Rabu, 06 Oktober 2010

EFFINTA

Sebaiknya bila engkau punguti catatan harian, yang terselip di sudut langit biru. Tentunya akan kau temukan sesuatu yang di tengahnya aku gambari lukisan tentang keindahan. Sebagai ungkapan tentang aku yang akan merindumu.

Sudahkah jiwa ini yang telah engkau telanjangi dengan rayuan merdumu. Telah pula engkau buatkan penyejuk untuk melepas lelahku. Oh…alangkah jauh perjalanan ini. Sudahlah kembang kertas ini engkau sulami dengan warna-warni hasrat. Maukah engkau tunjukan mana yang bisa engkau nyanyikan.

Malam aku tempuh dengan keluhan nafas yang berat, karena terpagut dengan langkah yang tertinggal. Bila engkau mencoba, mungkin kau akan tergambar pada ufuk esok pagi. Oh. . . cakrawalamu . sudahkah berhias sinar mentari pagi. Sudahlah !, untuk sementara biar aku genggam haru birumu, menyertai perahu hasratku yang kandas di keangkuhanmu.

Kupadukan antara hasrat, kagum dan beribu asa. Menjadi secawan hiasan hidup yang dinamakan cinta. Kulukis di tiap dinding hatiku, yang belum pernah kau gantungkan denting kemesraan
Atau mungkin diriku yang belum mengerti yang mana tempatmu singgah, dimana engkau sembunyikan pesona hidup ini, atau mungkin lebih jelas bila kusodorkan cinta. Agar hatimu mau meneguk kejernihan hatiku.
“Engkaulah bunga sejuta harapku, adakah sisa hatimu untuku ? “ demikian aku coba bertanya pada hati ini.

“Lantas dimana kau simpan hatimu, yang belum terisi sejuta keindahan “ jawab sebuah hati yang entah tersembunyi di mana.

“Bila engkau mau merinduku, lalu akan kamu apakan jiwa yang menggelepar ini ?, sedangkan bayang wajahnya terus saja terbujur kaku di mimpiku” terus saja suara dinding hatiku bergeliat.

“Mampukah engkau menyusun puisi hidup, tentang irama keindahan cinta. Jangan kamu kagumi wajahku, jangan kau kagumi dengan betis atau bibir merah delimamu. Kagumilah aku yang terus telanjang menantikan arti hidup ini “ jawab dinding waktu yang sekarang entah berdiri di mana.

Aku tersentak kaget dari tidurku. Terdapat selembar gambaran wajahmu yang tiba-tiba muncul, tanpa aku duga darimana arah kedatanganmu. Lantas aku sertakan engkau, untuk meniti perjalanan pagi. Kala itu beberapa saat yang silam akupun belum tahu, bahwa telah terselip dalam hatiku tentang keindahanmu. Belum ada di bagian manapun di hati ini, yang ingin tahu lebih jauh tentang dirimu.
Namun berulang kali dentang jam dinding yang berjalan secepat kilat, menyambar keinginanku yang menggumpal dan terus menggumpal. Sehingga mendesak jantung hatiku dan menyesakan dada, mengapa belum ada perahu hasrat yang berlabuh di pantai hatimu
Tentunya bila aku sodorkan sebuah cinta untukmu, Engkaupun akan mengepakan sayapmu, menuju cakrawala, yang entah akan menggelantung di langit sebelah mana. Namun kembali lagi jarum waktupun terus mengejarku, agar bulan dengan seribu panorama, yang terpancar dari senyumu, tiba-tiba saja tunduk dipangkuanku.

Bulan kini masih tersembunyi di balik awan, dan akupun telah berada tepat di depanmu. Entahlah aku sendiri telah menguatkan hati yang tadinya hanya mampu bernyanyi sepi. Namun kini hatipun telah aku siapkan, hingga mampu menjadi telaga tempat aku berpuas diri.

