. Tautan hati yang berjalan lebih dari 4 tahun serasa begiitu kuat bersimpul di hatinya. Hardiman kini memilih menjadi seorang pengusaha di Kota Jakarta, yang menurut surat terakhir yang dia terima Hardiman telah sukses dan mengajaknya ke Jakarta untuk bersama mengarungi bahtera kehidupan, ketimbang jadi guru SD di daerah terpencil. Kakalutan kina menghinggapi selembar hatinya, dalam keadaan terjepit seperti itu dia harus memilih jawaban ya apa tidak. Namun ini adalah realita, realita dimana dia harus menjadi pendidik yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sebuah realita yang dia rencanakan sejak lulus SMP untuk menjadi seorang pendidik.

“Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku, Bu ?” sela Kadarwasih memecah keheningan.

“Tentunya masalah pribadi kan Bu ?, kalau masalah dinas sepenuhnya aku Bantu, Bu ?”

“Betul Bu, tapi meski ini masalah pribadi, Bu Endang tidak merasa terganggukan kalau aku mau curhat ?”

“Oh sama sekali tidak Bu Darsih ?”

Matahari hampir berada tepat di atas atap sekolah, angin gunung dan debu yang bersuka ria selalu bercanda berkejaran dengan angin yang cukup cepat langkahnya. Mereka tidak pernah memerdulikan apa yang didera oleh manusia, termasuk pada guru yang masih gadis dan berperawakan tinggi semampai serta berwajah ayu, yang kini sedang didera kebimbangan hati.

“Yang paling berat bagi saya adalah menentukan pilihan, saya harus ke Jakarta menyusul seseorang yang saya cintai ataukah saya tetap di sini. Inilah yang selama ini membuat saya bimbang, Bu ?”. Terdengar dengusan nafas panjang dari Bu Endang kepala sekolah yang beberapa tahun lagi akan pensiun.

“Maafkan aku ya Bu, bila ini masalah privasinya ibu, Tapi aku juga pernah mengalami hal semacam itu. Tapi waktu itu saya memilh dua duanya. Saat kami masih pengantin baru, kegiatan kami hanya hilir mudik Sirampog dan Klaten. Saya sarankan Bu Darsih memilih kedua jalan”

“Memang suatu pilihan yang berat bgi aku, sebenarnya sering aku meminta Hardiman seperti itu Bu, tapi karena ambisinya yang besar untuk sukses di Jakarta dia tidak mau mengalah. Dia memaksaku untuk ke Jakarta dan saya belum memberi jawaban”

‘Huuh..kalau gitu bisa repot, Bu !”
“Betul, Bu. Dia orangnya sangat teguh pada pendirianya dan memiliki hati yang keras, selama ini saya hanya mengalah dan mengalah.”

“Betul Bu, jangan membuat keputusan yang gegabah. Tapi pada saatnya nanti Bu Darsih harus mampu membuat putusan yang berani. Saya hanya menyarankan bahwa kebahagian itu bukan datang dari seseorang, tapi dari Tuhan”

Baru kali ini Bu Endang menyaksikan senyuman bu guru yang cantik di depanya, sejak dari pagi tadi. Bu Endangpun membalas senyuman itu dengan perasaan hati yang tersentuh, meski dia yakin Kadarwasih adalah figure prbadi yang tangguh, terbukti dia selama ini bersedia bertugas di daerah terpencil. Bu Endang masih saja menyodorkan senyuman simpatik meski dia bergegas untuk segera pulang, karena hari sudah cukup siang.
***
Hujan sekali sekali sudah mul;ai turun membasahi lereng Gunung Slamet. Daun daun pinus dan semak kini mulai dibasahi air hujan. Beberapa diantaranya yang dahulu mengering kini mulai bersemi lagi, Jalan jalan desa yang kini beraspal sudah tak berdebu lagi. Beberapa petani mulai membersihkan ladangnya dari semak semak untuk bertanam padi.

Memang sudah seharusnya Kadarwasih yang mendambakan hidup berprofesi sebagai pendidik, apalagi berstatus PNS, perlahan lahan mampu mengarungi segala apa yang dia harus geluti. Mulai dari alam lingkungan tempat dia mengajar, anank anak peserta didik yang tiap hari dibimbingnya, masyarakat sekitarnya dan terlebih-lebih terhadap rekan rekan seprofesi, yang tiap hari berperan terhadap dirinya guna menemukan Kadarwasih yang sebenarnya. Hingga akhirnya bayangan Hardiman, dan bukan itu saja bayangan untuk tinggal di Jakarta telah perlahan lahan telah sirna,

Tidak terasa kemudian musimpun telah berganti, silih berganti berkejaran dengan pergantian siang dan malam. Sebagaimana yang sering dialami Kadarwasih dalam menapaki lamunanya antara menitipkan hidupnya di pangkuan Hardiman di Jakarta atau menggapai masa depan di kaki Gungnug Slamet. Hingga akhirnya Kadarwasih bertambah dewsa dan berbesar hati, untuk menghadapi segala resiko hidup sebagai seorang pendidik. Bukankah semua teman sekantornya, berasal dari kota kota di Jawa Tengah yang jauh dari tempat mengajarnya kini.

Mengapa dia harus cengeng, mengapa kadang kata hati lebih menuntutya untuk bersifat rapuh. Namun Kadarwasih adalah seorang manusia apalagi wanita yang belum banyak makan garam. Perasaan bimbang dan bersedih kembali memenuhi ruang batinya, saat dia menerima surat bersampul putih dengan tulisan nama dan alamat dari coretan tangan Hardiman yang terkesan ditulis dengan perasaan kecewa. Secara perlahan dia buka sampiul tersebuit, seketika nyanyian kutilang, jalak, kenari dan alunan suara alam berenti sejenak, sementara riuh daun paku yang bergesek di terpa angina menjadi diam sesaat pula.

Dari kedua mata yang bening itu, mulailah menitik air mata kesedihan dan kedua tanganya menjadi tergetar setelah membaca isi surat itu.

“Aku tidak menghendaki ini terjadi pada diri kita, namun apa artinya sebuah kasih sayang tanpa adanya kehadiranmu di sisiku. Aku mencoba menggapai kehidupan yang sarat dengan tantangan di kota yang buas ini demi kita. Namun tiadapun kamu bergeming barang sesaat untuk memenuhi permintaanku demi masa depan kita.

