Lampu hias di jalan sepanjang Kota Semarang telah mengguratkan wajah kota ini menjadi tambah moncer, bagaikan gadis gadis penari di latar Prambanan kala bulan purnama tiba, meski kerlip sinarnya tidak mampu meyaingi sang rembulan yang berdandan lebih menantang, dengan kuning sinarnya menambah terangnya lorong lorong Kota Semarang di malam itu. Eksotis malam itu telah sanggup memagutkan remaja remaja yang sedang merajut hati, untuk sekedar menuangkan komposisi warna amour dalam kanvas hidup.
Namun malam ini bagi Rinjani tak lebih hanya malam yang bertabur bayang bayang hitam dari hantu hantu entah datang dari penjuru mana. Sehingga warna malamnya hanya hitam kelam, tak satupun berkas sinar rembulan yang menggapai bernnda rumahnya, sejak perpisahan dia dengan Albert. Hati rinjani kini tak ubahnya media untuk merekam saat saat mereka berdua dipeluk dewi asmara. Meski mereka kala itu saling menyayangi, menghormati serta saling mengerti pribadi masing masing. Namun Albert juga tetap manusia biasa.
Malam bertambah menampakan sifatnya yang egois, tetap saja patuh dengan kendaraan waktu yang merambat dari sisi ke sisi, sementara beranda rumahnya kini masih tetap membujur dingin. Hanya sebentar sebentar Rinjani hinggap terkulai dengan suara sauara hatinya sendiri, yang kadang lebih tajam dai belati yang menusuk dalam dalam jantungnya. Segera Rinjani kumpulkan kekuatan untuk menikam suara hatinya dan menelikungnya. Namun lama kelamaan dia sendiri tifsak msmpu melawanya. Karena begitu kuatnya mmenerang anganya.
Barngkali saja karena malam minggu ini dia hanya sendiri di beranda rumahnya, sementara rembulan kini telah mengerutkan wajahnya, dan awan hitam terus saja melingkungi. Maka suara cegkerik dari kebun sebelah rumah setengah tembok yang mau menerima kegetiran hati putri lajang yang anggun itu. Ditambah dengan desah suara daun pisang yang terirama angin malam. Rinjani kini terperosok jauh dengn suara nhatinya
“Lantas untuk apa kamu menyendiri di sini. Sementara Albert kini bercumbu dengan Netty di pavilyun cintanya”. Gemetar seluruh tubuh Rinjani mendengar suara hatinya yang tak mampu ditepisnya.
“Dunia yang aku rengkuh, tidak sebatas Kota Semarang saja, tapi dunia terhampar dari mulai Artic hingga Antartika, dari mulai Mount Everest hingga Mahameru. Kenapa mesti Abert yang harus disisiku ?”
“Tapi mengapa engkau malam ini terkulai lesu, kenapa pula kau bohongi malam jalang ini ?, kamu merindukan Albert kan ?”
Rinjani tersentak kaget, mendengar halilintar yang memecut hati yang sedang meradang pilu itu. Nama yang disebut hatinya sendiri, kini bagaikan bara api yang menguliti seluruh hatinya dan menyalakan bara amarah. Nama itu beberapa hari lalu, ia rasakan bagaikan seribu keindahan yang mewarnai prosa hidupnya. Namun kini nama itu bagaikan bara dari gunung Merapi yang hendak menelan hidup hidup seluruh tubuhnya yang tidak seberapa kuatnya.
“Hai !, hati yang sedalam laut Atlantik, jangan kau sebut lagi nama Albert. Enyahlah kau sejauh jauhnya. Biarkan malam jalang ini menemaniku. Lebih baik aku terpagut dengan kelamnya malam ini, ketimbang aku harus dekat dengan durjana itu”
Baik Rinjani dan malam jalang itu kini sendiri sendiri saling memagut sepi di sisi yang brsebrangan. Namun masih sekali sekali suara angin malam yang jalang itu menyebut nama Raymond. Cowok ganteng, berkulit sawo matang agak gelap dan bertubuh atletis. cowok ini memang piawai untuk mejeng, saat Albert masih di sisinya, diapun sering terkesima melihat sang actor yang senang berkaca mata hitam mirip Tom Cruise. Tapi bagi Rinjani kala itu tidak pernah berniat untuk membuat sayatan luka di hati Albert, yang kadang bersikap seperti gunung es namun kadamg pula dia melebihi adegan sinetron picisan kalau sedang mabok kasmaran.
Desir angin malam bertambah kuat, dentang jam dinding di ruang tamu memecut udara malam hingga sebelas kali. Angin malam kini lebih lantang lagi menyebut nama Raymond.
“Rinjani !, Raymond malam ini merindukanmu, berdandanlah seperti bulu burung merak yang meregangkan seribu warna. Hiasi senyumanmu dengan hiasan penuh rasa simpatik pada pria ganteng itu. Desiran hati kamu sering mengakui kalau dia lebih pinter mejeng ketimbang Albert?”
“Tapi aku bukan cewek murahan yang gampang jatuh kepelukan pria, aku memang kesepian. Betapa kejamnya kau hai malam, kejalanganmu semakin dalam menghimpitku”
Sementara jalangnya malam diam membisu, bahkan sekarang menebar kembang setaman warna warni yang semerbak harum memenuhi beranda hati Rinjani sang bidadari malam yang kehilangan sayap sayap. Maka malampun lantas meminjami sayap yang berwarna merah jambum, hingga membuat Rinjani mampu terbang menuju pintu langit menjumpai Sang Dewi Asmara, yang telah siap membukakan buku harian sang bidadari malam kala masih bersanding dengan Albert.
Lembar demi lembar buku harian terbaca Rinjani, hingga akhirnya pada bagian akhir buku harian, kala dia berjumpa dengan Albert yang terakhir kali, malam minggu yang lalu di Great Zone Coffe di tengah Kota Semarang. Rinjani kala itu sempat kagum dengan dirinya sendiri yang tegar berhadapan dengan durjana cintanya, yang telah menjual cinta gombalnya pada Netty.
Perpisahan memang harus terjadi antara mereka bedua, disaksikan ornament Great Zone Coffe yang flamboyant yang masih menyisakan aura De’Amour. Namun Rinjani telah kukuh hatinya, sekuat tenaga dia harus mampu menepiskan jerat jerat sutera yang terus ditebarkan Albert, namun bagi Rinjani jerat itu hanya belati tajam yang akan mengoyak beranda hatinya.
Kala harmoni malam jalang telah menyuguhkan kidung tengah malam, sayap sayap Rinjani kembali melipat dan luruh di beranda rumahnya, diapun segera dengan perlahan mencabut belati belati yang mengkoyak hatinya. Buku harian yang bersampul pelangi jingga segera ditutupnya, senyum manis Albert masih tertera dengan samara di sampul belakangnya itu. Rinjani kembali duduk terkulai di korsi rotan beranda rumahnya, angina malam jalang yang dingin mulai merambah ke sumsum tulangnya. Namun kejalangan malam itu, kembali mendekati dan mulai menjamah hati Rinjani dengan bahasa malam.
“Bukankah Raymaond yang ganteng itu bukan type cowok penjaja cinta. Rinjani. Raymond yang dulu menjadi sasaran mata kamu yang nakal, seakan akan kau berniat menelan dia hidup hidup. Bukankah kau hanya tergoda dengan mobil mewah Albert, gaya hidup gokil Albert “
Rinjani menjerit dan sekuat hati berniat menepis godaan malam jalang, namun semakin keras Rinjani memekik semakin lantang malam jalang menelikung hatinya.
“Bukankah kau duku menolak Raymond karena tidak mampu memenuhi seleramu, dia hanya pakai sepeda motor untuk kuliah. Sementara sang bunga kampus dan bidadari malam harus duduk di kursi empuk yang mewah ? Apa beda Raymond dan Albert, Rinjani !!!”
Rinjani sudah tidak mampu berkilah lagi, suara hatinya telah redup bahkan telah tersumbat oleh sikapnya sendiri. Namun masih ada satu dua bisikan yang datang dari hatinya yang paling dalam “ Raymond datanglah, akan aku berikan sisa sisa hariku hingga kita mampu bermandikan embun dini hari yang berharum bunga De’Amour “. Seketika itu riuh rendah suara gumam jalangnya malam pekat telah memenuhi seluruh rumahnya, pekarangan dan sisi hati Rinjani. Rinjani kinipun terbang menerjang bintang di langit untuk menerangi hari hari yang akan datang.
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Remaja. Tampilkan semua postingan
Senin, 28 Maret 2011
Jumat, 10 Desember 2010
"The Endess Love" Di Malam Tahun Baru
Terompet kertas dengan leher angsa pendek dan panjang dengan vatiasi warna yang kontras dijajakan sepanjang tepi jalan Malioboro, Jogja. Meski malam tahun baru kali ini masih kurang empat hari lagi. Lampu lampu jalan dengan pilar berarsitektur mataraman kini juga ikut berdandan eksotis, meski bekas debu debu Merapi sempat membuat warna pilarnya mengusam. Namun Jalan Malioboro tidak pernah sekalipun memperdulikan itu, dia lebih menyodorkan daya tarik pesta akhir tahun menyambut datangnya tahun baru. Malioboro laksana gadis yang sedang menyemai gairah cinta untuk kekasih hatinya yang bakal menjumpainya di malam tahun baru.
Dengan beralas sepatu cat dan berkaos kaki tebal warna coklat muda, Michel menapaki trotoar Malioboro pada malam hari ini. Meski dia harus meliak-liukan tubuhnya kesana kemari untuk menghindar benturan dengan meja pajangan souvenir khas Malioboro, namun semua tak mampu mencabut kepiluan yang sudah tertanam jauh di sumsum tulangnya.
puspa prasasti aji |
“Selamat bahagia, Leila. Meski suatu pihan yang berat bagiku. Namun salah satu dari kita harus berani berkorban” Tangan Leila dipegangnya dengan erat, di tengah wajah Leila yang hanya mampu mengguratkan kebimbangan. Pertemuan mereka berdua memang terjadi di malam tahun baru 5 tahun lalu di Rotterdam Café di Malioboro. Sementara gerimis terus saja menyelimuti hati mereka berdua yang sedang tertusuk kepiluan. Namun anehnya hasrat cinta mereka berdua dan remaja remaja lainya yang memenuhi malam tahun baru kala itu, berhasil menghangatkan atmosfer malioboro.
Michel sengaja menapakan kakinya ke salah satu meja tempat 5 malam tahun baru yang lalu menjadi saksi pilu perpisahannya dengan Leila. Meja itu belum berpindah posisi meski lima tahun sudah ia tinggalkan. Belum pernah sekalipun dia menapakan kedua kakinya di Rotterdam Café ini, apalagi meja yang sanggup menghadirkan bayang Leila itu. Apalagi ornemen restoran itu sekarang berubah jauh dengan 5 tahun lalu, sekarang dipenuhi ornament dengan gaya western coboy, ditengah hangar bingar music country slowrock tempo dulu. Tak pelak lagi lagu The Green Green Grass, Boulevard terngiang ditelinganya.
Malam terus dengan egonya merambat menyambut saat saat pergantian tahun, udarapun terus bertambah menggigit tulang sumsum karena gerimis terus saja menawarkan siapa saja un tuk mencari kehangatan. Sebagian pengunjung café itu merasakan malam menjadi bertambah hangat dengan cumbu rayu dan buaian asmara dengan sang pujaan hati mereka. Hanya Michel saja yang terus merasakan jantung dan hatinya yang lepas dari rongga dadanya, kini sebuah lagu dari Elvys Presley “Are You Lone Some To Me” serasa berhasil menghadirkan Leila di sampingnya. Namun sebuah belaian tangan halus kini terasa menyentuh pundaknya, diapun menoleh kearah belakang dan sebuah senyum merayu dari seortang wanita penghibur café diberikan padanya.
“Maaf menganggu !, daripada melamun, kita nikmati saja malam tahun baru ini dengan dance !. Supaya malam ini terasa hangat. OK !” tangan halus wanita penghibur itu telah menarik pergelangan tangan kanan Mikhel.
2
“Oh, terimakasih. Aku lebih suka duduk saja disini sambil menikmati lagu jadul barat yang romantis”
“Kalau begitu boleh aku duduk menemani Mas malam ini”
“Oh tentu saja, silakan”. Mikhelpun menarik kursi yang ada disebelahnya agar sang wanita penghibur itu dapat leluasa duduk di sebelahnya.
“Terimakasih, sebaiknya kita ngobrol tentang apa Mas?. Atau Mas mau request lagu biar aku dampingi !”
“Trimakasih, panggil aku Mikhel saja, mau minum apa Mba ?”
“Sama dong !, kalau sama aku panggil saja Lisa, ah aku ngikut saja kamu mau minum apa”
Mikhel melewati malam saat saat menjelang berganti tahun dengan sejenak melepas kenangan terhadap Leila, meski Lisa hanya teman ngobrol saja, tapi karena dia gaul dan familiar terhadapnya, namun setidak tidaknya dia mampu menghibur hatinya yang terpagut sepi yang tiada henti dari tahun ke tahun. Apalagi sosok Lisa mirip dengan Leila, terbesit dalam benak Mikhel apa Leila kini menjelma menja di Lisa. Namun angan itu tertepis kala dia DJ Rotterdam Café mulai menyodorkan lagu lagu West Country yang lebih rancak.
“Mikhel, kamu kan suka nyanyi, ayo dong request lagu seperti beberapa waktu dulu !” sepotong kalimat terlepas begitu saja dari mulut Lisa, namun sanggup merontokan jantung dan hati Mikhel. Lantaran meski hanya sebuah pertanyaan, namun dia kini bukan berada di pub itu, angan dia menjadi melangkah surut kembali, kala dia dan Leila menyanyikan lagu “The Endless Love” di malam tyahun baru 5 tahun lalu. Mikhel kini berusaha meniti kembali kenangan itu, setidak tidaknya dari pertanyaan yang dilontarkan Lisa.
“Sorry Lis, mengapa kamu tahu aku dengan Leila request lagu disini dulu”
“Oh sorry, Mikhel. Kebetulan aku masih ingat saat kamu sama cewekmu menyanyikan lagu… ah.. aku sendiri lupa judulnya. Sorry Mikhel aku nggak control kata kataku?”
“Aku nggak tersinggung, Cuma memang kenangan itu begitu dalam bagi aku. Aku tidak menyangka kalau setelah Leila menyanyikan lagu itu, dia meminta suatu perpisahan. Karena suatu sebab dia harus married dengan dosen pembimbing skripsinya. Kini dia di mana aku tidak pernah tahu, aku sengaja ke pub ini hanya sekedar mengenang Leila kembali di tengah kesepian yang menyelimuti hatiku ini. Boleh aku tanya, mengapa kamu ingat kejadian itu”
“Saat Mbak Raras masih kerja disini dia sering cerita tentang kamu berdua”
3
“Siapa Mbak Raras ?”
“Dia teman Leila waktu di SMA dulu, Tapi kini dia tidak kerja disini lagi. Leila dulu sering main ke sini bertemu Mbak Raras, bahkan dia dulu sering menerima telepon dari Leila”
“Maaf Lisa, bukan aku sok seperti detektif swasta, tapi aku memang butuh kabar tentang Leila, meski hanya sebuah kabar saja aku sudah senang. Apa yang dikatakan Mba Raras tentang Leila sebelum dia pindah kerja”
“Leila minta doa dari Mbak Raras dan mohon maaf bila dia banyak bersalah dengan Mbak Raras”
“Ada apa dengan Leila ?” desak Mikhel pada Lisa, yang merasakan sesuatu layaknya dia menerima beban berat yang menindih semua rongga dadanya, jantungnya berdegu keras, serasa putaran nadi darahnya menjadi melonjak tak karuan.
“Maaf Mikhel, persisnya aku nggak tahu. Hanya Mbak Raras pernah cerita sama aku, kalau Leila mengidap penyakit kanker darah!”
“Kanker darah?, oh Leila di mana kamu sekarang ?”
“Maafkan aku Mikhel, aku membuatmu sedih ?”
“Tak apa Lisa, aku memang sengaja ingin menggali kenangan lama sebelum aku mencari pengganti Leila, aku tak ungkin terus memburu bayang Leila. Sedangkan aku putra tunggal. Mama papiku mendesaku untuk married secepatnya. Teruskan Lisa kabar apa lagi tentang Leila yang kamu tahu ?”
“Menjelang kepindahan Mbak Raras dari pub ini, dia sama sekali tidak lagi bicara masalah Leila. Namun dia suka bersedih bila ingat nasib Leila”
“Leila…Mengapa ?”
“Aku nggak tahu lagi, Mikhel ?, hanya kata Mba Raras dia masih menyimpan surat surat Leila di kamarnya”
“Terus sekarang suratnya di mana ?, apa sudah hilang ?. Tolonglah Lisa !, antarkan aku untuk bisa bertemu dengan Mbak Raras” untuk sekian kali, Mikhel mendesak Lisa untuk terus memburu bayang Leila, yang entah kemana setelah terhempas angin kembara yang tak pasti bertaut pada apapun.
“Kebetulan kamar Mba Raras sekarang aku tempati, dan surat surat itu masih ada !”
“Tunggu apa lagi, Lisa !. Sekarang juga antar aku ke kamarmu”
4
Mereka berdua kini melewati pintu bagian belakang pub itu, sesuatu dirasakan aneh oleh Mikhel saat Lisa merapatkan tubuhnya lebih rapat sambil menggandeng tangan Mikhel untuk berjalan melewati Malioboro menuju kamar Lisa, yang ternyata sebuah hotel berbintang. Berdesir sekali lagi perasaan aneh pada Mikhel, namun karena bayang Leila begitu kuatnya maka sementara itu keganjilan pada Lisa dia tepiskan.
“Inilah kamarku sekarang, Mikhel !”
puspa prasasti aji |
“Oh sungguh bagus kamarmu. Lisa. Tapi mana surat itu, Lisa ?’
“Sabarlah dulu Mikhel sayang !, nanti aku berikan surat itu!”. Lisa segera merangkulkan kedua tanganya ke leher Mikhel, untuk mencium laki laki ganteng itu. Dengan penuh perasaan Lisa mencium berkali kali semua yang Mikhel miliki.
“Lisa, apaan sih, kamu mau menipuku ?”
“Lisa ?, Mikhel tidak ada yang bernama Lisa di sini ?”
“Jangan coba kamu menipuku Lisa ?”
Lisa segera melepas rambut wignya yang berwarna pirang dan melepas kaca mata bulat telurnya. Rambutnya yang hitam kini dia biarkan terurai sebatas bahunya. Mikhel merasakan langit yang ditunggu selama lima tahun kini runtuh sembari menaburkan bunga asmara pada mereka berdua.
“Leila…kaulah Leila…mengapa ?”
“Kenapa, ada yang salah tentangku ?. Kalau Tuhan menggariskan kita memang harus bersatu lagi, Kenapa tidak, kau masih mau menerimaku lagi ?”
Mikhel masih terpaku di sofa berwarna merah muda di kamar hotel itu, malam ini dia merasakan ketidak percayaan yang besar sekali, mengapa kenyataan ini begitu gampang terjadi di balik penantianya yang begitu lama.
“Mikhel, aku tidak menyalahkan kamu, rasa tidak percaya pasti menyelimutimu. Hanya saja aku perlu berpura pura menjadi Lisa untuk mengetahui apa kamu masih menginginkan kehadiranku, setelah aku membuatmu kecewa lima tahun yang lalu. Maafkan aku Mikhel ?, kalau aku langsung mengaku Leila, aku takut menimbulkan sakit hatimu ?. Maafkan ya sayang ?”.Kini giliran Mikhel yang sudah mampu menerima kenyataan, kemudian melepas kerinduan itu dengan peluk dan cium mesra untuk bunga sorga yang lama meninggalkanya.
“Aku punya permintaan sayang, ?”
“Katakan, saja ?”
“Kita nyanyi bersama “Endless Love” seperti lima tahun lalu?”
