Minggu, 25 Desember 2011

Biru Rindumu


puspa prasasti aji
Rehas datang ke acara kumpul bareng sokib-sokib gaulnya di rumah Avda pada sore hari sesuai apoinmen mereka lewat Hp.  Bukan siapa-siapa yang terselip di hatinya kala dia berambisi untuk gabung di rumah Avda, di awal tahun baru ini, bukan pula secangkirkopi dan sekerat roti yang dia buru.   Tapi kata hati, yang terus memberontak menusuk rongga dada, jantung dan urat nadinya.
Avda segera menghamburkan diri ke beranda rumah, kala kelebat tubuh Rahas terlihat di pintu gerbang halaman rumahnya. Avda mengulurkan ke dua tangan, sedangkan Rahas hanya memperepat langkahnya sembari melempar senyum. Perjumpaan ini mirip dua orang “Knight dari Skandinavia” yang bertahun tidak berjumpa dalam kancah pperangan melawan Romawi.  Bagi Rehas selama empat tahun tidak pernah bisa jumpa dengan beberapa sokib kentalnya sejak SMP, memang membuatnya dia ngebet ingin jumpa hari ini, di tengah libur panjangnya. 
“Rehas, kita jumpa lagi, sehatkan ?” kalimat pertama Avda yang lepas berderai tawa memenuhi beranda rumahnya  yang hanya berlantai semen.
“Avda !, aku nggak sangka kamu mau datang !. Rasanya baru kemarin kita pisah !”
Mereka berdua merasakan kehangatan yang renyah, akrab tetapi fresh meski udara di luar terasa dingin akibat gerimis yang mengguyur awal Januari tahun ini. Rehas masih menampakan sebuah duka yang menyerpih di dinding kalbunya meski dia sudah meninggalkan kota lamanya empat tahun silam, sebuah duka tentang pertemuanya dengan Elga dan sebuah perpisahan yang menyakitkan.
“Bangkitlah Rehas !, mendung tidak selamanya membawa hujan !” sebuah advis sejuk datang dari Avda.
“Apa maksudmu ?”
“ Tidak selamnya apa yang kamu duga akan menjadi kenyataan “
“Aku masih belum tahu, cobalah kamu lebih detil saja “
“Ah...kamu kan udah mahasiswa tahun ini, masa nggak tahu sih Has !”
Avda meneguk bebarapa tegukan kopi hangat, sedangkan tak satupun makanan yang belum masuk ke rongga perut Rehas.  Avdapun tahu sebuah kegalauan kini menyelimuti hati sokib dekatnya itu yang datang dari Medan demi apoinmen mereka, atau demi Elga yang rencananya juga mau ngikut  bareng ngumpul.
“Has, kamu coba dong lebih dewasa sehingga bisa memberikan Elga sebuah alasan tentang empat tahun yang lalu. Dia juga sering nanyain kabar kamu kok ! “
“Emang itulah yang akan aku lakukan, moga-moga sore ini aku mampu menjadi The Braveman untuk sebuah penjelasan “. Sendu di wajah Rehas sudah mulai tertepiskan.
“Mengapa tidak kau lakukan di awal awal saja ?”
“Itupun aku menyesal, yah kita saat itukan masih remaja yang belum dewasa. Perpisahaku dengan Elga hanya menimbulkan emosi di hatiku. Aku benci bila melihat Elga. Namun kebencian itu lama-lama meluruh, meninggalkan kesan pada Elga dari sisi lain “ . Rehas kini mulai membasahi tenggorokanya dengan softdrink yang ada di depanya.
“Sisi yang mana ?”
“Ternyata dia lebih dewasa lagi sekarang, apalagi  setelah lulus SMA. Aku bisa menebaknya, dia jauh lebih dewasa dari umurnya. Betulkan kan , Avda ?”
“Betul Has !,sayang kita berpisah lama. Seandainya kamu masih gabung bareng denganku. Tentunya akan aku ceritakan semua tentang Elga “
“Kamu dekat dengan, Elga ?”  Rehat mulai mencoba menelisik tentang Elga.
