hanya
layar yang kokoh
sanggup
menunjukan dengan seloroh angin laut.
Biduk
kecil hanya menelan ludah,
bersama
‘ilalang rapuh”
Pernahkah
kita dahulu menakar batas langit
dengan
nafas kita sendiri, bukan hanya elang yang mengerling
namun
kawanan pasatpun semakin kokoh menjerat.
Jangan
berpaling, biar sang pipit yang memunguti buku harian kita.
Sementara
ajaklah semua cemara yang menjulang untuk
menuai
angan,
yang membisikan sayatan pilu.
Kita
bergegas menyongsong atmosfer berperdu merdu,
dalam
rindu ...menghela nafas di bilik bambu rumah kita.
Berhalaman
Anyelir dan Kenanga, namun ilalangpun mengurai senyum.
Kita
adalah nafas-nafas kecil......
Dengan
guratan otot yang sarat dengan peluh. Masihkah hadir hari -hari
yang membawakan sajian sarapan ubi dan sekerat
daging,
Milik
kita yang menyelinap di tepi waktu
Kita
telah terlanjur membuka jendela,
Di
tengah sang waktu yang berwajah garang dan bertaring tajam
Rebahkan
punggung kita, pada dinding beluntas
Agar
nafas tak hanya tersimpan di dada,tapi mengalun
dan
menjaring perputaran bumi, sang nyanyian burungpun termenung lesu.
Karena
belum ada angin sejuk membawa berita,
Kemana
cakrawala yang masih berselingkuh dengan
galau.
Saat
kita telah bediri tegak,
Namun sepi.....
(Semarang,
13 Desember 2012).