Kusapa dan engkaupun tetap menyisakan senyumu, laksana sebuah permintaan agar bulan setidaknya mau mengintip di langit malam. Untuk menyaksikan aku yang hendak menuangkan hasrat kepada kekasih hati, yang kini berada di depanku.\
Kuberikan juga sepenggal asa agar kita berdua menghiasi biduk dengan ornament yang sederhana. Mengarungi lautan biru, dengan ombak yang akan menguatkan kedua sisi biduk kita. Tentunya pula akan kau gapai, bila memang harus kutemui bulan tepat di atas tempat kita mendirikan rumah mungil tapi bersih. Dan pada giliranya rona sinar bulan akan menjadi senyumu.

Hari demi hari, tentunya dandanan hidup akan lebih semarak. Bila engkau tiada pernah bosan untuk menyirami kembang – kembang taman yang ada di pekarangan rumah mungil kita. Bila telah ada pula tautan hati diantara kita untuk sekedar merobahkan tubuh kita yang penat.

“Jangan kau biarkan halaman depan rumahmu dipenuhi debu sore hai, yang dibawaoleh angin kembara yang nakal hai. . .kau wanita tambatan hati “ demikian ungkap kembang mawar di sudut halaman.

Sedangkan kembang melati juga tak kalah lantangnya untuk meneriaki wanita yang ada di dalam rumah mungil itu, “ Jangan kau pernah ragukan secawan cinta suci dari pria yang akan membawamu mengepakan sayapmu menuju biru langit.
Sekali-sekali kembang kenanga juga ingin nimbrung bareng dengan kebahagian kembang-kembang sore yang telah basah disiram air sejuk, yang dijinjing wanita yang berkulit kuning dan bersih,

“ Jangan kau harap akan mampu menggenapi hidup ini, bila dalam hatimu masih ada sisa ketidak- tulusan. Mungkin pula engkau bisa menipu dirimu sendiri, namun sorot mata adalah sesuatu yang tidak bisa diajak berbohong. Maka benahi rumah mungilmu, agar sepanjang malam engkau mampu berdandan ayu “.

“Efinta !, inilah rumah mungilmu, apabila engkau selalu menatanya dengan optimis, maka tentunya dinding dan atapnya tidak akan runtuh walau digoyang gempa sekuat apapun “.

Demikian sempat aku bisikan pesanku dekat ketelinganya, saat bulan sudah mulai hadir di atap rumah kita, agar cukup tangguh maghligai bahtera ini, menghadapi ketidak pastian dunia ini. Bukankah telah cukup banyak rumah mungil yang runtuh diterpa angin prahara keangkara-murkaan manusia yang tak tahu diri ini. Bukankah pula banyak rumah mungil, yang justru diisi dengan ornamen durjana, dari manusia yang menajamkan nafsunya setajam pedang.
“Efinta bersihkanlah selalu kaca jendela rumah mungil kita, agar kita bisa memandangi dengan transparan, cakrawala di depan halaman. Sehingga kita tahu persis kemana langkah kaki akan kita ayunkan “. Bulanpun sudah mulai mendekat di raut wajahmu.

“Benarkah engkau pria yang selalu dekat denganku, benarkah itu “ ?. Kala itu bulanpun mulai merajuk, untuk ditembangi dengan nyanyian bunga-bunga wangi. Untuk mengharumi ruang demi ruang di rumah mungil ini.

“Efinta, aku hanya memiliki bagian hati, yang sebagian untuk dengus nafasmu, dan separonya lagi hanya untuk rembulan yang kini sudah menumpahkan keindahaan di kerling senyumu

”Lantas semua ornament rumahpun telah menjadi saksi bisu, ketika dua hati mengucapkan selamat malam pada rumah mungul ini, pada semua kembang pekarangan yang menata rapi. Dua hatipun bergelora di dalam rumah mungil ini, untuk menghabiskan malam panjang bersama rembulan, yang kini telah menjadi miliku,