Kutitipkan Miliku Untukmu
Hanya
sebuah awal saja,
bila kau torehkan..
sebuah senyap, ....
lantas bila dinding
bambu, yang mengungkungmu,
apalagi angin
prahara yang bermata juling
telah mau pula, menumpahkan cawan cawan seduhan teh
kala beranda rumah telah kau tanami melati
lekuk kali di belakang rumah
kini ikut pula menghitam, mengungsikan tetumbuhan
“bunga sedap malam”,
yang lekang terpagut kemarau
aku hanya memiliki karangan bunga
berkemas rindu.....tetapi jangan kau tumpahi
dengan angan kosong, dendam dan prahara
Aku titipkan bunga semusim, agar menjulur kelopak kelopak
lalu kau hias dengan minyak wangi tubuhmu
saat kau tak ragu, berlabuh di peraduan
namun kau tetap terjaga....
dan memunguti sisi malam yang tak berbintang
Sudah berapa lagi, kau pelantingkan pagi
dalam keranjang sampah, di bilik hati....
akupun hanya berkelana bersama angin senja hari
(Semarang, 23 Oktober, 2011)
Kupatahkan Sayapku sendiri
Biarkan aku terkucil...
membunuh sorot
mata,
membekukan sudut
kamarku,
membelenggu lengan lenganku
aku terbangkan kain hitam tak bertepi
untuk menghalangi mentari,
hingga pagi terbunuh,
cinta anak ingusan tersayat pilu,
semai cinta dalam vas bunga
telah berkali membentur tebing kokoh
dalam lembah penuh manusia durjana
kupatahkan sayapku
dan mengait pada buluh rindu
yang dirajut sang rembulan
(Semarang, 23 Oktober, 2011)
Tetaplah Menjadi
Miliku Apa yang Kupunya
Kau inginkan “bulan berenda emas” ?
di tengah pesta minuman, dengan gelas kaca berelief
negri impian....lantas bajumu bermanik
mutiara tujuh warna...
bukankah itu milikmu sendiri
biarlah ada dalam kantong bajumu
jangan lagi mengerling matamu,
pada diriku yang
galau dan risau
hidup yang kita miliki,
adalah perjalanan menyeberangi benang bertinta hitam
yang kau kaitkan di tengah malam gulita
sehingga langkahku
hanya mampu setengah hati,
Aku adalah ilalang yang kini punya nyali
untuk melepas mawar jingga berduri tajam
yang telah lama menjadi ornamen
baju tidurku.....
(Semarang, 23 Oktober, 2011)
Sajak untuk Effinta
Kita berdandan bagai raja dan ratu,
dalam kereta berkuda delapan ekor
di depan kita terdengar teriakan nyaring
genderang genderang yang menggetarkan
wajah bumi.....
bergetar debu debu jalan
hingga petirpun tak berani berpose di atas
aku menggunakan topi sang pangeran
dan kaupun mengikat rambutmu
dengan ikatan emas bergambar melati
dalam sekali ini
kau lupa bahwa kita tidak memiliki apa apa
untuk sarapan “tiwul dan singkong rebus”, yang tiap pagi
memenuhi perut perut kita
yang tak pernah menggerutu
kau begitu bahagia
dengan sorot mata sejuk dan terkadang liar
ingin menggandeng bumi dan seisinya
selamat pagi Effinta........
negeri “atas
angin” ingin berselingkuh denganmu
(Semarang, 23 Oktober, 2011)
Lajulah Perahu Cintamu
Sudah kita kemasi angin prahara,
yang bergambar sayatan bambu, dengan mata sebelah
pernah menghardikmu, hingga tidak tersisa tulang igamu
Bersabarlah, kita mampu berdiri tegak
meski lutut kita masih ditelan bumi,
hanya air mata saja yang patut kita
takuti
saat tertumpah di halaman rumah
yang mampu menyingkap bau busuk
bila debu telah memenuhi jantung kita
Dengan kedua mataku yang terpincing
aku menyaksikan lenganmu yang tak kukuh
menggelar layar kumal,
namun ombak siapa yang berani
menantangnya
mereka semua menggerutu dengan kata yang dalam
tapi tak jelas......
apa kau mampu berpijak di pantai biru
bila kau hanya mampu membuka layar
tak tegar......
kenali dahulu sayap- sayap burung camar
nyanyian ombak yang sendu dalam rindu
nyanyian ombak yang menjalin cinta,
nyanyian ombak yang meradang berang
Namun, bukankah tetap kau bersikeras
melaju
dengan perahu, yang berkayu tekad,
bertiang semangat
hidupmu....
nanti juga bakal kau temui, malam
berbenah kembang
setaman.... (Semarang, 23 Oktober, 2011)
Bulan dalam Keranjang Cinta
Bertahun aku jaring sinar rembulan
dalam keranjang cinta, dari bambu yang
menggambar
kehalusan...
beralas sutra jingga, milik para dewa
dan kau adalah bidadari,
yang bersemayam di tengahnya
(Semarang, 23 Oktober, 2011)
Bambang Sukmadji-Semarang.