Jumat, 10 Desember 2010

"The Endess Love" Di Malam Tahun Baru

Terompet kertas dengan leher angsa pendek dan panjang dengan vatiasi warna yang kontras dijajakan sepanjang tepi jalan Malioboro, Jogja. Meski malam tahun baru kali ini masih kurang empat hari lagi. Lampu lampu jalan dengan pilar berarsitektur mataraman kini juga ikut berdandan eksotis, meski bekas debu debu Merapi sempat membuat warna pilarnya mengusam. Namun Jalan Malioboro tidak pernah sekalipun memperdulikan itu, dia lebih menyodorkan daya tarik pesta akhir tahun menyambut datangnya tahun baru. Malioboro laksana gadis yang sedang menyemai gairah cinta untuk kekasih hatinya yang bakal menjumpainya di malam tahun baru.

Dengan beralas sepatu cat dan berkaos kaki tebal warna coklat muda, Michel menapaki trotoar Malioboro pada malam hari ini. Meski dia harus meliak-liukan tubuhnya kesana kemari untuk menghindar benturan dengan meja pajangan souvenir khas Malioboro, namun semua tak mampu mencabut kepiluan yang sudah tertanam jauh di sumsum tulangnya.

puspa prasasti aji
“Selamat bahagia, Leila. Meski suatu pihan yang berat bagiku. Namun salah satu dari kita harus berani berkorban” Tangan Leila dipegangnya dengan erat, di tengah wajah Leila yang hanya mampu mengguratkan kebimbangan. Pertemuan mereka berdua memang terjadi di malam tahun baru 5 tahun lalu di Rotterdam Café di Malioboro. Sementara gerimis terus saja menyelimuti hati mereka berdua yang sedang tertusuk kepiluan. Namun anehnya hasrat cinta mereka berdua dan remaja remaja lainya yang memenuhi malam tahun baru kala itu, berhasil menghangatkan atmosfer malioboro.

Michel sengaja menapakan kakinya ke salah satu meja tempat 5 malam tahun baru yang lalu menjadi saksi pilu perpisahannya dengan Leila. Meja itu belum berpindah posisi meski lima tahun sudah ia tinggalkan. Belum pernah sekalipun dia menapakan kedua kakinya di Rotterdam Café ini, apalagi meja yang sanggup menghadirkan bayang Leila itu. Apalagi ornemen restoran itu sekarang berubah jauh dengan 5 tahun lalu, sekarang dipenuhi ornament dengan gaya western coboy, ditengah hangar bingar music country slowrock tempo dulu. Tak pelak lagi lagu The Green Green Grass, Boulevard terngiang ditelinganya.

Malam terus dengan egonya merambat menyambut saat saat pergantian tahun, udarapun terus bertambah menggigit tulang sumsum karena gerimis terus saja menawarkan siapa saja un tuk mencari kehangatan. Sebagian pengunjung café itu merasakan malam menjadi bertambah hangat dengan cumbu rayu dan buaian asmara dengan sang pujaan hati mereka. Hanya Michel saja yang terus merasakan jantung dan hatinya yang lepas dari rongga dadanya, kini sebuah lagu dari Elvys Presley “Are You Lone Some To Me” serasa berhasil menghadirkan Leila di sampingnya. Namun sebuah belaian tangan halus kini terasa menyentuh pundaknya, diapun menoleh kearah belakang dan sebuah senyum merayu dari seortang wanita penghibur café diberikan padanya.

“Maaf menganggu !, daripada melamun, kita nikmati saja malam tahun baru ini dengan dance !. Supaya malam ini terasa hangat. OK !” tangan halus wanita penghibur itu telah menarik pergelangan tangan kanan Mikhel.
2
“Oh, terimakasih. Aku lebih suka duduk saja disini sambil menikmati lagu jadul barat yang romantis”
“Kalau begitu boleh aku duduk menemani Mas malam ini”
“Oh tentu saja, silakan”. Mikhelpun menarik kursi yang ada disebelahnya agar sang wanita penghibur itu dapat leluasa duduk di sebelahnya.
“Terimakasih, sebaiknya kita ngobrol tentang apa Mas?. Atau Mas mau request lagu biar aku dampingi !”
“Trimakasih, panggil aku Mikhel saja, mau minum apa Mba ?”
“Sama dong !, kalau sama aku panggil saja Lisa, ah aku ngikut saja kamu mau minum apa”
Mikhel melewati malam saat saat menjelang berganti tahun dengan sejenak melepas kenangan terhadap Leila, meski Lisa hanya teman ngobrol saja, tapi karena dia gaul dan familiar terhadapnya, namun setidak tidaknya dia mampu menghibur hatinya yang terpagut sepi yang tiada henti dari tahun ke tahun. Apalagi sosok Lisa mirip dengan Leila, terbesit dalam benak Mikhel apa Leila kini menjelma menja di Lisa. Namun angan itu tertepis kala dia DJ Rotterdam Café mulai menyodorkan lagu lagu West Country yang lebih rancak.

“Mikhel, kamu kan suka nyanyi, ayo dong request lagu seperti beberapa waktu dulu !” sepotong kalimat terlepas begitu saja dari mulut Lisa, namun sanggup merontokan jantung dan hati Mikhel. Lantaran meski hanya sebuah pertanyaan, namun dia kini bukan berada di pub itu, angan dia menjadi melangkah surut kembali, kala dia dan Leila menyanyikan lagu “The Endless Love” di malam tyahun baru 5 tahun lalu. Mikhel kini berusaha meniti kembali kenangan itu, setidak tidaknya dari pertanyaan yang dilontarkan Lisa.
“Sorry Lis, mengapa kamu tahu aku dengan Leila request lagu disini dulu”
“Oh sorry, Mikhel. Kebetulan aku masih ingat saat kamu sama cewekmu menyanyikan lagu… ah.. aku sendiri lupa judulnya. Sorry Mikhel aku nggak control kata kataku?”
“Aku nggak tersinggung, Cuma memang kenangan itu begitu dalam bagi aku. Aku tidak menyangka kalau setelah Leila menyanyikan lagu itu, dia meminta suatu perpisahan. Karena suatu sebab dia harus married dengan dosen pembimbing skripsinya. Kini dia di mana aku tidak pernah tahu, aku sengaja ke pub ini hanya sekedar mengenang Leila kembali di tengah kesepian yang menyelimuti hatiku ini. Boleh aku tanya, mengapa kamu ingat kejadian itu”
“Saat Mbak Raras masih kerja disini dia sering cerita tentang kamu berdua”
3
“Siapa Mbak Raras ?”
“Dia teman Leila waktu di SMA dulu, Tapi kini dia tidak kerja disini lagi. Leila dulu sering main ke sini bertemu Mbak Raras, bahkan dia dulu sering menerima telepon dari Leila”
“Maaf Lisa, bukan aku sok seperti detektif swasta, tapi aku memang butuh kabar tentang Leila, meski hanya sebuah kabar saja aku sudah senang. Apa yang dikatakan Mba Raras tentang Leila sebelum dia pindah kerja”
“Leila minta doa dari Mbak Raras dan mohon maaf bila dia banyak bersalah dengan Mbak Raras”
“Ada apa dengan Leila ?” desak Mikhel pada Lisa, yang merasakan sesuatu layaknya dia menerima beban berat yang menindih semua rongga dadanya, jantungnya berdegu keras, serasa putaran nadi darahnya menjadi melonjak tak karuan.
“Maaf Mikhel, persisnya aku nggak tahu. Hanya Mbak Raras pernah cerita sama aku, kalau Leila mengidap penyakit kanker darah!”
“Kanker darah?, oh Leila di mana kamu sekarang ?”
“Maafkan aku Mikhel, aku membuatmu sedih ?”
“Tak apa Lisa, aku memang sengaja ingin menggali kenangan lama sebelum aku mencari pengganti Leila, aku tak ungkin terus memburu bayang Leila. Sedangkan aku putra tunggal. Mama papiku mendesaku untuk married secepatnya. Teruskan Lisa kabar apa lagi tentang Leila yang kamu tahu ?”
“Menjelang kepindahan Mbak Raras dari pub ini, dia sama sekali tidak lagi bicara masalah Leila. Namun dia suka bersedih bila ingat nasib Leila”
“Leila…Mengapa ?”
“Aku nggak tahu lagi, Mikhel ?, hanya kata Mba Raras dia masih menyimpan surat surat Leila di kamarnya”
“Terus sekarang suratnya di mana ?, apa sudah hilang ?. Tolonglah Lisa !, antarkan aku untuk bisa bertemu dengan Mbak Raras” untuk sekian kali, Mikhel mendesak Lisa untuk terus memburu bayang Leila, yang entah kemana setelah terhempas angin kembara yang tak pasti bertaut pada apapun.
“Kebetulan kamar Mba Raras sekarang aku tempati, dan surat surat itu masih ada !”
“Tunggu apa lagi, Lisa !. Sekarang juga antar aku ke kamarmu”
4
Mereka berdua kini melewati pintu bagian belakang pub itu, sesuatu dirasakan aneh oleh Mikhel saat Lisa merapatkan tubuhnya lebih rapat sambil menggandeng tangan Mikhel untuk berjalan melewati Malioboro menuju kamar Lisa, yang ternyata sebuah hotel berbintang. Berdesir sekali lagi perasaan aneh pada Mikhel, namun karena bayang Leila begitu kuatnya maka sementara itu keganjilan pada Lisa dia tepiskan.
“Inilah kamarku sekarang, Mikhel !”
puspa prasasti aji
“Oh sungguh bagus kamarmu. Lisa. Tapi mana surat itu, Lisa ?’
“Sabarlah dulu Mikhel sayang !, nanti aku berikan surat itu!”. Lisa segera merangkulkan kedua tanganya ke leher Mikhel, untuk mencium laki laki ganteng itu. Dengan penuh perasaan Lisa mencium berkali kali semua yang Mikhel miliki.
“Lisa, apaan sih, kamu mau menipuku ?”
“Lisa ?, Mikhel tidak ada yang bernama Lisa di sini ?”
“Jangan coba kamu menipuku Lisa ?”
Lisa segera melepas rambut wignya yang berwarna pirang dan melepas kaca mata bulat telurnya. Rambutnya yang hitam kini dia biarkan terurai sebatas bahunya. Mikhel merasakan langit yang ditunggu selama lima tahun kini runtuh sembari menaburkan bunga asmara pada mereka berdua.
“Leila…kaulah Leila…mengapa ?”
“Kenapa, ada yang salah tentangku ?. Kalau Tuhan menggariskan kita memang harus bersatu lagi, Kenapa tidak, kau masih mau menerimaku lagi ?”
Mikhel masih terpaku di sofa berwarna merah muda di kamar hotel itu, malam ini dia merasakan ketidak percayaan yang besar sekali, mengapa kenyataan ini begitu gampang terjadi di balik penantianya yang begitu lama.
“Mikhel, aku tidak menyalahkan kamu, rasa tidak percaya pasti menyelimutimu. Hanya saja aku perlu berpura pura menjadi Lisa untuk mengetahui apa kamu masih menginginkan kehadiranku, setelah aku membuatmu kecewa lima tahun yang lalu. Maafkan aku Mikhel ?, kalau aku langsung mengaku Leila, aku takut menimbulkan sakit hatimu ?. Maafkan ya sayang ?”.Kini giliran Mikhel yang sudah mampu menerima kenyataan, kemudian melepas kerinduan itu dengan peluk dan cium mesra untuk bunga sorga yang lama meninggalkanya.
“Aku punya permintaan sayang, ?”
“Katakan, saja ?”
“Kita nyanyi bersama “Endless Love” seperti lima tahun lalu?”
“Why not “
***
Pondok Sastra HASTI Semarang, 2010

