Mungkin ini hari terakhir aku, ketika sudah melepuh kulit kakiku dan penat seluruh tubuh hampir menggrogoti hidupku busur waktu yang meluncurkan detik demi detik hingga busur waktu berikutnya. Tak segan pula mengencangkan semua otot tubuhku, demi sebuah “prosa hidup” yang mampu bertahan lantaran terselip di padang ilalang, di tengah hiruk pikuk manusia menebarkan kemunafikan dan lalu lalangnya durjana yang menguliti wajah kehormatan insan. Sebuah bisik hati yang menyerah kalah ini segera kutepis,hingga kabur entah kemana.
Aku dan Rosma mulai melekatkan sebuah pelangi,diantara terik matahari, gerimis ataupun hujan badai bahkan dikala langit berniat runtuh, lantaran kepengapan debu dan asap ego manusia. Pelangi itu tiada seberapa indahnya, namun aku dan Rosmapun mampu menitinya, dengan segala senyum Rosma yang “menawarkan hati” kami berdua selalu berpegangan tangan tangan ketabahan hati, dari gangguan durjana yang hanya berisi dasing dan tulang jemunafikan. Mereka layaknya iblis berbaju manusia. Yang siap melahap bilah hidup manusia yang tertatih.
Beruntung, meski aku dan Rosma adalah lengan lengan rapuj, namun pelangi yang kami gambar di langit telah bertaut kokoh di puncak Mahameru “kemulian hati” dan pungak Mount Everest “cita cita yang tak pernah memudar”, sehingga sebesar apapun raksasa Dajjal yang bakal menghempaskan kami selalu kandas di gulung ombak Laut Selatan yang kami semai di lubuk hati. Begitupun Rosma, wanita berkulit putih dengan paras ayu dan berambut ikal, yang pertama aku temui telah tergolek lesu di peraduan dunia yang beraroma hambar.
Sedangkan aku tak lebihnya biji ilalang yang terbawa angina kemarau terhempas dari tempat satu ke tempat lainnya. Bukankah manusia bijak akan terlahir dan dibesarkan dari berbagai benturan yang menderanya. Sehingga jadilah dia manusia yang berhati kokoh layaknya kekokohan benteng Shalahudin Al Ayyubi di negara Mesir. Inilah yang barangkali menjadi kekuatan diriku untuk menggapai tangan Rosma dan mengajak untuknya untuk kembali tegak berdiri, meski di padang ilalang.
Benturan benturan hidup layaknya bumbu penyedap hidangan di atas meja makan bambu di tengan rumah papan dan bertaplak kain lusuh, selalu saja kami hadapi dengan canda ria. Termasuk kala Rosma bercerita tentang rayuan rayuan gombal Om Junaedi yang berniat membeli tubuhnya, gairahnya bahkan sanggup membeli hidupnya.Laki laki tua bangka berhidung belang namun kaya raya itupun sanggup memberikan apa saja asal Rosmapun bersedia menuruti hasratnya mengayuh perahu di telaga yang menghitam airnya. Namun Rosma tiadapun mau bergeming, meski suaminya Adnan Handoyo adalah hanya seorang satpam di kantor perusahaan swasta.
“Lantas kalau aku menuruti kedurjanaan tua bangka itu, siapa yang akan menunggu Anis sama Ilham, Mas”, Rosma bergayut di lenganku. Hasrat hatinya hanya sekedar ngambek mengharap belay kasihku. Akupun tak kalah menggelitik hatinya, mengharap roman mukanya yang merah padam atau malu tersipu, kala aku disodori gambar wajah ayu Rosma penunggu kahyangan Jonggringsaloko tempat bersemayam Bathara Guru.
“Katanya kamu pengin punya mobil”
“Aduh,,Mas Adnan kenapa ngomong kaya gitu, sih !”
“Lho…barangkali aja kamu pengin”
“Aku memang ingin, Mas, Buka hanya mobil. Aku ingin punya rumah tembok yang kokoh kaya kantor kabuipaten. Ya Mas ?”
“Iya aja, pantesan kamu sering ngelamun “
“Nglamun apa “
“Ya , nglamun Om Junaedi, kan ?”
“Memangnya aku wanita segampang itu, Mas. Aku kasihan sama Anis dan Ilham. Aku hanya punya mereka berdua”
“Lantas, aku milik siapa ?”
“Ya sana, kembali aja ke Neng Herwati, cewek Bandung yang genit kaya Hema Malini”
Wajah itulah yang aku tunggu, kala bulan bersemayam dalam dirinya. Sembari dia merobohkan wajahnya di bahuku, ketika itu pula sama sekali hatiku menjadi teduh. Kekhawatiran selama ini yang selalu timbul di hati menjadi sirna. Meski selama ini Om Junaedi menawarkan rumahnya kepada Rosma, sebagai jaminan atas kehangatan yang bakal diterima dari bidadariku telah sirna dan berkeping menjadi debu terbawa angin Gunung Merapi.