“Why not “
***
Pondok Sastra HASTI Semarang, 2010
Rabu, 17 November 2010
Senja Di Pantai Utara
Roda roda baja terus saja menggilas batang batang baja, yang terbujur dingin di keremangan senja, hijau tanaman padi yang dari sore terus saja berkejaran sepanjang jendela kereta yang berdebu, kini lelah dan terbungkam sepi. Hanya gertakan roda dan batang baja yang menyeruak ke telinga setiap penumpang yang tertunduk lesu. Angin sore pantai utara dengan usilnya menerobos kaca jendela kereta, dan membelai hitam rambut berderai sepanjang bahu milik seorang wanita yang tepat di depan tempat duduku.. Pasang mataku menjadi cemburu, menyaksikan dengan leluasanya angin nakal membelai rambut wanita itu.
Sepasang Mata Bola dari Jogjakarta, demikian aku memberi nama pada wanita terbalut misteri itu dan berkali aku dendangkan untuk membunuh sepi yang terus menjalar , apalagi sepasang mata bola yang kerap tertunduk malu di balik kaca mata bundar sekarang benar benar di depanku.. Kala kedua mata bundar tadi berpadu dengan tatapan mata eksotis miliku, aku tak kuasa lagi menghindar kala berjuta sayap membawaku terbang ke langit. Lantas akupun hanya terdiam lantaran bara api kini bersemayam di tenggorokanku yang mengganjalku hingga tak mampu berbicara sepatah katapun.
“Hai kau laki laki dungu, bukankah kamu laki laki dungu yang belum pernah mendapat sepotong cinta dari seorang wanitapun di dunia ini. Lihatlah dia sekali kali mencuri pandang mengamati kegantenganmu. Mengapa kau diam saja, dungu !!!! “ Sebuah suara dari bilik jantungku bertubi tubi menerjang anganku. “Ah..aku tidak mau sembaragan memperlakukan wanita, aku bukan durjana. Aku manusia yang menghargai segala sesuatu meski sudah menjadi miliku. Dengan cara beginilah manusia mampu menyemai benih kebahagian di dunia”.
Aku hanya bisa diam kala suara suara itu terus menderaku hingga diapun kini terdiam lantaran telah bosan menggumuli kedinginanku. Kereta semakin lama semakin melambat dan berhenti tepat di emplacemen tasiun Pekalongan. Aku menjadi terperangah karena jarum waktu membawaku secepat kilat dan separo dari perjalanan kini telah aku tempuh tanpa mampu menyelinapkan hatiku ke tengah sepasang mata bundar dalam Kereta Senja Kaligung.
“Tidak seperti baisanya Mba, kereta ini nyanggong di Pekalongan lama seperti ini. Biasanya paling banter hanya 10 menit “. Sang mata bola masih menyembunyikan matanya, kini hanya seutas senyum kecil kala mendengar sepotong suaraku yang mencoba membunuh hening suasana kita berdua.
“Mba belum pernah naik kereta ini, kan ?” kembali aku mencoba membuka tabir dalam hatinya dan kuharap sorot sepasang mata bundar ini mampu menguliti seluruh tubuhku.
“Iya, Mas aku baru kali ini, naik Kaligung ?” .
2
“Rupanya kali ini kita terlambat sampe di Tegal. Biasanya masuk Tegal jam delapan malam, tapi malam ini sudah jam setengah sembilan baru nyampe Pekalongan. Mba mau kemana ?”.
“Aku mau ke rumah Pamanku di Tegal “
“Alamatnya mana, Mba ?”
“Adiwerna ?”
“Tepatnya, Adiwerna sebelah mana ?”
“Aku nggak tahu !”
“Jadi baru kali ini, Mba kesana ? “
“Iya !”
“Padahal, kereta ini tiba di Tegal nanti menjelang tengah malam..Lebih baik Mba mencari saudara Mba saja yang ada di Kota Tegal. Adiwerna dengan stasiun kereta masih jauh, sekitar 10 km ?” , aku terperanjat, mengapa gadis sepasang mata bola ini berani menembus pekatnya malam. Padahal kereta senja ini akan memasuki Kota Tegal hampir tengah malam nanti. Lantas akupun sama sekali tidak tega bila sepasang mata bola ini menjadi takut, mengapa ini terjadi, mana ortunya, kakaknya atau teman setianya.
Sepasang mata bola terlihat merebahkan kepalanya di sandaran kursi kereta yang berwarna biru. Sorot matanya sama sekali tidak mampu menyembunyikan kepanikanya, apalagi putih wajahnya menjadi kian meregang. Sementara kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Pekalongan menembus gelap malam. Rasa iba mulai tumbuh dalam belukar hati ini. Terkadang aku memberanikan diri menyodorkan senyuman, agar lebih mendingin wajah yang sedang dipagut kepiluan. Sepasang mata bolapun dengan tesipu memberikan senyumanya pula, seketika sudut jantungku hanya dipenuhi anyelir, mawar jingga dan harum kembang lainnya.
“Mengapa kamu sendiri ke Tegal, kok nggak ngajak teman “
“Keadaan di rumahku sedang tidak karuan, semua warga Desa Srumbung di lereng Merapi dalam keadaan kacau, aku nggak sempat mengajak teman “
“Jadi Mba, siapa ya, sampai aku lupa belum tahu nama Mba. Jadi kamu korban letusan Merapi? ”.
“Aku Mila”
“Aku Hartomo, kenapa kamu ke Tegal, mana bapak ibumu, suadara-saudaramu ?”.
3
Tanpa diminta, aku tanpa ragu memberi namaku, lantaran mulai terselip dihati ini tentang perasaan ingin lebih dekat lagi dengan sepasang mata bola yang ternyata bernasib malang .
“Aku ke Tegal mencari Paman Indrawan, satu satunya kakak bapak, yang masih hidup. Seentara bapak menunggu Ibu yang sakit asma di Rumah Sakit Boyolali, juga adiku yang sakit”
“Oh jadi semua keluargamu mengungsi ke Boyolali “. Mila hanya memberikan senyum yang masam, pertanda dalam hatinya didera kegetiran.
“Betul Mas, dan sekarang semua tetanggaku berniat untuk transmigrasi. Mereka kebanyakan sudah ngeri merasakan kegarangan Merapi “
“Lantas bapak kamu juga mau transmigrasi ?”
“Itulah Mas, maka aku ke Tegal diutus bapak, untuk menyampaikan maksud bapak pengin pindah ke Tegal saja, hanya itu pesan bapak sama Paman Indrawan “
Mila tidak melanjutkan curhatnya itu, lantaran dia lebih suka mengajak curhat dengan lampu lampu penerangan sepanjang jalan Kota Tegal yang keminclong, atau lantaran sejuta kebimbangan yang memenuhi semua sisi jantungnya. Dia hanya diam membisu dan tak merasa ahwa sepasang mata Hartomo telah mulai menelanjangi semua lekuk tubuhnya.
“Mila, kita sudah sampai Kota Tegal, biar aku antar saja kamu sampai ketemu alamat pamanmu “. Mila hanya mengangguk kecil sambil memberi senyumnya yang agak cerah.
Udara Kota Tegal malam tengah malam itu terasa kering di tengah cuaca ekstrim. Kedua remaja bagaikan sepasang insane yang telah lama saling mengenal, barangkali diantara keduanya telah tumbuh perasaan yang aneh. Mila kini merasakan dewa fortuna berada disampingnya, setelah selama hampir 3 minggu dia merasakan kegetiran hidup di bawah tenda pengungsian.
Sepasang Mata Bola dari Jogjakarta, demikian aku memberi nama pada wanita terbalut misteri itu dan berkali aku dendangkan untuk membunuh sepi yang terus menjalar , apalagi sepasang mata bola yang kerap tertunduk malu di balik kaca mata bundar sekarang benar benar di depanku.. Kala kedua mata bundar tadi berpadu dengan tatapan mata eksotis miliku, aku tak kuasa lagi menghindar kala berjuta sayap membawaku terbang ke langit. Lantas akupun hanya terdiam lantaran bara api kini bersemayam di tenggorokanku yang mengganjalku hingga tak mampu berbicara sepatah katapun.
“Hai kau laki laki dungu, bukankah kamu laki laki dungu yang belum pernah mendapat sepotong cinta dari seorang wanitapun di dunia ini. Lihatlah dia sekali kali mencuri pandang mengamati kegantenganmu. Mengapa kau diam saja, dungu !!!! “ Sebuah suara dari bilik jantungku bertubi tubi menerjang anganku. “Ah..aku tidak mau sembaragan memperlakukan wanita, aku bukan durjana. Aku manusia yang menghargai segala sesuatu meski sudah menjadi miliku. Dengan cara beginilah manusia mampu menyemai benih kebahagian di dunia”.
Aku hanya bisa diam kala suara suara itu terus menderaku hingga diapun kini terdiam lantaran telah bosan menggumuli kedinginanku. Kereta semakin lama semakin melambat dan berhenti tepat di emplacemen tasiun Pekalongan. Aku menjadi terperangah karena jarum waktu membawaku secepat kilat dan separo dari perjalanan kini telah aku tempuh tanpa mampu menyelinapkan hatiku ke tengah sepasang mata bundar dalam Kereta Senja Kaligung.
“Tidak seperti baisanya Mba, kereta ini nyanggong di Pekalongan lama seperti ini. Biasanya paling banter hanya 10 menit “. Sang mata bola masih menyembunyikan matanya, kini hanya seutas senyum kecil kala mendengar sepotong suaraku yang mencoba membunuh hening suasana kita berdua.
“Mba belum pernah naik kereta ini, kan ?” kembali aku mencoba membuka tabir dalam hatinya dan kuharap sorot sepasang mata bundar ini mampu menguliti seluruh tubuhku.
“Iya, Mas aku baru kali ini, naik Kaligung ?” .
2
“Rupanya kali ini kita terlambat sampe di Tegal. Biasanya masuk Tegal jam delapan malam, tapi malam ini sudah jam setengah sembilan baru nyampe Pekalongan. Mba mau kemana ?”.
“Aku mau ke rumah Pamanku di Tegal “
“Alamatnya mana, Mba ?”
“Adiwerna ?”
“Tepatnya, Adiwerna sebelah mana ?”
“Aku nggak tahu !”
“Jadi baru kali ini, Mba kesana ? “
“Iya !”
“Padahal, kereta ini tiba di Tegal nanti menjelang tengah malam..Lebih baik Mba mencari saudara Mba saja yang ada di Kota Tegal. Adiwerna dengan stasiun kereta masih jauh, sekitar 10 km ?” , aku terperanjat, mengapa gadis sepasang mata bola ini berani menembus pekatnya malam. Padahal kereta senja ini akan memasuki Kota Tegal hampir tengah malam nanti. Lantas akupun sama sekali tidak tega bila sepasang mata bola ini menjadi takut, mengapa ini terjadi, mana ortunya, kakaknya atau teman setianya.
Sepasang mata bola terlihat merebahkan kepalanya di sandaran kursi kereta yang berwarna biru. Sorot matanya sama sekali tidak mampu menyembunyikan kepanikanya, apalagi putih wajahnya menjadi kian meregang. Sementara kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Pekalongan menembus gelap malam. Rasa iba mulai tumbuh dalam belukar hati ini. Terkadang aku memberanikan diri menyodorkan senyuman, agar lebih mendingin wajah yang sedang dipagut kepiluan. Sepasang mata bolapun dengan tesipu memberikan senyumanya pula, seketika sudut jantungku hanya dipenuhi anyelir, mawar jingga dan harum kembang lainnya.
“Mengapa kamu sendiri ke Tegal, kok nggak ngajak teman “
“Keadaan di rumahku sedang tidak karuan, semua warga Desa Srumbung di lereng Merapi dalam keadaan kacau, aku nggak sempat mengajak teman “
“Jadi Mba, siapa ya, sampai aku lupa belum tahu nama Mba. Jadi kamu korban letusan Merapi? ”.
“Aku Mila”
“Aku Hartomo, kenapa kamu ke Tegal, mana bapak ibumu, suadara-saudaramu ?”.
3
Tanpa diminta, aku tanpa ragu memberi namaku, lantaran mulai terselip dihati ini tentang perasaan ingin lebih dekat lagi dengan sepasang mata bola yang ternyata bernasib malang .
“Aku ke Tegal mencari Paman Indrawan, satu satunya kakak bapak, yang masih hidup. Seentara bapak menunggu Ibu yang sakit asma di Rumah Sakit Boyolali, juga adiku yang sakit”
“Oh jadi semua keluargamu mengungsi ke Boyolali “. Mila hanya memberikan senyum yang masam, pertanda dalam hatinya didera kegetiran.
“Betul Mas, dan sekarang semua tetanggaku berniat untuk transmigrasi. Mereka kebanyakan sudah ngeri merasakan kegarangan Merapi “
“Lantas bapak kamu juga mau transmigrasi ?”
“Itulah Mas, maka aku ke Tegal diutus bapak, untuk menyampaikan maksud bapak pengin pindah ke Tegal saja, hanya itu pesan bapak sama Paman Indrawan “
Mila tidak melanjutkan curhatnya itu, lantaran dia lebih suka mengajak curhat dengan lampu lampu penerangan sepanjang jalan Kota Tegal yang keminclong, atau lantaran sejuta kebimbangan yang memenuhi semua sisi jantungnya. Dia hanya diam membisu dan tak merasa ahwa sepasang mata Hartomo telah mulai menelanjangi semua lekuk tubuhnya.
“Mila, kita sudah sampai Kota Tegal, biar aku antar saja kamu sampai ketemu alamat pamanmu “. Mila hanya mengangguk kecil sambil memberi senyumnya yang agak cerah.
Udara Kota Tegal malam tengah malam itu terasa kering di tengah cuaca ekstrim. Kedua remaja bagaikan sepasang insane yang telah lama saling mengenal, barangkali diantara keduanya telah tumbuh perasaan yang aneh. Mila kini merasakan dewa fortuna berada disampingnya, setelah selama hampir 3 minggu dia merasakan kegetiran hidup di bawah tenda pengungsian.
Rabu, 10 November 2010
Cinta Bertatap Sendu
sekar kusuma adji |
Serba susah memang bagi Odie, bila hatinya telah liar ingin menerjang apa saja yang ada di dalam dadanya. Sesuatu yang dengan halus memekikan hasrat untuk mengenal lebih dekat dengan Sandy. Memang belum lama Odie mengenal Sandy, teman satu kampus di Fakultas Psykhologi Universitas Hamparan Bangsa. Namun kini apabila Sandy berada di dekatnya, hatinyapun selalu dipenuhi kunang malam yang selalu menggelitik dengan nakalnya, mencukil sisi hati ini untuk merapatkan sesuatu kepada bunga kampus itu.
Awalnya memang biasa saja, perjumpaan demi perjumpaan. Hingga mulailah guratan hati Odie berkata lain kala fakultas mengadakan kegiatan refreshing dan pelipur hati pada pasien-pasien rumah sakit yang butuh bimbingan psychologis. Tanpa ingin menengok sudut hati Sandy, Odie cowok yang cuek dengan segala macam Lady Performance tiba tiba saja runtuh hatinya berkeping
Acuh tetap saja menyelimuti hati dan wajah Oddie kala mereka berdua bareng dalam satu kelompok kegiatan bakti social itu. Mereka berdua saling menuai canda, yang semakin lama semakin akrab dan mulai mengenal sisi hati mereka masing masing. Oddie mulai merasakan getar asmara kala pandangan mata mereka berdua saling bepadu dan berakhir dengan goresan di hati Oddie yang mendalam.
Tugas bimbingan pada pasien pasien yang memilukan hati, hari itu usai sudah. Meninggalkan rasa penat dan lapar di tubuh masing masing praktikan. Ada keraguan di hati Oddie kini tentang rencananya mentratrik makan siang Sandy di kantin rumah sakit. Hatinya masih diterkam rasa khawatir entah apa, Di sisi lain hatinya mulai galau ingin segera Oddie melebarkan sayapnya dan merengkuh Sandy untuk terbang dan berjalan di awan, Namun disisi lain, Sandy hanyalah teman satu krlompok praktikan, toh hal yang biasa bila dia berbuat baik pada Sandy. Atau karena pesona yang selalu ditebarkan Sandy, memaksa Oddie untuk menuruti kata hatinya yang lebih ditelikung romantis.
“San, aku cape dan lapar kita ke kantin, OK ?”.
“OK lah, aku juga dah lapar, sekalian aku mau nyiapin berkas laporan di kantin“
“Ah.kalau untuk laporan biar aku kerjain di rumah aja, sekarang kita butuh refershkan ?”
“Oh, dewi fortuna alangkah beruntungnya aku hari ini, udah ditlaktir makan siang dibuatin laporan lagi “
“Dewi fortuna kayanya lebih dekat aku hari ini San, ketimbang sama kamu “
“Alasanmu ?” tanya Sandy “ Kan harusnya aku yang beruntung, kok malah kamu ?”
“Iya lah, eh tapi nggak tahu ?”
“Kok nggak jadi ngomong, sejak kapan Oddie jadi cowok pemalu ?”
“Nggak tahu lah San, aku lagi cape aja, lagi nggak suka ngomong “
“Katanya kamu mau refresh tadi ?”
“Iya, inikan sudah refersh, bisa canda sama kamu “
sekar kusuma adji |
“Bisa aja kamu Oddie”
Oddie sendiri tidak tahu persis, mengapa kali ini dia bisa sedekat itu dengan Sandy. Padahal selama ini dia hanya tersihir hatinya dengan lagu lagu ciptaanya sendiri, apalagi bila sudah di atas pangung dengan sesatu yan paling dekat dengan dirinya, yaitu hanya sebuah gitar elektrik. Jeritan hatinya hanya dituangkan dengan string elektrik sambil berjingkrakan mirip gitaris Jimy Hendrik. Dan kalau sudah begini, beribu kunang malampun beterbangan disisinya.
Rocker yang satu ini, memang telah mati hatinya terpagut oleh benang sutra cinta milik Evelyn beberapa tahun silam, saat mereka mengucapkan perpisahan sebelum kanker otak membisukan Evelyn selamanya. Namun Evelyn lainya datang menjemputnya dalam sebuah metamorfosis berupa getaran string elektrik, penuh nada eksotis dan terkadang melangkonis. Disitulah Oddie merasakan kehadiran Evelyn kembali, apalagi bila dia membawakan lagu Are You Lonesome To Night kesukaan Evelyn. Bunga bunga cinta yang terus saja membara namun hanya kesemuan yang Oddie dapatkan.
Terbesit dalam angan yang nakal dari Oddie, mungkinkah Sandy mampu menggantikan Evelyn, yang memiliki pesona hamper menyerupai Evelyn.
“Eh, melamun, mana bisa kamu refresh,kalau terus melamun kaya gitu “ . Sebuah teriakan kecil Sandy membuat kedua kaki cowok ganteng itu kembali menginjak bumi, setelah lama Oddie terbawa angan mengunjungi persinggahan Evelyn di langit biru.
“Ah, nggak San, aku cuma kecapean, semalam aku corat coret buat lagu “
“Aku heran sama kamu, kadang kamu kelihatan enjoy, tapi kadang kelihatan murung dan melamun. Sorry ya Oddie, kalau aku nimbrung privasimu”
“Ya nggak apa apa sih, hanya saja aku seorang penulis lagu. Meski belum ada laguku yang masuk rekaman” getar suara Oddie terdengar jelas, pertanda dia tidak menuturkan lisanya sesuai dengan kata hatinya. Sandypun mampu menangkap gejolak hati yang ada di dada Oddie.
“Kamu lagi naksir cewek ya Odd ?”
“Ah, kaya anak kecil aja, an !”
“Lho, emangnya kamu si gaek yang loyo ?, kamu kan masih muda ?”
“Ah, nggak kaya gitu, San!. Ku nggak gampang naksir cewek”
“Emangnya kenapa ?”