Rabu, 01 Desember 2010

Aku, Kasihku Dan Waktuku

Jangan kau enggan lagi, kasihku…..
Untuk meniti apa yang kita punya, untuk membentangkan
Kata hati hingga menawan “Puncak Mount Everest”
Yang menangis pilu dan menyembunyikan wajahnya di ketiakmu….
Walau malam yang kau lewati mengutukmu sekeras hati.
Meski juga belum kau miliki hari hari beruntungmu
Dengan segelas air susu segar, penumbuh harap
Atau rumah pengantin beratap daun pandan
Dan berlantai keharuman…….
Dengan halaman luas bertanam bunga Anyelir

Bila sang waktu telah menyelinap di kantong bajumu
Embun pagipun mampu melonggarkan nafasmu
Kita mampu menyiangi sawah sawah berpagar lamtoro, daun milik
lenguh sapi, kambing dan domba milik kita, yang melingkungimu di pusaran.....
hari tanpa buruk sangka, sumpah serapan, gegap gempita
Bahasa hati yang serakah dan melekang tanpa bermandi…….
Gemercik air di tengah sawah kita.

Bila waktu kita telah tiba.
Tiada lagi wereng coklat atau wedus gembel, yang mengguratimu
Dengan lara hati…
Bila juga telah sirna panorama padang belantara
Dengan segudang panorama tanaman berduri…
Aku hanya mampu menyisipkan hati
Pada kesegaran air tawar dan sejuk dari telaga
Yang membentang di balik langit

Bila waktu kita tiba, kekasihku…..
Kita dirikan saja rumah bambu, yang berornamen Suralaya…..
Dari jendelanya kita mampu memandang “hati hati bersenyum kebon bunga”
Bukan hati hati layaknya singa lapar
Yang mampu mengoyak tabir zaman yang rapuh,
Biarlah anak anak kita mampu menepisnya
Dan bermain sesuka hati di beranda
“Awang Awang Semilir” yang bertangga “Amarta, Widarakandang, Jodipati
Rose Wiki 2010
Karang Kedempel” dan jargon para ksatria.

Bukan di beranda penuh kambing menjulurkan lidahnya
Karena ringkih termakan nafsu hedonism, suka memfitnah
Dan menganyam keranjang perseteruan
Kekasihku,….kita adalah anak bangsa yang…
Memiliki bilah hati,

(Semarang, 2 Desember 2020, Pondok Sastra HASTI Semarang).

Senin, 22 November 2010

Samepoint Social Conversation Search Ir. BAMBANG SUKMADJI | Discussion Points

Samepoint Social Conversation Search Ir. BAMBANG SUKMADJI | Discussion Points: "- Sent using Google Toolbar"

Ir Bambang Sukmadji | Mother Guides

Ir Bambang Sukmadji | Mother Guides: "- Sent using Google Toolbar"

Sebuah Sunyi Yang Penuh Makna

puspa prasasti aji
Saat Uttara yana menghembuskan angin berita…….
Tentang rumput hijau yang tiba tiba saja mongering.
Semua kawanan burung memekik tidak percaya
Seorang penggembala kerbau menyelinap ke pangkuan ibunya, seraya berkata:

“ Ibu seandainya, Sang Resi telah bersemayam di balik Mahameru, apakah masih ada lagi hari hari indah untuk anak miskin seperti aku ?”.
Saat itu sang mentaripun berkalang sejuta selendang bidadari, yang beranyam daun pandan semerbak harum mewangi, dan awan awan hitampun telah pulang ke peraduanya di balik Mount Everest.

Bulanpun di balik tirai kamar pengantinya telah sembab dengan air mata ksedihan
Sementara itu….., di pangkuan Sang Arjuna, Dewi Srikandi yang telah berslingkuh dengan Demi Amba, wanita dengan kulit kuning langsat, mengulum biji biji mentimun di bibir yang hangat menawan dan merah membara, tak ubahnya seperti merah mawar hasrat.

Demi sebuiah cinta Dewi Amba telah memperdaya busur waktu, untuk menjelajah dari episode ke episode berikutnya, guna sebuah pertemuan dengan Resi Bisma, pemuda tampan perkasa,halus budi pekertinya. Lantaran senyumnya semua Bunga Anyelir di Hastinapura menggelorakan kelopaknya.

***
Di Negara Kasi, saat Sang Resi Bisma telah menghamburkan sejuta sayap pesona, sehingga mata bening indah dari Sang Amba tiada lepas memagutnya.
Tersebutlah suatu Titah Dewa, bahwa Resi yang piawai tentang filosofis hidup,pikologi social dan pria Metroseksual serta cerdas, terbukti dengan sejuta prestasi akedemis yang pernah disandangnya berkat gemblengan Resi Bhrihaspati (Mahaguru ilmu politik ) dan Resi Vedangga (Mahaguru Ilmu Sosial ) dan ilmu perang dari Resi Parasurama. Mengikuti Sayembara tentang segala macam ilmu di Negara Kasi dan menanglah Sang Resi yang arif bijaksana tersebut.

Maka berserilah Dewi Amba yang telah merona jantung hatinya, gairah yang terpendam terus saja berkecamauk, . Namun Bisma telah bersumpah kepada dewa untuk tidak bersanding dengan siapapun. Maka merahlah wajah Dewi Amba dengan sekujur tubuhnya yang bergetar lantaran kekecewaan yang mendalam. Hatinya kini berkeping seribu lantaran langit jingga asmaranya kini menghitam jelaga.

Bahkan Sang Resi yang telah membulatkan tekad untuk menyerahkan jiwa raganya semata demi “kesentosaan hidup jalma manusia” terus saja melakukan tapa bratanya meminta Anugerah dan Petunjuk Kepada Yang Maha Kuasa. Bagi Dewi Amba sikap pemuda pujaannya itu, bukanlah halangan yang berarti, maka teruslah dia mencoba menggapai sebilah cinta yang agung itu.

Suatu saat pagi tersenyum gembira dihangati kuning langsat sang mentari yang genit, ilalang dan semak berhenti sesaat menggoyangkan badanya. Sang Merapi tiada lagi membarakan gelora amarahnya, tetapi duduk bersimpuh melihat adegan pertemuan dua insan manusia yang saling berjumpa. Sang Amba menagih janji lantaran Sang Resi yan telah memenangkan sayembara di negaranya itu. Di lain pihak Sang Resi tetap menginginkan tugas sucinya demi kedamaian umat manusia di bumi ini.