“Kebetulan dia kuliah bareng aku, Sehingga dia hampir tiap hari ketemu aku “
“Mengapa kamu nggak crita sama aku ?”
“Orang kamu aja baru sms met tahun baru kemarin, gimana aku tahu posisi dan no hap kamu “
“Banyak yang pdkt sama dia, Avda ?”
puspa prasasti aji
“Dia menjadi bunga kampus, apalagi dengan sikapnya yang dewasa. Dia juga dinilai banyak teman-teman sebagai wanita flamboyan. Aku sarankan kamu pdkt lagi dengan kiat yang santun, halus selembut sutra !”.
Rehas hanya diam membisu.
***
Avda, meski bukan anak seorang gedongan, tapi memiliki karakter yang santun, halus, peduli dan ringan tangan menolong siapapun. Oleh karena itu banyak sekali sokib-sokibnya yang seneng berada di dekatnya, meski belum satupun cewek mahasiswi yang mampu menjadi penambat hatinya. Karena bagi Avda “cinta” bukan selembar hasrat yang harus ditautkan dalam wujud pacaran. Avda hanya mengenal cinta dalam wujud memberikan kebaikan dengan lainnya. Maka bila dia mengantar pulang Elga, Shanty,  Elvi dan seabreg cewek lainnya, dengan sepeda motor bututnya, itulah cinta menurutnya.
Maka kala dia memberikan selorohnya untuk mengumpulkan semua sokibnya di rumahnya yang sederhana,semua sokibnyapun menyambutnya. Mereka kin tidak membuhkan temu bareng di hotel berbintang, atau di pub, restoran dan lain sebagainya. Tetapi meski hanya rumah sederhana di batas kota mereka semua dengan ringan menyetujui kumpul bareng itu.
Rehas belum mampu melepas semua candanya pada semua teman-teman Avda yang sudah mulai gabung dengan duduk di atas tikar, sambil memusari hidangan pecel lele dan nasi hangat serta sambal yang pedas. Tidak ketinggalah daun kemangi dan irisan mentimun juga ikut menambah menu tahun baru yang sederhana.
“Avda !, kita bikin heboh aja kumpul bareng ini !” pinta Kayla.
“OK !, aku yang bawa gitar, siapa yang mau nyanyi !. Kayla please ?”
“Aku nggak bisa nyanyi,  aku bacakan puisi saja ya !, kebetulan aku bawa dari rumah,setuju !”
“Setujuuuuuu....!!!!!”
Semua kebisuan tadi kini menjadi cair, saat Kayla membacakan puisi karya dia sendiri :
Puisi Tentang Tahun Baru
Bukankah  aku  telah  simak
dengan seluruh nadi  darahku
agar  tetap mengalirkan  semua  yang  kau  pinta
lantaran  telah  hilang  lakon hidup

episoda  demi  episoda
kini  haripun bertabuh  genderang tahun  baru
biarlah  aku  hadirkan  lagi
bahasa  tubuhku  yang  lama  terbang
merengkuh  awan
biarkan  pula  langit  memberikan  senyumnya
asalkan  kita  sewarna  merah,  biru  dan  jingganya
tahun baru.

Saat  ini  tak  mau  aku  menanti  datangnya  mentari
 Lantaran telah aku basuh wajah dengan  senyum  bidadariku
 Yang telah memberikan  aku  secawa  air  pelepas  dahaga
 Biarlah  semua  tergambar jelas 
 
Akan aku   dapatkan  lagi
 Biru langit  bertepi   ormanen  warna  jingga
 Sementara  engkaupun masih menawarkan  lagi
 Sebilah hatimu  yang  telah  meranum  bahagia
  
Kayla, 4 Januari 2012.
 Rehas dan Elga tak sengaja saling bertatap mata, Rehas mengawali dengan seberkas senyum gantengnya. Elgapun mambalasnya dengan sebuah bisik hati , “Rehas bila biru rindumu memberkas katakan saja, akan aku terima dengan kedua tanganku “
Rumah Avda yang berdinding setengah papan itu menjadi saksi pertemuan mereka berdua***