Sehingga inilah yang terpaksa aku lakukan agar kita mampu membenahi masa depan kita sendiri sendiri, tanpa adanya kehadiran kita berdua dalam satu pelaminan. Selamat Berbahagia”

Berkali kali tulisan dari Hardiman ini dia baca, hingga yakin betul apa yang seharusnya dia sikapi, sebuah perpisahan harus dia alami dengan perasaan yang terguncang Jauh dari lubuk hatinya yag paling dalam, timbul sesuatu yang mampu menepiskan kegontaian hatinya itu, yaitu nasehat Bu Endang yang mengatakan bahwa kebahagian bukan dari manusia datangnya, tapi dari yang Maha Kuasa. Kata kata itu kini menjadi seteguk air dingin yang mampu membasahi jiwanya yang sedang meradangkan bara asmara.
***

Selasa, 02 November 2010

Peraduan Yang Hangat

Berkali kali Mahendra mendenguskan nafas panjang sambil mengkerutkan alisnya dan terus mengganti beberapa kali chanel televisinya. Setelah yang dia dapatkan hanya tayangan anarkis yang dilakukan pendemo dari beberapa kalangan. Lengkap dengan penuturan reporternya tentang kerugian harta benda dan tak jarang korban luka luka yang diakibatkan anarkisme itu. Tak urung juga tayangan tentang pertikaian petinggi negeri ini, yang justru ikut mempengaruhi meradangnya rakyat yang telah diliputi oleh berbagai macam kesulitan hidup. Kini ulahnya bertambah tidak dapat dimengerti, kala mulutnya mulai mencaci maki entah di arahkan kemana, setelah sebuah tayangan melaporkan tentang kenaikan harga untuk barang apa saja.

Sementara istrinya sibuk di dapur menanak nasi dan menghangatkan sayur asem dan ikan asin, sebuah menu yang menjadi kesukaan Mahendra dan anak istrinya. Menu sehari hari mereka semua didapatkan hanya dari sayur sayur yang dipetik dari kebun belakang rumah. Namun ikan asinya memang harus dibeli dari pasar, itupun setelah Rakhmawati menjual beberapa telur ayam kampung. Terkadang Mahendra sengaja menyembelih ayam kampungnya, agar anak anaknya tidak bosan dengan menu sayur dari kebon belakang rumah.

Sang istrinyapun hanya tersenyum mendengar cacian suaminya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Terkadang pula suaminya bersikap sok piawai dalam beberapa hal. Sehubungan dengan beberapa ulah anak bangsa yang ada ada saja, yang mampu menghangatkan atmosfer Negara ini dan menampilkan sikap yang tak sepadan dengan budaya asli masyarakat yang melingkungi mereka.

“Huuuh..negara kita ini ibarat rumah tak jelas menghadap ke mana. Mengapa banyak masyarakat dan oknum pejabat yang gampang naik pitam “. Tanpa meminta persetujuan dan pedapat istrinya, berkali kali Mahendra melontarkan sebuah caci maki. Sementara itu istrinya segera menyajikan makan malam mereka semua. Di depan televise mereka bersama sama menikmati hidangan hangat dan sederhana, namun sama sekali tak pernah mereka keluhkan.

“Bisa bisa Negara kita hanya tinggal nama bila terus terusan tercampak dengan berbagai tindak anarkis !”. Sambil melahap nasi hangat Mahendra terus saja berceloteh mirip jurkam parpol di masa kampanye.

“Ya, biar saja, Pak. Asal kita pandai pandai menjaga sikap , jangan seperti mereka “

“Ya, nggak gitu to, Wat. Mereka seenaknya membuat ulah, sehingga membuat resah wong cilik seprti kita. Kalau sudah seperti ini banyak pedagang besar menaikan harga barang barang. Coba yang rugi siapa?, mereka para pemimpin apakah merasakan seperti ini ?”.

“Hmmm….memang repot kalau sudah seperti ini, Pak !. Tapi bagai kita yang penting pandai pandai menyikapi saja !”.

“Sikap yang seperti apalagi, Wati ?”

“Paling tidak, kita harus tabah menjalani kehidupan ini, bersama kita menyekolahkan ketiga anak kita hingga sampai perguruan tinggi. Meski kita hanya lulusan SMA dan keluarga kecil yang hidup di desa. Namun anak anak kita jangan sampai seperti kita. Tentang carut marutnya negeri ini kita sikapi dewasa saja, habis perkara !”

“Tambah pandai, kau Wati ?. Siapa yang mengajarimu ?”

“Siapa sih Pak yang mau mengajariku ?, Siapa pula yang mau perduli dengan kehidupan orang desa seperti kita. Namun tekanan hidup dan ketabahan kita bersamalah yang mencetak kita menjadi orang dewasa”.

“Kau ini terlalu idealis Wat, Kamu cuma memikirkan kepentingan diri sendiri. Bila setiap masyarakat Indonesia berpikiran seperti kamu, mana ada demokrasi?, mana ada pembaruan dan kapan kita maju ?”.

“Kamu juga jangan ego, Pak !. Apa hanya laki laki yang boleh berbicara masalah politik saja. Aku bicara seperti ini, karena sebagian besar ibu ibu berpendapat sepertiku.Mereka tidak butuh partai !, mereka tidak butuh ini dan itu! , mereka butuhnya hanya kedamaian”

“Kamu dengar dari mana ?”

“Pak, aku kan pedagang barang kelontong di pasar, aku kenal banyak ibu ibu di sana. Juga saat aku hadir di arisan RT dan dasa wisma ibu ibu PKK “

“Tapi memang kenyataanya demikian, bahwa negeri in telah bobrok, bayak korupsi dan lain sebagainya dan ini kenyataan ?. Apa kamu mengerti ?. Apa ibu ibu temenmu mengerti?”

“Ya ampun Mas, kalau cuma itu anak kecil saja mengerti. Tapi yang penting kita menjadi keluarga yang tidak mudah patah dan menyerah bila keadaan negeri kita sudah seperti ini”

“Itulah kesalahan kira semua, hanya mementingkan keluarganya masing masing?’

“Mas, jangan kamu gampangkan peran masing masing keluarga. Bila masyarakat kita disusun dari keluarga yang baik, tentu masyarakatnyaoun akan baik jua”.

“Kamu memang sok pintar, Negara harus diusung oleh anak bangsanya yang mau berkorban apa aja demi eksistensinya. Bukan diusung oleh anak bangsanya yang hanya cuma memikirkan keluarga masing masing. Inilah hancurnya Negara kita, karena merebaknya hedonisme, bermegah megahan, sehingga nasionalisme menjadi hilang lenyap “. Entah setan mana yang merasuki jiwa laki laki muda ini sehingga dia sekarang mirip anggota partai yang mempertaruhkan segala yang dia miliki demi visi yang dibelanya. Mahendra segera menghentikan makanya, meski nasi yang masih di piring makanya masih banyak tersisa. Mukanya kini merah membara. Sedangkan ketiga anaknya sudah merajut mimpi mimpi indah di tengah angin senja yang dingin dari Gunung Merapi.