Keduanya Nampak bersitegang, kemudian berujung dengan ancaman Sang Resi dengan mengarahkan busur panahnya kepada Sang Amba, entah putaran bumi memang harus berjalan seperti itu, lepaslah anak panah dari busurnya secara tak sengaja hingga tewaslah Sang Amba dengan meninggalkan sebuah janji pada Bharatayuda kelak, dia akan menitis menjadi Dyah Woro Srikandi.

Gusti Ingkah Makaryo Jagadpun mengabulkan sumpah janji Sang Amba,dengan mempertemukan Sang Resi dengan Srikandi, yang berakhir dengan gugurnya Sang Resi.

Rabu, 17 November 2010

Senja Di Pantai Utara

Roda roda baja terus saja menggilas batang batang baja, yang terbujur dingin di keremangan senja, hijau tanaman padi yang dari sore terus saja berkejaran sepanjang jendela kereta yang berdebu, kini lelah dan terbungkam sepi. Hanya gertakan roda dan batang baja yang menyeruak ke telinga setiap penumpang yang tertunduk lesu. Angin sore pantai utara dengan usilnya menerobos kaca jendela kereta, dan membelai hitam rambut berderai sepanjang bahu milik seorang wanita yang tepat di depan tempat duduku.. Pasang mataku menjadi cemburu, menyaksikan dengan leluasanya angin nakal membelai rambut wanita itu.

Sepasang Mata Bola dari Jogjakarta, demikian aku memberi nama pada wanita terbalut misteri itu dan berkali aku dendangkan untuk membunuh sepi yang terus menjalar , apalagi sepasang mata bola yang kerap tertunduk malu di balik kaca mata bundar sekarang benar benar di depanku.. Kala kedua mata bundar tadi berpadu dengan tatapan mata eksotis miliku, aku tak kuasa lagi menghindar kala berjuta sayap membawaku terbang ke langit. Lantas akupun hanya terdiam lantaran bara api kini bersemayam di tenggorokanku yang mengganjalku hingga tak mampu berbicara sepatah katapun.

“Hai kau laki laki dungu, bukankah kamu laki laki dungu yang belum pernah mendapat sepotong cinta dari seorang wanitapun di dunia ini. Lihatlah dia sekali kali mencuri pandang mengamati kegantenganmu. Mengapa kau diam saja, dungu !!!! “ Sebuah suara dari bilik jantungku bertubi tubi menerjang anganku. “Ah..aku tidak mau sembaragan memperlakukan wanita, aku bukan durjana. Aku manusia yang menghargai segala sesuatu meski sudah menjadi miliku. Dengan cara beginilah manusia mampu menyemai benih kebahagian di dunia”.

Aku hanya bisa diam kala suara suara itu terus menderaku hingga diapun kini terdiam lantaran telah bosan menggumuli kedinginanku. Kereta semakin lama semakin melambat dan berhenti tepat di emplacemen tasiun Pekalongan. Aku menjadi terperangah karena jarum waktu membawaku secepat kilat dan separo dari perjalanan kini telah aku tempuh tanpa mampu menyelinapkan hatiku ke tengah sepasang mata bundar dalam Kereta Senja Kaligung.

“Tidak seperti baisanya Mba, kereta ini nyanggong di Pekalongan lama seperti ini. Biasanya paling banter hanya 10 menit “. Sang mata bola masih menyembunyikan matanya, kini hanya seutas senyum kecil kala mendengar sepotong suaraku yang mencoba membunuh hening suasana kita berdua.

“Mba belum pernah naik kereta ini, kan ?” kembali aku mencoba membuka tabir dalam hatinya dan kuharap sorot sepasang mata bundar ini mampu menguliti seluruh tubuhku.

“Iya, Mas aku baru kali ini, naik Kaligung ?” .



2
“Rupanya kali ini kita terlambat sampe di Tegal. Biasanya masuk Tegal jam delapan malam, tapi malam ini sudah jam setengah sembilan baru nyampe Pekalongan. Mba mau kemana ?”.

“Aku mau ke rumah Pamanku di Tegal “

“Alamatnya mana, Mba ?”

“Adiwerna ?”

“Tepatnya, Adiwerna sebelah mana ?”

“Aku nggak tahu !”

“Jadi baru kali ini, Mba kesana ? “

“Iya !”

“Padahal, kereta ini tiba di Tegal nanti menjelang tengah malam..Lebih baik Mba mencari saudara Mba saja yang ada di Kota Tegal. Adiwerna dengan stasiun kereta masih jauh, sekitar 10 km ?” , aku terperanjat, mengapa gadis sepasang mata bola ini berani menembus pekatnya malam. Padahal kereta senja ini akan memasuki Kota Tegal hampir tengah malam nanti. Lantas akupun sama sekali tidak tega bila sepasang mata bola ini menjadi takut, mengapa ini terjadi, mana ortunya, kakaknya atau teman setianya.

Sepasang mata bola terlihat merebahkan kepalanya di sandaran kursi kereta yang berwarna biru. Sorot matanya sama sekali tidak mampu menyembunyikan kepanikanya, apalagi putih wajahnya menjadi kian meregang. Sementara kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Pekalongan menembus gelap malam. Rasa iba mulai tumbuh dalam belukar hati ini. Terkadang aku memberanikan diri menyodorkan senyuman, agar lebih mendingin wajah yang sedang dipagut kepiluan. Sepasang mata bolapun dengan tesipu memberikan senyumanya pula, seketika sudut jantungku hanya dipenuhi anyelir, mawar jingga dan harum kembang lainnya.

“Mengapa kamu sendiri ke Tegal, kok nggak ngajak teman “

“Keadaan di rumahku sedang tidak karuan, semua warga Desa Srumbung di lereng Merapi dalam keadaan kacau, aku nggak sempat mengajak teman “

“Jadi Mba, siapa ya, sampai aku lupa belum tahu nama Mba. Jadi kamu korban letusan Merapi? ”.

“Aku Mila”

“Aku Hartomo, kenapa kamu ke Tegal, mana bapak ibumu, suadara-saudaramu ?”.
3

Tanpa diminta, aku tanpa ragu memberi namaku, lantaran mulai terselip dihati ini tentang perasaan ingin lebih dekat lagi dengan sepasang mata bola yang ternyata bernasib malang .
“Aku ke Tegal mencari Paman Indrawan, satu satunya kakak bapak, yang masih hidup. Seentara bapak menunggu Ibu yang sakit asma di Rumah Sakit Boyolali, juga adiku yang sakit”

“Oh jadi semua keluargamu mengungsi ke Boyolali “. Mila hanya memberikan senyum yang masam, pertanda dalam hatinya didera kegetiran.

“Betul Mas, dan sekarang semua tetanggaku berniat untuk transmigrasi. Mereka kebanyakan sudah ngeri merasakan kegarangan Merapi “

“Lantas bapak kamu juga mau transmigrasi ?”

“Itulah Mas, maka aku ke Tegal diutus bapak, untuk menyampaikan maksud bapak pengin pindah ke Tegal saja, hanya itu pesan bapak sama Paman Indrawan “

Mila tidak melanjutkan curhatnya itu, lantaran dia lebih suka mengajak curhat dengan lampu lampu penerangan sepanjang jalan Kota Tegal yang keminclong, atau lantaran sejuta kebimbangan yang memenuhi semua sisi jantungnya. Dia hanya diam membisu dan tak merasa ahwa sepasang mata Hartomo telah mulai menelanjangi semua lekuk tubuhnya.

“Mila, kita sudah sampai Kota Tegal, biar aku antar saja kamu sampai ketemu alamat pamanmu “. Mila hanya mengangguk kecil sambil memberi senyumnya yang agak cerah.

Udara Kota Tegal malam tengah malam itu terasa kering di tengah cuaca ekstrim. Kedua remaja bagaikan sepasang insane yang telah lama saling mengenal, barangkali diantara keduanya telah tumbuh perasaan yang aneh. Mila kini merasakan dewa fortuna berada disampingnya, setelah selama hampir 3 minggu dia merasakan kegetiran hidup di bawah tenda pengungsian.

Selasa, 16 November 2010

Nyanyian Duka Archipelago Yang Terkoyak

Birama lagu senja masih akrab dengan senandung, halaman pagi yang teduh…
Dibuai bulir asa dari kanvas lukisan hidup, yang mengalir dalam butir peluh milik
petani petani…yang menyisir sawah ladang dengan pematang yang rapi
Matahari terjerambab dalam kidung mesra, dengan kerbau yang mengeluh, benak benak yang teduh bersandar pada tali langit.

Namun tak tahu lagi kita, dalam seloroh dan cumbu alam yang berselimut keranda dan nisan. …….
Kita sambangi saja dengan menyodorkan sekuntum kembang setaman berikat tali sutra, agar sorot matanya tak lagi curiga, karena semalam sumpah serapah alam telah terhampar dalam wujud pesta petir, dan angin badai dari ketiaknya…..
Jangan ada lagi dandananmu yang koyak…..
Sehingga tsunami mampu menerobos,……
Tak ada lagi gincu tebal yang seronok menakutkan anak ayam yang bercicit
Menepiskan awan senja yang menghalangi keceriaanya.

