sekeping hidup dalam buai
panjang
pernah singgah, menepikan seraut episode menakutkan
di tengah makian debu debu
menyesak dada
tak urung, nyanyian duka
telah disemai di puncak yang
bukan milikmu
meski bibir gincu, menyapa hari
hari yang asing
tak satupun nama tertanam di
pepohonan
yang kekar dan sejuk
merah jambu awan senja
bertepi putih membiru tepi
langit
telah menyongsong wajah yang
akrab dengan
lipatan jaman…guratan hidup
mencumbu nafas
kala terlihat lelah kedua mata
kita.
kau mencoba mengukir sisi langit
yang membentuk barisan awan…bertanam
mekar sari
seberkas himpitkan tajam sebagian langit
meluruhkanmu, …..kembali sepi
dari indahnya wajah bulan di
bumi dongeng
hanya tinggal, bahtera yang
mengusung
serpihan layar menantang angin
buritan
lebih baik kau tawarkan mawar
jingga
dalam sebagian malam
bertabur sayap malaikat dari
rajutan langit
kemana lagi akan kau cincang
hidup ini
bukankah potongan doa lebih
indah
dari jarum waktu yang kau
tinggalkan……(Semarang, 9 Februari 2012)
2. Entahlah Meski di Mana Aku Berada
hanya bentangan kuning padi
berseri,
terbawa liarnya angin memburu
seribu makna
kadang menengadahkan bulirnya ke
mentari
berkuning rapat rambut sutra
atau meliukan rindu ke biru
gunung menawan
menata kembali nafas yang
terpagut merona tepi jaman
entahlah hanya tangkainya yang
menggenggam makna
dari dahinya yang berkerut
dan rongga matanya yang dalam
membisu.
atau……….
biarkan saja awan jingga dalam
angkuhnya
menerpakan sisi cakrawala barat
tempat merpati meluruskan sayap
aku terselip di dalamnya ikut
menggetarkan
makna – makna yang meluruh di
gerimis senja
aku kencangkan genggam jemari
yang tergolek lesu kalau seribu
cermin ego menghimpitku
aku kabarkan dalam seloroh prosa
pujangga
namun hanya bait yang menunggu
merekahnya mawar jingga
beruntai gerigi tajam
menghanyutkan sisi sendiku
aku kembali dalam canda manja alam
atau kepak kenari yang
melambungkanku
menuju batas pandang yang samar
aku tak tahu….
sempat pula sang camar
membenah pantai dari rerimbunan
durjana
yang menghitami, jantungnya
namun tanpa mata nanar dan syak
wasangka
sang camarpun hinggap di biru
langit
dengan wajah menunduk,
memunguti bentangan harap
aku dalam sepi….
masih ada sisa bait, yang
terpendam pada
dalamnya kalbu, hanya makna yang
aku sendiri
lelah menjinjing di balik wajah
yang mencibirkan kelu
mari kita kembali untuk mengetam
padi
meluruskan pematang sawah kita
agar kuning padi menyeringai
dalam seloroh mentari
hingga belalang melipatkan
sayapnya
kita dalam damai
agar tiada lagi sepi….sebuah
gambar alam……(Semarang, 8 Pebruari 2012)
3. Semuanya Kan Usai
lantaran apa kita pinang embun
pagi
yang renyah menyelerohkan
cakrawala di balik gunung
hingga kita terpikat pada lesung
pipit
dan gemulai Gambir Anom sang
pesinden penuh
cahaya malam…dan lampu jaman
tulang-tulang iga kita tlah
merapat
dijemput maghligai susun tujuh
empat penjuru langit
gendang dan kecapi tak mampu
lagi
menarikan dedaunan palma di
ujung rumah kita
apalagi lagi dolanan anak anak yang bertembang
hanya seberkas kenangan dalam
rindu hati
bersama kekasih kita
lekaslah mencanda jantung kita
masing-masing
agar nyaman tidur siang kita…………(Semarang,
8 Pebruari 2012)
4. Senyum
dalam senyum sang lelaki tak
lagi memincingkan mata
bila rerimbunan pohon tlah
menyejuk jiwa
semua gambaran alam..melapangkan
dadanya
lembayung senja bertanam bunga melati
lelaki itupun….entah milik siapa……(Semarang,
9 Februari 2012)