Rachmawati istrinya kini hanya tersenyum, diapun tahu bahwa suaminya kini sedang diterjang amarah yang konyol. Dan bagi Rachmawati sikap kekonyolan suaminya itu bukan hal yang serius. Inilah cinta kasih yang menyatu dalam tiap nadi kehidupan mereka, menyatu dengan dinding rumahnya yang masih centang perontang, menyatu dengan atap rumahnya yang hanya tersusun dari asbes, menyatu dengan kebun sayur dan buah serta bunga bunga di halaman depan mereka.

Tanpa ada sapaan dan seberkas senyum Mahendra segera berlalu dari istrinya yang mulai sibuk membersihkan makanan mereka. Mahendra segera menuju peraduanya di kamar tengah. Tidak seperti biasanya dia selalu menyaksikan tayangan acara demi acara televise hingga larut. Apalagi belakangan ini dia sangat setia menyaksikan kejadian pilu saudara saudara dari Kepulauan Mentawai dan Gunung Merapi.

Rachmawati hanya diam membisu, meski hatinya sekarang tersenym geli menyaksikan tingkah polah kekanak kanakan suaminya. Bagi dia sikap suaminya ini hanyalah ego yang belum juga mau surut, meski mereka telah menyatu dalam segala hal hampir 15 tahun lamanya. Dalam hal ini dialah wanita satu satunya yang mampu menyurutkan ego yang konyol ini. Karena pada dasarnya mereka emiliki peraduan yang suci tempat mengurai segala permasalahan, menyatukan silang pendapat antara mereka serta merenanakan apa yang bakal mereka hadapi bersama esok pagi.

***
Pintu kamar tidur di bagian tengah mereka berderit, karena telah aus engsel engselnya dimakan jaman. Rachmawati segera medampingi suaminya yang diam seribu bahasa. Kala sang suami tercinta menolehkan wajah ke arahnya, seberkas senyum wanita desa itu berhasil mencairkan hati Mahendara yang semula sekeras batu karang. Mahendra segera menarik tubuh sang istrinya untuk mendekatkan tubuhnya, sementara wajah Rachmawati kinipun terbenam di atas dada yang bidang itu. Dengan penuh kemesraan tangan Mahendra tak hentinya mengusap rambut hitam pujaan hatinya itu.

“Tadi kiya ngapain, ya Pak ?” .Suara Rachmawati memecahkan sunyi peraduan mereka.
“Ah…nggak tahu ?”
“Kamu marah sama aku, Pak ?”
“Ya, tadi. Sekarang sudah nggak lagi”

Angin malam mengiringi dua ekor kobra yang saling memagut satu sama lain di atas peraduan yang basah dan hangat. Tidak perduli di luar sana manusia saling menjatuhkan satu sama lain, saling mengusung harta Negara dan saling berebut kekuasaan. Tapi bagi sepasang insane yang sederhana tapi berjiwa matang itu sibuk membenahi peraduan mereka yang tak pernah lekang. ***

Kamis, 28 Oktober 2010

Hanya Sesaat Di Malaysia

Jalan hidup yang dilalui masih banyak berliku., kadang meliuk dan menukik tajam. Sesekali yang dilaluinya hanyalah sebuah jalan yang licin namun penuh duri, meski belum tahu kapan jalan ini berujung, Seperti halnya dengan kehidupan manusia selayaknya.

Kadang Munarsih sampai pucat wajahnya, dan gemeter seluruh kakinya. Bila harus memperdulikan kehidupan ini. Hanyalah setetes nafas yang diberikan padanya oleh Yang Maha Esa, namun kelam dan penuh dengan liku tak berujung.

“Narsih. . .Narsih.. .buka pintunya “. Sebuah teriakan panjang yang menggema pagi – pagi buta, ke tiap sudut rumah Munarsih.
“Ada apa Kang Narji ?. pagi – pagi buta sampeyan sudah geger nggak karuan “
“Aku minta jamunya, semalam aku nggak bisa tidur, karena pusing kepalaku
“Tapi tinggal beras kencur dengan kunir asem Kang !. Jamu ini bisa mengurangi perut sampeyan yang kembung. Sampeyan banyak begadang semalam, sehingga angin malam menyerang perut sampeyan ”. Tutur Munarsih meyakinkan, tak kalah dengan okter spesialis dalam mendiagnosa Kang Narji, yang hobinya cuma ngelayab tiap malam.

”Langsung aku minum jamunya ya Bu Dokter ” Seru Narji seraya menyeringai bibirnya lantaran dia harus menghiasi wajahnya dengan senyuman kecil.
”Weleh, sampeyan melecehkanku ” . Munarsihpun masih melayangkan protes dengan Kang Narji yang ngeloyor pergi setelah mereguk satu gelas jamu tanpa meninggalkan sisa di gelas.

”Lho, bayarnya mana Kang ? ”
”Gampang to, Narsih, kamu kaya nggak tahu Narji saja ” . Jawab Narji tanpa menoleh kebelakang. Tubuhnya kini nggak kelihatan lagi setelah dia hilang di belokan jalan desa.

Tinggalah kini Munarsih dengan senyum geli yang masih saja tertinggal di bibirnya, yang tanpa berhias lipstik barang secuilpun. Namun tetap wajah ayunya masih terlihat menawan.

”Laris jamu kamu Nah !. Tadi Narji pagi – pagi kesini perlu apa ? ”. Belum lagi Munarsih sejenak menarik nafas , kini di tengah pintu depan telah tampak Pakde Warsoyo, dengan senyuman yang lebar sehingga kelihatan kumis putihnya yang lebat terangkat ke atas. Entah kunjungan ini bagi Pakde Warsoyo kunjungan yang ke berapa.
”Lumayan Pak De bisa untuk uang jajan Siswanto dan Novi, mereka berduakan butuh uang jajan dan sekolah. Tadi Kang Narji cuma minta jamu, dia penyakit kembungnya kambuh ”.

”Kalau untuk uang jajan dan sekolah kedua anakmu itu hanya masalah kecil, Nah. Kamu tinggal minta sama aku berapa yang kamu minta. Asal kamu tahu aku saja ! ” . Pagi pagi bener sudah ada rayuan asmara yang tertanam di hati Munarsih. Tapi wanita yang sarat dengan benturan hidup ini hanya senyum sinis saja. Bagi Dia rayuan semacam ini tiap hari sering ia dapatkan dari banyak pria hidung belang di desanya.