Jangan pula gincu tebal yang berpupur “wedus gembel”
Biarlah kita sulam sudut bajumu yang koyak
Dengan pohon Waisor,………
Atau kita benahi Pantai Mentawai sehingga engkau mampu mencelupkan wajah jelagamu………..
Esok akan aku jinjing sebuah keberanian,
Dari kawan kawan satu desa yang sigap dan tak bersuara nyaring
Untuk menyulam langit………
Yang tertawan amarahnya alam,,,hingga membuat Archipelago terkapar dan teraniaya
Setelah seharian mereka berkubang amarah di pantai Aceh, Mentawai, Waisor, Pangandaran…….
Dan bersembunyi di puncak Merapi.

(Semarang, 17 Nopember 2010).

Rabu, 10 November 2010

Cinta Bertatap Sendu

sekar kusuma adji
Serba susah memang bagi Odie, bila hatinya telah liar ingin menerjang apa saja yang ada di dalam dadanya. Sesuatu yang dengan halus memekikan hasrat untuk mengenal lebih dekat dengan Sandy. Memang belum lama Odie mengenal Sandy, teman satu kampus di Fakultas Psykhologi Universitas Hamparan Bangsa. Namun kini apabila Sandy berada di dekatnya, hatinyapun selalu dipenuhi kunang malam yang selalu menggelitik dengan nakalnya, mencukil sisi hati ini untuk merapatkan sesuatu kepada bunga kampus itu.

Awalnya memang biasa saja, perjumpaan demi perjumpaan. Hingga mulailah guratan hati Odie berkata lain kala fakultas mengadakan kegiatan refreshing dan pelipur hati pada pasien-pasien rumah sakit yang butuh bimbingan psychologis. Tanpa ingin menengok sudut hati Sandy, Odie cowok yang cuek dengan segala macam Lady Performance tiba tiba saja runtuh hatinya berkeping

Acuh tetap saja menyelimuti hati dan wajah Oddie kala mereka berdua bareng dalam satu kelompok kegiatan bakti social itu. Mereka berdua saling menuai canda, yang semakin lama semakin akrab dan mulai mengenal sisi hati mereka masing masing. Oddie mulai merasakan getar asmara kala pandangan mata mereka berdua saling bepadu dan berakhir dengan goresan di hati Oddie yang mendalam.

Tugas bimbingan pada pasien pasien yang memilukan hati, hari itu usai sudah. Meninggalkan rasa penat dan lapar di tubuh masing masing praktikan. Ada keraguan di hati Oddie kini tentang rencananya mentratrik makan siang Sandy di kantin rumah sakit. Hatinya masih diterkam rasa khawatir entah apa, Di sisi lain hatinya mulai galau ingin segera Oddie melebarkan sayapnya dan merengkuh Sandy untuk terbang dan berjalan di awan, Namun disisi lain, Sandy hanyalah teman satu krlompok praktikan, toh hal yang biasa bila dia berbuat baik pada Sandy. Atau karena pesona yang selalu ditebarkan Sandy, memaksa Oddie untuk menuruti kata hatinya yang lebih ditelikung romantis.

“San, aku cape dan lapar kita ke kantin, OK ?”.
“OK lah, aku juga dah lapar, sekalian aku mau nyiapin berkas laporan di kantin“
“Ah.kalau untuk laporan biar aku kerjain di rumah aja, sekarang kita butuh refershkan ?”
“Oh, dewi fortuna alangkah beruntungnya aku hari ini, udah ditlaktir makan siang dibuatin laporan lagi “
“Dewi fortuna kayanya lebih dekat aku hari ini San, ketimbang sama kamu “
“Alasanmu ?” tanya Sandy “ Kan harusnya aku yang beruntung, kok malah kamu ?”
“Iya lah, eh tapi nggak tahu ?”
“Kok nggak jadi ngomong, sejak kapan Oddie jadi cowok pemalu ?”
“Nggak tahu lah San, aku lagi cape aja, lagi nggak suka ngomong “
“Katanya kamu mau refresh tadi ?”
“Iya, inikan sudah refersh, bisa canda sama kamu “
sekar kusuma adji
“Bisa aja kamu Oddie”

Oddie sendiri tidak tahu persis, mengapa kali ini dia bisa sedekat itu dengan Sandy. Padahal selama ini dia hanya tersihir hatinya dengan lagu lagu ciptaanya sendiri, apalagi bila sudah di atas pangung dengan sesatu yan paling dekat dengan dirinya, yaitu hanya sebuah gitar elektrik. Jeritan hatinya hanya dituangkan dengan string elektrik sambil berjingkrakan mirip gitaris Jimy Hendrik. Dan kalau sudah begini, beribu kunang malampun beterbangan disisinya.

Rocker yang satu ini, memang telah mati hatinya terpagut oleh benang sutra cinta milik Evelyn beberapa tahun silam, saat mereka mengucapkan perpisahan sebelum kanker otak membisukan Evelyn selamanya. Namun Evelyn lainya datang menjemputnya dalam sebuah metamorfosis berupa getaran string elektrik, penuh nada eksotis dan terkadang melangkonis. Disitulah Oddie merasakan kehadiran Evelyn kembali, apalagi bila dia membawakan lagu Are You Lonesome To Night kesukaan Evelyn. Bunga bunga cinta yang terus saja membara namun hanya kesemuan yang Oddie dapatkan.

Terbesit dalam angan yang nakal dari Oddie, mungkinkah Sandy mampu menggantikan Evelyn, yang memiliki pesona hamper menyerupai Evelyn.

“Eh, melamun, mana bisa kamu refresh,kalau terus melamun kaya gitu “ . Sebuah teriakan kecil Sandy membuat kedua kaki cowok ganteng itu kembali menginjak bumi, setelah lama Oddie terbawa angan mengunjungi persinggahan Evelyn di langit biru.

“Ah, nggak San, aku cuma kecapean, semalam aku corat coret buat lagu “
“Aku heran sama kamu, kadang kamu kelihatan enjoy, tapi kadang kelihatan murung dan melamun. Sorry ya Oddie, kalau aku nimbrung privasimu”

“Ya nggak apa apa sih, hanya saja aku seorang penulis lagu. Meski belum ada laguku yang masuk rekaman” getar suara Oddie terdengar jelas, pertanda dia tidak menuturkan lisanya sesuai dengan kata hatinya. Sandypun mampu menangkap gejolak hati yang ada di dada Oddie.

“Kamu lagi naksir cewek ya Odd ?”
“Ah, kaya anak kecil aja, an !”
“Lho, emangnya kamu si gaek yang loyo ?, kamu kan masih muda ?”
“Ah, nggak kaya gitu, San!. Ku nggak gampang naksir cewek”
“Emangnya kenapa ?”

Seteguk es jeruk terakhir bagi Oddie kini membasahi tenggorokanya, ditengah mereka berdua yang kini bertambah asyik lagi untuk saling mengelupas jantung hatinya masing masing. Kini lebih kerap Oddie melempar sorot matanya pada wajah Sandy, yang kadang dibalas dengan senyum bunga kapus itu. Seketika itu Oddie merasakan bayangan Evelyn dating menjenguknya dengan wajah yang meradang kemarahan dan wajah cemburu yang membuat selama ini hati Oddie mendingin bagai salju, seketika itu pula Oddie beusaha menepisnya.

“Sudahlah Evelyn, hiduplah kamu dalam kehidupanmu. Biarlah aku hidup kembali bersama Sandy untuk mengarungi dunia yang bertaman kembang warna warni seperti yang dulu pernak kau janjikan”, bisik hati Oddie terus menggumpal di sudut jantungnya. Sementara itu semua ruangan di rumah sakit itu kini mulai ramai oleh pengunjung yang berniat menjenguk saudara dan kerabat yang sakit. Lantaran hari telah ditelikung senja, pertanda mereka harus bergegas pulang di tengah hari yang melelahkan.

“Aku antar kau pulang, San !”
“Aku booking taksi aja, kasihan kamu cape kan, Odd ?”
“Ya cape, tapi nggak apa, aku kan belum tahu rumah kamu” Sandy hanya melempar senyum halus dan lembut, Kini mobil Oddie melaju menembus keremangan senja bersama dengan hatinya yang kini mulai ditanami bunga bunga cinta.

Minggu, 07 November 2010

Wedus Gembel

Semua melempar pandang, satu dan lainya
Dan berebut  roti, lauk, sayur dan kue manisan
Bila saja “Semar “ mengkanvas dalam kolom Merapi
Lantas semuanya menjulurkan tangan
Hendak menyapa dara manis Merapi
Dan mengelus pada dahinya, Merapi yang menepis keangkuhan.

