puspa prasasti aji |
Avda segera menghamburkan diri ke
beranda rumah, kala kelebat tubuh Rahas terlihat di pintu gerbang halaman
rumahnya. Avda mengulurkan ke dua tangan, sedangkan Rahas hanya memperepat
langkahnya sembari melempar senyum. Perjumpaan ini mirip dua orang “Knight dari
Skandinavia” yang bertahun tidak berjumpa dalam kancah pperangan melawan Romawi.
Bagi Rehas selama empat tahun tidak
pernah bisa jumpa dengan beberapa sokib kentalnya sejak SMP, memang membuatnya
dia ngebet ingin jumpa hari ini, di tengah libur panjangnya.
“Rehas, kita jumpa lagi, sehatkan
?” kalimat pertama Avda yang lepas berderai tawa memenuhi beranda rumahnya yang hanya berlantai semen.
“Avda !, aku nggak sangka kamu
mau datang !. Rasanya baru kemarin kita pisah !”
Mereka berdua merasakan
kehangatan yang renyah, akrab tetapi fresh meski udara di luar terasa dingin
akibat gerimis yang mengguyur awal Januari tahun ini. Rehas masih menampakan sebuah
duka yang menyerpih di dinding kalbunya meski dia sudah meninggalkan kota
lamanya empat tahun silam, sebuah duka tentang pertemuanya dengan Elga dan
sebuah perpisahan yang menyakitkan.
“Bangkitlah Rehas !, mendung
tidak selamanya membawa hujan !” sebuah advis sejuk datang dari Avda.
“Apa maksudmu ?”
“ Tidak selamnya apa yang kamu
duga akan menjadi kenyataan “
“Aku masih belum tahu, cobalah
kamu lebih detil saja “
“Ah...kamu kan udah mahasiswa
tahun ini, masa nggak tahu sih Has !”
Avda meneguk bebarapa tegukan
kopi hangat, sedangkan tak satupun makanan yang belum masuk ke rongga perut Rehas. Avdapun tahu sebuah kegalauan kini
menyelimuti hati sokib dekatnya itu yang datang dari Medan demi apoinmen
mereka, atau demi Elga yang rencananya juga mau ngikut bareng ngumpul.
“Has, kamu coba dong lebih dewasa
sehingga bisa memberikan Elga sebuah alasan tentang empat tahun yang lalu. Dia
juga sering nanyain kabar kamu kok ! “
“Emang itulah yang akan aku
lakukan, moga-moga sore ini aku mampu menjadi The Braveman untuk sebuah
penjelasan “. Sendu di wajah Rehas sudah mulai tertepiskan.
“Mengapa tidak kau lakukan di
awal awal saja ?”
“Itupun aku menyesal, yah kita
saat itukan masih remaja yang belum dewasa. Perpisahaku dengan Elga hanya
menimbulkan emosi di hatiku. Aku benci bila melihat Elga. Namun kebencian itu
lama-lama meluruh, meninggalkan kesan pada Elga dari sisi lain “ . Rehas kini
mulai membasahi tenggorokanya dengan softdrink
yang ada di depanya.
“Sisi yang mana ?”
“Ternyata dia lebih dewasa lagi
sekarang, apalagi setelah lulus SMA. Aku
bisa menebaknya, dia jauh lebih dewasa dari umurnya. Betulkan kan , Avda ?”
“Betul Has !,sayang kita berpisah
lama. Seandainya kamu masih gabung bareng denganku. Tentunya akan aku ceritakan
semua tentang Elga “
“Kamu dekat dengan, Elga ?” Rehat mulai mencoba menelisik tentang Elga.
“Kebetulan dia kuliah bareng aku,
Sehingga dia hampir tiap hari ketemu aku “
“Mengapa kamu nggak crita sama
aku ?”
“Orang kamu aja baru sms met
tahun baru kemarin, gimana aku tahu posisi dan no hap kamu “
“Banyak yang pdkt sama dia, Avda
?”
puspa prasasti aji |
Rehas hanya diam membisu.
***
Avda, meski bukan anak seorang
gedongan, tapi memiliki karakter yang santun, halus, peduli dan ringan tangan
menolong siapapun. Oleh karena itu banyak sekali sokib-sokibnya yang seneng
berada di dekatnya, meski belum satupun cewek mahasiswi yang mampu menjadi
penambat hatinya. Karena bagi Avda “cinta” bukan selembar hasrat yang harus
ditautkan dalam wujud pacaran. Avda hanya mengenal cinta dalam wujud memberikan
kebaikan dengan lainnya. Maka bila dia mengantar pulang Elga, Shanty, Elvi dan seabreg cewek lainnya, dengan sepeda
motor bututnya, itulah cinta menurutnya.
Maka kala dia memberikan
selorohnya untuk mengumpulkan semua sokibnya di rumahnya yang sederhana,semua
sokibnyapun menyambutnya. Mereka kin tidak membuhkan temu bareng di hotel
berbintang, atau di pub, restoran dan lain sebagainya. Tetapi meski hanya rumah
sederhana di batas kota mereka semua dengan ringan menyetujui kumpul bareng
itu.
Rehas belum mampu melepas semua
candanya pada semua teman-teman Avda yang sudah mulai gabung dengan duduk di
atas tikar, sambil memusari hidangan pecel lele dan nasi hangat serta sambal
yang pedas. Tidak ketinggalah daun kemangi dan irisan mentimun juga ikut
menambah menu tahun baru yang sederhana.
“Avda !, kita bikin heboh aja
kumpul bareng ini !” pinta Kayla.
“OK !, aku yang bawa gitar, siapa
yang mau nyanyi !. Kayla please ?”
“Aku nggak bisa nyanyi, aku bacakan puisi saja ya !, kebetulan aku
bawa dari rumah,setuju !”
“Setujuuuuuu....!!!!!”
Semua kebisuan tadi kini menjadi
cair, saat Kayla membacakan puisi karya dia sendiri :
Puisi
Tentang Tahun Baru
Bukankah aku
telah simak
dengan seluruh
nadi darahku
agar tetap mengalirkan semua
yang kau pinta
lantaran telah
hilang lakon hidup
episoda demi
episoda
kini haripun bertabuh genderang tahun baru
biarlah aku
hadirkan lagi
bahasa tubuhku
yang lama terbang
merengkuh awan
biarkan pula
langit memberikan senyumnya
asalkan kita
sewarna merah, biru
dan jingganya
tahun baru.
Saat
ini tak mau aku menanti
datangnya mentari
Lantaran telah aku basuh wajah dengan senyum
bidadariku
Yang telah memberikan aku
secawa air pelepas
dahaga
Biarlah
semua tergambar jelas
Akan aku dapatkan
lagi
Biru langit
bertepi ormanen
warna jingga
Sementara
engkaupun masih menawarkan lagi
Sebilah hatimu
yang telah meranum
bahagia
Kayla, 4 Januari 2012.
Rehas dan
Elga tak sengaja saling bertatap mata, Rehas mengawali dengan seberkas senyum
gantengnya. Elgapun mambalasnya dengan sebuah bisik hati , “Rehas bila biru
rindumu memberkas katakan saja, akan aku terima dengan kedua tanganku “
Rumah Avda yang berdinding setengah papan itu menjadi saksi pertemuan
mereka berdua***