Tapi bagi Munarsih, sehebat apapun badai kehidupan nantinya akan sirna juga. Bukankah Kang Parlan suaminya yang sedang mengadu nasib di Malasia membanting tulang demi masa depan dia dan kedua anaknya. Segenggam harapan itulah yang masih saja melekat jauh di dalam kalbunya. Sehingga diapun akan bersikap dingin terhadap pria manapun yang ingin menambatkan hidupnya di pelabuhan hatinya.

Munarsihpun menjadi bersungut-sungut wajahnya, deAngan tegas dan tatapan dingin dia tetap menerima kunjungan Pakde Warsoyo, lantaran apapun alasannya Munarsih adalah bakul jamu yang siap melayani siapa saja yang menghendaki jamunya. Maka diapun tetap saja menawarkan jamu gendong, yang memang banyak disukai oleh tetangga sekampungnya.

”Nggak usah Nah, aku nggak pengin jamu kok, melihat kamu saja sudah sembuh penyakitku ”. Munarsihpun sudah nggak bisa menghitung lagi, sudah berapa ratus kali rayuan gombal orang tua itu dilontarkan pada dirinya.
”Jangan begitu lho Pakde ! , nanti Bude marah !. Apa Pakde nggak kasihan sama Bude ? ”
”Jangan panggil aku Pakde, to Nah. Kasihan aku sama Maryati sudah cukup, hampir ,sebagian besar sawah di kampung ini adalah miliku, yang aku berikan sama Maryati lengkap dengan kerbau yang berapa puluh aku sendiri nggak tahu. Bahkan bulan kemarinpun aku belikan Xenia untuknya . Kurang apa lagi Nah ? ”
”Bukan itu saja yang dibutuhkan seorang wanita, dia juga butuh kasih sayang. Apa lagi Bude sekarang sakit strok, apa nggak kasihan to Pakde ! ? ”
”Nah dokter mana yang belum aku kunjungi Nah !. Semuanya sudah aku kunjungi umtuk mengobati penyakit Maryati. Dan akupun tidak mungkin terus merawatnya, aku sebagai laki – laki normal butuh yang lain to Nah ”.

Munarsih tambah dingin saja tatapan matanya, bahkan kini dia sama sekali tidak sudi beradu pandang dengan lelaki tua hidung belang yang sekarang ada di depannya. Meski sering lelaki tua bangka tak tahu diri itu menjanjinkan segala kekayaan, bahkan separo dari sawahnya dan beberapa rumah gedongakan diatas namakan Munarsih.

Namun bagi Munarsih kebahagian yang akan dia alami hanyalah kesemuan saja, yang sekejap akan sirna di telan cinta sejatinya kepada Kang Parlan dan kedua anaknya
Mataharipun kini sudah tak malu lagi di bilik ufuk sebelah timur, dan kini telah menggantung sepenggalah di langit timur. Munarsihpun kini telah siap bermandi keringat menawarkan jamu gendongnya ke seluruh desanya. Entah hari ini masih adakah segenggam harapan untuk kehidupanya

Yang jelas seperti hari biasanya diapun menaruh jamu gendongnya di sudut pasar tempat dia biasa berjualan bersama dengan pedagang – pedagang kecil lainnya yang memiliki kehidupan tidak jauh berbeda dengan dirinya.

”Narsih aku dapat kabar baik, kamu sudah dengar ? ” . Tanya Yu Minten.
” Kabar apa, Yu ? ” jawab Munarsih penasaran.
” Kamu kenal Suratman, yang tinggal di ujung timur desa kita ”
” Kenal, Yu !, Ada apa dengan Kang Ratman ”. Jawab Munarsih tambah penasaran.
” Minggu kemarin dia pulang dari Malasia, dan kabarnya dia juga mencarimu Nah ! ”

“ Oh. Ya !. Ini mesti ada hubungannya dengan Kang Parlan. Aku habiskan daganganku dulu Yu. Nanti sore aku dengan anak - anak ke rumah, Kang Ratman ”. Jawab Munarsih, hatinya kini diliputi berbagai macam kegetiran, lantaran mengkhawatirkan suami tercintanya yang kini mengadu nasib di negeri seberang.
”Sudahlah Nah, kamu pulang saja. Biar aku saja yang ngurusi daganganmu. Sekarang pergilah ke rumah Suratman, mumpung anak anakmu masih sekolah. Kalau nggak punya ongkos naik colt sayur, biar pakai uang aku saja !.

„Trimakasih sebelumnya ya Yu !. Baiklah sekarang juga aku akan ke sana ”
Jalan menuju rumah Suratman masih berupa jalan desa yang belum bagus, di sana sini masih terlihat lobang – lobang yang hanya ditutup batu – batu padas. Sehingga perjalanan dengan menggunakan colt sayur, memakan waktu yang cukup lama dan membosankan, apalagi bagi Munarsih yang hatinya telah dihinggapi rasa penasaran . Tiak seperti biasanya Munarsih selalu tenang hatinya meski dia hidup dalam penantian. Seakan akan kini dia menemukan berjuta misteri yang tersimpan di hatinya mengenai Kang Parlan suaminya. Entahlah ada apa,. Munarsih sendiripun tidak tahu.

Dari depan rumah, Suratman dan istrinya segera berlarian kecil menyambut kedatangan Mursinah, yang diwajahnya selalu dihiasi senyum ramah, meski menyimpan rasa penasaran yang tak menentu. Mereka kini hanya duduk di serambi rumah, dan Munarsihpun tanpa banyak basi – basi langsung menanyakan kabar Suparlan suami tercintanya.
” Semua manusia kan hanya menuruti apa yang sudah digariskan, termasuk suamimu, Nah !.
”Apa yang terjadi dengan Kang Parlan ? ” dengan tidak sabar Mursinah langsung memotong ucapan Suratman.
” Sabar duku to, Mbakyu ?. Biar Kang Ratman bercerita dulu ”
”Sesampainya disana suamimu tidak segera mendapatkan pekerjaan, seperti yang dijanjikan biro. Sehingga dia disana lama menanggur ”.
”Kok dia tidak kirim surat, to Lik ?. Kalau tahu gitu Kang Parlan tak suruh pulang saja “
”Dia takut membebani dirimu Nah. Tapi percayalah ?, dia masih mencintaimu Nah !. Suamimu adalah tipe laki – laki yang baik “
“Aku selalu percaya Kang Parlan, lantas bagaimana, Lik ! “
“Akhirnya diapun pinjam uang kepada Non Lisa, wanita rentenir asli Indonesia dan sekarang menjadi warga negara Malasia “
“Apa dia masih muda Lik “
“ Amit – amit, Nah. Umurnya dia sudah lebih dari lima puluh tahun”
“Mengapa dipanggil non, apa dia cantik, Lik ? “ . Desak Munarsih, lantaran di hatinya mulai tumbuh rasa cemburu buta.
“Ah, siapa bilang ?. Meski dia minta dipanggil Non Lisa. Tapi kami semua lebih seneng memanggil Mak Lampir. Suamimu sebenarnya hanya meminjam dua ribu ringgit, namun sayangnya suamimu tak kunjung dapat pekerjaan juga. Hingga akhirnya hutangnya membengkan sampai dia sendiri tidak mampu membayarnya “
“Terus akhirnya gimana, Lik “
”Akhirnya Non Lisapun berniat mengadukan ke Polisi Kerajaan Diraja Malasia
”Terus Kang Parlan gimana ? ”
”Dia hanya pasrah, meski hutang dia pada Non Lisa hampir mencapai sepuluh ribu ringgit. Suamimu memang luar biasa Nah. Tanpa sedikitpun dia punya rasa takut.