Bila Semar memberikan selorohnya
Lantas semuapun bergegas menyebar benih
Pada lereng, ngarai, sawah serta di tepi gemercik
Air pengharapan

Bila Semar merindukan bulan
Merapipun menyunting hasrat birahi dengan Merbabu
Tak pandang bulu, siapa yang menghias janur
Dan memberi kue selamat sang mempelai

Bila Semar menjulurkan tanganya
Pertanda telah berganti musin yang
Mengambar sebuah kedamaian
Bila Semar menadahkan wajahnya ke langit
Puja dan Puji untuk Sang Chalik
Harus terus menyatu dalam dada
(Semarang, 8Nopember 2010).

Jumat, 05 November 2010

Merapiku Mana Senyum Malumu ?

puspa prasasti aji
Merapiku Tak Pernah Hilang

Bila senja, menjelang malam
Engkau terlebih dahulu berselimut kain putih
Membalut dagu dan wajahmu….
Namun aku tetap memincingkan mata,
Dan sekali mengerling
Untuk menautkan pandang mata berbatas
Liuk tubuhmu yang biru
Bagai “Sang Kumbokarno” menanti…
perintah “Sang Rahwana”…
untuk menerjang siapa saja
yang pantas menerima, dengan dengus nafas
yang tajam bagai …
pagutan ular berbisa

Namun tetap saja akan kujinjing
Keranjang berisi wangi bunga
Untuk kutebarkan di atas puncakmu
Engkaupun akan berdandan lebih seronok
Bila telah kau lepaskan lilitan..
Pada kerongkonganmu yang kering
Lantaran tiada lagi tetes hujan…..
Membiramakan dadamu yang longgar
Karena gerigi roda jaman telah…
mengkhiatimu.,,,

Aku akan kembali, Merapiku…..
Engkaulah dara jelita
Meski telah kau pincingkan kelopak matamu
Hingga terlihat merah sorot matamu…
Redupkanlah, dara jelitaku…
Agar angina pagi mampu
Menelisik dan membisikan semua lekuk
tubuhmu ..ke seantero penjuru langit. (Semarang, 6 Nopember 2010)


Kemana Senyum Malumu

Bagai gadis remaja di halte bis
Kala menunggu teman, untuk menuai janji
Penuh mesra, berjalan sepanjang pematang
Yang melintang di tengah permadani kuning kehijauan

Senyum manja adalah kala kau…
Kepakan sayapmu…mengundang langit tak
bergurat taring dan kuku kuku tajam
kala air tawar pelepas dahaga
kau suguhkan pada biji biji ilalang
yang terbawa angin menguliti tubuhmu

Bila engkau tersenyum
Ranum buah pisang, papaya dan jambu
puspa prasasti aji
Tiada lagi berseloroh dengan pupur …
Dengan nafas tersengal
Meski sempat mereka menyodorkan kedua tanganya

Agar engkau menggetarkan bibit
Menjadi senyuman di akhir tahun ini…(Semarang, 6 Nopember 2010)


Jangan Ada Lagi Pilu Hati

Saat kau buka jendela rumahmu
Batuk batuk kecilmu
Sempat terdengar oleh kawanan kenari
Dan bertanya…
Mengapa kau lipat pagiku
Padahal belum usai aku berjemur
Di sepenggalah matahari
Kenariku terbanglah memenuhi langut biru…(Semarang, 6 Nopember 2010)


Aku dan Kau

Jadilah satu…
Agar kita mampu
Bermain di kaki langit
Agar semua bibir
Tidak terkunci rapat
Telah lupakah kau
Pada seutas tali
Yang kita mainkan
Engkau dan aku
Saling memamndang jendela langit

Tetapi dengan
canda…tetap kau
sodorkan
Bukan lagi
Dengan wajah
Saling bersungut sungut
Kau buka lebar lebar
Jemarimu yang memercikan
Air bunga
Bagai air mandi pengantin baru.
Kau tak pernah kulupakan …(Semarang, 6 Nopember 2010)


Jangan Kau Abaikan Merbabu Kasihmu

Saudara kembar menjulang
Bagai payudara sang bidadari
Merbabu hanya diam termenung
Di depan serambi langit
Sedangkan kau
Menebar dahaga
Pada kawanan ilalang

Bukankah lebih baik
Engkau bermain sepanjang hari
Dengan Merbabu
Sang dara jelita
Yang tertunduk malu

(Semarang, 6 Nopember 2010)

Merapi Dan Sebuah Cinta

Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.

Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.

Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.

Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.

Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni. Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.

Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.

Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi, mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.

Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.

“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya menghilang entah kemana “

“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”

“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “

“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”

“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”

“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “

“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “

“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.

Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.

“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung. Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.

“Maya kau di mana ?”

“Anto, aku dalam lubang ini ?’

“Maya!, kau tidak apa-apa ?”

“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidakbisa naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.

“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “

“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.

Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.

***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.

Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini. “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.

Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.
***

Selasa, 02 November 2010

Peraduan Yang Hangat

Berkali kali Mahendra mendenguskan nafas panjang sambil mengkerutkan alisnya dan terus mengganti beberapa kali chanel televisinya. Setelah yang dia dapatkan hanya tayangan anarkis yang dilakukan pendemo dari beberapa kalangan. Lengkap dengan penuturan reporternya tentang kerugian harta benda dan tak jarang korban luka luka yang diakibatkan anarkisme itu. Tak urung juga tayangan tentang pertikaian petinggi negeri ini, yang justru ikut mempengaruhi meradangnya rakyat yang telah diliputi oleh berbagai macam kesulitan hidup. Kini ulahnya bertambah tidak dapat dimengerti, kala mulutnya mulai mencaci maki entah di arahkan kemana, setelah sebuah tayangan melaporkan tentang kenaikan harga untuk barang apa saja.

Sementara istrinya sibuk di dapur menanak nasi dan menghangatkan sayur asem dan ikan asin, sebuah menu yang menjadi kesukaan Mahendra dan anak istrinya. Menu sehari hari mereka semua didapatkan hanya dari sayur sayur yang dipetik dari kebun belakang rumah. Namun ikan asinya memang harus dibeli dari pasar, itupun setelah Rakhmawati menjual beberapa telur ayam kampung. Terkadang Mahendra sengaja menyembelih ayam kampungnya, agar anak anaknya tidak bosan dengan menu sayur dari kebon belakang rumah.

Sang istrinyapun hanya tersenyum mendengar cacian suaminya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Terkadang pula suaminya bersikap sok piawai dalam beberapa hal. Sehubungan dengan beberapa ulah anak bangsa yang ada ada saja, yang mampu menghangatkan atmosfer Negara ini dan menampilkan sikap yang tak sepadan dengan budaya asli masyarakat yang melingkungi mereka.

“Huuuh..negara kita ini ibarat rumah tak jelas menghadap ke mana. Mengapa banyak masyarakat dan oknum pejabat yang gampang naik pitam “. Tanpa meminta persetujuan dan pedapat istrinya, berkali kali Mahendra melontarkan sebuah caci maki. Sementara itu istrinya segera menyajikan makan malam mereka semua. Di depan televise mereka bersama sama menikmati hidangan hangat dan sederhana, namun sama sekali tak pernah mereka keluhkan.

“Bisa bisa Negara kita hanya tinggal nama bila terus terusan tercampak dengan berbagai tindak anarkis !”. Sambil melahap nasi hangat Mahendra terus saja berceloteh mirip jurkam parpol di masa kampanye.

“Ya, biar saja, Pak. Asal kita pandai pandai menjaga sikap , jangan seperti mereka “

“Ya, nggak gitu to, Wat. Mereka seenaknya membuat ulah, sehingga membuat resah wong cilik seprti kita. Kalau sudah seperti ini banyak pedagang besar menaikan harga barang barang. Coba yang rugi siapa?, mereka para pemimpin apakah merasakan seperti ini ?”.

“Hmmm….memang repot kalau sudah seperti ini, Pak !. Tapi bagai kita yang penting pandai pandai menyikapi saja !”.

“Sikap yang seperti apalagi, Wati ?”

“Paling tidak, kita harus tabah menjalani kehidupan ini, bersama kita menyekolahkan ketiga anak kita hingga sampai perguruan tinggi. Meski kita hanya lulusan SMA dan keluarga kecil yang hidup di desa. Namun anak anak kita jangan sampai seperti kita. Tentang carut marutnya negeri ini kita sikapi dewasa saja, habis perkara !”

“Tambah pandai, kau Wati ?. Siapa yang mengajarimu ?”

“Siapa sih Pak yang mau mengajariku ?, Siapa pula yang mau perduli dengan kehidupan orang desa seperti kita. Namun tekanan hidup dan ketabahan kita bersamalah yang mencetak kita menjadi orang dewasa”.

“Kau ini terlalu idealis Wat, Kamu cuma memikirkan kepentingan diri sendiri. Bila setiap masyarakat Indonesia berpikiran seperti kamu, mana ada demokrasi?, mana ada pembaruan dan kapan kita maju ?”.

“Kamu juga jangan ego, Pak !. Apa hanya laki laki yang boleh berbicara masalah politik saja. Aku bicara seperti ini, karena sebagian besar ibu ibu berpendapat sepertiku.Mereka tidak butuh partai !, mereka tidak butuh ini dan itu! , mereka butuhnya hanya kedamaian”

“Kamu dengar dari mana ?”