Seteguk es jeruk terakhir bagi Oddie kini membasahi tenggorokanya, ditengah mereka berdua yang kini bertambah asyik lagi untuk saling mengelupas jantung hatinya masing masing. Kini lebih kerap Oddie melempar sorot matanya pada wajah Sandy, yang kadang dibalas dengan senyum bunga kapus itu. Seketika itu Oddie merasakan bayangan Evelyn dating menjenguknya dengan wajah yang meradang kemarahan dan wajah cemburu yang membuat selama ini hati Oddie mendingin bagai salju, seketika itu pula Oddie beusaha menepisnya.
“Sudahlah Evelyn, hiduplah kamu dalam kehidupanmu. Biarlah aku hidup kembali bersama Sandy untuk mengarungi dunia yang bertaman kembang warna warni seperti yang dulu pernak kau janjikan”, bisik hati Oddie terus menggumpal di sudut jantungnya. Sementara itu semua ruangan di rumah sakit itu kini mulai ramai oleh pengunjung yang berniat menjenguk saudara dan kerabat yang sakit. Lantaran hari telah ditelikung senja, pertanda mereka harus bergegas pulang di tengah hari yang melelahkan.
“Aku antar kau pulang, San !”
“Aku booking taksi aja, kasihan kamu cape kan, Odd ?”
“Ya cape, tapi nggak apa, aku kan belum tahu rumah kamu” Sandy hanya melempar senyum halus dan lembut, Kini mobil Oddie melaju menembus keremangan senja bersama dengan hatinya yang kini mulai ditanami bunga bunga cinta.
Jumat, 05 November 2010
Merapi Dan Sebuah Cinta
Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.
Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.
Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.
Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.
Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni. Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.
Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.
Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi, mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.
Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.
“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya menghilang entah kemana “
“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”
“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “
“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”
“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”
“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “
“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “
“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.
Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.
“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung. Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.
“Maya kau di mana ?”
“Anto, aku dalam lubang ini ?’
“Maya!, kau tidak apa-apa ?”
“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidakbisa naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.
“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “
“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.
Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.
***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.
Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini. “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.
Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.
***
Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.
Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.
Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.
Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni. Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.
Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.
Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi, mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.
Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.
“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya menghilang entah kemana “
“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”
“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “
“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”
“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”
“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “
“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “
“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.
Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.
“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung. Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.
“Maya kau di mana ?”
“Anto, aku dalam lubang ini ?’
“Maya!, kau tidak apa-apa ?”
“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidakbisa naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.
“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “
“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.
Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.
***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.
Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini. “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.
Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.
***
Kamis, 28 Oktober 2010
Karso Dan Minah
Senja kini telah menyelimuti Dukuh Selo di kaki Gunung Merapi, temaram sinar mentari telah pula merambah wajah dukuh itu yang diselingi menebalnya kabut dingin, yang mengubah wajah dukuh Selo menjadi senyap dan pohon-pohon rindang terlihat terbujur kaku. Sementara itu kegiatan bertani dari semua penghuni menjadi terhenti. Mereka segera berbenah menyongsong malam-malam panjang dibuai angin dingin Gunung Merapi.
Silih berganti warna kehidupan mereka sebagai petani gurem yang tidak menentu, tanpa mereka perdulikan, Asal saja tanaman sayuran yang mereka pelihara, berhasil mereka panen berarti pula masih ada secercah kehidupan yang berhasil mereka lalui. Kalau toh tanaman sayuran telah membusuk dimakan serangga atau hama lainnya, pertanda mereka harus bekerja lebih keras lagi di masa mendatang. Merekapun terima dengan penuh tawakal.
Namun hidup adalah perwujudan cinta yang berasal dari pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa kepada makhlukNYA, tak perduli siapopun berhak menerimanya, asalkan kita tetap ingin menjadi insan yang berniat mengisi karunia ini dengan ikhlas dan tawakal.
Cinta kasih antara sesama mereka sebagai manusia juga berhak mereka terima dan berikan kepada satu sama lainnya, meskipun kehidupan sebagai petani gurem sangatlah tidak banyak menjanjikan kebahagian duniawai. Dengan demikian apakah terlarang bagi mereka untuk merenda cinta kasih antara dua sejoli yang telah menjadi fitroh, apalagi bila mereka adalah dua sejoli yang saling sepakat untuk membangun bahtera kehidupan.
Beruntunglah bagi mereka yang mengejawantahkan hidup ini bukan melulu dari kebahagian duniawai. Bukankah kehidupan yang mereka harapkan adalah kehidupan yang saling memberikan manfaat satu sama lainnya dengan belaian kasih sayang. Seperti yang dijalani di kehidupan sehari-hari oleh Karso bersama dengan keluarganya sebagai petani gurem.
Karso sebagai putra sulung dari keluarga Pasangan Randeng dan Tumirah beserta dengan tiga saudaranya yang hidup sangat sederhana, melewati hari-hari kehidupannya dengan membanting tulang, memanfaatkan tegalanya yang tidak seberapa luas, ditambah dengan penghasilan tambahan sebagai kuli bangunan atau apa saja yang mampu menghasilkan uang halal.
Sudah barang tentu Karso yang hanya tamat SMK itupun juga tidak tinggal diam untuk membantu bapak dan emaknya dalam menjalankan roda kehidupan. Termasuk juga biaya
sekolah ketiga adiknya yang masih kecil. Maka wajar saja bila Karso tumbuh menjadi remaja yang tegar hidupnya dan tegap badanya sekaligus memiliko otot yang berisi dan berwarna legam karena harus bergelut dengan sinar matahari.
Namun bukan itu semua yang diinginkan Karso, melainkan kegigihan dan pantang kehilangan harapan untuk membenahi kehidupan di masa depanya, itu sudah cukup bagi remaja yang telah didewasakan oleh kehidupannya ini.
Idealis yang tertanam kuat di benaknya semenjak dia masih duduk di bangku sekolah, untuk semenatara luluh-lantak dimakan kebutuhan untuk membantu ortunya. Jangankan untuk kuliah di kota besar, untuk makan sehari-haripun dia harus bergelut dengan tegalan dan sayurnya. Bergelut pula dengan nasib sebagai anak desa yang akrab dengan penghidupan yang tiada menentu.
Apa mau dikata nasib telah mencetaknya demikian, namun sungguh beruntung sekali Karso yang telah ditempa lahir batin oleh Randeng bapaknya, sebagai petani gurem yang telah banyak memakan garam dan kesabaran kehidupan. Kehidupan dan kesuksesan meski hanya sejengkal tidak akan datang begitu saja. Semua harus diraih dengan berkorban untuk diri kita sendiri. Mengapa tidak ?, bukankah semua kehidupan Randeng dan Tumirah walau seberapa kecilnya, selalu diraih dengan pundak mereka sendiri ?.
Karsopun menyadari hal tersebut, maka wajar saja bila dia bertekad untuk memulai segalanya dari kegiatan bertani sayuran di kebon bapaknya ini. Tak perduli apapun yang harus dia alami, bukankah kesuksesan tidak harus dimulai dengan berlimpahnya harta. Telah cukup banyak dia saksikan kesuksesan saudagar-saudagar
2
kaya dikampungnya dimulai dari kegiatan bertani seperti dia. Jangan harap bisa meraih kesuksesan bila kita sendiri menjadi musuh kesuksesan yang dapat kita raih.
Demikian bisik hati kecil Karso di tengah kebonya yang hanya ditemani tajamnya sinar mentari yang membakar tubuhnya. Tangkai cangkul yang kini telah dibasahi keringatnya dikeringkan agar tidak licin lagi, sementara dia kini berjalan menuju bawah pohon yang
rindang di tepi kebunnya , untuk meneguk air putih guna membasahi tenggorokannya yang kering sambil beristirahat sejenak. Karena matahari kini telah berada tepat di atas kepalanya.
Sambil menikmati air teh bekal yang dibawanya dari rumah, anganya kini kembali ke masa-masa dia masih sekolah. Sungguh indah cita-cita yang dulu pernah dimiliki, sama seperti teman-temanya kala mereka masih gaul bareng. Diantara Karso dan temen-temenya tiada satupun yang bercita-cita apa adanya. Selalu saja mereka bareng memiliki cita-cita yang setinggi langit. Namun apalah artinya sebuah cita-cita, toh semuanya terhempas dengan kenyataan hidup ini.
Termasuk juga cita – cita yang pernah dia ungkapkan kepada Minah, cewek gedongan yang manis manja, putra kesayangan juragan Iskandar, tuan tanah yang paling sukses di desanya. Kadang pula Karso merasa malu sendiri, terlebh bila berpapasan dengan cewek
kolokan itu, bila melihat kenyataan dengan cita-cita yang pernah dia ungkapkan di depan bunga desa itu.
Biar saja bumi ini akan berputar terbalik, asal saja matahari dan bulan tetap saja pada kedudukannya masing-masing, meski saling berseberangan, sementara tiupan angin gunung inipun kuharapkan masih memberi secercah kehidupan bagi diriku. Biar saja yang aku miliki hanya angan tak berbatas, asalkan saja bahuku yang legam ini masih mampu menyandarkan hidupku.
Meski cita –citaku dulu sangat bersebrangan dengan kenyataan, namun bumi belum berhenti berputar. Karso belum gagal untuk mendapatkan kehidupan ini, masih ada pula tempat di sudut bumi ini yang akan memberikan kesuksesan bagi dirinya walau hanya sejengkal. Itulah suara hati nurani yang selalu berkumandang dari kalbu remaja desa yang tidak pernah mengenal menyerah.
Udara panas tengah hari kini terasa lebih menyengat, Karso segera menyandarkan punggungnya di pohon akasia di salah satu pojok kebonnya. Topi capingnya ia kipaskan untuk mengurangi gerahnya tubuh, yang sudah dibasahi keringat Kedua kakinya telah diluruskan untuk mengurangi kepenatan, karena sejak pagi dia terus berdiri mencangkul
Basah peluh tubuhnya kini menjadi saksi akan kegalauan hatinya, masihkan bisa dia bareng Minah berangkat sekolah naik mobil bak terbuka seperti dulu lagi, berdesak-desakan dengan pedagang sayur yang mau ke pasar. Meski Minah sebenarnya mampu bersepeda motor ke sekolah bila dia mau, namun dia lebih memilih bersama temen-temen sekampung bercanda-ria di atas mobil sayur , termasuk bareng dengan Karso.
Canda–ria tiada batas antara mereka terasa sangat mengasyikan, meski mereka bersekolah di sekolah yang berlainan. Namun keakraban antara remaja desa yang tiada memandang perbedaan membuat mereka merasakan kesenangan yang tersendiri. Kelok jalan desa ditambah dengan naik-turunya jalan, tiada mereka takuti meski mereka berada di tumpukan sayuran.
Desiran hati Karso terasa begitu tajam bila dia beradu pandang dengan Minah, yang juga tersipu malu wajahnya. Apalagi bila Karso memandanginya lebih tajam, wajah Minah menjadi merah tersipu malu, dan tak lama kemudian merekapun saling melempar senyum. Kedua remaja itu kinipun mulai merasakan kebahagiaan. Mereka mulai mengerti , arti dari sebuah senyuman. Apalagi bila mereka satu hari tak bertemu, merekapun menjadi gelisah mendambakan saat pertemuan.
Karsopun belum berani menyimpulkan ini sebagai suatu cinta yang bersemi di hati mereka berdua. Apakah arti semua ini ?. Toh wajar saja bila mereka yang dah lama saling kenal dan konco bareng berangkat ke sekolah mengalami hal-hal yang seperti itu.
3
Ah.. . . betapa indahnya hari itu kala dia bersama Minah pulang sekolah berdesakan di bak mobil sayur, Karso teringat pula saat dulu entah karena apa sebelum mereka mencapai rumah, mesin mobil sayur yang ditumpangi itu mogok secara tiba-tiba. Akhirnya semua penumpangnya turun dan berjalan kaki bareng. Kebetulan hanya dia dan Minah yang rumahnya paling jauh, sehingga kini tinggalah mereka berdua berjalan seiring menyelusuri jalan desa yang turun-naik dan berkelok.
Mengalami kejadian ini Minah bukannya bersikap uring-uringan, tetapi malahan sebaliknya senyum manis tersungging di bibir tipisnya yang merah merekah dan langsung saja dia menggandeng Karso untuk menyelesuri jalan desa ini.
“ Ayo So !, kita jogging aja !, dah deket kok rumah kita “
“ Entar lu cuapek, Min ?. Kita tunggu aja mobil yang akan lewat “ . Karso sebenarnya tidak tega membiarkan Minah, berjalan di bawah terik matahari.
“ Hualah ngenyek lu, jaraknya paling nggak seberapa kok So “
“Ya udah terserah lu aja “ jawab Karso yang terheran dengan sikap cewek gedongan ini, lantaran tidak seperti biasanya Minah bersikap mau mandiri seperti ini.
“Nggak keberatan kan So !, jalan bareng sama aku ? “. Sekali-kali Minah memang suka manja sama siapa aja, termasuk entah mengapa dia juga seneng manja dengan temen deketnya Karso.
“ Waduh ! , , , siapa sih yang keberatan jalan bareng ama, lu “
“Emangnya kenapa ! “ tanya Minah sambil menghadapkan wajahnya kepada Karso lebih dekat lagi dan melemparkan pandangan matanya kepada Karso dalam-dalam, seakan akan Minah mengharapkan jawaban yang jujur dari Karso. Sesaat pandangan mata kedua remaja ini saling bertemu dan tak lama kemudian tinggal tersisa senyum kedua remaja yang tersungging di bibir masing-masing.
“Apabila kembang mekar menebarkan wewangian ke semua penjuru mata angin, maka pastilah datang kumbang berniat hinggap di kelopaknya, sambil menikmati indahnya warna-warni kembang itu” .
“ Ini llagunya siapa, So ? “
“ Ini bukan lyric lagu, tapi puisi bebas karangan aku sendiri “
“Kirain album terbaru KD, So ! Lu kan belum jawab pertanyaanku, kenapa lu seneng jalan bareng aku sih ? “
“ Ya . . .itu tadi jawabanku, pakai puisiku tadi “
“So aku bukan sastrawan atau maestro atau apa itu pengarang lagu, aku nggak ngerti maksudnya, Jawab dong So ? “. Pinta Minah dengan rengekan kecil mirip anak kecil yang manja.
“Kamu itu cuakep . tuan putri !. Bagaikan kembang mawar yang sedang mekar dan menawarkan wewangian ke semua kumbang yang dahaga. He. . .he.. .he. . .maka siapa saja seneng kalau main bareng sama lu !. Sudah selesai jawaban hamba, tuan putri ! “
“Idiih, kamu genit So, “ jawab Minah sambil berusaha mencubit punggung Karso. Karsopun segera menghindar cubitan Minah. Kini terlihat kedua remaja yang sedang bercanda
ria, berkejaran mirip acting film India, tak memperdulikan teriknya matahari dan hilir-mudiknya mobil sayur yang melewati jalan itu.
Sekali - sekali terdengar bunyi klakson mobil dan makian sang supirnya, lantaran ulah mereka yang menganggu lalu lintas. Hingga suatu ketika terdengarlah klakson yang keras diiringi bunyi ban yang berderit tajam dari arah
4
belakang mereka berdua. Secara spontan Karso memeluk Minah dan mendorongnya ke arah pinggir jalan. Sehingga kini mereka berdua bergulingan di tanah dan selamatlah kedua insan itu dari terjangan mobil dibelakangnya.
Kontan saja sang supirpun menjadi berang bukan kepalang, apa jadinya bila truk sayur yang dikemudikan menggilas tubuh mereka berdua. Namun kedua remaja itupun tidak menggubrisnya, karena mereka kini telah terjerambab di tepi jalan dengan posisi saling berpelukan. Pososo Karso yang kebetulasn diatas menindihi Minah, kemudian melepaskan pelukannya dan perlahan-lahan bangkit sambil menjulurkan tangan kepada Minah umtuk membantunya berdiri.
“Trimakasih So, telah menyelamatkan aku “ seru Minah dengan raut muka yang memerah lantaran tersipu malu. Karsopun tidak tahu harus berbuat apa, karena kejadian itu sama sekali bukan hal yang direncanakan. Yang ada dibenaknya kini hanya rasa malu yang tiada terkira, karena perbuatan itu menurutnya adalah tetap saja perbuatan yang tidak senonoh.
“ Maafin aku ya Min !, aku tidak bermaksud. . .. . . ”
“Udahlah So, aku tahu kau tidak bermaksud kurang-ajar, thank a lot of So “ . Minah sama sekali menyadari perbuatan Karso tadi. Meski diwajahnya masih menyimpan perasaan malu, tapi apalah jadinya tadi bila tak diselamatkan Karso. Sehingga yang ada di perasaannya kini hanyalah perasaan terlindungi. Meski beberapa pasang mata ikut menyaksikan kejadian romantis tadi. Bahkan hanya Minahlah yang mampu menjelaskan perasaan yang timbul dari benaknya yang paling dalam. Maka kini hanyalah senyum manis yang menghias wajah Minah gadis desa yang selangit.
“Eeh . . ayo dong kita pulang, jangan bengong aja kaya patung “ Minah segera menarik lengan Karso yang masih berdiri bengong, lantaran masih tidak percaya dengan kejadian tadi. Karsopun kini hanya melangkah menuruti kemauan Minah. Kedua remaja itupun kini kembali dengan nuansa-nuansa canda-ria sepanjang jalan desa menuju rumah masing.
Sementara di kanan-kiri jalan desa yang mereka lalui, terlihatlah daun-daun rumput gajah yang meliuk ke kanan kiri diterpa angin Gunung Merapi, menimbulkan suara gemirisik . Menghantarkan salam cinta kepada dua remaja yang sedang di mabuk asmara. Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Sementara itu Karso masih asyik dibuai lamunannya tentang kisah indah yang lalu kala di masih duduk di SMK di Boyolali. Tak beberapa lama Karsopun terbangun dari lamunannya, lantaran suara ramai burung-burung gereja yang bersenda-gurau di dahan atas pohon akasia.
“ Aku perhatikan dari tadi selalu saja sampeyan terbawa lamunan masa lalumu , So !. Itu nggak baik untuk pemuda seperti sampeyan. Lihatlah aku ini . So !, Apapun yang aku alami, selalu saja aku terima dengan lapang. Yang penting upaya kita untuk masa depan jangan pernah diabaikan “.
Seru Kang Amri mencoba mendekati Karso, yang sedang duduk istirahat di bawah pohon akasia. Sementara bekal dari emaknya masih utuh belum dimakan sedikitpun oleh sahabatnya itu. Pertanda dalam diri sahabatnya kini sedang dihinggapi kegetiran hati. Menjumpai keadaan seperti ini, dalam hati Kang Amripun timbul rasa prihatin yang mendalam terhadap Karso.
Karuan saja Karso menjadi tersentak kaget mendengar penuturan sahabatnya itu yang kini tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya, karena dari tadi Karso tidak memperdulikan kehadiran teman setianya itu. Meski mereka berdua memiliki nasib yang sama-sama tak menentu, namun perhatian antar mereka berdua sungguh tiada duanya. Kebetulan saja Kang Amri juga petani sayur yang menggarap lahan disamping lahan milik Karso. Hanya saja Kang Amri berumur 4 tahun lebih tua dari Karso, dan baru tahun kemarin Kang Amri membina maghligai keluarga dengan gadis desa tetangganya yang bernama Ngatini.
Sehingga Kang Amripun tahu persis apa yang ada di benak sahabatnya itu. Terlebih-lebih mereka berdua adalah sahabat kental sejak masa kecil. Maka tentu saja Kang Amri telah mengetahui hitam-putih diri Karso.
5
Yang jelas segala nasehat ataupun saran yang akan mampu membuat perubahan baik untuk dirinya, Karsopun tidak segan-segan untuk menerima dengan lapang dada. Maka langsung saja Kang Amri berniat untuk menguatkan hati sahabatnya itu, agar mau bertekad membuang jauh-jauh lamunan Karso yang tak berujung itu
“Ah. . . aku hanya kecapaian, Kang ! “. Karso berusaha menutupi apa yang bersemayam dalam sudut hatinya.
“Aku juga pernah muda, So !. Tiada yang mampu membuat anak muda menjadi tak berdaya, kecuali menghadapi kegagalan cinta “.