Kalau toh harus masuk ke penjara dia siap menjalani ” . Suratman diam sejenak, entah karena apa dia tidak melanjutkan pembicaraan mereka untuk sementara. Dia kini hanya asyik mereguk kopi panasnya. Barangkali saja penderitaan dia dan teman – teman TKI selama di Malasia, sungguh sangat berat, termasuk juga penderitaan Suparlan.
”Aku nggak nyangka kalau Kang Parlan akan mengalami hal semacam ini. Sebenarnya aku nggak setuju dia ke Malasia. Lebih baik kita hidup di desa apa adanya, ketimbang hidup di negeri orang tapi begini jadinya ”.
”Tapi Non Lisapun akhirnya melunak dan mau memutihkan hutang suamimu, asal Suparlan mau mengawini Non Lisa, karena secara diam diam Non Lisa menartuh hati sama suamimu yang ganteng. Meski Non Lisa sendiri sudah memiliki suami, yaitu Mr, Chen,. Pria asli Malasia dan kaya raya. Tapi umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahunan ” .
”Akhirnya merka berdua apa nikah secara sah, Lik ? ” . Munarsih menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan itu, meski sebenarnya dia
sudah tidak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun. Hatinya kini terbelah menjadi berkeping – keping. Penantian dia selama dua tahun lebih, hanya kandas di telan kegetiran.
Munarsih yang dari kecil hidup hanya di lingkungan keluarga petani gurem, hampir tidak pernah merasakan kebahagiaan. Benturan dan kesulitan hidup tiap hari dia jumpai, Hingga tercetaklah dia menjadi sosok wanita yang tangguh dan berani menghadapi hidup. Namun menghadapi cobaan hidup seperti ini, dia hampir tak mampu bertahan untuk tetap tegar.

”Nggak, suamimu menolaknya, dia hanya minta supaya nenek gila itu memutihkan hutangnya saja. Kemudian seterusnya aku nggak tahu lagi , Nah. Karena aku nggak tahan lagi hidup di sana dan memutuskan untuk kembali ke desa ini. Dia hanya menitipkan uang ini untukmu dan berpesan. Suatu saat dia pasti akan pulang mendampingimu lagi, Nah. Dia tidak mau kehilangan Siswanto dan Novi. Hanya seperti itu yang aku tahu. Sekarang terimalah uang dari suamimu ! ”.

Meski hari belum sore benar, terlihat langit biru yang cerah masih menemani mereka. Namun bagi Munarsih, seakan –akan dia berada di tengah badai yang dasyat, dan langit berwarna kelam. Hinga akhirnya dia hanya dia membisu sembari menerima uang dari Kang Parlan dia kinipun berpamitan untuk segera pulang.
Dua tahun silam Munarsih memang merencnakan meninggalkan kampung halamannya dengan hati yang bulat. Uang yang diterima dari Kang Parlan suaminya sekarang telah digunakan untuk modal membuka warteg di Jakarta bareng sama kakak kandungnya dia, yaitu Munarti. Karena keuletan wanita yang sarat penderitaan ini, wearteg yang ditekuni kini telah ramai dikunjungi pelanggan.

Meski keberangkatan dia ke Jakarta kala itu , banyak pihak yang menghalanginya, namun dia tetap saja membulatkan tekad. Semata-mata hanya ingin melupakan derita hatinya yang kian tak pasti. Untuk melupakan Kang Parlan justru memang harus meninggalkan desa ini, dan menyibukan diri dengan membuka warung, selain memang jualan jamu gendong dirasa memang sudah tak bisa untuk membiayai kedua anaknya.

Hingga akhirnya keluarga Munartipun sekarang hidup bahagia, meskipun Munarsih belum mau juga mendapatkan pengganti Kang Parlan disisinya, Karena dia tidak mau melukai perasaan kedua putranya itu. Apalagi bagi Novi putri bungsunya yang masih kerap menanyakan Kang Parlan. Cukup dia saja di
dunia yang biasa kehilangan segala sesuatu, kehancuran sebuah hati jangan sampai dirasakan oleh kedua putranya itu.

Sering bila malam hari tiba, kala melihat kedua putranya tertidur saling berpelukan. Munarsih menitikan air mata kesedihan. Dia tak tega melihat kedua anaknya hidup tanpa seorang ayah disisi mereka. Namun perasaan itu akan hilang bila melihat mereka berdua saling ceria, membantu ibunya di warung setiap habis jam sekolah. Dan untuk menemani kedua anaknya yang kesepian, Munarti kakaknya sering menghibur mereka berdua. Hingga tidak terasa telah dua tahun mereka hidup di Jakarta.

Musim penghujan di Jakarta telah tiba, langit mendung tiap hari menggelantung. Hujan seharian tiada henti, udarapun terasa begtu dingin. Sehingga berita mengenai banjir di berbagai tempat di Jakarta telah m,ereka dengar. Munarsihpun enggan membuka warungnya. Dia dan kedua anaknya lebih senang membersihkan rumah mungilnya milik mereka sendiri, hasil memeras keringat di Jakarta selama lebih dari dua tahun.

Sesekali Hp miliknya berdering, namun setelah di buka seketika itu juga terdengar nada putus. Memang Munarsih kerap menerima telepon dari pria iseng dan dia selalu mengabaikannya.
Dari dalam rumah mungil itu, terdengar derai tawa Munarsih dan kedua anaknya, sesekali terdengar juga tawa Munarti dan anak – anaknya yang kala itu kebetulan bertandang ke rumah saudara kandungnya itu. Tanpa mereka sadari, ulah mereka dari tadi telah diamati sepasang mata yang kini meredup sendu.