“Pak, aku kan pedagang barang kelontong di pasar, aku kenal banyak ibu ibu di sana. Juga saat aku hadir di arisan RT dan dasa wisma ibu ibu PKK “

“Tapi memang kenyataanya demikian, bahwa negeri in telah bobrok, bayak korupsi dan lain sebagainya dan ini kenyataan ?. Apa kamu mengerti ?. Apa ibu ibu temenmu mengerti?”

“Ya ampun Mas, kalau cuma itu anak kecil saja mengerti. Tapi yang penting kita menjadi keluarga yang tidak mudah patah dan menyerah bila keadaan negeri kita sudah seperti ini”

“Itulah kesalahan kira semua, hanya mementingkan keluarganya masing masing?’

“Mas, jangan kamu gampangkan peran masing masing keluarga. Bila masyarakat kita disusun dari keluarga yang baik, tentu masyarakatnyaoun akan baik jua”.

“Kamu memang sok pintar, Negara harus diusung oleh anak bangsanya yang mau berkorban apa aja demi eksistensinya. Bukan diusung oleh anak bangsanya yang hanya cuma memikirkan keluarga masing masing. Inilah hancurnya Negara kita, karena merebaknya hedonisme, bermegah megahan, sehingga nasionalisme menjadi hilang lenyap “. Entah setan mana yang merasuki jiwa laki laki muda ini sehingga dia sekarang mirip anggota partai yang mempertaruhkan segala yang dia miliki demi visi yang dibelanya. Mahendra segera menghentikan makanya, meski nasi yang masih di piring makanya masih banyak tersisa. Mukanya kini merah membara. Sedangkan ketiga anaknya sudah merajut mimpi mimpi indah di tengah angin senja yang dingin dari Gunung Merapi.

Rachmawati istrinya kini hanya tersenyum, diapun tahu bahwa suaminya kini sedang diterjang amarah yang konyol. Dan bagi Rachmawati sikap kekonyolan suaminya itu bukan hal yang serius. Inilah cinta kasih yang menyatu dalam tiap nadi kehidupan mereka, menyatu dengan dinding rumahnya yang masih centang perontang, menyatu dengan atap rumahnya yang hanya tersusun dari asbes, menyatu dengan kebun sayur dan buah serta bunga bunga di halaman depan mereka.

Tanpa ada sapaan dan seberkas senyum Mahendra segera berlalu dari istrinya yang mulai sibuk membersihkan makanan mereka. Mahendra segera menuju peraduanya di kamar tengah. Tidak seperti biasanya dia selalu menyaksikan tayangan acara demi acara televise hingga larut. Apalagi belakangan ini dia sangat setia menyaksikan kejadian pilu saudara saudara dari Kepulauan Mentawai dan Gunung Merapi.

Rachmawati hanya diam membisu, meski hatinya sekarang tersenym geli menyaksikan tingkah polah kekanak kanakan suaminya. Bagi dia sikap suaminya ini hanyalah ego yang belum juga mau surut, meski mereka telah menyatu dalam segala hal hampir 15 tahun lamanya. Dalam hal ini dialah wanita satu satunya yang mampu menyurutkan ego yang konyol ini. Karena pada dasarnya mereka emiliki peraduan yang suci tempat mengurai segala permasalahan, menyatukan silang pendapat antara mereka serta merenanakan apa yang bakal mereka hadapi bersama esok pagi.

***
Pintu kamar tidur di bagian tengah mereka berderit, karena telah aus engsel engselnya dimakan jaman. Rachmawati segera medampingi suaminya yang diam seribu bahasa. Kala sang suami tercinta menolehkan wajah ke arahnya, seberkas senyum wanita desa itu berhasil mencairkan hati Mahendara yang semula sekeras batu karang. Mahendra segera menarik tubuh sang istrinya untuk mendekatkan tubuhnya, sementara wajah Rachmawati kinipun terbenam di atas dada yang bidang itu. Dengan penuh kemesraan tangan Mahendra tak hentinya mengusap rambut hitam pujaan hatinya itu.

“Tadi kiya ngapain, ya Pak ?” .Suara Rachmawati memecahkan sunyi peraduan mereka.
“Ah…nggak tahu ?”
“Kamu marah sama aku, Pak ?”
“Ya, tadi. Sekarang sudah nggak lagi”

Angin malam mengiringi dua ekor kobra yang saling memagut satu sama lain di atas peraduan yang basah dan hangat. Tidak perduli di luar sana manusia saling menjatuhkan satu sama lain, saling mengusung harta Negara dan saling berebut kekuasaan. Tapi bagi sepasang insane yang sederhana tapi berjiwa matang itu sibuk membenahi peraduan mereka yang tak pernah lekang. ***

Jumat, 29 Oktober 2010

Di Antara Langit Dan Bumi

KISAH TENTANG SANG BUMI

Jangan kau sangka lagi
Akan “nina bobo” ibu tercinta…
Kala kita menangis dengan mata terpincing
Sehingga sudah tidak jelas lagi
Warna pagi dengan semburat…
Kuning mentari.

Lantas mau saja kita terlelap
dalam ayunan ibu tercinta
Yang mengusap dengan “batuk kecil Merapi”
Atau gemerecik air kali untuk mandi
Bidadari di Mentawai,

Atau mungkin dengus nafas sang ibu
Sudah tak wewangi, kala atmosfer dikungkung
debu jaman……..
Atau pula wajah elok sang ibu
Berpupur dan bergincu ayu
Telah digurati ornament ego
Oleh nafas nafas yang bergayut di bahunya

Kita mungkin tiada pernah merasa
Bila dalam aliran nadi sang ibu
Telah mengalir prosa tentang peluk cium
Sang pantai dan manja burung
Penghuni hijau pohon jambu dan buah lainnya…………..(Semarang, 29 0ktober 2010).

LANGIT KITA

Telah hilang seloroh dan kidung merdu
Ketika dahulu mereka tetap berbaris
Meski dalam sunyi
Hingga petak sawah dan gurau angin
Tidak jalang menerpa apa yang….
Menusuk ketiak bumi

Mereka berbaris dengan merapat ke langit
Hingga tak ada nafas telanjang.
Yang menghardik dengan petir
Dan mengusap dengan badai,
Serta berpagar hujan setahun

Barisan yang sunyi…….
Adalah yang ada dalam nafas kita
Sehingga tenggorokan menjadi lega
Dan dana tiada lagi tertusuk
Sembilu dari debu debu bermata liar

Barisan sunyi di langit…….
Kini bertaut pada jelaga menghitam
Menaburkan bara mengering di bulir padi
Tiada menyisakan lagi hari esok
Untuk lengan lengan kecil…………………………..(Semarang, 29 0ktober 2010).


“ARCHIPELAGO”

Tarian ini diusung oleh pohon pohon Waisor
Kala masih berjajar rapat
Berias alam ayu
Untuk tempat berkejaran para bidadari

Mereka kini tak lagi berjajar rapi
Untuk menari di ufuk senja hari
Dapatkah kau sodorkan lagi
Sebuah nyanyian pelipur lara
Bukan dengan air mata sendu.
Agar bocah bocah desa
Masih bisa
Mengejar kupu bersayap warna
Dan cengkerik penghibur tidur malam mereka

Menarilah sesuka hati
Agar tsunami menjadi segan menerjang
Agar pula angin muson
Sampai ke tujuannya. …………………………..(Semarang, 29 0ktober 2010).

MERAPI

Jangan lagi kau berduka…..
Tidurlah dengan dengan alam agar pulas
Tiada lagi tanpa selimut bulu bulu domba
Yang menerjang panas

Tidurlah, sampai tak terasa penat lagi
Agar debu debu jalanan tidak liar
Bercanda dengan angin kembara…………………………..(Semarang, 29 0ktober 2010)

PAGI YANG INDAH

Mari kita kayuh perahu angin
Yang berdermaga di bersihnya langit
Berlayar sepanjang warna kain biru
Jangan ada wajah yang menoleh lagi
Biar kita benahi lagi,
Pantai berkanvas nyiur hijau
Berpagar batang bakau

Jangan ada lagi…
Benalu hati yang menghardik
Tiap yang ada di tulusnya
Sebuah torehan
Dari alam di yang “melenggok” tengah kita……………(Semarang, 29 0ktober 2010 ).

Kamis, 28 Oktober 2010

Hanya Sesaat Di Malaysia

Jalan hidup yang dilalui masih banyak berliku., kadang meliuk dan menukik tajam. Sesekali yang dilaluinya hanyalah sebuah jalan yang licin namun penuh duri, meski belum tahu kapan jalan ini berujung, Seperti halnya dengan kehidupan manusia selayaknya.

Kadang Munarsih sampai pucat wajahnya, dan gemeter seluruh kakinya. Bila harus memperdulikan kehidupan ini. Hanyalah setetes nafas yang diberikan padanya oleh Yang Maha Esa, namun kelam dan penuh dengan liku tak berujung.