“ Aku dah melupakan Minah kok, Kang ! ”
“Sukur kalau sampeyan bertekad seperti itu, tapi hati sampeyan belum bisa !. Selamanya kalau sampeyan tidak bertekad menghapus kenangan lama, akan membuat sampeyan tidak gairah “
“ Gairah apa to Kang ? “
“ Ya. . . namanya orang hidup, pasti ingin mendapatkan segala-galanya agar hidup kita bahagia, tentram dan damai. Meski kita hanya petani sayur , yang nggak punya masa depan. Karso hanya terdiam seribu bahasa, pandangan kini jauh ke depan. Mencoba membangkitkan angan-angan tentang apa yang akan dilakukan untuk masa mendatang. Bukankah dia masih memiliki rentang waktu yang masih panjang, untuk mengisi hidup ini dengan segala sesuatu yang dapat berguna untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat di sekelilingnya.
Apakah kehidupan yang selama ini tidak bersahabat dengan dirinya ini, masih bersedia menempatkan dirinya menjadi manusia yang bernasib sesuai yang diimpikan Karso, ataukah dia hanya cukup seperti ini saja. Pertanyaan seperti itu tiada henti-hentinya melintas di benak Karso, bila dia mengalami kegalauan hati, akibat dari kehidupan yang sudah mulai pengap ia rasakan. Sedangkan Karsopun tahu bahwa Minah adalah gadis desa yang tidak mendewakan duniawi, namun setidak-tidaknya Karso tidak ingin bila keluarga yang dimiliki kelak hanya puas sebagai petani gurem. Meski dia selama ini mampu menghadapi kehidupannya dengan tangguh dan pantang menyerah, namun belum tentu putra-putranya kelak bisa bersikap seperti dia..
Masih saja melintas di hatinya untuk bisa memiliki Minah, cewek yang begitu kuat melekat di hatinya. Hanya kepada dialah Karso berniat untuk mewujudkan segala impiannya. Meskipun impian yang dimilikinya itu telah kandas. Apalagi selama ini dia menyaksikan sendiri betapa ulet dan gighnya orang tuanya dalam membiayai pendidikan dia meski hanya sampai tingkat SMK, Suatu kebanggaan sendiri bagi Pak Randeng yang sudah begitu sarat dengan hidup yang membebaninya. Akankah perjuangan ortunya selama ini akan sia-sia saja.
Karso hanya tertunduk lesu, disekanya keringat yang masih saja deras membasahi wajahnya. Cangkul yang sejak tadi pagi melekat kuat di tangannya yang kokoh, kini dibiarkan saja melintang di depannya. Pandangan matanya mulai sayu lantaran dia merasakan himpitan penderitaan yang demikian beratnya. Belum lagi beban biaya sekolah ke tiga adiknya, tentu saja semua ini seharusnya menjadi tanggungannya, karena kedua bahu Pak Randeng sudah tak sekokoh dahulu. Ditambah lagi kehidupan petani gurem sudah tidak banyak menjanjikan kehidupan yang layak.
“Pendek kata, So !. Selama kita belum mampu berhasil memperjuangkan nasib kita sendiri, selalu saja kepahitan hati yang akan kita temui dan disitulah letaknya manusia harus banyak bersabar “. Kata-kata Kang Amri tadi sedikit membuat hati Karso agak terbuka dan Karsopun merasa menemukan sedikit obat hati yang dimasukan dalam-dalam ke lubuk hatinya.
“ Lantas aku harus bagaimana Kang !. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa “
“Desa ini tidak mampu menjanjikan apa-apa untuk pemuda sepertimu “ Jawab Kang Amri dengan tegas.
“ Maksud Kakang gimana ? “
6
“Merantaulah ke Jakarta atau Semarang atau lainnya, bila sampeyan tangguh. sampeyan akan mampu merubah nasib “
“ Rasanya nggak mungkin Kang ! ”
“Mengapa nggak mungkin, aku memang tahu, berat rasanya bagi sampeyan meninggalkan desa ini. Apalagi Kang Randeng sudah sakit-sakitan. Tapi ingat lho So !,
Sampeyan adalah tamatan SMK Jurusan automotif, Sampeyan nggak bakal bisa memanfaatkan ijazah sampeyan. Sayang lho So, bila engkau tetap menjadi petani gurem “ .
“Bapak mungkin nggak ngasih ijin, Kang ! Sebenarnya aku juga punya rencana kaya gitu ! . Tapi aku berpikir juga, nanti siapa sih yang akan membantu bapak di sawah ? “.
Dalam hati Karso memang timbul rasa bimbang untuk menentukan pilihan itu. Lantaran kondisi bapaknya yang sudah mulai sakit-sakitan. Sehingga Karsopun tetap memilih untuk tinggal di desa ini, sambil membimbing dan mengawasi ke tiga adiknya yang masih kecil.
Apalagi semenjak Minah kuliah di Jogja setahun yang lalu, dia sama sekali sudah nggak betah tinggal di desa ini. Dia ingin segera melupakan Minah tambatan hatinya yang sengaja di kuliahkan di Jogja oleh Juragan Iskandar, agar putri kesayangannya bisa melupakan dirinya. Entahlah Karso tidak tahu harus berbuat apa, agar dia mampu melupakan Minah demi kebahagian Minah sendiri.
Terkadang pula Karsopun berniat untuk membuktikan kepada Juragan Iskandar, bahwa dia bukanlah pemuda yang bisa dipandang rendah dan dicaci sesuka juragan itu. Kejadian satu tahun yang lalu memang sungguh menyayat hati dia dan ortunya. Cacian dan hinaan yang dilontarkan juragan itu di depan
orang banyak, sungguh selalu terngiang di telinganya kemanapun Karso pergi. Belum lagi tangis emaknya yang begitu dalam menahan sakit hati atas perlakuan itu.
Meskipun Pak Randeng lebih mampu menahan perasaan sakit hatinya, namun tetap juga bapaknya Karso itu tidak mamupu menyembunyikan kegetiran hatinya. Pertanda dari raut mukanya yang kelihatan bertambah tua. Lebih sering menderita sakit demam, terutama bila tengah malam yang bercuaca dingin. Namun karena bapaknya adalah laki-laki yang sejak kecil akrab dengan penderitaan hidup , maka Pak Randeng lebih mampu bersikap tegar. Dan untuk yang satu ini, Karsopun bangga dengan sikap bapaknya yang bisa dijadikan teladan.
Jujur saja Karso mengakui bahwa dengan ketegaran dan kedewasaan yang dimiliki bapaknya, sudah cukup bisa dijadikan bekal hidup bagi pemuda sederhana itu, apabila Karso mampu berdiri setegar bapaknya. Karena kekayaan materi hanya salah satu bentuk saja dari suatu kebahagian yang diperjuangkan setiap manusia. Namun hakekatnya kaya dan miskin terletak di dalah relung hati tiap insan itu sendiri.
Bukankah Minah sendiri yang sering bertandang ke rumah Karso yang reot untuk mengajak jalan-jalan menyusuri jalan desa yang menembus kebon-kebon sayur milik warga
desa itu, untuk bercumbu rayu dengan Karso kekasih hatinya. Pemuda yang menurut Minah memiliki pribadi yang matang dan dirasakan mampu melindungi Minah sera bertanggung-jawab. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan watak Minah itu sendiri.
Minah merasakan kelembutan belaian kasih sayang Karso terhadap dirinya, meski Karso hanya anak seorang petani gurem. Segala macam peluk dan cium selalu Minah dapatkan apabila mereka berdua memadu kasih, disaksikan oleh temaramnya senja di Desa Selo Kaki Gunung Merapi. Minahpun merasakan tiada dunia selain disisi Karso. Sehingga hanya kepada pemuda inilah Minah akan menyerahkan hidupnya.
Meski dia nantinya hanya berperan sebagai istri seorang petani gurem, bila Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menjodohkannya. Namun ada hal yang terselip di hati Minah yang tidak mampu ditebus oleh apapun jua, yaitu cintanya yang bening kepada Karso pujaannya. Demikian pula kasih-sayang yang demikian lembut dan tulusnya, mampu Minah dapatkan dari pujaan hatinya.
7
Rupanya drama cinta yang telah diperankan dua insan ini terdengar hingga ke telinga Juragan Iskandar. Satu dua kali kabar yang didengarnya tak pernah digubrisnya. Namun kabar tentang putri kesayangannya itu semakin santer terdengar di telinganya. Ditambah lagi sering Juragan Iskandar jumpai perubahan sikap Minah yang suka ngelayab, malas membantu ibunya di rumah dan kadang pula sering dia temui sikap Minah yang sering melamun.
Maka pada suatu hari, Karsopun ingat betul betapa dia tak mampu melupakan begitu saja kisah yang sangat menyakitkan itu. Juragan Iskandar dengan dikawal beberapa anak buahnya melabrak Karso di rumahnya. Kebetulan saat itu Minah sedang bertandang ke rumah Karso. Saat Minah. Pak Randeng dan Tumirah emaknya Karso sedang asyik berbicara di ruang tamu yang berdinding bambu, masuklah rombongan Juragan Iskandar tanpa basa-basi menanyakan keberadaan Karso.
Beberapa anak buah Juragan Iskandar tanpa permisi Pak Randeng, dengan kasarnya menyeret tubuh Minah dan membawanya pulang. Sedangkan sebagian lainnya langsung masuk
ke dalam rumah Pak Randeng yang hampir roboh itu untuk mencari Karso. Setiap sudut rumah
Pak Randeng tidak ada yang luput dari pengamatan mereka.
Sementara teriakan minta tolong dari Tumirah dan Minah yang diculik secara kasar telah membuat para tetangga Pak Randeng berhamburan keluar, tetapi apa yang dapat mereka lakukan. Karena memang telah kesohor dimana-mana bahwa anak buah Juragan Iskandar tidak pernah mengenal belas kasihan dan bertangan dingin dan dengan cara seperti inilah Juragan Iskandar mampu mengelola dagangnya hingga berkembang pesat.
Tak lama kemudian mereka berhasil menyeret Karso hingga sampai halaman rumah. Dengan wajah dingin dan tak mengenal belas kasihan, mereka beramai-ramai melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh Karso yang terus menerus berteriak kesakitan.
“Karso !, Ingat – ingat pesanku ! , kalau kamu ingin selamat. Jangan sekali-kali engkau mendekati anaku lagi. Kalau kau ulangi lagi perbuatanmu, maka kau akan tahu sendiri akibatnya. He. . . anak muda ini baru permulaan “. Ancam Juragan Iskandar kepada Karso, yang terus-terusan memohon ampun, namun tidak pernah digubris oleh sang juragan yang sombong itu. Sementara kini terlihat di sudut bibir Karso dan hidungnya telah mengalir darah segar.
“Silahkan bapak berbuat sesuka hati kepadaku, Namun perlu bapak ketahui, antara aku dan Minah tidak mungkin akan berpisah. Tanyakan sendiri pada Minah!, bila bapak tidak percaya !“
“Kurang ajar !, dasar anak tak tahu diri. Rasakan ini ! “ . Teriak Juragan Iskandar sambil melayangkan bogem mentah ke arah pipi Karso. Sementara itu karena Karso tidak sempat menghindar, maka kini dia melangkah surut sambil terhuyung-huyung kemudian roboh, akibat pukulan Juragan Iskandar yang keras mendarat tepat di rahang bawah.
Melihat anak sulungnya limbung dianiaya Juragan Iskandar, Pak Randeng segera memapah tubuh anaknya yang sempoyongan. Namun sama seperti nasib putra sulungnya, beberapa bogem mentah dari anak buah Juragan Iskandar kini mendarat di beberapa bagian tubuhnya.
“Randeng !, suruh anakmu yang tak tahu diri ini untuk bercermin, apakah pantas dia mendapatkan anaku. Termasuk kau juga, jangan coba-coba punya niat ingin menjadi besanku. Dengar tidak ! “ bentak juragannya itu seraya mengangkat krah baju Randeng yang hanya bisa menangis menahan kehancuran hatinya itu.
Karena kekayaannya begitu melimpah, maka mata hati Juragan Iskandar hanyalah mampu melihat segala sesuatu dari sudut duniawi. Begitu juga perlakuan terhadap putri kesayanganya yang menjadi bunga desa. Apapun yang Minah inginkan selalu saja Juragan
Iskandar penuhi. Bahkan untuk calon suami Minahpun, sudah dipilihkankan, yang sudah barang tentu tidak sembarangan pemuda yang berkenan di hati juragan kaya itu.
8
Tidak heran bila Minah dijodohkan dengan pemuda gedongan dari Kota Magelang, yang berprofesi sebagai dokter internist terkenal di kotanya. Pemuda itu putra seorang kontraktor besar teman bisnis Juragan Iskandar. Meski selisih umur Minah dengan calon suaminya itu cukup banyak, namun tidak menjadikan halangan bagi kedua ortu untuk menjodohkan putranya. Demikianlah kabar yang santer dari mulut ke mulut, yang tersebar di seluruh penghuni Dusun Selo.
Karso tersentak kaget dari lamunannya, kala Kang Amri menyodorkan kopi hangat kepadanya. Diteguknya kopi hangat tadi, hingga Karso kini terlepas dari lamunan=lamunan yang selalu datang dan pergi kemanapun Karso pergi.
“Sudahlah So !, sekarang bulatkan tekadmu !, merantaulah kemana sampeyan suka. Ini akan melupakan dirimu dari bayang-bayang masa lalu. Tentang ijin bapakmu, tidak usah kuatir. Minggu kemarin Kang Randeng telah setuju agar sampeyan meninggalkan desa ini demi secercah kehidupan. Bahkan pakmu tidak tega melihat sampeyan bernasib seperti ini “.
Setelah memberi saran Karso seperti itu. Direguknya berkali-kali kopi hangat yang ada di depan Kang Amri , hingga tinggal gelasnya saja yang telah kosong.
“Jadi bapak setuju , Kang ?. Oh syukurlah, sebenarnya aku ingin ke Jakarta membantu Lik Udin yang memiliki bengkel kecil-kecilan. Aku ingin membantunya meski Lik Udin belum mampu menggajiku “
“Akupun setuju dengan rencanamu, So !. Aku sarankan jangan memikirkan gajimu dulu, So !. Engkau diterima Likmu saja sudah syukur. Lantas kapan sampeyan berangkat ?. Aku sarankan sebelum berangkat telepon dulu Likmu So !. “
“ Aku belum bisa memutuskan kapan berangkat, Kang !. entahlah Kang ! “
“Kalau Cuma untuk beli tiket Senja Utama Solo Balapan, sampeyan nggak usak kuatir, biar aku bantu untuk membeli tiketnya “
“Matur nuwun, Kang !. Nggak usah lah Kang. Nanti ngrepoti sampeyan. Aku punya sedikit tabungan kok, Kang ! “
“He. . .he.. he nggak usah malu-malu So ! , betul aku ikhlas , Tabunganmu biar untuk uang sakumu selama di Jakarta, Nanti malam habis isya datanglah ke rumahku, ya….? “. Pinta Kang Amri kepada Karso yang dibalas dengan senyuman kecil Karso.
“Mengapa sampeyan begitu baik sama aku, Kang !. Padahal hidup sampeyan masih sengsara sama seperti aku, lho Kang ! “
“Jangan malu, So. Perlu sampeyan ingat, kala aku jatuh seperti sampeyan tidak ada yang mau menolongku, kecuali Lik Randeng Beruntunglah sampeyan memiliki bapak seperti dia “.
“ Apa benar, Kang ! “
“Lho kapan aku bohong sama sampeyan “. Jawab Lik Amri sambil menggandeng tangan Karso untuk segera pulang, karena hari telah sore. Kini kedua insan itupun saling tertawa berderai, bersendau-gurau di liku jalan desa sepanjang perjalanan ke rumah mereka.
__________000______
Kabut tebalpun kini mulai menyelimuti lereng Gunung Merapi itu, sebagian besar penghuni Dusun Selo telah mengenakan baju hangat mereka, Suara desir angin gunung bertambah kuat seiring datangnya rembulan malam.
9
Sementara di dalam rumah bambu yang reot itu Karso sibuk membimbing belajar adik-adiknya disaksikan oleh Tuminah emaknya sambil tersenyum bahagia memperhatikan anak-anaknya yang tumbuh sehat.
Malam semakin larut, ketiga adik Karso kini telah berselimut rapat di tengah kedinginan malam yang membawa mereka tidur dengan nyenyaknya. Tinggalah Karso dan emaknya yang duduk di kursi bambu tua yang mereka miliki, sambil menikmati singkong rebus dan kopi panas. Mereka berdua asyik mengobrol. Tak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk kecil dari Pak Randeng yang terbangun dari tidurnya dan segera bergabung dengan pembicaraan mereka berdua.
“Jadi sudah bulat niatmu untuk ke Jakarta, Nang ? “ tanya Pak Randeng sambil merapatkan sarungnya ke seluruh badannya.
“Nggih, Pak !. Besok pagi-pagi Karso berangkat menuju ke Jakarta. Kebetulan barusan aku dari Kang Ramli untuk pinjam HP dan berhasil SMS Lik Udin “
“ Terus gimana jawaban Likmu ? “.
“Alhamdullillah Pak, Lik Udin akan menjemputku di satatiun Gambir, dan sebenarnya sudah lama kedatangan saya ditunngu Lik Udin “.
“Syukrlah kalau begitu Nang, berangkatlah setelah adik-adikmu pergi ke sekolah. Sehingga mereka tidak merengek minta ikut. Yang aku takutkan bila mereka bersedih mengetahui keberangkatanmu ke Jakarta “ seru Pak Randeng.
“ Emak nggak bisa ngasih uang saku untukmu Nang, hanya sekedar untuk makan di perjalanan saja. Yang sabar ya Nang. Dari mulai engkau lahir hingga kini bapak dan emakmu hanya bisa sabar dan tawakal. Kalau engkau bisa meniru bapakmu ini, niscaya hidupmu tidak akan pernah merasa kekurangan “ . Kini emaknya ikut nimbrung pembicaraan mereka. Dari kedua matanya yang sudah keriput mengumpulah titik air mata kesedihan.
Sebenarnya sangat berat hati Tumirah melepas kepergian Karso, namun lantaran dia dan suaminya sangat mendambakan keberhasilan putranya. Maka dengan ikhlaspun Tumirah merelakan kepergian Karso, yang menjadi kebanggaan dia dan suaminya.
“Janganlah merasa berhasil dalam hidup ini, So. Sebelum kau tunjukan kepada seluruh warga desa ini, bahwa keluarga kita tidak serendah apa yang pernah mereka tuduhkan kepada kita. Ingat So, apa yang pernah manusia dapatkan bisa berubah dalam sekejap bila Tuhan yang ada diatas menghendaki demikian “. Pak Randeng dengan suara datar dan berat mencoba untuk memotivasi putra sulungnya agar mampu berbesar hati menghadapi kehidupan nantinya di Jakarta.
“ Nggih. Pakne. Karso mohon doa restu, agar cita-cita kita berhasil “
“Aku dan emakmu, siang dan malam selalu berdoa semoga dalam perjalanan hidup ini engkau selalu mendapat bimbingan dari Tuhan yang Kuasa dan selalu diberi kekuatan hati agar mampu menghadapi cobaan hidup ini. Aku dan emakmu berusaha sekuat hati agar selalu tabah dan pasrah dalam menghadapi cobaan-cobaan yang baru saja kita lewati. Ini semua harus engkau tiru, bila kamu memang pengin menikmati hidup yang sebenarnya “ seru Pak Randeng.
“Insya Allah, Pakne. Di masa yang akan datang kita tidak akan mengalami hal-hal seperti tahun lalu, ini semua karena kesalahan Karso Pak “
“Dalam hal ini Bapakmu tidak pernah menyalahkan siapapun. Karena semua ini hanya lelakoning urip dan kita tidak mungkin mampu menghindari. Setelah engkau mengalami hal-hal seperti tahun lalu, aku harap engkau mampu menjadi pemuda yang dewasa, lapang dada, gigih dan tidak cepat puas mendapatkan segala
10
sesuatu “. Pak Randeng diam sejenak sambil menyalakan rokoknya yang mati dan selalu menempel di mulutnya.