Udarapun bertambah dingin. Sedangkan malam bertambah larut, sehingga mereka semua yang sedang ceriapun berniat untuk pergi tidur mengurai mimpi. Munarsihpun berniat untuk mengunci pintu depan, lantaran udara malam mulai mengrogoti rumah mungil itu dan semua yang ada dalamnya sudah mulai enggan membuka matanya.
”Narsih ” . Terdengar panggilan dari suara yang betul – betul dia hafal. Namun seketika itu dia tidak percaya. Apakah betul suara itu dari Kang Parlan yang hampir lima tahun tak pernah mengunjunginya.

”Narsih, apa kamu lupa sama aku ? ” . Kini dia yakin betul bahwa suara itu, tidak lain adalah suara Kang Parlan suaminya.
”Kang Parlan, kamu pulang ?. Betulkah sampeyan Kang Parlan ? ” Sekali lagi Munarsih mencoba untuk meyakinkan kembali.
”Apa di dunia ini ada dua Parlan. Apa kamu sudah berhasil menemukan pengganti Parlan ”
”Oh tidak Kang !, aku hanya tidak percaya apa sampeyan masih ingat Novi dan Wanto ? ”
”Tolong, Nah !. Panggil mereka ke sini, aku kangen ”
”Iya Kang, tapi masuklah dulu. Wanto , Novi keluarlah ” . Teriakan mamanya itu segera mereka dengar. Sehingga tanpa menunggu waktu berlarilah mereka keluar rumah diikuti Hendra putra Munarti,
Novi dan Siswanti terbelalak kaget bukan kepalang, karena mereka kini dapat melihat bapak mereka yang sudah lima tahun meninggalkan. Kontan saja mereka segera menubruk sosok yang selama ini mereka nantikan.


Rumah mungil yang tadinya dingin, sedingin hati Munarsih dan kedua anaknya. Kini terasa hangat. Jendela hati Munarsih yang telah lima tahun terkunci rapat kini terbuka lagi, untuk berdua dengan Suparlan menengok nyanyian burung pagi hari.

Rabu, 27 Oktober 2010

Menembus Batas Langit

Langit langit rumah yang tersusun dari ilalang, kini dilumuri debu debu penantian, kala sebagian hidup yang diusung oleh jiwanya terasa berat dijinjing. Meski beribu laksa hari telah ditapaki dengan perasaan pasrah, karena kehidupan manusia dibalut oleh kodrat dari Sang Maha Pencipta. Itulah yang diyakini, sehingga membuat hidupnya sekokoh akar pohon Akasia yang melingkungi rumahnya, tak bergeming meski diterjang angin kembara yang bersorot mata nakal. Meski pula diguyur hujan seharian, yang mencengkeram perasaan sepi yang tetap bergayut. Alfian tetap saja berpegang pada kata hatinya di sudut jantungnya yang kian melemah, untuk segera mewarnai hidup bagaikan nyanyi burung kenari silver di pagi hari.

Bibir yang kering itu masih menyunggingkan senyumnya yang masam , kala dokter menyodori hasil pathology analytic tentang penyakitnya. Meski masih ada kekuatan hidupnya yang tersembunyi dari nadi dan nafasnya yang telah lelah, Alfian masih mencoba bertahan hidup demi dunia ini, demi sang istri yang kini menjadi milik orang lain. Lantaran istrinya, wanita berkuning langsat dan berambut ikal sebatas pinggul, adalah manusia juga yang berhak mendapatkan kehangatan dari laki laki yang perkasa, muda dan gesit serta jauh lebih baik dari apa yang dia miliki. Meski dengan batuk batuk kecilnya yang terus saja merongrong kerongkonganya, Alfian mencoba untuk mengatur deru hatinya, agar tidak sepanas “wedus gembel” gunung merapi, saat senja hari di beranda rumahnya.

Sepuluh tahun silam, istrinya dengan genitnya membuatkan air teh hangat untuk sekedar menepis kepenatan tubuhnya, setelah seharian dia bergelut dengan proyek developernya. Sebentar sebentar istrinya merajuk bersama dengan Norma putri tunggalnya yang selalu saja manja dipangkuannya. Norma dan Evelyn adalah dunianya, bak taman bunga berwarna warni. Entah senja yang keberapa dia larut dengan lamunan di beranda ini. Sebuah beranda yang hampa, apalagi di beranda rumah bambu di tepi kota. Inilah yang dia mampu tempati. Karena beranda istananya telah dijual, untuk mengganti hutang-hutangnya setelah kebangkrutan perusahaan jasa pengembang perumahan. Ditambah dengan komplikasi penyakitnya yang terus menyelimutinya.

Entah kemana Evelyn, setelah diterpa angin asmara yang bertaut di serambi hati Albert teman bisnisnya. Kabar terakhir yang dia peroleh Evelyn dan Albert berhasil mendirikan super market di Jakarta. Namun Norma putri tunggalnya kinipun entah kemana, sama sekali tidak pernah mengirim selembar suratpun. Apalagi kelihatan batang hidungnya. Kini Alfian hanya mampu bersembunyi di sorot matanya yang dijatuhkan dalam dalam ke bumi bila merasakan pedihnya seribu sembilu, yang meretakan hatinya.

***
Jadwal control sakitnya kini telah tiba, dokter Hendrik kini dengan cermat mendiagnosa perkembangan penyakit pasienya yang telah menjadi kurus kering tubuhnya.

“Maaf, Pak Alfian pekembangan penyakit bapak belum menunjukan adanya kemajuan”
“Terus, saya harus bagaimana, dok ?”
2
“Maaf, Pak. Cobalah banyak curhat dengan istri dan anak-anak bapak ! “.
“Hmmm. ….Kalau toh mereka semua ada disampingku, tentu saya bisa segera sembuh, dok !”
“Maksud, bapak ?”.

Sebuah derita yang sanggup menyayatkan hati dokter Hendrik telah terlontarkan begitu saja dari bibir pucat Alfian. Sunyi kini memenuhi ruang periksa itu, dokter Hendrikpun sekarang telah tahu bahwa Alfian lebih menderita batinya ketimbang tubuhnya. Tapi dokter itupun merasa kagum dengan semangat hidup laki laki paro baya di depanya itu.