“Narsih. . .Narsih.. .buka pintunya “. Sebuah teriakan panjang yang menggema pagi – pagi buta, ke tiap sudut rumah Munarsih.
“Ada apa Kang Narji ?. pagi – pagi buta sampeyan sudah geger nggak karuan “
“Aku minta jamunya, semalam aku nggak bisa tidur, karena pusing kepalaku
“Tapi tinggal beras kencur dengan kunir asem Kang !. Jamu ini bisa mengurangi perut sampeyan yang kembung. Sampeyan banyak begadang semalam, sehingga angin malam menyerang perut sampeyan ”. Tutur Munarsih meyakinkan, tak kalah dengan okter spesialis dalam mendiagnosa Kang Narji, yang hobinya cuma ngelayab tiap malam.

”Langsung aku minum jamunya ya Bu Dokter ” Seru Narji seraya menyeringai bibirnya lantaran dia harus menghiasi wajahnya dengan senyuman kecil.
”Weleh, sampeyan melecehkanku ” . Munarsihpun masih melayangkan protes dengan Kang Narji yang ngeloyor pergi setelah mereguk satu gelas jamu tanpa meninggalkan sisa di gelas.

”Lho, bayarnya mana Kang ? ”
”Gampang to, Narsih, kamu kaya nggak tahu Narji saja ” . Jawab Narji tanpa menoleh kebelakang. Tubuhnya kini nggak kelihatan lagi setelah dia hilang di belokan jalan desa.

Tinggalah kini Munarsih dengan senyum geli yang masih saja tertinggal di bibirnya, yang tanpa berhias lipstik barang secuilpun. Namun tetap wajah ayunya masih terlihat menawan.

”Laris jamu kamu Nah !. Tadi Narji pagi – pagi kesini perlu apa ? ”. Belum lagi Munarsih sejenak menarik nafas , kini di tengah pintu depan telah tampak Pakde Warsoyo, dengan senyuman yang lebar sehingga kelihatan kumis putihnya yang lebat terangkat ke atas. Entah kunjungan ini bagi Pakde Warsoyo kunjungan yang ke berapa.
”Lumayan Pak De bisa untuk uang jajan Siswanto dan Novi, mereka berduakan butuh uang jajan dan sekolah. Tadi Kang Narji cuma minta jamu, dia penyakit kembungnya kambuh ”.

”Kalau untuk uang jajan dan sekolah kedua anakmu itu hanya masalah kecil, Nah. Kamu tinggal minta sama aku berapa yang kamu minta. Asal kamu tahu aku saja ! ” . Pagi pagi bener sudah ada rayuan asmara yang tertanam di hati Munarsih. Tapi wanita yang sarat dengan benturan hidup ini hanya senyum sinis saja. Bagi Dia rayuan semacam ini tiap hari sering ia dapatkan dari banyak pria hidung belang di desanya.


Tapi bagi Munarsih, sehebat apapun badai kehidupan nantinya akan sirna juga. Bukankah Kang Parlan suaminya yang sedang mengadu nasib di Malasia membanting tulang demi masa depan dia dan kedua anaknya. Segenggam harapan itulah yang masih saja melekat jauh di dalam kalbunya. Sehingga diapun akan bersikap dingin terhadap pria manapun yang ingin menambatkan hidupnya di pelabuhan hatinya.

Munarsihpun menjadi bersungut-sungut wajahnya, deAngan tegas dan tatapan dingin dia tetap menerima kunjungan Pakde Warsoyo, lantaran apapun alasannya Munarsih adalah bakul jamu yang siap melayani siapa saja yang menghendaki jamunya. Maka diapun tetap saja menawarkan jamu gendong, yang memang banyak disukai oleh tetangga sekampungnya.

”Nggak usah Nah, aku nggak pengin jamu kok, melihat kamu saja sudah sembuh penyakitku ”. Munarsihpun sudah nggak bisa menghitung lagi, sudah berapa ratus kali rayuan gombal orang tua itu dilontarkan pada dirinya.
”Jangan begitu lho Pakde ! , nanti Bude marah !. Apa Pakde nggak kasihan sama Bude ? ”
”Jangan panggil aku Pakde, to Nah. Kasihan aku sama Maryati sudah cukup, hampir ,sebagian besar sawah di kampung ini adalah miliku, yang aku berikan sama Maryati lengkap dengan kerbau yang berapa puluh aku sendiri nggak tahu. Bahkan bulan kemarinpun aku belikan Xenia untuknya . Kurang apa lagi Nah ? ”
”Bukan itu saja yang dibutuhkan seorang wanita, dia juga butuh kasih sayang. Apa lagi Bude sekarang sakit strok, apa nggak kasihan to Pakde ! ? ”
”Nah dokter mana yang belum aku kunjungi Nah !. Semuanya sudah aku kunjungi umtuk mengobati penyakit Maryati. Dan akupun tidak mungkin terus merawatnya, aku sebagai laki – laki normal butuh yang lain to Nah ”.

Munarsih tambah dingin saja tatapan matanya, bahkan kini dia sama sekali tidak sudi beradu pandang dengan lelaki tua hidung belang yang sekarang ada di depannya. Meski sering lelaki tua bangka tak tahu diri itu menjanjinkan segala kekayaan, bahkan separo dari sawahnya dan beberapa rumah gedongakan diatas namakan Munarsih.

Namun bagi Munarsih kebahagian yang akan dia alami hanyalah kesemuan saja, yang sekejap akan sirna di telan cinta sejatinya kepada Kang Parlan dan kedua anaknya
Mataharipun kini sudah tak malu lagi di bilik ufuk sebelah timur, dan kini telah menggantung sepenggalah di langit timur. Munarsihpun kini telah siap bermandi keringat menawarkan jamu gendongnya ke seluruh desanya. Entah hari ini masih adakah segenggam harapan untuk kehidupanya

Yang jelas seperti hari biasanya diapun menaruh jamu gendongnya di sudut pasar tempat dia biasa berjualan bersama dengan pedagang – pedagang kecil lainnya yang memiliki kehidupan tidak jauh berbeda dengan dirinya.

”Narsih aku dapat kabar baik, kamu sudah dengar ? ” . Tanya Yu Minten.
” Kabar apa, Yu ? ” jawab Munarsih penasaran.
” Kamu kenal Suratman, yang tinggal di ujung timur desa kita ”
” Kenal, Yu !, Ada apa dengan Kang Ratman ”. Jawab Munarsih tambah penasaran.
” Minggu kemarin dia pulang dari Malasia, dan kabarnya dia juga mencarimu Nah ! ”

“ Oh. Ya !. Ini mesti ada hubungannya dengan Kang Parlan. Aku habiskan daganganku dulu Yu. Nanti sore aku dengan anak - anak ke rumah, Kang Ratman ”. Jawab Munarsih, hatinya kini diliputi berbagai macam kegetiran, lantaran mengkhawatirkan suami tercintanya yang kini mengadu nasib di negeri seberang.
”Sudahlah Nah, kamu pulang saja. Biar aku saja yang ngurusi daganganmu. Sekarang pergilah ke rumah Suratman, mumpung anak anakmu masih sekolah. Kalau nggak punya ongkos naik colt sayur, biar pakai uang aku saja !.

„Trimakasih sebelumnya ya Yu !. Baiklah sekarang juga aku akan ke sana ”
Jalan menuju rumah Suratman masih berupa jalan desa yang belum bagus, di sana sini masih terlihat lobang – lobang yang hanya ditutup batu – batu padas. Sehingga perjalanan dengan menggunakan colt sayur, memakan waktu yang cukup lama dan membosankan, apalagi bagi Munarsih yang hatinya telah dihinggapi rasa penasaran . Tiak seperti biasanya Munarsih selalu tenang hatinya meski dia hidup dalam penantian. Seakan akan kini dia menemukan berjuta misteri yang tersimpan di hatinya mengenai Kang Parlan suaminya. Entahlah ada apa,. Munarsih sendiripun tidak tahu.

