Kamis, 05 Agustus 2021

Langit Jingga


Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga untuk Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu, 

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya Di serambi rumahnya, senja membelenggunya Hanya bermesra dengan senja yang sepi Kala Prince Henry, bayangan kasihnya dalah lubuk hati Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung sepanjang jalan desa dipusari kebun palawija dan tebu Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu 

Nurlela tersenyum bahagia Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim 

Untuk terbang memunguti hari harinya Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun dan sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah 

 Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman Jakarta tak mengenal petani desa yang polos Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

 Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya.. Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya Sang pangeran menjadi tak tahu arah terbitnya matahari dan bulan Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap Sang pangeran menjadi jalang dan liar 

 Lakon hidup memang harus terkembang karena angin bertiup dengan ganas dan liar Bayang Nurlelapun mengelupas dari bilik jantungnya Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran untuk Nurlela. Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering. Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya. Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, tanpa sepatah katapun Nurlela menjawabnya. Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan Maka emak dan bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya. Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ? Nurlela tertunduk lesu Semarang, 8 Desember 2020

KABUT BIRU

kembali serambi langit bertirai hitam pekat gulungan awan pekat..
. menikam buku harianku tak sedikitaku berniat menutupnya..
 karena sehalaman penuh tertoreh kau di sana di batas langit,..... 

 di tengah gulungan awan hitam.. di ngarai berlantai melati dan kenanga.... 

 di boulevard bersama sang arjuna.... aku tertawan dalam tembang parau berujung gerigi tajam yang kau sedu dengan senyumanmu berilah kabar meski hanya dengan kepak merpati bersama hujan...

untuk sebuah salam canda aku dalam benang rindu

 hujanmu.menyelinapkan aku dalam gubug kecilku

 sepi..tanpamu.... 


 Mentari mentari masih bersinar... 

 menyiratkan masih ada hidup mentari melontarkan hangatnya... pertanda masih ada bara di dada... mentari tiada bosan menyengat... 
 memberi kabar masih adakah semangat...? 
mentri tak pernah menyisakan keluh.. perlambang tak kan ada lagi kesah mentari dan bulan,
 tak pernah bersatu adalah untuk kita makna siang dan malam 
bahwa kita selalu dalam perguliran nasib

 (Semarang 19/12/20)

Sentuhan Kasih

Sudah genapah kau menghitung hari ? 
 Jangan au isi dengan dusta, atau sumpah serapah... 
 Jalinan dahlia, pipit dan halaman rumah membiru 
Menggapai getar dalam nadi darahmu Agar menjenguk s
emilir angin yang menjalin 
Untaian biru lembayung bergambar dewi cinta 
 Kau menantap dengan bahasa sendu

, kata kata pujangga 
 Kau jinjing hingga menawan hatiku ke sudut jantungku Aku meruntuhkan langit
 Menebas birama bumi bagai anak remaja kasmaran 
 Tak tentu arah menjaring angin kembara Kau di sisi mount everest.... 
 mengalir deras di nadi darahku 
Kau biakan aku.tak mendusta hari 

 SEMARANG 12 Juli 2021

Rindu

Dalam keranjang hati bersulam benang emas..
 aku simpan saja rindu yang merontang meski mengalir deras sepanjang dinding nadi darahku.. 
dalam rindu, aku sisihkan apa yang harus tersimpan dalam kerah bajuku sendiri.

 Dalam rindu, aku menjadi pengecut yang lari dari tumpukan memori 
aku belenggukan pada kawanan pipit, terbang menyapa awan untuk rindumu yang sebatas kain tipis, namun bersorot pandang tajam , aku tertikam pilu dan kelu 
Untuk rindumu, 
kau sendiri yang menusukan pada kawanan ilalang tajam menyayat angin pagi, terha
mbur pada prosa dinding jantungku lantas kau kemasi hari tersembunyi dalam bilik yang pengap tak ada lagi untuku tawa sutra biru merayu... 
saat pagi berkulum senyum kau menghardiknya Untuk rinduku.... 
 aku adukan pada Akasia yang menyerpih daun daunya saat kemarau memberinya sisi tajam panasnya namun kau hanyut, 
melibas dan melentingkan hidangan yang aku sodorkan
 demi sebuah hari panjang, berteman sejuta dewa dewi menuai dan padi yang menggerutukan jalan panjang tak berarah angin...
dalam dinding senyumu aku tersungkur Rindumu.. masihkan wewangi setelah terbasuh sejuta kembang ? atau hanya kering beluntas yang menggambar biarkan aku maki diriku sendiri melesat bagai anak panah
 menawan hari hariku sendiri, sepi...... 

 Semarang, 2 Agustus 2021

SANG Kumbang

aku bagai kumbang jalang 
tak mengenal janji atau lagu rindu, 
aku melupakan hari warna 
sayap kupu-kupu biru beruntai merah 
dalam seduhan menyudutkanku 
 aku mengepakan sayap 
menerjangkan detak jantung 
mencari kebun bunga agar daraku mendidih melentingkan kedua kakiku 
menggapai kelopak bersari bibir gincu kuulurkan benang 
agar engkau mampu berteriak lantang 
mengggurkan daun akasia menerbangkan debu pada tepi pelangi 
bersusun gairah hatimu enyahlah kau nyanyian getir mengubur makna karena aku yang member arti tentang rajutan hidup dalam kidung asmara bersama kau 
di pualam malam

 (Semarang, 13 Maret 2012)

Seribu Keindahan

Saat kau kecup keningku... di temaram senja... aku bisikan legenda cinta Sang Abimanyu dengan Siti Sundari kau terperangkap dalam hipnotis sihir cinta, antara kesetiaan sang ksatria dan harum rambut sutra Siti Sundari bila lembayung ufuk telah menghias warna langit... saat semua cicit burung meluruh, diterkam dingin angin kembara kaupun menyingsingkan hari.. melipat sayapmu menjamah dengan puisi sang pejaka yang kasmaran mengayuh biduk di lautan peluh... kita dalam satu bertaut di tali hasrat dewa dewi, penghuni Indraloka teduh di bawah perdu.. aku sang pemburu yang nanar di tengah padang gersang hanya nyanyian belukar pilu tersentak angin kemarau.. tetesan embun pagi menjadi asing, tak terbilang keagkuhanya akupun hanya berpegang pada ranting kering yang tak kokoh sedangkan angin benua siap melahap tubuhku lantas entah musim apa yang membawa rembulan dalam keranjang sutraku ranting kering bermetamorfosis menjadi dahan dan dedaunan menyimpan selaksa kesejukan dan puisi nyanyi rindu bagai dua remaja saling melepas menggambar sketsa peraduan dalam perpaduan jantung kau dan aku aku disergap cinta yang kau taburkan seringan sari bunga bunga taman mawar merah jingga... anggrek bulan biru merindu kenanga kuning meronta dalam gairah semua tertanam berjejer rapi di kebon bunga milikmu miliku.. tak ada dusta.. tak ada sorot mata yang tajam... ceria... sepadan...serasi dalam singasana penghuni Indraloka gerimis senja m asih menerkam halaman rumah kita... namun kau hangati dengan seribu kata cinta Semarang, 26 Juli 2021