“Aku memang bertekad untuk melupakan Minah, Pakne !. Gadis itu memang bukan selayaknya menjadi teman hidupku “
“Syukurlah, Nang. Bila engkau memiliki tekad seperti itu. Emak sangat senang bila engkau bisa melupakan dia. Sebenarnya Minah gadis yang baik, hanya saja bukan kelasmu untuk mendapatkannya “ pinta emaknya dengan nada sungguh – sungguh.
“Anaku ! , Bapakmu tidak pernah melarang engkau untuk mendapatkan Minah. Karena bapak tahu, Minah adalah gadis yang baik. Namun tentunya engkau belum siap segalanya untuk mendapatkannya, bila engkau telah siap membahagiakan silahkan saja itu hakmu, Anaku !. Tetapi bila engkau berat melakukan hal itu, pilihlah gadis lainnya yang orang-tuanya lebih terbuka menerimamu . Jangan lupakan pesan, bapakmu ini, ya So ! “
Masing-masing yang terlibat dalam pembicaraan malam itu tiada ada yang kuasa lagi meneruskan pembicaraan, lantaran mereka semua terhanyut dengan kepahitan, kegetiran dan birama kehidupan mereka masing-masing.
“ Sepertinya aku tidak kuasa lagi menerima Minah lagi, Pakne !. Karena sikap Juragan Iskandar yang sungguh keterlaluan dengan diri kita. Belum lagi sikap warga desa ini yang telah mencibir kita baik yang di belakang punggung ataupun yang jelas-jelas langsung dilontarkan pada emak dan bapak, atas hasutan juragan sombong itu “,
“Jangan begitu anaku, jangan dulu menaruh dendam pada orang yang tidak bersalah seperti Minah, Hilangkan rasa benci yang mendalam terhadap juragan Iskandar, sebab itu akan menyiksa hatimu sendiri. Apalagi disaat dirimu sedang prihatin seperti ini, rasa benci inilah yang akan terus menggrogoti hatimu, hingga engkau lupa akan kebutuhan dirimu sendiri. “
“ Ah. . . lantas aku harus bagaimana, Pakne ? “
“Anggaplah engkau terlahir kembali di Jakarta, sehingga masa lalumu telah terkubur dalam-dalam. Lalui jalan hidupmu dengan gigih. Bukankah engkau melihat sendiri bagaimana pakmu ini selalu menghadapi liku-liku hidup ini dengan ketabahan. Barangkali ini bisa engkau jadikan pedoman kerjamu di Jakarta. Apabila engka kangen dengan adik-adikmu, tidak usah kau pulang, cukup bapak dan emakmu beserta adikmu yang akan ke Likmu, jangan khawatir biayanya. Anaku !. bapakmu ini masih punya beberapa sapi untuk ongkos ke Jakarta.. Pakmu dah ngantuk, tak tidur dulu “
Semua lampu di rumah Pak Randeng telah dipadamkan, hanya lampu neon 10 watt yang ada di halaman rumah mereka yang masih menyala. Seisi rumah gubug reot itupun kini telah beristirahat, merenda mimpi-mimpi malam. Agar esok hari tubuh mereka segar kembali guna menjalankan roda kehidupan masing-masing.
Karsopun mulai terlelap di dalam tidurnya, yang kini berusaha sekuat hati melupakan Minah si jantung hati, apalagi mulai esok dia sudah di Jakarta. Sehingga perpisahan ini diharapkan akan mengantarkan Karso pada lembaran hidup yang baru.
Silih berganti warna kehidupan mereka sebagai petani gurem yang tidak menentu, tanpa mereka perdulikan, Asal saja tanaman sayuran yang mereka pelihara, berhasil mereka panen berarti pula masih ada secercah kehidupan yang berhasil mereka lalui. Kalau toh tanaman sayuran telah membusuk dimakan serangga atau hama lainnya, pertanda mereka harus bekerja lebih keras lagi di masa mendatang. Merekapun terima dengan penuh tawakal.
Namun hidup adalah perwujudan cinta yang berasal dari pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa kepada makhlukNYA, tak perduli siapopun berhak menerimanya, asalkan kita tetap ingin menjadi insan yang berniat mengisi karunia ini dengan ikhlas dan tawakal.
Cinta kasih antara sesama mereka sebagai manusia juga berhak mereka terima dan berikan kepada satu sama lainnya, meskipun kehidupan sebagai petani gurem sangatlah tidak banyak menjanjikan kebahagian duniawai. Dengan demikian apakah terlarang bagi mereka untuk merenda cinta kasih antara dua sejoli yang telah menjadi fitroh, apalagi bila mereka adalah dua sejoli yang saling sepakat untuk membangun bahtera kehidupan.
Beruntunglah bagi mereka yang mengejawantahkan hidup ini bukan melulu dari kebahagian duniawai. Bukankah kehidupan yang mereka harapkan adalah kehidupan yang saling memberikan manfaat satu sama lainnya dengan belaian kasih sayang. Seperti yang dijalani di kehidupan sehari-hari oleh Karso bersama dengan keluarganya sebagai petani gurem.
Karso sebagai putra sulung dari keluarga Pasangan Randeng dan Tumirah beserta dengan tiga saudaranya yang hidup sangat sederhana, melewati hari-hari kehidupannya dengan membanting tulang, memanfaatkan tegalanya yang tidak seberapa luas, ditambah dengan penghasilan tambahan sebagai kuli bangunan atau apa saja yang mampu menghasilkan uang halal.
Sudah barang tentu Karso yang hanya tamat SMK itupun juga tidak tinggal diam untuk membantu bapak dan emaknya dalam menjalankan roda kehidupan. Termasuk juga biaya
sekolah ketiga adiknya yang masih kecil. Maka wajar saja bila Karso tumbuh menjadi remaja yang tegar hidupnya dan tegap badanya sekaligus memiliko otot yang berisi dan berwarna legam karena harus bergelut dengan sinar matahari.
Namun bukan itu semua yang diinginkan Karso, melainkan kegigihan dan pantang kehilangan harapan untuk membenahi kehidupan di masa depanya, itu sudah cukup bagi remaja yang telah didewasakan oleh kehidupannya ini.
Idealis yang tertanam kuat di benaknya semenjak dia masih duduk di bangku sekolah, untuk semenatara luluh-lantak dimakan kebutuhan untuk membantu ortunya. Jangankan untuk kuliah di kota besar, untuk makan sehari-haripun dia harus bergelut dengan tegalan dan sayurnya. Bergelut pula dengan nasib sebagai anak desa yang akrab dengan penghidupan yang tiada menentu.
Apa mau dikata nasib telah mencetaknya demikian, namun sungguh beruntung sekali Karso yang telah ditempa lahir batin oleh Randeng bapaknya, sebagai petani gurem yang telah banyak memakan garam dan kesabaran kehidupan. Kehidupan dan kesuksesan meski hanya sejengkal tidak akan datang begitu saja. Semua harus diraih dengan berkorban untuk diri kita sendiri. Mengapa tidak ?, bukankah semua kehidupan Randeng dan Tumirah walau seberapa kecilnya, selalu diraih dengan pundak mereka sendiri ?.
Karsopun menyadari hal tersebut, maka wajar saja bila dia bertekad untuk memulai segalanya dari kegiatan bertani sayuran di kebon bapaknya ini. Tak perduli apapun yang harus dia alami, bukankah kesuksesan tidak harus dimulai dengan berlimpahnya harta. Telah cukup banyak dia saksikan kesuksesan saudagar-saudagar
2
kaya dikampungnya dimulai dari kegiatan bertani seperti dia. Jangan harap bisa meraih kesuksesan bila kita sendiri menjadi musuh kesuksesan yang dapat kita raih.
Demikian bisik hati kecil Karso di tengah kebonya yang hanya ditemani tajamnya sinar mentari yang membakar tubuhnya. Tangkai cangkul yang kini telah dibasahi keringatnya dikeringkan agar tidak licin lagi, sementara dia kini berjalan menuju bawah pohon yang
rindang di tepi kebunnya , untuk meneguk air putih guna membasahi tenggorokannya yang kering sambil beristirahat sejenak. Karena matahari kini telah berada tepat di atas kepalanya.
Sambil menikmati air teh bekal yang dibawanya dari rumah, anganya kini kembali ke masa-masa dia masih sekolah. Sungguh indah cita-cita yang dulu pernah dimiliki, sama seperti teman-temanya kala mereka masih gaul bareng. Diantara Karso dan temen-temenya tiada satupun yang bercita-cita apa adanya. Selalu saja mereka bareng memiliki cita-cita yang setinggi langit. Namun apalah artinya sebuah cita-cita, toh semuanya terhempas dengan kenyataan hidup ini.
Termasuk juga cita – cita yang pernah dia ungkapkan kepada Minah, cewek gedongan yang manis manja, putra kesayangan juragan Iskandar, tuan tanah yang paling sukses di desanya. Kadang pula Karso merasa malu sendiri, terlebh bila berpapasan dengan cewek
kolokan itu, bila melihat kenyataan dengan cita-cita yang pernah dia ungkapkan di depan bunga desa itu.
Biar saja bumi ini akan berputar terbalik, asal saja matahari dan bulan tetap saja pada kedudukannya masing-masing, meski saling berseberangan, sementara tiupan angin gunung inipun kuharapkan masih memberi secercah kehidupan bagi diriku. Biar saja yang aku miliki hanya angan tak berbatas, asalkan saja bahuku yang legam ini masih mampu menyandarkan hidupku.
Meski cita –citaku dulu sangat bersebrangan dengan kenyataan, namun bumi belum berhenti berputar. Karso belum gagal untuk mendapatkan kehidupan ini, masih ada pula tempat di sudut bumi ini yang akan memberikan kesuksesan bagi dirinya walau hanya sejengkal. Itulah suara hati nurani yang selalu berkumandang dari kalbu remaja desa yang tidak pernah mengenal menyerah.
Udara panas tengah hari kini terasa lebih menyengat, Karso segera menyandarkan punggungnya di pohon akasia di salah satu pojok kebonnya. Topi capingnya ia kipaskan untuk mengurangi gerahnya tubuh, yang sudah dibasahi keringat Kedua kakinya telah diluruskan untuk mengurangi kepenatan, karena sejak pagi dia terus berdiri mencangkul
Basah peluh tubuhnya kini menjadi saksi akan kegalauan hatinya, masihkan bisa dia bareng Minah berangkat sekolah naik mobil bak terbuka seperti dulu lagi, berdesak-desakan dengan pedagang sayur yang mau ke pasar. Meski Minah sebenarnya mampu bersepeda motor ke sekolah bila dia mau, namun dia lebih memilih bersama temen-temen sekampung bercanda-ria di atas mobil sayur , termasuk bareng dengan Karso.
Canda–ria tiada batas antara mereka terasa sangat mengasyikan, meski mereka bersekolah di sekolah yang berlainan. Namun keakraban antara remaja desa yang tiada memandang perbedaan membuat mereka merasakan kesenangan yang tersendiri. Kelok jalan desa ditambah dengan naik-turunya jalan, tiada mereka takuti meski mereka berada di tumpukan sayuran.
Desiran hati Karso terasa begitu tajam bila dia beradu pandang dengan Minah, yang juga tersipu malu wajahnya. Apalagi bila Karso memandanginya lebih tajam, wajah Minah menjadi merah tersipu malu, dan tak lama kemudian merekapun saling melempar senyum. Kedua remaja itu kinipun mulai merasakan kebahagiaan. Mereka mulai mengerti , arti dari sebuah senyuman. Apalagi bila mereka satu hari tak bertemu, merekapun menjadi gelisah mendambakan saat pertemuan.
Karsopun belum berani menyimpulkan ini sebagai suatu cinta yang bersemi di hati mereka berdua. Apakah arti semua ini ?. Toh wajar saja bila mereka yang dah lama saling kenal dan konco bareng berangkat ke sekolah mengalami hal-hal yang seperti itu.
3
Ah.. . . betapa indahnya hari itu kala dia bersama Minah pulang sekolah berdesakan di bak mobil sayur, Karso teringat pula saat dulu entah karena apa sebelum mereka mencapai rumah, mesin mobil sayur yang ditumpangi itu mogok secara tiba-tiba. Akhirnya semua penumpangnya turun dan berjalan kaki bareng. Kebetulan hanya dia dan Minah yang rumahnya paling jauh, sehingga kini tinggalah mereka berdua berjalan seiring menyelusuri jalan desa yang turun-naik dan berkelok.
Mengalami kejadian ini Minah bukannya bersikap uring-uringan, tetapi malahan sebaliknya senyum manis tersungging di bibir tipisnya yang merah merekah dan langsung saja dia menggandeng Karso untuk menyelesuri jalan desa ini.
“ Ayo So !, kita jogging aja !, dah deket kok rumah kita “
“ Entar lu cuapek, Min ?. Kita tunggu aja mobil yang akan lewat “ . Karso sebenarnya tidak tega membiarkan Minah, berjalan di bawah terik matahari.
“ Hualah ngenyek lu, jaraknya paling nggak seberapa kok So “
“Ya udah terserah lu aja “ jawab Karso yang terheran dengan sikap cewek gedongan ini, lantaran tidak seperti biasanya Minah bersikap mau mandiri seperti ini.
“Nggak keberatan kan So !, jalan bareng sama aku ? “. Sekali-kali Minah memang suka manja sama siapa aja, termasuk entah mengapa dia juga seneng manja dengan temen deketnya Karso.
“ Waduh ! , , , siapa sih yang keberatan jalan bareng ama, lu “
“Emangnya kenapa ! “ tanya Minah sambil menghadapkan wajahnya kepada Karso lebih dekat lagi dan melemparkan pandangan matanya kepada Karso dalam-dalam, seakan akan Minah mengharapkan jawaban yang jujur dari Karso. Sesaat pandangan mata kedua remaja ini saling bertemu dan tak lama kemudian tinggal tersisa senyum kedua remaja yang tersungging di bibir masing-masing.
“Apabila kembang mekar menebarkan wewangian ke semua penjuru mata angin, maka pastilah datang kumbang berniat hinggap di kelopaknya, sambil menikmati indahnya warna-warni kembang itu” .
“ Ini llagunya siapa, So ? “
“ Ini bukan lyric lagu, tapi puisi bebas karangan aku sendiri “
“Kirain album terbaru KD, So ! Lu kan belum jawab pertanyaanku, kenapa lu seneng jalan bareng aku sih ? “
“ Ya . . .itu tadi jawabanku, pakai puisiku tadi “
“So aku bukan sastrawan atau maestro atau apa itu pengarang lagu, aku nggak ngerti maksudnya, Jawab dong So ? “. Pinta Minah dengan rengekan kecil mirip anak kecil yang manja.
“Kamu itu cuakep . tuan putri !. Bagaikan kembang mawar yang sedang mekar dan menawarkan wewangian ke semua kumbang yang dahaga. He. . .he.. .he. . .maka siapa saja seneng kalau main bareng sama lu !. Sudah selesai jawaban hamba, tuan putri ! “
“Idiih, kamu genit So, “ jawab Minah sambil berusaha mencubit punggung Karso. Karsopun segera menghindar cubitan Minah. Kini terlihat kedua remaja yang sedang bercanda
ria, berkejaran mirip acting film India, tak memperdulikan teriknya matahari dan hilir-mudiknya mobil sayur yang melewati jalan itu.
Sekali - sekali terdengar bunyi klakson mobil dan makian sang supirnya, lantaran ulah mereka yang menganggu lalu lintas. Hingga suatu ketika terdengarlah klakson yang keras diiringi bunyi ban yang berderit tajam dari arah
4
belakang mereka berdua. Secara spontan Karso memeluk Minah dan mendorongnya ke arah pinggir jalan. Sehingga kini mereka berdua bergulingan di tanah dan selamatlah kedua insan itu dari terjangan mobil dibelakangnya.
Kontan saja sang supirpun menjadi berang bukan kepalang, apa jadinya bila truk sayur yang dikemudikan menggilas tubuh mereka berdua. Namun kedua remaja itupun tidak menggubrisnya, karena mereka kini telah terjerambab di tepi jalan dengan posisi saling berpelukan. Pososo Karso yang kebetulasn diatas menindihi Minah, kemudian melepaskan pelukannya dan perlahan-lahan bangkit sambil menjulurkan tangan kepada Minah umtuk membantunya berdiri.
“Trimakasih So, telah menyelamatkan aku “ seru Minah dengan raut muka yang memerah lantaran tersipu malu. Karsopun tidak tahu harus berbuat apa, karena kejadian itu sama sekali bukan hal yang direncanakan. Yang ada dibenaknya kini hanya rasa malu yang tiada terkira, karena perbuatan itu menurutnya adalah tetap saja perbuatan yang tidak senonoh.
“ Maafin aku ya Min !, aku tidak bermaksud. . .. . . ”
“Udahlah So, aku tahu kau tidak bermaksud kurang-ajar, thank a lot of So “ . Minah sama sekali menyadari perbuatan Karso tadi. Meski diwajahnya masih menyimpan perasaan malu, tapi apalah jadinya tadi bila tak diselamatkan Karso. Sehingga yang ada di perasaannya kini hanyalah perasaan terlindungi. Meski beberapa pasang mata ikut menyaksikan kejadian romantis tadi. Bahkan hanya Minahlah yang mampu menjelaskan perasaan yang timbul dari benaknya yang paling dalam. Maka kini hanyalah senyum manis yang menghias wajah Minah gadis desa yang selangit.
“Eeh . . ayo dong kita pulang, jangan bengong aja kaya patung “ Minah segera menarik lengan Karso yang masih berdiri bengong, lantaran masih tidak percaya dengan kejadian tadi. Karsopun kini hanya melangkah menuruti kemauan Minah. Kedua remaja itupun kini kembali dengan nuansa-nuansa canda-ria sepanjang jalan desa menuju rumah masing.
Sementara di kanan-kiri jalan desa yang mereka lalui, terlihatlah daun-daun rumput gajah yang meliuk ke kanan kiri diterpa angin Gunung Merapi, menimbulkan suara gemirisik . Menghantarkan salam cinta kepada dua remaja yang sedang di mabuk asmara. Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Sementara itu Karso masih asyik dibuai lamunannya tentang kisah indah yang lalu kala di masih duduk di SMK di Boyolali. Tak beberapa lama Karsopun terbangun dari lamunannya, lantaran suara ramai burung-burung gereja yang bersenda-gurau di dahan atas pohon akasia.
“ Aku perhatikan dari tadi selalu saja sampeyan terbawa lamunan masa lalumu , So !. Itu nggak baik untuk pemuda seperti sampeyan. Lihatlah aku ini . So !, Apapun yang aku alami, selalu saja aku terima dengan lapang. Yang penting upaya kita untuk masa depan jangan pernah diabaikan “.
Seru Kang Amri mencoba mendekati Karso, yang sedang duduk istirahat di bawah pohon akasia. Sementara bekal dari emaknya masih utuh belum dimakan sedikitpun oleh sahabatnya itu. Pertanda dalam diri sahabatnya kini sedang dihinggapi kegetiran hati. Menjumpai keadaan seperti ini, dalam hati Kang Amripun timbul rasa prihatin yang mendalam terhadap Karso.
Karuan saja Karso menjadi tersentak kaget mendengar penuturan sahabatnya itu yang kini tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya, karena dari tadi Karso tidak memperdulikan kehadiran teman setianya itu. Meski mereka berdua memiliki nasib yang sama-sama tak menentu, namun perhatian antar mereka berdua sungguh tiada duanya. Kebetulan saja Kang Amri juga petani sayur yang menggarap lahan disamping lahan milik Karso. Hanya saja Kang Amri berumur 4 tahun lebih tua dari Karso, dan baru tahun kemarin Kang Amri membina maghligai keluarga dengan gadis desa tetangganya yang bernama Ngatini.