Rosmapun kian menghangatkan tubuhnya dengan memeluku lebih rapat. Seakan dia tahu kegetiran hatiku kala mendengar tentang Om Junaedi, pemilik perusahaan tempat Rosma bekerja.
‘Aku melihat Anis dan Ilham tidur nyenyak, itu saja membuat hatiku teduh. Aku pernah meraskan kebahagian semu sebelum Mas Adnan memikatku. Bagaimana rasanya hati teriris dan menjadi berkeping. Aku tak mau terulang yang kedua kali Mas !. Apalagi anak kita lagi lucu lucunya, ada ada saja kelakuan mereka berdua tiap hari. Akupun larut dengan canda mereka, kelakuanku jadi mirip mereka berdua.Kamu bahagia Mas ?”
“Ah, kamu seperti anak kecil aja. Kaya gitu nggak usah kamu tanyakan !”
“Barangkali aja kamu masih mendambakan Neng Herawati, yang kabarnya punya salon yang besar di Bandung. Dia kenes dan genit kan, Mas ?”
“Baru saja kamu tanyakan aku bahagia apa nggak, sekarang kamu ungkit lagi masa laluku”
“Aku jadi cemburu Mas, kalau dengar kisah masa lalumu”
“Kan aku sudap pnya kamu. Lagian Herawati kan sudah marrid sama temenku. Bagiku yang sudah ya sudah ?”
“Tapi Mas kan dulu pernah jadi morfinis, saat kehilangan cewek jelita itu yang penuh janji-janji. Mas frustasikan ? ditinggal sama Herawati “
“Aduh ampun, Ros !. Secuilpun aku nggak bakal mengharap dia lagi. Setelah aku ketemu kamu dengan kekagumanku, aku sudah berniat membenahi diriku. Percaya Rosma ?”
Rosma segera menarik bahuku sembari menyodorkan ciuman hangat kepadaku, lantas pelangi warna warni itupun terbesit di tengah langit. Meski hari telah larut malam, langitpun berjelaga hanya kerlipan bintang bintang tersenyum ceria. Tapi itulah pelangi milik sebuah cinta anak adam yang kokoh terjalin dalam relung hati mereka. Kini dengus nafas dan peluh memnuhi kamar pengantin mereka berdua. Rosmapun menggelepar meniti pelangi di atas illalang. Kedua tangan insan itupun saling bertaut erat di tengah bara cinta yang menyala hingga akhirnya hilang ditelan sang fajar.
****
Waktu terus berjalan hingga sampailah perjalan itu hingga suatu sore, aku melihat Rosma pulang dari kantor dengan bulan yang tiada lagi bersemayam di wajahnya. Bahkan kedua matanya kini sembab. Wajahnya merah padam, pertanda selaksa derita membebaninya. Akupun segera mletakan harian sore yang sempat aku baca. Seribu misteri kini mengganjal halaman hatiku,
“Ada apa Ros !”
“Om Junaedi memang laki laki keparat !”
“Ada apa, dia menyakitimu ?”
“Nggak Mas !”
“Lalu apa “
“Dia kembali merayuku, bahkan kini dia lebih berani lagi?”
“Maksud dia bagaimana “
“Kini dia lebih gila lagi, aku mau diberi rumahnya yang di Magelang sekaligus mobil Xenia. Asal aku mau menempati rumah itu “
“Lantas aku mau tinggal di mana ?”
“Engkau dan anak-anak tetap di sini”
“Wong edan !, lantas kamu mau “
“Apa Mas sudah nggak percaya sama aku”
“Ya aku percaya Ros, tapi mengapa kau pulang pulang sembab mata kamu”
“Sebab kalau aku tolak, lebih baik dia nggak ngliat aku lagi. Dia tidak ingin tiap hari melihatku lagi”.
“Kurang ajar, besok aku ke kantormu!”
“Nggak usah , Mas. Dia melangkah seperti ini karena dia siap menerima resiko apapun. Dia mengancamku, apabila kamu berulah macam macam, dia tidak segan segan menyakitimu?”
“Aku tak perduli, masa laluku penuh dengan kekerasan, akupun tidak takut siapapun !”
“Aku tahu itu, tapi akupun ingin masalah ini cepat selesai.Makanya aku memilih keluar dari perusaaan itu”
Angin sore melintas di beranda rumah sederhana itu. Daun daun pisang saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik. Tiupan angin itupun membuat mereka mampu mendinginkan bara api amarah dalam hati merek masing masing
“Mas aku takut ?”