“Bapak memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa, selain bapak barangkali sudah tak tertolong lagi”
“Terimakasih,dok!” !”
”Tapi bapak, harap maklum !
“Tentang apa, dok ?”.
“Pasien yang bahagia hatinya, menghadapi penyakit berat inipun harus memiliki kesabaran setinggi langit. Apalagi bapak yang ditinggal keluarga, sudah seharusnya bapak memiliki kesabaran menembus batas langit. Memang berat, pak ?”
“Barangkali saja kesabaran saya sudah menembus batas langit ke tujuh, dok ?”
“Oke, bagus kalau begitu !, dan sudah saatnya bapak harus bangun lagi dari keterpurukan. Bapak harus menekuni usaha bapak hingga berhasil lagi”.
“Dengan modal apa, dok ?”
“Dulu waktu bapak sukses, modal dari mana ?”.
“Hanya keberanian dan kemauan, dok ?”
“Wah, bagus kalau begitu. Mengapa sekarang bapak tidak berusaha bangkit lagi !”
“Untuk apa, dok ?. Istri dan anaku sudah tidak ada disampingku ?”
“Justru agar mereka kembali, bangkitlah pak. Buktikan kepada mereka bahwa bapak adalah laki laki yang kuat. Memang ada sebagian wanita yang memiliki karakter hanya imgin bersanding dengan laki laki yang tangguh segalanya “

***

Hari hari bergulir secepat desingan peluru, namun hari hari yang dimiliki Alfian digunakan untuk terus saja berburu meraih apa yang dahulu pernah dia dapatkan. Penyakit berat yang ada di tubuhnya tidak pernah dia rasakan. Setapak demi setapak pengharapan berhasil dia raih. Dikalangan ahli konstruksi dan perencanaan bangunan sbenarnya sudah lama mengakui kepiawaian laki laki mrlangkonis ini. Maka bagi Alfian untuk meraih apa yang dia harapkan, sebenarnya hanya masalah waktu.

Hari berganti bulan dan tahun. Alfian telah kembali mereguk kesuksesan semula. Bahkan pengalaman masa kejatuhan dia dahulu telah dijadikan pengalaman berharga. Sehingga Alfian kini tak ubahnya menjadi seorang konsultan tehnik konstruksi bangunan. Maka tidak mengherankan bila Hari Minggu ini dia menggelar workshop tentang inovasi konstruksi bangunan tingkat nasional.

Hari minggu ini, Bougenvile Square masih lengang, hanya dia dan beberapa pegawai gedung itu yang sudah datang. Alfian sempat mengendurkan semua ototnya di kursi VIP. Tiba tiba bahu kirinya terasa ada tangan yang mengusapnya. Tanpa berpikir panjang laki laki melo itu mengarahkan wajahnya ke arah empunya tangan itu.

“Norma, kaukah Norma anaku ?“ bibirnya kini hanya mampu bergetar, masihkah putri tunggalnya itu mengenalinya lagi.
“Pap, kau kah papi ?. Papi sekarang kurus sekali ?”
“Norma !, mengapa kamu ada di sini ?”
“Aku juga mau ngikut workshop ini, papi aku sekarang kuliah di tehnik. Papi juga ada disini, kenapa. ?”.
“Aku nara sember inovasi konstruksi”
“Oh, jadi itu papi ?. Aku kira bukan papi. Aku bahagia punya ortu seperti papi !”
“Syukurlah, kamu masih mengakui aku sebagai bapak, tapi kamu seperti mamamu mencampakan papimu begitu saja ?”
“Sudahlah, pap..ceritanya panjang. Papikan mau presentasikan, nanti habis pesentasi, papi saya ajak jalan jalan. Oh, iya… papi pengin kenal Marcell ?”
“Marcell, siapa itu, pacarmu ?”
“Ah, papi. Marcell itu cucumu ?”
“Cucuku ?. jadi kamu sudah married. Oh ya nanti setelah presentasi aku pengin menggendongnya, dan siapa suamimu ?”
“Suamiku, menantu papi, orang dari Bandung, Nanda Prasetya”
“Nanda Prasetya, ahli alarm bangunan itu ?”
“Iya, Papi kenal ?”
“Bukan kenal lagi, dia rekanan bironya papi ?”
“Dia, nggak pernah crita aku, Pap ?”
“Ya crita, tapi dia memanggil istrinya dengan kata ajeng. Mana aku tahu itu kamu ?”
“Ok Pap, waktu workshop telah on. Papi bersiaplah ?”
“Sayangnya. Mamamu nggak ngumpul kita lagi, Norma ?’
“Sudahlah Pap, papikan harus konsentrasi presentasi. Nanti setelah papi selesai. Segera saya kenalkan Marcell. Agar hati papi terhibur, papi nggak usah ingat mama lagi!”

***

Kedua matanya yang dibungkus kelopak yang mulai keriput itu telah dipenuhi air mata bahagia, bahkan kini dadanya berguncang. Dipeluknya Marcell dengan penuh kelembutan, sementara Normapun telah dihamburi perasaan yang tidak menentu, antara bahagia dan kesedihan tentang kehidupan yang tercerai-beraikan.

“Papi, bahagiakan hati papi. Kini hidup papi telah utuh kembali, Norma dan Marcell sudah cukupkan membahagiakan papi ?. Mama biarlah bahagia dengan Om Albert, kalau toh dia bersama papi lagi, papi tidak akan bahagia. Sekarangpun mami sudah meninggalkan Om Albert. Sudahlah pap, kalau papi pengin aku dan Marcell bahagia, lupakan mama saja ?”

Alfian hanya diam membisu, meskipun dalam hatinya kini telah benderang, lantaran pelita yang dulu padam kini telah menyala lagi. Direguknya the hangat yang ada diatas meja. Mereka kinipun meluncur menuju rumah Alfian yang baru, yang mulai saat ini menjadi rumah bahagia.

Selasa, 28 September 2010

Bulan Di Atap Rumah Bambu

Beberapa batang rokok telah habis dihisapnya, entah mengapa batang rokok yang dihisapnya sekarang masih saja kuat melekat di jarinya. Tubuhnya masih saja rebah di kursi kayu jati yang renta membujur di ruang tamu yang kumuh. Meski sinar mentari telah menghiasi wajah pagi yang kuning menyala, lantaran tersapu kemarau yang menerjang kotanya. Namun dia masih belum beranjak untuk memunguti kehidupanya yang tercecer di roda jaman. Padahal semburat sinar kuning mentari beberapa diantaranya telah menerobos celah dinding bambu yang berlubang, Sementara itu truk pengangkut pasir terus lalu lalang di depan rumahnya

Asap rokoknya masih saja mengepul menutupi wajahnya yang terlihat galau., segalau dunia yang masih saja liar menerima kehidupanya. Entah kehidupan macam apa yang pernah dia jalani, namun tetap saja hanya peluh dan debu yang menebari di sekujur tubuhnya. Gambaran hidup yang dia rengkuh, tak ubahnya seperti gambaran asap rokok, yang tidak pernah memilih gambaran yang pasti. Selalu saja berubah dihempas angin kemarau Gunung Merapi.

