Negeri ini telah menghambar wewangI
dari tetesan embun sorga yang menghampar
diantara teluk dan lekuk garis pantai,
mirip eksotisnya bidadari yang bermandi
di tepian pantai, yang terus menyeka buih buih laut
merka semua berdendang, mirip anak kecil di desa
yang bersenandung lagu jawa i bawah sang purnama
waktupun
melesat dari detik menuju detik
meski
dahulunya negeri ini tak nengenal kepongahan
namun
detak jantung terus menikam kepalsuan
karena
pemimpin pemimpinya bermata juling
dengan
peut genduk ditutupi dasi warna warni
bahunya
yang kekar membelit semua miliknya
negeri ini melangkah surut dengan terhuyung
tempat mandi bidadari menjadi hitam anyir
daun nyiur mengering dan lepas dari dahanya
tak lagi meneghembus angin pantai yang halus semilir
camar tersentak mencari naungan, karena ombak tak
lagi membawa ikan segar hidangan paginya
si
abang becak terus menyeka keringatnya
rodanya
terus menggilas aspal berlubang
telinganya
memar karena tagihan SPP anaknya
yang
masih menghantui
kemanakah merdeka ini
ke arah mana bedil bedil kita arahkan
hingga kita tak tahu warna baju yang dikenakan penjajah
derai air mata pahlawan di jauh
sana tak henti
yang
mereka saksiskan hanya roti busuk
yang
diperebutkan oleh tangan tangan kokoh
dengan
gigi besi dan taring tajam siap menyobek si kecil
entah
sampai kapan panggung parodi
dari
tiap adegan yang kotor membosankan dan memuakan
biarlah satu saat
wewangi bunga dari sworgaloka kembali bertabur
menghembuskan angin gunung segar lembut dan bersahabat
semua pagi dijemput senyuman abang becak, tukang bakso dan kuli
kita bergandeng tangan menuju pantai
sambil tengadah mengucao syukur
Semarang, 16 Agustus 2021