Sehingga Kang Amripun tahu persis apa yang ada di benak sahabatnya itu. Terlebih-lebih mereka berdua adalah sahabat kental sejak masa kecil. Maka tentu saja Kang Amri telah mengetahui hitam-putih diri Karso.
5
Yang jelas segala nasehat ataupun saran yang akan mampu membuat perubahan baik untuk dirinya, Karsopun tidak segan-segan untuk menerima dengan lapang dada. Maka langsung saja Kang Amri berniat untuk menguatkan hati sahabatnya itu, agar mau bertekad membuang jauh-jauh lamunan Karso yang tak berujung itu
“Ah. . . aku hanya kecapaian, Kang ! “. Karso berusaha menutupi apa yang bersemayam dalam sudut hatinya.
“Aku juga pernah muda, So !. Tiada yang mampu membuat anak muda menjadi tak berdaya, kecuali menghadapi kegagalan cinta “.
“ Aku dah melupakan Minah kok, Kang ! ”
“Sukur kalau sampeyan bertekad seperti itu, tapi hati sampeyan belum bisa !. Selamanya kalau sampeyan tidak bertekad menghapus kenangan lama, akan membuat sampeyan tidak gairah “
“ Gairah apa to Kang ? “
“ Ya. . . namanya orang hidup, pasti ingin mendapatkan segala-galanya agar hidup kita bahagia, tentram dan damai. Meski kita hanya petani sayur , yang nggak punya masa depan. Karso hanya terdiam seribu bahasa, pandangan kini jauh ke depan. Mencoba membangkitkan angan-angan tentang apa yang akan dilakukan untuk masa mendatang. Bukankah dia masih memiliki rentang waktu yang masih panjang, untuk mengisi hidup ini dengan segala sesuatu yang dapat berguna untuk dirinya, keluarganya dan masyarakat di sekelilingnya.
Apakah kehidupan yang selama ini tidak bersahabat dengan dirinya ini, masih bersedia menempatkan dirinya menjadi manusia yang bernasib sesuai yang diimpikan Karso, ataukah dia hanya cukup seperti ini saja. Pertanyaan seperti itu tiada henti-hentinya melintas di benak Karso, bila dia mengalami kegalauan hati, akibat dari kehidupan yang sudah mulai pengap ia rasakan. Sedangkan Karsopun tahu bahwa Minah adalah gadis desa yang tidak mendewakan duniawi, namun setidak-tidaknya Karso tidak ingin bila keluarga yang dimiliki kelak hanya puas sebagai petani gurem. Meski dia selama ini mampu menghadapi kehidupannya dengan tangguh dan pantang menyerah, namun belum tentu putra-putranya kelak bisa bersikap seperti dia..
Masih saja melintas di hatinya untuk bisa memiliki Minah, cewek yang begitu kuat melekat di hatinya. Hanya kepada dialah Karso berniat untuk mewujudkan segala impiannya. Meskipun impian yang dimilikinya itu telah kandas. Apalagi selama ini dia menyaksikan sendiri betapa ulet dan gighnya orang tuanya dalam membiayai pendidikan dia meski hanya sampai tingkat SMK, Suatu kebanggaan sendiri bagi Pak Randeng yang sudah begitu sarat dengan hidup yang membebaninya. Akankah perjuangan ortunya selama ini akan sia-sia saja.
Karso hanya tertunduk lesu, disekanya keringat yang masih saja deras membasahi wajahnya. Cangkul yang sejak tadi pagi melekat kuat di tangannya yang kokoh, kini dibiarkan saja melintang di depannya. Pandangan matanya mulai sayu lantaran dia merasakan himpitan penderitaan yang demikian beratnya. Belum lagi beban biaya sekolah ke tiga adiknya, tentu saja semua ini seharusnya menjadi tanggungannya, karena kedua bahu Pak Randeng sudah tak sekokoh dahulu. Ditambah lagi kehidupan petani gurem sudah tidak banyak menjanjikan kehidupan yang layak.
“Pendek kata, So !. Selama kita belum mampu berhasil memperjuangkan nasib kita sendiri, selalu saja kepahitan hati yang akan kita temui dan disitulah letaknya manusia harus banyak bersabar “. Kata-kata Kang Amri tadi sedikit membuat hati Karso agak terbuka dan Karsopun merasa menemukan sedikit obat hati yang dimasukan dalam-dalam ke lubuk hatinya.
“ Lantas aku harus bagaimana Kang !. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa “
“Desa ini tidak mampu menjanjikan apa-apa untuk pemuda sepertimu “ Jawab Kang Amri dengan tegas.
“ Maksud Kakang gimana ? “
6
“Merantaulah ke Jakarta atau Semarang atau lainnya, bila sampeyan tangguh. sampeyan akan mampu merubah nasib “
“ Rasanya nggak mungkin Kang ! ”
“Mengapa nggak mungkin, aku memang tahu, berat rasanya bagi sampeyan meninggalkan desa ini. Apalagi Kang Randeng sudah sakit-sakitan. Tapi ingat lho So !,
Sampeyan adalah tamatan SMK Jurusan automotif, Sampeyan nggak bakal bisa memanfaatkan ijazah sampeyan. Sayang lho So, bila engkau tetap menjadi petani gurem “ .
“Bapak mungkin nggak ngasih ijin, Kang ! Sebenarnya aku juga punya rencana kaya gitu ! . Tapi aku berpikir juga, nanti siapa sih yang akan membantu bapak di sawah ? “.
Dalam hati Karso memang timbul rasa bimbang untuk menentukan pilihan itu. Lantaran kondisi bapaknya yang sudah mulai sakit-sakitan. Sehingga Karsopun tetap memilih untuk tinggal di desa ini, sambil membimbing dan mengawasi ke tiga adiknya yang masih kecil.
Apalagi semenjak Minah kuliah di Jogja setahun yang lalu, dia sama sekali sudah nggak betah tinggal di desa ini. Dia ingin segera melupakan Minah tambatan hatinya yang sengaja di kuliahkan di Jogja oleh Juragan Iskandar, agar putri kesayangannya bisa melupakan dirinya. Entahlah Karso tidak tahu harus berbuat apa, agar dia mampu melupakan Minah demi kebahagian Minah sendiri.
Terkadang pula Karsopun berniat untuk membuktikan kepada Juragan Iskandar, bahwa dia bukanlah pemuda yang bisa dipandang rendah dan dicaci sesuka juragan itu. Kejadian satu tahun yang lalu memang sungguh menyayat hati dia dan ortunya. Cacian dan hinaan yang dilontarkan juragan itu di depan
orang banyak, sungguh selalu terngiang di telinganya kemanapun Karso pergi. Belum lagi tangis emaknya yang begitu dalam menahan sakit hati atas perlakuan itu.
Meskipun Pak Randeng lebih mampu menahan perasaan sakit hatinya, namun tetap juga bapaknya Karso itu tidak mamupu menyembunyikan kegetiran hatinya. Pertanda dari raut mukanya yang kelihatan bertambah tua. Lebih sering menderita sakit demam, terutama bila tengah malam yang bercuaca dingin. Namun karena bapaknya adalah laki-laki yang sejak kecil akrab dengan penderitaan hidup , maka Pak Randeng lebih mampu bersikap tegar. Dan untuk yang satu ini, Karsopun bangga dengan sikap bapaknya yang bisa dijadikan teladan.
Jujur saja Karso mengakui bahwa dengan ketegaran dan kedewasaan yang dimiliki bapaknya, sudah cukup bisa dijadikan bekal hidup bagi pemuda sederhana itu, apabila Karso mampu berdiri setegar bapaknya. Karena kekayaan materi hanya salah satu bentuk saja dari suatu kebahagian yang diperjuangkan setiap manusia. Namun hakekatnya kaya dan miskin terletak di dalah relung hati tiap insan itu sendiri.
Bukankah Minah sendiri yang sering bertandang ke rumah Karso yang reot untuk mengajak jalan-jalan menyusuri jalan desa yang menembus kebon-kebon sayur milik warga
desa itu, untuk bercumbu rayu dengan Karso kekasih hatinya. Pemuda yang menurut Minah memiliki pribadi yang matang dan dirasakan mampu melindungi Minah sera bertanggung-jawab. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan watak Minah itu sendiri.
Minah merasakan kelembutan belaian kasih sayang Karso terhadap dirinya, meski Karso hanya anak seorang petani gurem. Segala macam peluk dan cium selalu Minah dapatkan apabila mereka berdua memadu kasih, disaksikan oleh temaramnya senja di Desa Selo Kaki Gunung Merapi. Minahpun merasakan tiada dunia selain disisi Karso. Sehingga hanya kepada pemuda inilah Minah akan menyerahkan hidupnya.
Meski dia nantinya hanya berperan sebagai istri seorang petani gurem, bila Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menjodohkannya. Namun ada hal yang terselip di hati Minah yang tidak mampu ditebus oleh apapun jua, yaitu cintanya yang bening kepada Karso pujaannya. Demikian pula kasih-sayang yang demikian lembut dan tulusnya, mampu Minah dapatkan dari pujaan hatinya.
7
Rupanya drama cinta yang telah diperankan dua insan ini terdengar hingga ke telinga Juragan Iskandar. Satu dua kali kabar yang didengarnya tak pernah digubrisnya. Namun kabar tentang putri kesayangannya itu semakin santer terdengar di telinganya. Ditambah lagi sering Juragan Iskandar jumpai perubahan sikap Minah yang suka ngelayab, malas membantu ibunya di rumah dan kadang pula sering dia temui sikap Minah yang sering melamun.
Maka pada suatu hari, Karsopun ingat betul betapa dia tak mampu melupakan begitu saja kisah yang sangat menyakitkan itu. Juragan Iskandar dengan dikawal beberapa anak buahnya melabrak Karso di rumahnya. Kebetulan saat itu Minah sedang bertandang ke rumah Karso. Saat Minah. Pak Randeng dan Tumirah emaknya Karso sedang asyik berbicara di ruang tamu yang berdinding bambu, masuklah rombongan Juragan Iskandar tanpa basa-basi menanyakan keberadaan Karso.
Beberapa anak buah Juragan Iskandar tanpa permisi Pak Randeng, dengan kasarnya menyeret tubuh Minah dan membawanya pulang. Sedangkan sebagian lainnya langsung masuk
ke dalam rumah Pak Randeng yang hampir roboh itu untuk mencari Karso. Setiap sudut rumah
Pak Randeng tidak ada yang luput dari pengamatan mereka.
Sementara teriakan minta tolong dari Tumirah dan Minah yang diculik secara kasar telah membuat para tetangga Pak Randeng berhamburan keluar, tetapi apa yang dapat mereka lakukan. Karena memang telah kesohor dimana-mana bahwa anak buah Juragan Iskandar tidak pernah mengenal belas kasihan dan bertangan dingin dan dengan cara seperti inilah Juragan Iskandar mampu mengelola dagangnya hingga berkembang pesat.
Tak lama kemudian mereka berhasil menyeret Karso hingga sampai halaman rumah. Dengan wajah dingin dan tak mengenal belas kasihan, mereka beramai-ramai melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh Karso yang terus menerus berteriak kesakitan.
“Karso !, Ingat – ingat pesanku ! , kalau kamu ingin selamat. Jangan sekali-kali engkau mendekati anaku lagi. Kalau kau ulangi lagi perbuatanmu, maka kau akan tahu sendiri akibatnya. He. . . anak muda ini baru permulaan “. Ancam Juragan Iskandar kepada Karso, yang terus-terusan memohon ampun, namun tidak pernah digubris oleh sang juragan yang sombong itu. Sementara kini terlihat di sudut bibir Karso dan hidungnya telah mengalir darah segar.
“Silahkan bapak berbuat sesuka hati kepadaku, Namun perlu bapak ketahui, antara aku dan Minah tidak mungkin akan berpisah. Tanyakan sendiri pada Minah!, bila bapak tidak percaya !“
“Kurang ajar !, dasar anak tak tahu diri. Rasakan ini ! “ . Teriak Juragan Iskandar sambil melayangkan bogem mentah ke arah pipi Karso. Sementara itu karena Karso tidak sempat menghindar, maka kini dia melangkah surut sambil terhuyung-huyung kemudian roboh, akibat pukulan Juragan Iskandar yang keras mendarat tepat di rahang bawah.
Melihat anak sulungnya limbung dianiaya Juragan Iskandar, Pak Randeng segera memapah tubuh anaknya yang sempoyongan. Namun sama seperti nasib putra sulungnya, beberapa bogem mentah dari anak buah Juragan Iskandar kini mendarat di beberapa bagian tubuhnya.
“Randeng !, suruh anakmu yang tak tahu diri ini untuk bercermin, apakah pantas dia mendapatkan anaku. Termasuk kau juga, jangan coba-coba punya niat ingin menjadi besanku. Dengar tidak ! “ bentak juragannya itu seraya mengangkat krah baju Randeng yang hanya bisa menangis menahan kehancuran hatinya itu.
Karena kekayaannya begitu melimpah, maka mata hati Juragan Iskandar hanyalah mampu melihat segala sesuatu dari sudut duniawi. Begitu juga perlakuan terhadap putri kesayanganya yang menjadi bunga desa. Apapun yang Minah inginkan selalu saja Juragan
Iskandar penuhi. Bahkan untuk calon suami Minahpun, sudah dipilihkankan, yang sudah barang tentu tidak sembarangan pemuda yang berkenan di hati juragan kaya itu.
8
Tidak heran bila Minah dijodohkan dengan pemuda gedongan dari Kota Magelang, yang berprofesi sebagai dokter internist terkenal di kotanya. Pemuda itu putra seorang kontraktor besar teman bisnis Juragan Iskandar. Meski selisih umur Minah dengan calon suaminya itu cukup banyak, namun tidak menjadikan halangan bagi kedua ortu untuk menjodohkan putranya. Demikianlah kabar yang santer dari mulut ke mulut, yang tersebar di seluruh penghuni Dusun Selo.
Karso tersentak kaget dari lamunannya, kala Kang Amri menyodorkan kopi hangat kepadanya. Diteguknya kopi hangat tadi, hingga Karso kini terlepas dari lamunan=lamunan yang selalu datang dan pergi kemanapun Karso pergi.
“Sudahlah So !, sekarang bulatkan tekadmu !, merantaulah kemana sampeyan suka. Ini akan melupakan dirimu dari bayang-bayang masa lalu. Tentang ijin bapakmu, tidak usah kuatir. Minggu kemarin Kang Randeng telah setuju agar sampeyan meninggalkan desa ini demi secercah kehidupan. Bahkan pakmu tidak tega melihat sampeyan bernasib seperti ini “.
Setelah memberi saran Karso seperti itu. Direguknya berkali-kali kopi hangat yang ada di depan Kang Amri , hingga tinggal gelasnya saja yang telah kosong.
“Jadi bapak setuju , Kang ?. Oh syukurlah, sebenarnya aku ingin ke Jakarta membantu Lik Udin yang memiliki bengkel kecil-kecilan. Aku ingin membantunya meski Lik Udin belum mampu menggajiku “
“Akupun setuju dengan rencanamu, So !. Aku sarankan jangan memikirkan gajimu dulu, So !. Engkau diterima Likmu saja sudah syukur. Lantas kapan sampeyan berangkat ?. Aku sarankan sebelum berangkat telepon dulu Likmu So !. “
“ Aku belum bisa memutuskan kapan berangkat, Kang !. entahlah Kang ! “
“Kalau Cuma untuk beli tiket Senja Utama Solo Balapan, sampeyan nggak usak kuatir, biar aku bantu untuk membeli tiketnya “
“Matur nuwun, Kang !. Nggak usah lah Kang. Nanti ngrepoti sampeyan. Aku punya sedikit tabungan kok, Kang ! “
“He. . .he.. he nggak usah malu-malu So ! , betul aku ikhlas , Tabunganmu biar untuk uang sakumu selama di Jakarta, Nanti malam habis isya datanglah ke rumahku, ya….? “. Pinta Kang Amri kepada Karso yang dibalas dengan senyuman kecil Karso.
“Mengapa sampeyan begitu baik sama aku, Kang !. Padahal hidup sampeyan masih sengsara sama seperti aku, lho Kang ! “
“Jangan malu, So. Perlu sampeyan ingat, kala aku jatuh seperti sampeyan tidak ada yang mau menolongku, kecuali Lik Randeng Beruntunglah sampeyan memiliki bapak seperti dia “.
“ Apa benar, Kang ! “
“Lho kapan aku bohong sama sampeyan “. Jawab Lik Amri sambil menggandeng tangan Karso untuk segera pulang, karena hari telah sore. Kini kedua insan itupun saling tertawa berderai, bersendau-gurau di liku jalan desa sepanjang perjalanan ke rumah mereka.
__________000______
Kabut tebalpun kini mulai menyelimuti lereng Gunung Merapi itu, sebagian besar penghuni Dusun Selo telah mengenakan baju hangat mereka, Suara desir angin gunung bertambah kuat seiring datangnya rembulan malam.
9
Sementara di dalam rumah bambu yang reot itu Karso sibuk membimbing belajar adik-adiknya disaksikan oleh Tuminah emaknya sambil tersenyum bahagia memperhatikan anak-anaknya yang tumbuh sehat.
Malam semakin larut, ketiga adik Karso kini telah berselimut rapat di tengah kedinginan malam yang membawa mereka tidur dengan nyenyaknya. Tinggalah Karso dan emaknya yang duduk di kursi bambu tua yang mereka miliki, sambil menikmati singkong rebus dan kopi panas. Mereka berdua asyik mengobrol. Tak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk kecil dari Pak Randeng yang terbangun dari tidurnya dan segera bergabung dengan pembicaraan mereka berdua.
“Jadi sudah bulat niatmu untuk ke Jakarta, Nang ? “ tanya Pak Randeng sambil merapatkan sarungnya ke seluruh badannya.
“Nggih, Pak !. Besok pagi-pagi Karso berangkat menuju ke Jakarta. Kebetulan barusan aku dari Kang Ramli untuk pinjam HP dan berhasil SMS Lik Udin “
“ Terus gimana jawaban Likmu ? “.
“Alhamdullillah Pak, Lik Udin akan menjemputku di satatiun Gambir, dan sebenarnya sudah lama kedatangan saya ditunngu Lik Udin “.
“Syukrlah kalau begitu Nang, berangkatlah setelah adik-adikmu pergi ke sekolah. Sehingga mereka tidak merengek minta ikut. Yang aku takutkan bila mereka bersedih mengetahui keberangkatanmu ke Jakarta “ seru Pak Randeng.
“ Emak nggak bisa ngasih uang saku untukmu Nang, hanya sekedar untuk makan di perjalanan saja. Yang sabar ya Nang. Dari mulai engkau lahir hingga kini bapak dan emakmu hanya bisa sabar dan tawakal. Kalau engkau bisa meniru bapakmu ini, niscaya hidupmu tidak akan pernah merasa kekurangan “ . Kini emaknya ikut nimbrung pembicaraan mereka. Dari kedua matanya yang sudah keriput mengumpulah titik air mata kesedihan.
Sebenarnya sangat berat hati Tumirah melepas kepergian Karso, namun lantaran dia dan suaminya sangat mendambakan keberhasilan putranya. Maka dengan ikhlaspun Tumirah merelakan kepergian Karso, yang menjadi kebanggaan dia dan suaminya.
“Janganlah merasa berhasil dalam hidup ini, So. Sebelum kau tunjukan kepada seluruh warga desa ini, bahwa keluarga kita tidak serendah apa yang pernah mereka tuduhkan kepada kita. Ingat So, apa yang pernah manusia dapatkan bisa berubah dalam sekejap bila Tuhan yang ada diatas menghendaki demikian “. Pak Randeng dengan suara datar dan berat mencoba untuk memotivasi putra sulungnya agar mampu berbesar hati menghadapi kehidupan nantinya di Jakarta.
