Jumat, 05 November 2010

Merapiku Mana Senyum Malumu ?

puspa prasasti aji
Merapiku Tak Pernah Hilang

Bila senja, menjelang malam
Engkau terlebih dahulu berselimut kain putih
Membalut dagu dan wajahmu….
Namun aku tetap memincingkan mata,
Dan sekali mengerling
Untuk menautkan pandang mata berbatas
Liuk tubuhmu yang biru
Bagai “Sang Kumbokarno” menanti…
perintah “Sang Rahwana”…
untuk menerjang siapa saja
yang pantas menerima, dengan dengus nafas
yang tajam bagai …
pagutan ular berbisa

Namun tetap saja akan kujinjing
Keranjang berisi wangi bunga
Untuk kutebarkan di atas puncakmu
Engkaupun akan berdandan lebih seronok
Bila telah kau lepaskan lilitan..
Pada kerongkonganmu yang kering
Lantaran tiada lagi tetes hujan…..
Membiramakan dadamu yang longgar
Karena gerigi roda jaman telah…
mengkhiatimu.,,,

Aku akan kembali, Merapiku…..
Engkaulah dara jelita
Meski telah kau pincingkan kelopak matamu
Hingga terlihat merah sorot matamu…
Redupkanlah, dara jelitaku…
Agar angina pagi mampu
Menelisik dan membisikan semua lekuk
tubuhmu ..ke seantero penjuru langit. (Semarang, 6 Nopember 2010)


Kemana Senyum Malumu

Bagai gadis remaja di halte bis
Kala menunggu teman, untuk menuai janji
Penuh mesra, berjalan sepanjang pematang
Yang melintang di tengah permadani kuning kehijauan

Senyum manja adalah kala kau…
Kepakan sayapmu…mengundang langit tak
bergurat taring dan kuku kuku tajam
kala air tawar pelepas dahaga
kau suguhkan pada biji biji ilalang
yang terbawa angin menguliti tubuhmu

Bila engkau tersenyum
Ranum buah pisang, papaya dan jambu
puspa prasasti aji
Tiada lagi berseloroh dengan pupur …
Dengan nafas tersengal
Meski sempat mereka menyodorkan kedua tanganya

Agar engkau menggetarkan bibit
Menjadi senyuman di akhir tahun ini…(Semarang, 6 Nopember 2010)


Jangan Ada Lagi Pilu Hati

Saat kau buka jendela rumahmu
Batuk batuk kecilmu
Sempat terdengar oleh kawanan kenari
Dan bertanya…
Mengapa kau lipat pagiku
Padahal belum usai aku berjemur
Di sepenggalah matahari
Kenariku terbanglah memenuhi langut biru…(Semarang, 6 Nopember 2010)


Aku dan Kau

Jadilah satu…
Agar kita mampu
Bermain di kaki langit
Agar semua bibir
Tidak terkunci rapat
Telah lupakah kau
Pada seutas tali
Yang kita mainkan
Engkau dan aku
Saling memamndang jendela langit

Tetapi dengan
canda…tetap kau
sodorkan
Bukan lagi
Dengan wajah
Saling bersungut sungut
Kau buka lebar lebar
Jemarimu yang memercikan
Air bunga
Bagai air mandi pengantin baru.
Kau tak pernah kulupakan …(Semarang, 6 Nopember 2010)


Jangan Kau Abaikan Merbabu Kasihmu

Saudara kembar menjulang
Bagai payudara sang bidadari
Merbabu hanya diam termenung
Di depan serambi langit
Sedangkan kau
Menebar dahaga
Pada kawanan ilalang

Bukankah lebih baik
Engkau bermain sepanjang hari
Dengan Merbabu
Sang dara jelita
Yang tertunduk malu

(Semarang, 6 Nopember 2010)

Merapi Dan Sebuah Cinta

Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.

Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.

Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.

Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.

Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni. Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.

Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.

Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi, mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.

Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.

“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya menghilang entah kemana “

“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”

“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “

“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”

“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”

“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “

“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “

“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.

Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.

“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung. Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.

“Maya kau di mana ?”

“Anto, aku dalam lubang ini ?’

“Maya!, kau tidak apa-apa ?”

“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidakbisa naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.

“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “

“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.

Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.

***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.

Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini. “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.

Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.
***