“Takut sama siapa, biar aku hadapi semua masalahmu”
“Aku kehilangan pekerjaan, bagaimana nanti Anis dan Ilham”
“Ros, yang Diatas Sana juga mendengar keluh kesah kita, sebagai manusia yang jadi korban ketidakadilan dan kedurjanaan manusia sombong. Kamu jangan pernah takut dengan kehidupan. Kita beruntung selama ini kehidupan justru mendewasakan kita, sehingga kita sudah tidak mampu lagi merasakan suatu penderitaan.Percayalah, Ros ! bila masih ada cakrawala di ufuk timur, pasti semua kehidupan akan ditebarkan oleh Sang Maha Pencipta, asalkan kita pandai bersyukur “
Angin Gunung Merapi bertambah kencang, lantaran mereka segera ingin mendengar prosa romantis anak adam yang saling mengisi kehidupan dengan cinta yang kokoh, meski apaun halangan yang menghadang. Angin gunung itupun makin bertiup kencang lantaran memburu angina angin kembara lain, agar segera duduk bersimpuh di beranda rumah mungil itu. Adnan dan Rosma kini kembali larut dalam canda ria kedua anak mereka.
Tampilkan postingan dengan label CERPEN KEHIDUPAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN KEHIDUPAN. Tampilkan semua postingan
Minggu, 26 September 2010
Senin, 22 Februari 2010
DUNIA TAK SELEBAR KOTA TEGAL
Wayahe wis rendeng, saben dina anane mung udan lan udan bae, tan ora ana srengenge jumedul saka langit. Biasane yen kaya kiye wong-wong sing makarya nang pabrik, apa maning sing ning sawah pada wegah metu, milih ngringkel ning umah, medang poci karo mangan pacetan pisang goreng. Termasuk Kang Raisan sing sadina-dina anane mung ngringkel bae nang peturon.
Padahal Yu Zaenab bojone wis saminggu kiye bengak-bengok bae, awit jengkel weruh bojone kringkal - kringkel bae ora nyambut gawe. Lha. . . kepriben wong bolak-balik Mahendra anak mbarepe disurati gurune, saben wulan mesti dikirime surat tagihan SPP, LKS, uang laboratorium, Uang Ekskul ( Ekstra kurikuler ), durung uang buku, uang piknik, uang pelajaran tambahan / les, uang perpustakaan, uang les komputer lan sapiturute.
Padahal jamane Yu Zaenab sekolah, ora ana pungutan apa - apa, wong mbiyen sekolah bae pada nyeker ora sepatunan. Tapi pada dadi wong gede barang wis lulus. Ora kaya jaman saiki, sekolah isine mung urunan lan urunan. Pantesan barang dadi pejabat anane mung korupsi. Lha. . . kepriben ?
Apa maning sing mbontot nganti wis wegah sekolah, sebabe sering diundang kepala sekolahe sing galake pol temenan, gara-gara SPP nunggak nem sasi. Terus kepriben ?, arep mbayar nganggo godong ? Apa arep utang nang rentenir sing bungane sakandang macan. Apa enake njukut duit nang BPR bae ?. Lha terus bayare kepriben.
Mbuh setan apa sing ngrasuk ning ragane Yu Zaenab, seketika itu juga ndeweke ngugah bojone sing lagi ngorok, kemulan sarung, ngringkel lan loyo sebabe mau mbengi bar begadang nang pinggir kali, kumpul karo Karso sing dodol Kacang Ijo lan Saripan sing dodol wedang ronde.
” Kiye wis awan, sing kira- kira o Mas !, tangi awan ora pantes ditonton nak – anake awake dewek “, Yu Zaenab mbengok nganti tanggane pada krungu.
“ Ana apa sih Nab, kowen sapeneke ngugah turune inyong, aku esih ngantuk “ Kaya kuwe jawabane Kang Raisan.
“ Kiye wis awan, ayo tangi golet pangan, kae surate gurune bocah-bocah isine mung tagihan, apa kudu mandeg sekolahe anake dewek ? “ Yu Zaenab tambah ora sabar.
“ La terus maring endi aku kudu nggolet duwit ”
” Ya mbuh, kuwe urusane sampeyan sing wong lanang ”
” Wis, aku arep minggat, ora usah diogoleti ”. Ora ndadak nunggu waktu maning Kang Raisan langsung brubut metu njaba, ora ndadak mlengas-mlengos maning langsung lunga ninggalaken bojone sing lagi bingung.