Dari depan rumah, Suratman dan istrinya segera berlarian kecil menyambut kedatangan Mursinah, yang diwajahnya selalu dihiasi senyum ramah, meski menyimpan rasa penasaran yang tak menentu. Mereka kini hanya duduk di serambi rumah, dan Munarsihpun tanpa banyak basi – basi langsung menanyakan kabar Suparlan suami tercintanya.
” Semua manusia kan hanya menuruti apa yang sudah digariskan, termasuk suamimu, Nah !.
”Apa yang terjadi dengan Kang Parlan ? ” dengan tidak sabar Mursinah langsung memotong ucapan Suratman.
” Sabar duku to, Mbakyu ?. Biar Kang Ratman bercerita dulu ”
”Sesampainya disana suamimu tidak segera mendapatkan pekerjaan, seperti yang dijanjikan biro. Sehingga dia disana lama menanggur ”.
”Kok dia tidak kirim surat, to Lik ?. Kalau tahu gitu Kang Parlan tak suruh pulang saja “
”Dia takut membebani dirimu Nah. Tapi percayalah ?, dia masih mencintaimu Nah !. Suamimu adalah tipe laki – laki yang baik “
“Aku selalu percaya Kang Parlan, lantas bagaimana, Lik ! “
“Akhirnya diapun pinjam uang kepada Non Lisa, wanita rentenir asli Indonesia dan sekarang menjadi warga negara Malasia “
“Apa dia masih muda Lik “
“ Amit – amit, Nah. Umurnya dia sudah lebih dari lima puluh tahun”
“Mengapa dipanggil non, apa dia cantik, Lik ? “ . Desak Munarsih, lantaran di hatinya mulai tumbuh rasa cemburu buta.
“Ah, siapa bilang ?. Meski dia minta dipanggil Non Lisa. Tapi kami semua lebih seneng memanggil Mak Lampir. Suamimu sebenarnya hanya meminjam dua ribu ringgit, namun sayangnya suamimu tak kunjung dapat pekerjaan juga. Hingga akhirnya hutangnya membengkan sampai dia sendiri tidak mampu membayarnya “
“Terus akhirnya gimana, Lik “
”Akhirnya Non Lisapun berniat mengadukan ke Polisi Kerajaan Diraja Malasia
”Terus Kang Parlan gimana ? ”
”Dia hanya pasrah, meski hutang dia pada Non Lisa hampir mencapai sepuluh ribu ringgit. Suamimu memang luar biasa Nah. Tanpa sedikitpun dia punya rasa takut.

Kalau toh harus masuk ke penjara dia siap menjalani ” . Suratman diam sejenak, entah karena apa dia tidak melanjutkan pembicaraan mereka untuk sementara. Dia kini hanya asyik mereguk kopi panasnya. Barangkali saja penderitaan dia dan teman – teman TKI selama di Malasia, sungguh sangat berat, termasuk juga penderitaan Suparlan.
”Aku nggak nyangka kalau Kang Parlan akan mengalami hal semacam ini. Sebenarnya aku nggak setuju dia ke Malasia. Lebih baik kita hidup di desa apa adanya, ketimbang hidup di negeri orang tapi begini jadinya ”.
”Tapi Non Lisapun akhirnya melunak dan mau memutihkan hutang suamimu, asal Suparlan mau mengawini Non Lisa, karena secara diam diam Non Lisa menartuh hati sama suamimu yang ganteng. Meski Non Lisa sendiri sudah memiliki suami, yaitu Mr, Chen,. Pria asli Malasia dan kaya raya. Tapi umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahunan ” .
”Akhirnya merka berdua apa nikah secara sah, Lik ? ” . Munarsih menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan itu, meski sebenarnya dia
sudah tidak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun. Hatinya kini terbelah menjadi berkeping – keping. Penantian dia selama dua tahun lebih, hanya kandas di telan kegetiran.
Munarsih yang dari kecil hidup hanya di lingkungan keluarga petani gurem, hampir tidak pernah merasakan kebahagiaan. Benturan dan kesulitan hidup tiap hari dia jumpai, Hingga tercetaklah dia menjadi sosok wanita yang tangguh dan berani menghadapi hidup. Namun menghadapi cobaan hidup seperti ini, dia hampir tak mampu bertahan untuk tetap tegar.

”Nggak, suamimu menolaknya, dia hanya minta supaya nenek gila itu memutihkan hutangnya saja. Kemudian seterusnya aku nggak tahu lagi , Nah. Karena aku nggak tahan lagi hidup di sana dan memutuskan untuk kembali ke desa ini. Dia hanya menitipkan uang ini untukmu dan berpesan. Suatu saat dia pasti akan pulang mendampingimu lagi, Nah. Dia tidak mau kehilangan Siswanto dan Novi. Hanya seperti itu yang aku tahu. Sekarang terimalah uang dari suamimu ! ”.

Meski hari belum sore benar, terlihat langit biru yang cerah masih menemani mereka. Namun bagi Munarsih, seakan –akan dia berada di tengah badai yang dasyat, dan langit berwarna kelam. Hinga akhirnya dia hanya dia membisu sembari menerima uang dari Kang Parlan dia kinipun berpamitan untuk segera pulang.
Dua tahun silam Munarsih memang merencnakan meninggalkan kampung halamannya dengan hati yang bulat. Uang yang diterima dari Kang Parlan suaminya sekarang telah digunakan untuk modal membuka warteg di Jakarta bareng sama kakak kandungnya dia, yaitu Munarti. Karena keuletan wanita yang sarat penderitaan ini, wearteg yang ditekuni kini telah ramai dikunjungi pelanggan.

Meski keberangkatan dia ke Jakarta kala itu , banyak pihak yang menghalanginya, namun dia tetap saja membulatkan tekad. Semata-mata hanya ingin melupakan derita hatinya yang kian tak pasti. Untuk melupakan Kang Parlan justru memang harus meninggalkan desa ini, dan menyibukan diri dengan membuka warung, selain memang jualan jamu gendong dirasa memang sudah tak bisa untuk membiayai kedua anaknya.

Hingga akhirnya keluarga Munartipun sekarang hidup bahagia, meskipun Munarsih belum mau juga mendapatkan pengganti Kang Parlan disisinya, Karena dia tidak mau melukai perasaan kedua putranya itu. Apalagi bagi Novi putri bungsunya yang masih kerap menanyakan Kang Parlan. Cukup dia saja di
dunia yang biasa kehilangan segala sesuatu, kehancuran sebuah hati jangan sampai dirasakan oleh kedua putranya itu.

Sering bila malam hari tiba, kala melihat kedua putranya tertidur saling berpelukan. Munarsih menitikan air mata kesedihan. Dia tak tega melihat kedua anaknya hidup tanpa seorang ayah disisi mereka. Namun perasaan itu akan hilang bila melihat mereka berdua saling ceria, membantu ibunya di warung setiap habis jam sekolah. Dan untuk menemani kedua anaknya yang kesepian, Munarti kakaknya sering menghibur mereka berdua. Hingga tidak terasa telah dua tahun mereka hidup di Jakarta.

Musim penghujan di Jakarta telah tiba, langit mendung tiap hari menggelantung. Hujan seharian tiada henti, udarapun terasa begtu dingin. Sehingga berita mengenai banjir di berbagai tempat di Jakarta telah m,ereka dengar. Munarsihpun enggan membuka warungnya. Dia dan kedua anaknya lebih senang membersihkan rumah mungilnya milik mereka sendiri, hasil memeras keringat di Jakarta selama lebih dari dua tahun.

Sesekali Hp miliknya berdering, namun setelah di buka seketika itu juga terdengar nada putus. Memang Munarsih kerap menerima telepon dari pria iseng dan dia selalu mengabaikannya.
Dari dalam rumah mungil itu, terdengar derai tawa Munarsih dan kedua anaknya, sesekali terdengar juga tawa Munarti dan anak – anaknya yang kala itu kebetulan bertandang ke rumah saudara kandungnya itu. Tanpa mereka sadari, ulah mereka dari tadi telah diamati sepasang mata yang kini meredup sendu.

Udarapun bertambah dingin. Sedangkan malam bertambah larut, sehingga mereka semua yang sedang ceriapun berniat untuk pergi tidur mengurai mimpi. Munarsihpun berniat untuk mengunci pintu depan, lantaran udara malam mulai mengrogoti rumah mungil itu dan semua yang ada dalamnya sudah mulai enggan membuka matanya.
”Narsih ” . Terdengar panggilan dari suara yang betul – betul dia hafal. Namun seketika itu dia tidak percaya. Apakah betul suara itu dari Kang Parlan yang hampir lima tahun tak pernah mengunjunginya.

”Narsih, apa kamu lupa sama aku ? ” . Kini dia yakin betul bahwa suara itu, tidak lain adalah suara Kang Parlan suaminya.
”Kang Parlan, kamu pulang ?. Betulkah sampeyan Kang Parlan ? ” Sekali lagi Munarsih mencoba untuk meyakinkan kembali.
”Apa di dunia ini ada dua Parlan. Apa kamu sudah berhasil menemukan pengganti Parlan ”
”Oh tidak Kang !, aku hanya tidak percaya apa sampeyan masih ingat Novi dan Wanto ? ”
”Tolong, Nah !. Panggil mereka ke sini, aku kangen ”
”Iya Kang, tapi masuklah dulu. Wanto , Novi keluarlah ” . Teriakan mamanya itu segera mereka dengar. Sehingga tanpa menunggu waktu berlarilah mereka keluar rumah diikuti Hendra putra Munarti,
Novi dan Siswanti terbelalak kaget bukan kepalang, karena mereka kini dapat melihat bapak mereka yang sudah lima tahun meninggalkan. Kontan saja mereka segera menubruk sosok yang selama ini mereka nantikan.


Rumah mungil yang tadinya dingin, sedingin hati Munarsih dan kedua anaknya. Kini terasa hangat. Jendela hati Munarsih yang telah lima tahun terkunci rapat kini terbuka lagi, untuk berdua dengan Suparlan menengok nyanyian burung pagi hari.