Kamis, 12 Januari 2012

Episode Cinta Remaja

Anita si cewek cantik jelita,  saat itu memucat wajahnya, apalagi setelah melihat Bu Anggun melipat wajahnya, yang kini duduk di depanya terbujur dingin. Anita tidak tahu lagi apa yang akan terjadi, bila Bu Guru Anggun yang hitam manis itu tanpa sedikitpun berhias senyum indah seperti biasanya. Hari ini memang bagi Anita kegiatan belajar sedari pagi tadi kelihatan hambar, setelah Bu Anggun sendiri yang menyuruhnya menghadap seusai sekolah berakhir.
“Anita duduklah !, langsung saja to the point tentang  sesuatu yang ingin ibu sampaikan. Anita jawablah ?. Ini ibu yang jadul, nggak tahu “playing love”nya anak muda atau kamu yang harus menuruti nasehat ibu “. Sesuatu yang dibayangkan sebelumnya oleh Anita kini memang menjadi realita, setelah Bu Anggun mencoba menelisik privasinya.  “Mengapa kedekatan aku dan Ryan mengusik hatinya ?, apakah bu guru yang cantik itu cemburu denga aku yang lagi enjoy ?. huuuh, aku cuekin aja. Mama papaku saja tidak melarang aku dekat dengan Ryan , apa urusanya dia marah sama aku “ bisik hati Anita kini menggayuti beranda hatinya.
“Anita, mengapa diam ?.
“Anita tidak mengerti apa yang ibu maksud ?”
“Kamu mau belajar ?, apa mau terus-terusan main dan bolos sekolah !”
“Anita mau sekolah, Anita kemarin-kemarin ijin bu ?. Papa sendiri yang buatkan surat ijin “
“Oh, ya !, betul papamu yang nulis ijin ?. Bukanya Ryan yang nulis surat ini!. Anita akulah mamamu, akulah papamu di sini. Sejak kapan kamu pandai berdusta “
“Tapi, bu…..!”
“OK !!!, Anita seribu alasan pasti akan kamu ajukan ke ibu ?. Karena ibu tahu saat saat seperti kamulah semua akan terasa kecil, resiko apapun akan kamu abaikan. Anita !, ibu harapkan kamu sudah mampu membedakan siapa yang tulus memperhatikan kamu dan tidak. Bu guru sama sekali tidak melarang kamu untuk berpacaran, selama itu menjadi penyemangat untukmu “
“Tapi Ryan hanya teman Anita, tidak lebih dari itu !”. Anita masih menyerpihkan seberkas alasan kepada guru yang selama ini menjadi guru pujaan baginya.
“Inilah yang ibu khawatirkan, Anita !. Kamu tahu maksud ibu ?”
“Tidak bu !”
Anita sekarang tidak lebih dari anak ingusan yang tidak berkutik sama sekali di depan wali kelasnya.  Meski selaksa untaian kata telah dia persiapkan sebelum bertemu Bu Anggun. Namun sentuhan halus guru yang piawai itu telah membuat tenggorokanya terseumbat. Lantas bagaimana nantinya aku akan enjoy dengan Ryan, bila aku tak mampu menghadapi guru ini. Tapi bukankah selama ini Bu Anggunlah yang membimbing aku segalanya ?, berkat sentuhan halus darinya, aku mampu terus-terusan mendapat rangking di sekolah ini.
“Anita ? hargailah ibu jangan kamu diam seribu bahasa. Bu guru tidak pernah berniat menjerumuskan kamu. Meski hati kamu sekarang sedang tidak di hadapan ibu lagi “