Sebentar sebentar terdengar lengkingan batuk panjang istrinya yang telah mongering tubuhnya, lantaran penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Penghasilan dia yang pas-pasan hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah ke tiga anaknya. Sumitropun hanya mendenguskan nafas panjang, saat dia mengadukan kepada sanubarinya sendiri tentang kehidupannya. Cuaca yang terus menerus dibarengi hujan meski di tengah kemarau, membuatnya tidak berdaya untuk menambang pasir di Kali Krasak. Musim yang tiada menyodorkan kepastian, menyodorkan pula kehidupanya yang kian terhimpit.

“Tiada satupun manusia yang mampu mengatur cuaca, Mas !” nyaring suara Hartini menyeruak memecahkan lamunan Sumitro yang masih menggantung tentang rencananya ke Malaysia menmgadu nasib.

“Makanya, Tin, aku sudah bosan menjadi penambang pasir yang tiada pernah memberi harapan. Aku tetap ingin kita mengambil resiko, daripada seumur hidup hanya merajut hidup yang nestapa”.Sumitro kini menjadi lebih bergairah untuk mencoba menantang sebuah kehidupan yang menurut dia adalah suatu misteri yang tiada pernah mampu dipecahkan.

“Mas, kita mengarungi kehidupan ini hanya dengan keberanian, tanpa modal apapun, itu juga sudah penuh resiko. Lantas resiko apa lagi yang kamu inginkan”

“Mestinya kita harus lebih berani lagi mengambil resiko, sudah kepalang tanggung kita mengarungi hidup yang penuh gelpmbang besar. Sementara itu kitapun tidak pernah merasa aman untuk berlabuh di kehidupan yang penuh bahagia. Kamu tidak menginginkan itu ?”.

Hartini hanya menghiaskan wajahnya dengan senyuman tipisnya, sebuah senyuman yang menjadi awal sebuah hati yang kekar milik Sumitro berhasil roboh dan mendekam dalam pelukan wanita yang santun ini. Hartini kini lebih mendekatkan duduknya di samping suamnya sambil mengaduksedikit gula dalam kopi pahit kesukaan suaminya.

“Wanita mana yang tidak ingin bahagia bersanding denga harta yang cukup, kehidupan yang tentram. Tapi coba Mas renungkan, kehidupan yang kita miliki sudah cukup bila kita tahu persis diri kita masing-masing, Kita sudah dikarunia tiga putra dan mereka sehat dan pandai. Kita sudah memiliki rumah meski hanya gubug beratap seng berdiding bambu .Mas, apa yang kurang dari kita ?”.

“Aku heran, Tin ?”
“Heran tentang, apa Mas ?”.
“Biasanya yang berkata seperti itu, adalah suami ketika istrinya merajuk menuntut dunia untuk menghiasi hidupnya., Tapi malah kamu yang bertutur seperti itu. Bagi aku kehidupan seperti ini belum puas, aku ingin kelihatan kamu lebih cantik dengan dandanan yang lebih baik, lantas aku pengin juga menyekolahkan anaku ke kota, agar mereka mengenyam universitas, jangan seperti bapaknya yang hanya sampai kelas 2 SMP”
“Bukan hanya kamu, Mas !, akupun ingin seperti itu ?”
“Lantas mengapa kamu tidak setuju aku ke Malaysia ?”
“ Kalau itu membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak Mas ?”
“ Kalau gitu, kamu setuju?”
“Ya, setuju, Mas ?”
“Terus akan kamu lepas kapan tanah itu, mumpung Pak Ranto berani membelinya !”
“Itulah yang aku tidak setuju, Mas. Tanah itu satu satunya peninggalan orang tuaku. Lagian Mas Hartono juga masih punya hak , bukan aku saja”
“Ah..itu gampang, Tin. Kalau aku sudah di Malaysia, kan bisa aku ganti Mas Har dengan gajiku kerja di sana”
“Maaf, Mas, aku tidak setuju,memang Mas Hartono tidak pernah menuntut hak itu. Tapi dia tidak setuju kalau tanah itu dijual.
“Tertus apa artinya tanah itu untuk kehidupan kita, Tin ?”
“Mas Har minta supaya tanah itu dikelola untuk usaha atau untuk ditanami apa saja, dia tidak akan menuntut hak.Tapi dia tidak akan melepas tanah itu untuk dijual”
“Kamu memang istriku yang tidak mengerti cita-cita seorang suami.”
“Mas Sumitro,apa ke Malaysia menjanjikan segalanya ?. Tetap saja manusia tidak lepas dari KodratNYA. Aku takut Mas, keberangkatan Mas ke Malaysia justru nambah kesengsaraan kita, Apalagi dengan menjual tanah kita satu-satunya”
“Terus aku harus bagaimana, apa salah bila aku berhasil membahagiaan keluargaku, termasuk kamu, Hartini !. Aku berani bersumpah, aku tidak akan jatuh ke pelukan wanita lain, kamu sudah hapal, persis wataku..kan ?”
“Bukan masalah itu,..Mas ?”
“Masalah apalagi?”
“Kita manfaatkan saja tanah itu. Selama ini kita kan belum pernah bicara masalah ini”
“Aduuuuh, setengah mati kan Tin.Mau ditanami apa ?.Musim seperti ini tidak bakalan bisa diharapkan”
“Mas, aku diberitahu Mas Koco, temenmu di Kali Krasak”
“Ada apa ?
“Dia sanggup menyediakan bibit ikan lele, dia punya relasi di Magelang. Tentu kita bisa beli, orang harganya murah. Kebetulan tanah kita bisa diairi sepanjang tahun, cocok untuk beternak lele”
“Terus mau di juual kemana lele-lele itu”
“Hualah..Mas. Setiap rumah makan pasti menyediakan menu lele kan Mas ?”
“Ah, itu terlalu beresiko, aku nggak punya modal”
‘Kebetulan Mas, aku bisa menyisihkan modal meski hanya sedikit. Tapi untuk menggali tanah itu,harus pakai tenagamu sendiri lhoMas,bisa kan Mas “

Belum sempat Sumitro memberi jawaban, sebuah pelukan kecil dan ciuman mesra telah disodorkan istri tercintanya. Dilekatkanya bibir istrinya dengan bibir pria yang sedang diliputi kegalauan. Kini pelukan itu telah direnggangkan oleh Hartini, diganti dengan bisikan penuh pesona
“Tolong ya Mas, kali ini aku dibantu, aku pengin lebih bahagia bersamamu”
Sumitropun tak mampu lagi memberi jawaban, yang ada hanya membalas dengan ciuman yang lebih hangat dan mesra, sambil membisikan di telinga istrinya “Kamulah rembulan di atap rumah bambu ini. Aku berjanji tidak akan ke Malaysia demi kamu “.