“ Nggih. Pakne. Karso mohon doa restu, agar cita-cita kita berhasil “
“Aku dan emakmu, siang dan malam selalu berdoa semoga dalam perjalanan hidup ini engkau selalu mendapat bimbingan dari Tuhan yang Kuasa dan selalu diberi kekuatan hati agar mampu menghadapi cobaan hidup ini. Aku dan emakmu berusaha sekuat hati agar selalu tabah dan pasrah dalam menghadapi cobaan-cobaan yang baru saja kita lewati. Ini semua harus engkau tiru, bila kamu memang pengin menikmati hidup yang sebenarnya “ seru Pak Randeng.
“Insya Allah, Pakne. Di masa yang akan datang kita tidak akan mengalami hal-hal seperti tahun lalu, ini semua karena kesalahan Karso Pak “
“Dalam hal ini Bapakmu tidak pernah menyalahkan siapapun. Karena semua ini hanya lelakoning urip dan kita tidak mungkin mampu menghindari. Setelah engkau mengalami hal-hal seperti tahun lalu, aku harap engkau mampu menjadi pemuda yang dewasa, lapang dada, gigih dan tidak cepat puas mendapatkan segala
10
sesuatu “. Pak Randeng diam sejenak sambil menyalakan rokoknya yang mati dan selalu menempel di mulutnya.
“Aku memang bertekad untuk melupakan Minah, Pakne !. Gadis itu memang bukan selayaknya menjadi teman hidupku “
“Syukurlah, Nang. Bila engkau memiliki tekad seperti itu. Emak sangat senang bila engkau bisa melupakan dia. Sebenarnya Minah gadis yang baik, hanya saja bukan kelasmu untuk mendapatkannya “ pinta emaknya dengan nada sungguh – sungguh.
“Anaku ! , Bapakmu tidak pernah melarang engkau untuk mendapatkan Minah. Karena bapak tahu, Minah adalah gadis yang baik. Namun tentunya engkau belum siap segalanya untuk mendapatkannya, bila engkau telah siap membahagiakan silahkan saja itu hakmu, Anaku !. Tetapi bila engkau berat melakukan hal itu, pilihlah gadis lainnya yang orang-tuanya lebih terbuka menerimamu . Jangan lupakan pesan, bapakmu ini, ya So ! “
Masing-masing yang terlibat dalam pembicaraan malam itu tiada ada yang kuasa lagi meneruskan pembicaraan, lantaran mereka semua terhanyut dengan kepahitan, kegetiran dan birama kehidupan mereka masing-masing.
“ Sepertinya aku tidak kuasa lagi menerima Minah lagi, Pakne !. Karena sikap Juragan Iskandar yang sungguh keterlaluan dengan diri kita. Belum lagi sikap warga desa ini yang telah mencibir kita baik yang di belakang punggung ataupun yang jelas-jelas langsung dilontarkan pada emak dan bapak, atas hasutan juragan sombong itu “,
“Jangan begitu anaku, jangan dulu menaruh dendam pada orang yang tidak bersalah seperti Minah, Hilangkan rasa benci yang mendalam terhadap juragan Iskandar, sebab itu akan menyiksa hatimu sendiri. Apalagi disaat dirimu sedang prihatin seperti ini, rasa benci inilah yang akan terus menggrogoti hatimu, hingga engkau lupa akan kebutuhan dirimu sendiri. “
“ Ah. . . lantas aku harus bagaimana, Pakne ? “
“Anggaplah engkau terlahir kembali di Jakarta, sehingga masa lalumu telah terkubur dalam-dalam. Lalui jalan hidupmu dengan gigih. Bukankah engkau melihat sendiri bagaimana pakmu ini selalu menghadapi liku-liku hidup ini dengan ketabahan. Barangkali ini bisa engkau jadikan pedoman kerjamu di Jakarta. Apabila engka kangen dengan adik-adikmu, tidak usah kau pulang, cukup bapak dan emakmu beserta adikmu yang akan ke Likmu, jangan khawatir biayanya. Anaku !. bapakmu ini masih punya beberapa sapi untuk ongkos ke Jakarta.. Pakmu dah ngantuk, tak tidur dulu “
Semua lampu di rumah Pak Randeng telah dipadamkan, hanya lampu neon 10 watt yang ada di halaman rumah mereka yang masih menyala. Seisi rumah gubug reot itupun kini telah beristirahat, merenda mimpi-mimpi malam. Agar esok hari tubuh mereka segar kembali guna menjalankan roda kehidupan masing-masing.
Karsopun mulai terlelap di dalam tidurnya, yang kini berusaha sekuat hati melupakan Minah si jantung hati, apalagi mulai esok dia sudah di Jakarta. Sehingga perpisahan ini diharapkan akan mengantarkan Karso pada lembaran hidup yang baru.
Rabu, 06 Oktober 2010
EFFINTA
Sebaiknya bila engkau punguti catatan harian, yang terselip di sudut langit biru. Tentunya akan kau temukan sesuatu yang di tengahnya aku gambari lukisan tentang keindahan. Sebagai ungkapan tentang aku yang akan merindumu.
Sudahkah jiwa ini yang telah engkau telanjangi dengan rayuan merdumu. Telah pula engkau buatkan penyejuk untuk melepas lelahku. Oh…alangkah jauh perjalanan ini. Sudahlah kembang kertas ini engkau sulami dengan warna-warni hasrat. Maukah engkau tunjukan mana yang bisa engkau nyanyikan.
Malam aku tempuh dengan keluhan nafas yang berat, karena terpagut dengan langkah yang tertinggal. Bila engkau mencoba, mungkin kau akan tergambar pada ufuk esok pagi. Oh. . . cakrawalamu . sudahkah berhias sinar mentari pagi. Sudahlah !, untuk sementara biar aku genggam haru birumu, menyertai perahu hasratku yang kandas di keangkuhanmu.
Kupadukan antara hasrat, kagum dan beribu asa. Menjadi secawan hiasan hidup yang dinamakan cinta. Kulukis di tiap dinding hatiku, yang belum pernah kau gantungkan denting kemesraan
Atau mungkin diriku yang belum mengerti yang mana tempatmu singgah, dimana engkau sembunyikan pesona hidup ini, atau mungkin lebih jelas bila kusodorkan cinta. Agar hatimu mau meneguk kejernihan hatiku.
“Engkaulah bunga sejuta harapku, adakah sisa hatimu untuku ? “ demikian aku coba bertanya pada hati ini.
“Lantas dimana kau simpan hatimu, yang belum terisi sejuta keindahan “ jawab sebuah hati yang entah tersembunyi di mana.
“Bila engkau mau merinduku, lalu akan kamu apakan jiwa yang menggelepar ini ?, sedangkan bayang wajahnya terus saja terbujur kaku di mimpiku” terus saja suara dinding hatiku bergeliat.
“Mampukah engkau menyusun puisi hidup, tentang irama keindahan cinta. Jangan kamu kagumi wajahku, jangan kau kagumi dengan betis atau bibir merah delimamu. Kagumilah aku yang terus telanjang menantikan arti hidup ini “ jawab dinding waktu yang sekarang entah berdiri di mana.
Aku tersentak kaget dari tidurku. Terdapat selembar gambaran wajahmu yang tiba-tiba muncul, tanpa aku duga darimana arah kedatanganmu. Lantas aku sertakan engkau, untuk meniti perjalanan pagi. Kala itu beberapa saat yang silam akupun belum tahu, bahwa telah terselip dalam hatiku tentang keindahanmu. Belum ada di bagian manapun di hati ini, yang ingin tahu lebih jauh tentang dirimu.
Namun berulang kali dentang jam dinding yang berjalan secepat kilat, menyambar keinginanku yang menggumpal dan terus menggumpal. Sehingga mendesak jantung hatiku dan menyesakan dada, mengapa belum ada perahu hasrat yang berlabuh di pantai hatimu
Tentunya bila aku sodorkan sebuah cinta untukmu, Engkaupun akan mengepakan sayapmu, menuju cakrawala, yang entah akan menggelantung di langit sebelah mana. Namun kembali lagi jarum waktupun terus mengejarku, agar bulan dengan seribu panorama, yang terpancar dari senyumu, tiba-tiba saja tunduk dipangkuanku.
Bulan kini masih tersembunyi di balik awan, dan akupun telah berada tepat di depanmu. Entahlah aku sendiri telah menguatkan hati yang tadinya hanya mampu bernyanyi sepi. Namun kini hatipun telah aku siapkan, hingga mampu menjadi telaga tempat aku berpuas diri.
Kusapa dan engkaupun tetap menyisakan senyumu, laksana sebuah permintaan agar bulan setidaknya mau mengintip di langit malam. Untuk menyaksikan aku yang hendak menuangkan hasrat kepada kekasih hati, yang kini berada di depanku.\
Kuberikan juga sepenggal asa agar kita berdua menghiasi biduk dengan ornament yang sederhana. Mengarungi lautan biru, dengan ombak yang akan menguatkan kedua sisi biduk kita. Tentunya pula akan kau gapai, bila memang harus kutemui bulan tepat di atas tempat kita mendirikan rumah mungil tapi bersih. Dan pada giliranya rona sinar bulan akan menjadi senyumu.
Hari demi hari, tentunya dandanan hidup akan lebih semarak. Bila engkau tiada pernah bosan untuk menyirami kembang – kembang taman yang ada di pekarangan rumah mungil kita. Bila telah ada pula tautan hati diantara kita untuk sekedar merobahkan tubuh kita yang penat.
“Jangan kau biarkan halaman depan rumahmu dipenuhi debu sore hai, yang dibawaoleh angin kembara yang nakal hai. . .kau wanita tambatan hati “ demikian ungkap kembang mawar di sudut halaman.
Sedangkan kembang melati juga tak kalah lantangnya untuk meneriaki wanita yang ada di dalam rumah mungil itu, “ Jangan kau pernah ragukan secawan cinta suci dari pria yang akan membawamu mengepakan sayapmu menuju biru langit.
Sekali-sekali kembang kenanga juga ingin nimbrung bareng dengan kebahagian kembang-kembang sore yang telah basah disiram air sejuk, yang dijinjing wanita yang berkulit kuning dan bersih,
“ Jangan kau harap akan mampu menggenapi hidup ini, bila dalam hatimu masih ada sisa ketidak- tulusan. Mungkin pula engkau bisa menipu dirimu sendiri, namun sorot mata adalah sesuatu yang tidak bisa diajak berbohong. Maka benahi rumah mungilmu, agar sepanjang malam engkau mampu berdandan ayu “.
“Efinta !, inilah rumah mungilmu, apabila engkau selalu menatanya dengan optimis, maka tentunya dinding dan atapnya tidak akan runtuh walau digoyang gempa sekuat apapun “.
Demikian sempat aku bisikan pesanku dekat ketelinganya, saat bulan sudah mulai hadir di atap rumah kita, agar cukup tangguh maghligai bahtera ini, menghadapi ketidak pastian dunia ini. Bukankah telah cukup banyak rumah mungil yang runtuh diterpa angin prahara keangkara-murkaan manusia yang tak tahu diri ini. Bukankah pula banyak rumah mungil, yang justru diisi dengan ornamen durjana, dari manusia yang menajamkan nafsunya setajam pedang.
“Efinta bersihkanlah selalu kaca jendela rumah mungil kita, agar kita bisa memandangi dengan transparan, cakrawala di depan halaman. Sehingga kita tahu persis kemana langkah kaki akan kita ayunkan “. Bulanpun sudah mulai mendekat di raut wajahmu.
“Benarkah engkau pria yang selalu dekat denganku, benarkah itu “ ?. Kala itu bulanpun mulai merajuk, untuk ditembangi dengan nyanyian bunga-bunga wangi. Untuk mengharumi ruang demi ruang di rumah mungil ini.
“Efinta, aku hanya memiliki bagian hati, yang sebagian untuk dengus nafasmu, dan separonya lagi hanya untuk rembulan yang kini sudah menumpahkan keindahaan di kerling senyumu
”Lantas semua ornament rumahpun telah menjadi saksi bisu, ketika dua hati mengucapkan selamat malam pada rumah mungul ini, pada semua kembang pekarangan yang menata rapi. Dua hatipun bergelora di dalam rumah mungil ini, untuk menghabiskan malam panjang bersama rembulan, yang kini telah menjadi miliku,
Sudahkah jiwa ini yang telah engkau telanjangi dengan rayuan merdumu. Telah pula engkau buatkan penyejuk untuk melepas lelahku. Oh…alangkah jauh perjalanan ini. Sudahlah kembang kertas ini engkau sulami dengan warna-warni hasrat. Maukah engkau tunjukan mana yang bisa engkau nyanyikan.
Malam aku tempuh dengan keluhan nafas yang berat, karena terpagut dengan langkah yang tertinggal. Bila engkau mencoba, mungkin kau akan tergambar pada ufuk esok pagi. Oh. . . cakrawalamu . sudahkah berhias sinar mentari pagi. Sudahlah !, untuk sementara biar aku genggam haru birumu, menyertai perahu hasratku yang kandas di keangkuhanmu.
Kupadukan antara hasrat, kagum dan beribu asa. Menjadi secawan hiasan hidup yang dinamakan cinta. Kulukis di tiap dinding hatiku, yang belum pernah kau gantungkan denting kemesraan
Atau mungkin diriku yang belum mengerti yang mana tempatmu singgah, dimana engkau sembunyikan pesona hidup ini, atau mungkin lebih jelas bila kusodorkan cinta. Agar hatimu mau meneguk kejernihan hatiku.
“Engkaulah bunga sejuta harapku, adakah sisa hatimu untuku ? “ demikian aku coba bertanya pada hati ini.
“Lantas dimana kau simpan hatimu, yang belum terisi sejuta keindahan “ jawab sebuah hati yang entah tersembunyi di mana.
“Bila engkau mau merinduku, lalu akan kamu apakan jiwa yang menggelepar ini ?, sedangkan bayang wajahnya terus saja terbujur kaku di mimpiku” terus saja suara dinding hatiku bergeliat.
“Mampukah engkau menyusun puisi hidup, tentang irama keindahan cinta. Jangan kamu kagumi wajahku, jangan kau kagumi dengan betis atau bibir merah delimamu. Kagumilah aku yang terus telanjang menantikan arti hidup ini “ jawab dinding waktu yang sekarang entah berdiri di mana.
Aku tersentak kaget dari tidurku. Terdapat selembar gambaran wajahmu yang tiba-tiba muncul, tanpa aku duga darimana arah kedatanganmu. Lantas aku sertakan engkau, untuk meniti perjalanan pagi. Kala itu beberapa saat yang silam akupun belum tahu, bahwa telah terselip dalam hatiku tentang keindahanmu. Belum ada di bagian manapun di hati ini, yang ingin tahu lebih jauh tentang dirimu.
Namun berulang kali dentang jam dinding yang berjalan secepat kilat, menyambar keinginanku yang menggumpal dan terus menggumpal. Sehingga mendesak jantung hatiku dan menyesakan dada, mengapa belum ada perahu hasrat yang berlabuh di pantai hatimu
Tentunya bila aku sodorkan sebuah cinta untukmu, Engkaupun akan mengepakan sayapmu, menuju cakrawala, yang entah akan menggelantung di langit sebelah mana. Namun kembali lagi jarum waktupun terus mengejarku, agar bulan dengan seribu panorama, yang terpancar dari senyumu, tiba-tiba saja tunduk dipangkuanku.
Bulan kini masih tersembunyi di balik awan, dan akupun telah berada tepat di depanmu. Entahlah aku sendiri telah menguatkan hati yang tadinya hanya mampu bernyanyi sepi. Namun kini hatipun telah aku siapkan, hingga mampu menjadi telaga tempat aku berpuas diri.
Kusapa dan engkaupun tetap menyisakan senyumu, laksana sebuah permintaan agar bulan setidaknya mau mengintip di langit malam. Untuk menyaksikan aku yang hendak menuangkan hasrat kepada kekasih hati, yang kini berada di depanku.\
Kuberikan juga sepenggal asa agar kita berdua menghiasi biduk dengan ornament yang sederhana. Mengarungi lautan biru, dengan ombak yang akan menguatkan kedua sisi biduk kita. Tentunya pula akan kau gapai, bila memang harus kutemui bulan tepat di atas tempat kita mendirikan rumah mungil tapi bersih. Dan pada giliranya rona sinar bulan akan menjadi senyumu.
Hari demi hari, tentunya dandanan hidup akan lebih semarak. Bila engkau tiada pernah bosan untuk menyirami kembang – kembang taman yang ada di pekarangan rumah mungil kita. Bila telah ada pula tautan hati diantara kita untuk sekedar merobahkan tubuh kita yang penat.
“Jangan kau biarkan halaman depan rumahmu dipenuhi debu sore hai, yang dibawaoleh angin kembara yang nakal hai. . .kau wanita tambatan hati “ demikian ungkap kembang mawar di sudut halaman.
Sedangkan kembang melati juga tak kalah lantangnya untuk meneriaki wanita yang ada di dalam rumah mungil itu, “ Jangan kau pernah ragukan secawan cinta suci dari pria yang akan membawamu mengepakan sayapmu menuju biru langit.
Sekali-sekali kembang kenanga juga ingin nimbrung bareng dengan kebahagian kembang-kembang sore yang telah basah disiram air sejuk, yang dijinjing wanita yang berkulit kuning dan bersih,
“ Jangan kau harap akan mampu menggenapi hidup ini, bila dalam hatimu masih ada sisa ketidak- tulusan. Mungkin pula engkau bisa menipu dirimu sendiri, namun sorot mata adalah sesuatu yang tidak bisa diajak berbohong. Maka benahi rumah mungilmu, agar sepanjang malam engkau mampu berdandan ayu “.
“Efinta !, inilah rumah mungilmu, apabila engkau selalu menatanya dengan optimis, maka tentunya dinding dan atapnya tidak akan runtuh walau digoyang gempa sekuat apapun “.
Demikian sempat aku bisikan pesanku dekat ketelinganya, saat bulan sudah mulai hadir di atap rumah kita, agar cukup tangguh maghligai bahtera ini, menghadapi ketidak pastian dunia ini. Bukankah telah cukup banyak rumah mungil yang runtuh diterpa angin prahara keangkara-murkaan manusia yang tak tahu diri ini. Bukankah pula banyak rumah mungil, yang justru diisi dengan ornamen durjana, dari manusia yang menajamkan nafsunya setajam pedang.
“Efinta bersihkanlah selalu kaca jendela rumah mungil kita, agar kita bisa memandangi dengan transparan, cakrawala di depan halaman. Sehingga kita tahu persis kemana langkah kaki akan kita ayunkan “. Bulanpun sudah mulai mendekat di raut wajahmu.
“Benarkah engkau pria yang selalu dekat denganku, benarkah itu “ ?. Kala itu bulanpun mulai merajuk, untuk ditembangi dengan nyanyian bunga-bunga wangi. Untuk mengharumi ruang demi ruang di rumah mungil ini.
“Efinta, aku hanya memiliki bagian hati, yang sebagian untuk dengus nafasmu, dan separonya lagi hanya untuk rembulan yang kini sudah menumpahkan keindahaan di kerling senyumu
”Lantas semua ornament rumahpun telah menjadi saksi bisu, ketika dua hati mengucapkan selamat malam pada rumah mungul ini, pada semua kembang pekarangan yang menata rapi. Dua hatipun bergelora di dalam rumah mungil ini, untuk menghabiskan malam panjang bersama rembulan, yang kini telah menjadi miliku,
Minggu, 26 September 2010
Selembut Benang Sutra
Wajah papinya menyimpan beribu bara yang siap membakar hasrat, angan sekaligus cintanya yang lembut, yang terpancar dari pribadi Anggun. Kala sore hari di ruang tamu berdampingan dengan mamanya, yang juga menghadang Anggun dengan sorot mata yang liar, bagai sang singa jantan yang siap menerkam kambing yang tiada berdaya. Anggunpun berusaha menyelipkan keberanian untuk menghadapi kedua insan yang sangat dicintainya itu.
Anggun hanya duduk dengan hati yang mengembara ke tiap sudut langit, setiap cakrawala di kaki langitpun menawarkan taman bunga untuk bersemayamnya dia dan Rony, mahasiswa fakultas tehnik yang papa. Namun meskipun kepapaanya itu menggayuti sejak dia di bangku SMA, upaya untuk melanjutkan sudi tak kunjung reda.