” Kang aja minggat, pan maring endi, Kang !. ” Yu Zaenab mbengok, esuk esuk ndadeaken keadaane tangga-tanggane dadi pada menyat saka pawon, pada ndeleng tukarane wong loro sing lagi susah uripe.. Tapi kacek sedelat awake Kang Maisan wios ora katon maning, kaya-kayane mlingsep nang njero bumi. Mbuh kabur kanginnan tekan endi maning. Karuan bae Yu Minah dadi sedih. Padahal karepe deweke mung pan ngonkon supaya bojone kae sregep kerja ora mung ngorok terus nang omah.
Ora suwe Yu Minah mlebu njero omahe lan njagong nang kursi tamu karo deleg – deleg, ora ngurusi mbontote, sing krungu bapak karo ibune pada bengak – bengok tukaran mau, dadi wedi la nangis ora karuan tatane.
____oo___
” Ana apa dengaren esuk – esuk wis teka mertamu nang inyong, San ! ” Kaya kuwe omonganen Pak Bina juragan mebel sing paling sugih sa desane Kang Raisan.,
” Lha. . .kepriben kiye, uripe inyong tambah ora karuan. Wong wadon esuk-esuk wis gemboran ora duwe duit maning. Dadi inyong mrene pan njaluk pegawean, masalah bayaran gampang, Kang ! “
“ Maning – maning kowen kaya kuwe, wis tak wanti – wanti nyambut gawemu sing sregep, aja semblotongan, wong kowen kan wis nduwe bojo sing kudu dinafkahe “ jawabane Bose Kang Raisan.
“ Ya wis, sing mbiyen – mbiyen aja diungkit ungkit maning, saiki aku weis pan tobat, ora kaya gemiyen maning. Kepriben Kang entuk apa ora “
“ La kiye ding dadi masalah San, aku wis dioyk oyak pelangganku, supaya pesenanane cepet rampung. Mulane aku ngerjaaken tenaga liyane, kanggo ngganti kowen. Ya mengko gampang yen ana pegawean maning, kowe tak undang “
“ Ya terus kepribewn Kang, aku selek butuh gawean “
“ Ya coba kerja nang LIK kana, nang kana kan akeh perusahaan mebel kanggo di eksport nang luar negeri, yen inyong saiki lagi megap – megap. Pesenan mebel saiki tambah sepi, embuh kiyhe jaman apa San. Wis maafe bae yan San “
“ Ya wis ora apa – apa Kang. Yen bisa aku pan nyilih duit bae, aku pan maring Malaysia dijak Non Lisa penyalur tenaga kerja. Aku arep nggoleti pegawean nang kana, kepriben pendapatmu Kang ! “.Pak Bina krungu kaya kuwe mung mesem, lan geleng geleng sirahe.
“ San San , kowen kan nduwe ketrampilan, gaweane kowen alus, perkara mebel jarang ngalahaken pegaweanmu. Are apa nang Malaysia, kaya kuwi bae repot !, coba ndingin golet gawean liyane, Saiki lunga Malaysia ya ora cukup 25 juta ongkose, ya luwih apik yen biayane kanggo modal usaha mebel to San “
“ Tapi modal samono ya ora cukup Kang “
“ La ketrampilanmu ya wis kelebu modal to San, sing diareni modal usaha, wis saiki ora usah bingung – bingung, semenatara kiye nggoleti gawean ndingin, karo setitk-setitik ngumpulaken modal. Mengko yen kowen temenan mengko tak goletaken order cilik – cilikan “
“ Tapi jare Non Lisa nang Malaysia akeh pegawean lan bayarare gede, Kang ! “
“ Lha kowen wis tahu mrana ?. Yen jare-jare ora usah didgugu ndingin. Aja bingung San, wong Tegal kiye akeh penguripan sing disebar Gusti Allah, ora mung ning Malaysia tok. Tegal kiye kota urip, gampang kanggo usaha yen temen. Mulane jare inyong Dunia kiye karo Tegal esih jembar Tegal kanggo penguripan. Aja pus asa ndingin. Wis ngono bae ya San, aku pan nyambut gawe.Mengko gampang ketemu maning ! “ Pak Bina terus menyat nyandak alat alat tukang kayune.
Kang Raisan mung meneng baer, tapi atine ngakune yen Pak Bina bener ngomonge. Saiki deweke twrus pamit, arep golet gawean sing temenan. Srenegenge wis anjog nang bun – ubune sirah, berarti dina wios awan. Mulane Kang Raisan tambah semangat kanggo nggoleti pegawean, kanggo nafkahi anak bojone. Sing jelas saiki wis ora nduwe niat maning merantau nang Malaysia, cukup nang Tegal bae.
Langganan:
Postingan (Atom)