1.Berdiri
di Kaki Langit
Mengapa kau sembunyikan, titik hujan di
tulang igamu
Bila
kau harus lukiskan kanvas alam
Dengan
warna bugenvile, melati, anyelir dan kenanga
Sudah
pernahkah kau dengar,
Lenguh
sapi yang menyusui anaknya, disamping peraduan
jerami
yang mengering
Mereka
semua kini berdiri di kakiMU
Dengan
saling melempar sorot mata mereka
Seakan
telah habis semua dengus nafas
Aku
rengkuh apa yang harus aku ceritakan
Pada
daun palma yang mengering
Pada
tiap tepian belukar yang memalingkan muka
Menunjamkan
dalam dalam dengan kesal
Pada
air sungai yang menghitam
Sudahkah
kita semua mengatur nafas
Agar
di nadi nadi kita tidak tertinggal tepian cakrawala
Yang
menambatkan pelangi yang bersusun
warna
warna ranjang peraduan dan “pakem” hidup
kita
Tentang
lengan lengan kecil bocah…..
Yang
kita papah untuk menerima suapan nasi
Tetapi
kini semua mengering
dan
mengadukan pada semua penjuru langit
yang
halus KAU susun semua plasma tubuhmu (Semarang, 7 Oktober 2011)
2.Malam Bertabur Bintang
Satu
dua bintang mulai bereksotis
Semakin
kencang berlari jarum waktu
Semakin
berani mereka mengencangkan langit
Dan
kini semakin banyak mereka menyalakan
lampu
lampu minyak, menggelantung
di
tengah marahnya bintik hujan
Sengaja
aku berhasrat memunguti bintang bintang itu,
Agar
mampu merajut bintik hujan
Namun
angin kemarau yang kering menghempaskanku
Dan
kini menelikungku di halaman rumah yang kering
Menyendiri
dalam merajut asa
Memelantingkan
sorot mata kepada semua
dahan
ranting yang kering dan asing
Tidak
lagi lagi menyimpan jejak kaki kaki Kenari
Bahkan
digantikan dengan debu yang asam
Dan
mampu meluruhkan tulang belulang
Namun
tidak mampu aku enyahkan
Hanya
menanti semua yang telah dicatat langit biru
2
Dalam
“jejer” para “nawangga” yang berdiri di panggung
Menyesakan
dada akar akar rumput yang telah mulai goyah
Semakin
menghiasi langit
Yang
masih bertabur bintang (Semarang, 7
Oktober 2011)
3.Nyanyian Padi
Kuning
bulir padi terlihat samar, tanpa bayangan
Tanpa
gemersik daun daunya
Mereka
menunda dalam perjalanan panjang
Dalam
pusingan hidup manusia
Atau
kini mereka telah sembunyi
Di
balik gubug bambu di tengah sawah mengering
Dengan
centang perentang keluhan dan umpatan
Manusia
yang berlisan durjana (Semarang, 7
Oktober 2011)
4.Dalam Sebuah Perjalanan
Dalam
perjalanan munyusur benang malam
Kita
menyisihkan hardikan “Bathara Kala”
Menepiskan
penat setiap sendi, yang mengencangkan
keluh
kesah dari sisi bilik jantung yang kusam
Mari
kita mewarnai dinding batas kita
Dengan
cat berwarna putih yang kaya sulaman kain sutra
Kita
ungkapkan semua yang telah menyesakan dada
Pada
batas yang tiada bertepi
Bukankah
kita hanya sekejap dalam menggelantungkan
semua
yang kita tidak mampu simpan dalam ketiak
Meski
dalam kantong baju kita
Hanya
berisi “tembang dolanan” yang menggulir
Demi
sesuap nasi dan secercah kuning sinar mentari
Yang
menerobos rumah bambu kita yang lusuh (Semarang, 7 Oktober 2011)
5.
Penatku
Jangan
ada lagi umpatan
Yang
mampu meruntuhkan tebing tinggi
Yang
mengungkung dalam lilitan yang kokoh
Jangan
ada lagi rasa penat
Dalam
mengintip mendung yang menyisir
Kelambu
biru
Kita
gandeng alam dalam
“Panembromo”
sentuhan sentuhan halus
Bila
kita sekedar meraih keramahan hutan
Untuk
meluuruhkan sengatan tajam
kemarau
panjang (Semarang, 7 Oktober 2011)