“Bu Anggun tidak perlu khawatir pada Anita, Anita sudah dewasa bu !”
“Dewasa ?,  mana Anita yang dewasa !. Persahabatan biasa tidak mungkin membawamu menjadi siswa yang sering ke cafe pada jam sekolah, tidak mungkin menjadikanmu siswa yang malas belajar. Tapi persahabatan itu tidak lebih dari simpatik kamu yang gelap mata pada cowok ganteng seperti Ryan. Inikah yang disebut dewasa ?”
“Anita tidak pernah ke café, bu ?”
“Inilah yang sekali lagi  membuat aku kecewa. Anita ?”
“Sungguh, bu !”
“Demi Ryan kamu berbohong pada ibu ?”
“Tapi Anita sudah gede, bu !”
“Anita !, bu guru tidak pernah menelisik kamu pacaran sama Ryan apa tidak ?. Karena kamu sudah gede seperti katamu. Tapi yang ibu harapkan, kehadiran Ryan dihatimu justru menambah spirit kamu untuk meraih prestasi. Bukan malah menjadi cewek badung seperti sekarang ini“
Seberkas titik air kini mulai membasahi kelopak mata Anita, yang sebenarnya tahu persis bahwa selama ini dia di depan guru sekaligus figur penyejuknya itu dia berbohong. Mengapa Bu Anggun selama ini tahu persis tentang dirinya dan Ryan.
“Anita sayang ?, Bu Anggun sudah sering kali menjumpai kasus seperti ini. Tapi Bu Anggun tidak pernah melarang siapa saja untuk pacaran. Bu Anggunpun pernah muda dan pernah juga bepacaran. Tapi yang ibu selalu hindari adalah perasaan yang lebai, yang hanyut dengan romantisma picisan, yang justru akan menenggelamkan kamu ke dalam lumpur yang dalam. Itulah yang bisa ibu berikan pada kamu, Anita !”
Goresan goresan kecil yang ada di libuk hati Anita, yang semula menimbulkan kegalauan kini mulai tertepis karena sentuhan nalar Anita. Hatinya semula terpingit oleh Ryan yang tampil seperti actor Tom Cruise, dengan janji janji wangi bunga yang tumbuh di taman hatinya. Namun bukan berarti dia harus menghempaskan Ryan yang mencuri separo hatinya. Tapi justru dia harus mampu menyejukan cowok badung itu yang melekang diterpa eksotis jaman.
“Sudahlah, Anita !, maafin ibu ya !. Semua yang ibu katakan sama kamu semata semata permintaan mama kamu yang sayang sama kamu. Selebihnya terserah kamu saja “
“Maafin ya bu, Anita tadi berbohong !”
“Sudahlah, Bu Anggun tidak menyalahkan kamu. Asal kamu mau berjanji pada ibu “
“Janji apa Bu ?”
“Anita !, jangan kamu yang tersihir rayuan Ryan. Tapi justru kamulah yang harus mampu membuat Ryan menjadi anak baik. Perlu kamu ketahui, Anita !. Apabila Ryan masih sering membolos, maka terpaksa sekolah akan mengeluarkan dia dan ibu harap kamulah sang dewi penolong bagi Ryan, sanggup ?”
Anita hanya mengganggukan kepala dan segera berlalu.
Mata yang berkaca kini mulai menampakan menggambar hati insane remaja itu, pertanda di hatinya mulai tumbuh semi yang bakal mengokohkan hatinya demi Ryan, demi cintanya, demi maminya dan Bu Anggun serta demi segalanya.
***
Sebuah sedan biru sendu metalik  kini menderukan mesinya menggilas genangan air di jalan aspal sisa hujan semalam. Mobil keluar meninggalkan halaman sekolah di tengah hari dan mobil itu seakan sedang berbagi rasa dengan seseorang yang duduk di belakang kemudinya, untuk sebuah niatan tulus demi Sang Dewi Amour. Sementara terlihat cewek remaja itu sibuk merogoh kantong bajunya untuk mendapatkan Hpnya yang berdering lembut.
“Anita !, aku mau jumpa kamu sebentar saja. Tadi ngapain kami dipanggil Bu Anggun “
“Ah..nanti saja kita jumpa, aku capek, aku mau jumpa mamiku dulu, besok besok saja kita ketemu !”
“Anita, nanti dulu..”
“Dah Yan, bye bye…klik”. Anita segera mematikan Hpnya dan menaruhnya di Dashboard mobilnya.Sementara dari HiFi stereo mobilnya bergema lagu jadul Elvis Presley “Are You Lonesome To Night “. Anita kini tertikam udara musim hujan yang dingin dan semilir untuk beristirahat tidur siang di rumahnya.
***
“Aku tidak mau lagi nongkrong di café sama kamu lagi Yan !. Aku malu ditegur Bu Anggun dan mami sekarang demam setelah tahu aku sering bolos sekolah”, pinta Anita seusai sekolah di siang hari.
“Tapi, kapan kita bisa bebas jumpa kamu !”
“Kita bukan anak kecil lagi !,  simpan saja egomu yang kaya anak ABG saja !. Aku nggak mau seperti itu lagi. Yan kamu sudah diancam guru guru, kamu harus rajin masuk karena sebentar lagi UN “ sekali lagi pinta Anita disodorkan pada Si Ganteng itu.
“Ah, masa bodo Anita, aku ya seperti ini. Kamu nggak usah ngatur aku piss !”
“Ya sudah!, Cuma kamu harus tahu Yan !, kalau kamu mencintai seseorang kamupun harus bisa berbagi perhatian dengan lainnya, kamu hanya bisa mencintai egomu saja . Itulah permintaanku pada kamu. Yan aku pulang saja, mami sudah menungguku di rumah “
“Eh Anita, tunggu dulu !”
“Aku harus menunggu apa lagi “
“Aku tadi Cuma ngomong nggak serius !”
“Kamu masih suka saja sama egomu itu !”
“Nanti dulu Anita, OK, OK, ya aku janji . Aku pengin bareng pulang sama kamu. Aku pengin njenguk mamimu. Aku mau minta maaf sama mami kamu, papi kamu dan kamu,     sayang !”
“Sungguh Yan !, aku sungguh sungguh ! “
“Ya, sayang !”
Daun daun palma di depan sekolah kembali bereksotis ditiup angin musim hujan. Gerimis mulai membasahi bumi, sebasah hati Ryan yang mulai lapng dan sejuk ***

