Jumat, 06 Agustus 2021

Dalam Doa


 

Sepenggal cinta  yang kau sedu dengan sepotong nasi hangat

adalah  “suka cita”, yang lebih  menyihir ketimbang

lampu-lampu “mercusuar”, meski terpagut sepi

Belum cukup lajunya sang waktu

yang “menelikung” semua sayap-sayapmu

agar berbenah di istana senja bersusun

pelangi seribu warna.

 

Semarang, 22 Nopember 2020

 


Engkau dan Aku

 Menepikan sejenak semua bekal hidup

Lantas kau sandarkan, “puting beliung” yang memusari

seluruh dahaga dan mata nanar

lalu lalang belalang  yang siap menerkam

ulu hatiku yang tiada seberapa luasnya

biar saja aku lipat, untukmu yang disisiku

 

Aku susun bantal beruntai kain emas

Agar kau rebah dan membisikan sebuah cerita

tentang birunya gejolak hati

aku menyepi….

Hanya aku tautkan pada awan jingga

 

Sekali sekali engkaupun berteriak

Kala kebon bunga di samping rumah

Telah mengering, ditawan sinar kuning mentari

Akupun tetap menjaganya,

Biarlah secawan “air segar” kehidupan

Terus saja memburu,

semua pilu dan gundah

 


satu dua hari, aku hitung

dan terperangah dalam lakon birama hidup

engkaupun mengenakan gaun pemgantin

bertabur gemerlap pantulan sinar mentari’

aku jinjing, meski lenganku berteriak

 

patahkan iri dengki…dengan halimun pagi hari 

(Semarang, 22 Nopember 2020)


Tengoklah  Jantungku

 

Tak kentara, sebuah nyanyian dari jantungku

Kau dengar, meski engkaupun tak selesai

Menyododorkan telingamu

 

Sebuah nyanyian dan orchestra,

Jangan kau tepis dengan biola parau

yang kau hirau, dalam galau yang melibas

semua lagu lagu tentang “nyanyi rindu”

 

Tetap simpanlah rapi rapi, untuk

“Bunga  Pengantin” dalam semaimu,

bila telah kau mulai membaurkan warna

di atas kanvas dalam jantungku,,,,,

(Semarang, 22 Nopember 2020)

 

Sekuntum Mawar


tak lagi kulihat..

senyum sekuntum mawar

dalam nyanyi rindu kutunggu...

untuk mengejar cakrawala..berhias

rendra kain sutra

bertepi senyum setangkai bunga

kau sodorkan melati putih bersih...


kau masih tertunduk lesu

 

jangan lagi kau warnai tabir

diantara aku dan kau, dengan gurat kelabu...

bukankah kidung Asmarandhana

kau  susun warna warni

kala kita di sawah ladang memburu

angin musim, dari sari terbawa angin desa

kita bertemu, menguntai perjalanan

yang kau sajikan dengan gula senyumu....

 

Tegal, 29 Agustus 2020

Senyum di Pagi Hari

 


pagi indah....
disemai nyanyian pipit.
hari yang masih dalam kantong bajuku...
tak segera bersolek dalam adonan haru biru
guratan alam...merinduku
... dalam timangan pangkuan Illahi...

aku datang lagi,
menjadi milik hari, dalam egoisnya jarum waktu
melesat, menebas rambt sutra mentari...
aku tak peduli dengan kerling mataku sendiri
inilah hidup....

 

aku dalam damai, sang rembulan…..

melepas sayapnya untuk memberi  seloroh,

bunga pandan menyeringai pada pagar bambu

saat kamboja dan edelweiss, berteriak melengking

menjamu kepodang dan nuri yang …

telah menyelupkan bulunya

pada embun dini hari

 

saat kusedu aroma teh

dan panganan pagi “perempuan desa”

dengan pundak lusuh, berdebu batang padi

dan sekerat harap pada bilah hidup

 

sementara bilik jantung, pada serambi pagi….

menelantarkan kain hitam milik durjana durjana

yang merenggutkan kuku tajamnya

pada birama hidup, aku menggelepar

dalam rindu pada batas hari

yang samar namun tegas membimbingku

 

aku dalam usungan ceria

menjamu pagi, bersama kelopak bungaku

yang kukrim pada jendela langit

 

…………………..

 

(Semarang, pagi 2 Mei 2021)

 

 

Sunyi

 


Sunyi.....

Kau membuang sauh

Riak gelombang

Di belakang, berkeluh

Sedangkan metamorfosis hidup

Adalah nyanyi jiwa

 

Api.....

Menyirat makna

Membara di dada

Seikat kembang kertas

Memperdaya,

Bukit di belakang tebing

Telah bersyahwat dengan langit

 

Di depan kita

Jalan berkelit

Berhias jurang menyeringai

Senyum garang

Pada kelopak Kembang Turi

Berkait dengan kerikil

 

Kita ada di balik

Tirai semu

Merenda fatamorgana

Kau menata halaman rumah

Akupun merajut keranjang bambu

 

Kau menatap jauh benua

Di balik laut biru

Aku menyemai ketela rambat

Berakar benang sutra

Hingga merengkuh

Bumi, kau lebih suka...

Memburu, bintang bercumbu

dengan bilah rindumu

 

(Semarang, 15 Desember 2020)

 

Supermoon Menjadi Saksi

 


jangan kau tumpahkan tinta hidup

pada alunan warna warni pelangi di belahan langit

tak pernah burung burung menghardik

mega mega ceria di esok nanti,

kau berikan ruang hatimu dengan supermoon

hingga pelataran rumah masa depan kau dan aku

berseri memetik sinar mentari,

 


pada uraian rambutmu,

supermoon merebah,  tentang kelembutan yang hidup

selama bumi berputar,

tak kan pernah usai bidadari bernyanyi lagu merdu

kita menyisir  malam demi malam…

hingga kau tautkan kereta berkuda putih elok

bagaikan pangeran dari negeri kaca,

 

aku harumi gaun  malam dengan pernik pernik

yang melekat kokoh dan memantulkan

sinar supermoonmu dengan tujuh warna

kau degap dengan derai senyum

aku suguhkan dengan kereta biru senja

perlahan menghempaskan liar degup jantung

ke atmosfer malam, supermoon menyeringai….

 

kita tak pernah kehilangan jarum waktu

meski menembus kawanan mega hitam

atau rengkuhan  taupan bergigi tajam

kita  terlepas dari rasa saling menyelinap…

kita bebas liar memetik rambut malam

kita menukik memungut nukilan hidup

atau kita terbang bebas,

menjenguk supermoonmu

kita dalam bebas….

 

Semarang 12 Mei 2021