Episode untuk Orang Orang Kecil


Masih Ada Waktu

Jarum  waktu  menerkamkan  bara membakar semua yang kumiliki
untuk  di pinang  pada kantong bajunya, akupun enggan menjadi mempelainya,
meski bintang gemintang telah aku buru,
menyelinap di tengan kelambu langit,
namun birunya  telah menyapaku gelisah.
Akupun masih dalam jingganya apa yang kau cibirkan.

Aku berniat berkawan  awan…..
Melepas lepuh tubuh, dengan kawanan “merpati” bertatap elok
Membangunkan gelisah sang palma di hujat jaman
Biarkan semai bulir padi, tetap digenggamanku
Untuk sesuap sarapan pagi kita,  menantang jaman
bersama istriku, “Sang Rembulan”
Meski kita berdua tak memiliki rajutan kain sutera esok pagi
Namun air Toba tetap menjadi penyejuk

Agar pematang di sawah tidak bercampur dengan noda busuk
Seperti yang dijinjing punggawa negeri,  menebar sembilu
hingga “perih dan pedih” menyelingkui Ibu Pertiwi.
Aku orang kecil, menebas halimun “Solar Flare”  tak mampu,
Apalagi larut dalam tepuk riuh dendang “Sang Koruptor”

Mari kita hiasi tepi jarum waktu
Dengan seloroh yang lebih renyah, hingga waktu dapat kita pungut
Taringnya yang tajam tidak mengoyak jantung kita
Sehingga tidak terlepas ikatan tentang sebuah Negeri Bidadari
Yang bersemayam di beranda Toraja, dan menebar wangi bunga
diantara Serambi dan Puncak Jaya Wijaya

(Semarang, 13 Januari 2012).

Aku Bukan Malin Kundang

Bila Sang Ibu bersedih,
Biar air matanya kesedu dalam peluh
hingga hilang penat tubuhku
aku tetap menjagamu

Bila Sang Ibu mengerlingkan mata
Seribu makna akan aku buru
hingga ke ujung langit
akupun tetap dalam cumbu rayu

Bila Sang Ibu berduka
Akupun menebas langit, mencari selendang
bidadari, agar  engkau terlelap dalam negeri gubug bambu
akupun menunggu pagi

Bila Sang Ibu menjenguk langit
Hingga badai di beranda rumahku
Akupun tersungkur dalam doa
Pada Sang Segalanya di atap langit
Agar Ibu menjenguku lagi.

(Semarang, 13 Januari 2012).

Surat untuk Negriku

 Matahari telah lama dalam canda
di pelataran Bukit Barisan, untuk bercumbu
dalam riang pesta teh hangat
yang disidorkan di atas nampan Negri Seribu Dongeng.
Bertiup semilir angin dari celah Pegunungan Kidul

Nyanyian burung pagi hari
Menjadi  hidangan wajah bergincu syahdu
Yang tak pernah terlewatkan dewa dewa di “Indrakila”
Karena darinya,  negeri ini terbujur dalam bentangan
Akupun terkungkung,  dalam taman bunga
Yang tak lelah menjulurkan kelopaknya

Hingga dalam episode orang kecilpun
Mereka masih memingit mega-megamu
Berjaga di pagar bambu  halaman rumahmu