Hingga suatu senja, langit berwarna cerah. Bintang mulai menghitung awan yang memerah. Bulanpun menunjukan wajahnya, mulai memberi salam canda kepada bintang senja yang juga belum tahu perasaan Anggun menghadapi hati insan berdua yang telah lekang, yang tiada mau peduli sebuah hati yang lembut bagaikan kain sutra. Adalah hak Anggun sebagai manusia untuk menambatkan hatinya yag bening kepada Rony. Namun mereka berdua berniat untuk menepiskan, apa yang ada di hati Anggun.
Anggun hanyalah sebilah hati yang sama sekali tiada mampu menghardik kemauan mereka. Tercampaklah Anggun dengan pergulatan antar “cintanya yang sebening sutra” dengan cinta kasih kepada kedua orang tuanya. Namun hidup adalah hidup, manusia sama sekali tidak mau belajar dari apa yang pernah dialami dahulu.
Mama papanya mengemasi hidup menyatu dalam titian cinta sebening embun. Mereka berdua selalu bersama dalam perguliran suka dan duka. Merekapun tahu persis tentang cinta antara dua anak manusia, yang berusaha menerjang apa saja meskipun seribu aral menghadang. Justru warna warni kehidupan kedua orang tuanya yang telah menempa kepribadian Anggun. Namun mengapa pula mereka berusaha mengharubirukan sesuatu yang lembut, yang bersemayam di hatinya. Demikian desah hati cewek yang kaya raya namun bersahaja..
“Anggun, mama papa tahu persis getar hati setiap manusia yang lagi mengalami seperti kamu. Mama papapun pernah muda”. Suara parau dan serak itu menggema mengisi setiap udara yang ada di ruang tamu itu. Suara datar itu keluar dari mulut Wijiyo, pengusaha sukses di Jogjakarta.
Anggun hanya mampu berlarian dari awan satu ke awan lainnya, di langit biru yang telah menyodorkan kedua tanganya untuk menerima Aggun kala hatinya pilu. Anggun sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Apa yang bisa kamu harapkan dari Rony, yang hanya pedagang lesehan di malioboro. Aku nggak tega kalau kamu berumah tangga dengan dia, anaku !. Aku Ibumu, tidak mungkin akan membiarkan kamu menderita. Jauhi Rony, anaku, kamu kan masih muda.Kamu cantik lho. Banyak pria yang mengejarmu, anaku ?. Mereka mau memberikan apa saja demi mendapatkanmu”
“Betul mamamu, anaku !, papi sudah pilihkan pria yang segalanya lebih baik dari Rony. Dia nggak kalah ganteng dengan Rony, apa sih Rony hanya penjaja barang seni di malioboro. Sementara Martin, yang aku kenalkan dulu sama kamu sudah lulus dari amerika. Kamu bisa tinggal di Jakarta di blok perumahan yang elit. Mama dan aku tentunya akan bahagia, anaku !”
“Tapi, bukan itu semua yang aku cari, Pap !”
“Lalu apa yang kamu cari dalam hidup ini, Anggun !!. Cobalah mengerti maksud mamamu ini. Lagian semua bahtera rumah tangga semuanya berujung ke materi, untuk keperluan hidup ini. Cobalah mengerti, ya sayangku !” .Mamanya kini sudah berada di sampingnya, kedua tanggan Anggunpun di renggutnya. Pertandan wanita ini sama sekali tidak mau kehilangan putrid semata wayangnya.
“Mam, Anggun bahagia disamping Mas Rony. Itu saja sudah cukup !”
“Anggun !” Suara petir di tengah hujan gerimis masih kalah mencekamnya dibanding pekik papanya, yang sudah membara hatinya.
“Sabarlah Pap, jangan marah dulu. Bagaimanapun dia anak kita satu satunya. Kita berdua sudah bertekad bakal membahagiakan, bukanya menyakitinya, Pap !”
“Apa karena papa menguliahkanmu di psychology, sehingga kamu sok tahu tentang hidup. Oh…Anggun, kamu belum apa apa, cobalah kamu mengerti maksud papamu ini, yang sudah banyak makan garam. Mengerti..!!!”
“Sudahlah Pap, biar mama saja yang bicara !”
“Mam, Anggun mengerti perasaan mama dan papa. Tapi Anggun nggak bisa menerima pria lain. Aku sudah lama mencoba melupakan Mas Rony demi mama dan papa. Mas Ronypun menerima dengan besar hati. Karena Mas Rony sadar dia akan mengecewakan mama dan papa “
‘Lantas mengapa kau tidak melupakan saja anak itu, Anggun ?” Papanya dengan nafas yang panjang lantaran tidak mampu lagi menahan amarahnya. Menuntut Anggun melakukan apa yang dia tidak sangup lakukan.
“Papa, kejam…aku anakmu Pap, mengapa papa tega ?”
“Masa bodoh, anaku. Ini semua papa lakukan demi masa depanmu. Setidak tidaknya kalau kamu tidak mau menerima Martin. Carilah pria lain yang sanggup membahagiakanmu, bukan pemuda itu.!”
“Tapi aku…”
“Sudahlah Anggun, papa sudah tidak sabar lagi, papa sudah memberi waktu cukup untuk kamu. Kamu satu satunya putriku, masa depanku, buah hatiku. Maka papa sudah tidak mau main main lagi. Dari kecil hingga besar kamu papa manjakan. Tapi yang satu ini papa tidak mau mengalah,”
“Sabarlah, Mas Broto !, Anggunkan anakmu “
“Justru karena dia anaku, Mam. Maka aku harus bertindak tegas “
“Tapi Mas Broto !, Anggun anaknya lembut, Mas Broto jangan terlalu keras. Atau sekarang mama yang bicara saja”
“Biar aku yang bicara. Inilah anakmu yang selalu kamu manjakan, sehingga seperti ini jadinya. Sekarang papa beri pilihan dalam tiga hari. Kamu putuskan anak itu atau papa dan mama yang akan keluar dari rumah ini. Ambilah rumah ini seisinya beserta dengan deposito papa. Deposito itu sudah papa atas namakan kamu,ambilah. Hiduplah dirumah ini dengan pria gembel itu “
“Mas Broto !!!”.. Suara terakhir di ruang tamu Soebroto dan semuanya kini di bius pekatnya malam.
***
Rony terperanjat dan berbunga hatinya kala sebuah taksi memasuki ruangan halaman rumah kosnya di Pasar Telo. Ronypun telah menebak sebelumnya, kalau sabtu sore ini “jelita pujaan hatinya” bakal menemui dia, untuk melabuhkan perahu rindu di tengah samudra ganas yang menebar ombak bergulung. Ombak yang menghempaskan angan dihatinya untuk meniti hari hari kehidupanya bersama dengan Anggun.
Anggun melepas senyuman yang tipis di balik wajahnya yang pucat dan mata yang sembab, yang membuat deru jantung cowok ganteng itu bertambah cepat memburu misteri yang ada di balik wajah ayu kekasihnya itu.
“Aku sudah membayangkan jauh jauh hari sebelumnya, papa kamu suatu saatpun akan bertindak seperti ini !”
“Lantas kita hatus bagaimana ?”
“Anggun , aku adalah manusia yang sudah banyak mengenyam penderitaan. Karena aku hidup hanya dengan seorang ibu yang ditinggal bapaku sejak aku duduk di SMP. Aku bisa kuliah di fakultas tehnik karena aku mengais rejeki sendiri dengan cara seperti ini”
“Apa hubunganya dengan masalah kita”
“Justru inilah yang menjadi alasan utama papamu menolak aku “
“Kok kamu tega bicara seperti ini, Mas !”
“Anggun, sudah saatnya kamu mengenal dunia realita, tinggalkan jauh jauh kata hatimu. Sekarang berpikirlah dengan realita !”
“Jadi, kamu mau meninggalkanku, Mas Rony ?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Anggun. Meski suatu saat kau menjadi milik orang lain. Kamupun tetap dalam hatiku”
“Ah,,aku jadi tak mengerti. Aku tak bisa jauh darimu,, “
“Cobalah untuk mengerti, aku siap kehilangan apa saja dalam hidupku.Karena aku sudah terbiasa kehilangan hidupku sendiri. Tapi kamu anak manusia yang masih memiliki segalanya, jangan kau sia siakan sebuah harapan demi masa depanmu. Sudahlah aku siap kamu tinggalkan, kamu harus berbahagia bersama mama dan papamu “
Tubuh Rony kini, kini berguncang setelah kedua tangan Anggun merengkuhnya, Kini dara ayu yang bersahaja sesuai namanya sudah berada di pelukan Rony. Anggun sama sekali tidak menyangka Rony memilih jalan seperti itu, padahal jauh dalam hatinya dia siap menghadapi apapun yang terjadi demi sebuah cinta. Anggunpun tahu bahwa cintanya kepada cowok malang ini, bukanlah sesuatu yang buta melainkan cinta yang bening dan lembut. Selembut benang benang sutra yang diharapkan bisa saling merajut membentuk kain sutera.
“Anggun, cobalah mengerti, kau harus bahagia. Bukan mengais kehidupanmu nanti dengan cara seperti aku. Kamu dan aku tidak pernah akan merasa kehilangan bila kita saling menerima atau kehilangan segala sesuatu dengan ikhlas. Kamu kan nggak mau kehilangan mama dan papamu, sayang ?’
Anggun mulai melepas pelukannya secara pelan meski dia sama sekali belum siap menerima kenyataan ini. Antara papa dan kekasihnya, tiada yang mampu dia pilih. Hanya desir angin malam Kota Jogja yang kini membaluti tubuh kedua anak Adam.
‘Hari sudah malam, aku antar kau pulang. Pasti mama dan papamu mengkhawatirkanmu”.
Anggun memilih berjalan kaki menuju rumahnya melewati jalan jalan kota Jogja yang mulai lengang. Keduanya melewai malam ini sebagai malam terakhir sebuah pertemuan cinta anak manusia yang lembut, agung sekaligus romantis. Meski harus berakhir di pintu gerbang rumah Anggun yang kokoh, yang menjadi saksi akan perpisahan kedua insan itu. Meski Anggun masih belum mampu menerimanya.
“Mas Rony, terimalah aku lagi, bila suatu saat aku kembali”. Ronypun hanya menganggukan kepalanya sembari melepas kedua tangan Anggun, yang hilang di kegelapan malam halaman rumahnya.
Anggun hanya duduk dengan hati yang mengembara ke tiap sudut langit, setiap cakrawala di kaki langitpun menawarkan taman bunga untuk bersemayamnya dia dan Rony, mahasiswa fakultas tehnik yang papa. Namun meskipun kepapaanya itu menggayuti sejak dia di bangku SMA, upaya untuk melanjutkan sudi tak kunjung reda.
Hingga suatu senja, langit berwarna cerah. Bintang mulai menghitung awan yang memerah. Bulanpun menunjukan wajahnya, mulai memberi salam canda kepada bintang senja yang juga belum tahu perasaan Anggun menghadapi hati insan berdua yang telah lekang, yang tiada mau peduli sebuah hati yang lembut bagaikan kain sutra. Adalah hak Anggun sebagai manusia untuk menambatkan hatinya yag bening kepada Rony. Namun mereka berdua berniat untuk menepiskan, apa yang ada di hati Anggun.
Anggun hanyalah sebilah hati yang sama sekali tiada mampu menghardik kemauan mereka. Tercampaklah Anggun dengan pergulatan antar “cintanya yang sebening sutra” dengan cinta kasih kepada kedua orang tuanya. Namun hidup adalah hidup, manusia sama sekali tidak mau belajar dari apa yang pernah dialami dahulu.
Mama papanya mengemasi hidup menyatu dalam titian cinta sebening embun. Mereka berdua selalu bersama dalam perguliran suka dan duka. Merekapun tahu persis tentang cinta antara dua anak manusia, yang berusaha menerjang apa saja meskipun seribu aral menghadang. Justru warna warni kehidupan kedua orang tuanya yang telah menempa kepribadian Anggun. Namun mengapa pula mereka berusaha mengharubirukan sesuatu yang lembut, yang bersemayam di hatinya. Demikian desah hati cewek yang kaya raya namun bersahaja..
“Anggun, mama papa tahu persis getar hati setiap manusia yang lagi mengalami seperti kamu. Mama papapun pernah muda”. Suara parau dan serak itu menggema mengisi setiap udara yang ada di ruang tamu itu. Suara datar itu keluar dari mulut Wijiyo, pengusaha sukses di Jogjakarta.
Anggun hanya mampu berlarian dari awan satu ke awan lainnya, di langit biru yang telah menyodorkan kedua tanganya untuk menerima Aggun kala hatinya pilu. Anggun sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Apa yang bisa kamu harapkan dari Rony, yang hanya pedagang lesehan di malioboro. Aku nggak tega kalau kamu berumah tangga dengan dia, anaku !. Aku Ibumu, tidak mungkin akan membiarkan kamu menderita. Jauhi Rony, anaku, kamu kan masih muda.Kamu cantik lho. Banyak pria yang mengejarmu, anaku ?. Mereka mau memberikan apa saja demi mendapatkanmu”
“Betul mamamu, anaku !, papi sudah pilihkan pria yang segalanya lebih baik dari Rony. Dia nggak kalah ganteng dengan Rony, apa sih Rony hanya penjaja barang seni di malioboro. Sementara Martin, yang aku kenalkan dulu sama kamu sudah lulus dari amerika. Kamu bisa tinggal di Jakarta di blok perumahan yang elit. Mama dan aku tentunya akan bahagia, anaku !”
“Tapi, bukan itu semua yang aku cari, Pap !”
“Lalu apa yang kamu cari dalam hidup ini, Anggun !!. Cobalah mengerti maksud mamamu ini. Lagian semua bahtera rumah tangga semuanya berujung ke materi, untuk keperluan hidup ini. Cobalah mengerti, ya sayangku !” .Mamanya kini sudah berada di sampingnya, kedua tanggan Anggunpun di renggutnya. Pertandan wanita ini sama sekali tidak mau kehilangan putrid semata wayangnya.
“Mam, Anggun bahagia disamping Mas Rony. Itu saja sudah cukup !”
“Anggun !” Suara petir di tengah hujan gerimis masih kalah mencekamnya dibanding pekik papanya, yang sudah membara hatinya.
“Sabarlah Pap, jangan marah dulu. Bagaimanapun dia anak kita satu satunya. Kita berdua sudah bertekad bakal membahagiakan, bukanya menyakitinya, Pap !”
“Apa karena papa menguliahkanmu di psychology, sehingga kamu sok tahu tentang hidup. Oh…Anggun, kamu belum apa apa, cobalah kamu mengerti maksud papamu ini, yang sudah banyak makan garam. Mengerti..!!!”
“Sudahlah Pap, biar mama saja yang bicara !”
“Mam, Anggun mengerti perasaan mama dan papa. Tapi Anggun nggak bisa menerima pria lain. Aku sudah lama mencoba melupakan Mas Rony demi mama dan papa. Mas Ronypun menerima dengan besar hati. Karena Mas Rony sadar dia akan mengecewakan mama dan papa “
‘Lantas mengapa kau tidak melupakan saja anak itu, Anggun ?” Papanya dengan nafas yang panjang lantaran tidak mampu lagi menahan amarahnya. Menuntut Anggun melakukan apa yang dia tidak sangup lakukan.
“Papa, kejam…aku anakmu Pap, mengapa papa tega ?”
“Masa bodoh, anaku. Ini semua papa lakukan demi masa depanmu. Setidak tidaknya kalau kamu tidak mau menerima Martin. Carilah pria lain yang sanggup membahagiakanmu, bukan pemuda itu.!”
“Tapi aku…”
“Sudahlah Anggun, papa sudah tidak sabar lagi, papa sudah memberi waktu cukup untuk kamu. Kamu satu satunya putriku, masa depanku, buah hatiku. Maka papa sudah tidak mau main main lagi. Dari kecil hingga besar kamu papa manjakan. Tapi yang satu ini papa tidak mau mengalah,”
“Sabarlah, Mas Broto !, Anggunkan anakmu “
“Justru karena dia anaku, Mam. Maka aku harus bertindak tegas “
“Tapi Mas Broto !, Anggun anaknya lembut, Mas Broto jangan terlalu keras. Atau sekarang mama yang bicara saja”
“Biar aku yang bicara. Inilah anakmu yang selalu kamu manjakan, sehingga seperti ini jadinya. Sekarang papa beri pilihan dalam tiga hari. Kamu putuskan anak itu atau papa dan mama yang akan keluar dari rumah ini. Ambilah rumah ini seisinya beserta dengan deposito papa. Deposito itu sudah papa atas namakan kamu,ambilah. Hiduplah dirumah ini dengan pria gembel itu “
“Mas Broto !!!”.. Suara terakhir di ruang tamu Soebroto dan semuanya kini di bius pekatnya malam.
***
Rony terperanjat dan berbunga hatinya kala sebuah taksi memasuki ruangan halaman rumah kosnya di Pasar Telo. Ronypun telah menebak sebelumnya, kalau sabtu sore ini “jelita pujaan hatinya” bakal menemui dia, untuk melabuhkan perahu rindu di tengah samudra ganas yang menebar ombak bergulung. Ombak yang menghempaskan angan dihatinya untuk meniti hari hari kehidupanya bersama dengan Anggun.
Anggun melepas senyuman yang tipis di balik wajahnya yang pucat dan mata yang sembab, yang membuat deru jantung cowok ganteng itu bertambah cepat memburu misteri yang ada di balik wajah ayu kekasihnya itu.
“Aku sudah membayangkan jauh jauh hari sebelumnya, papa kamu suatu saatpun akan bertindak seperti ini !”
“Lantas kita hatus bagaimana ?”
“Anggun , aku adalah manusia yang sudah banyak mengenyam penderitaan. Karena aku hidup hanya dengan seorang ibu yang ditinggal bapaku sejak aku duduk di SMP. Aku bisa kuliah di fakultas tehnik karena aku mengais rejeki sendiri dengan cara seperti ini”
“Apa hubunganya dengan masalah kita”
“Justru inilah yang menjadi alasan utama papamu menolak aku “
“Kok kamu tega bicara seperti ini, Mas !”
“Anggun, sudah saatnya kamu mengenal dunia realita, tinggalkan jauh jauh kata hatimu. Sekarang berpikirlah dengan realita !”
“Jadi, kamu mau meninggalkanku, Mas Rony ?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Anggun. Meski suatu saat kau menjadi milik orang lain. Kamupun tetap dalam hatiku”
“Ah,,aku jadi tak mengerti. Aku tak bisa jauh darimu,, “
“Cobalah untuk mengerti, aku siap kehilangan apa saja dalam hidupku.Karena aku sudah terbiasa kehilangan hidupku sendiri. Tapi kamu anak manusia yang masih memiliki segalanya, jangan kau sia siakan sebuah harapan demi masa depanmu. Sudahlah aku siap kamu tinggalkan, kamu harus berbahagia bersama mama dan papamu “
Tubuh Rony kini, kini berguncang setelah kedua tangan Anggun merengkuhnya, Kini dara ayu yang bersahaja sesuai namanya sudah berada di pelukan Rony. Anggun sama sekali tidak menyangka Rony memilih jalan seperti itu, padahal jauh dalam hatinya dia siap menghadapi apapun yang terjadi demi sebuah cinta. Anggunpun tahu bahwa cintanya kepada cowok malang ini, bukanlah sesuatu yang buta melainkan cinta yang bening dan lembut. Selembut benang benang sutra yang diharapkan bisa saling merajut membentuk kain sutera.
“Anggun, cobalah mengerti, kau harus bahagia. Bukan mengais kehidupanmu nanti dengan cara seperti aku. Kamu dan aku tidak pernah akan merasa kehilangan bila kita saling menerima atau kehilangan segala sesuatu dengan ikhlas. Kamu kan nggak mau kehilangan mama dan papamu, sayang ?’
Anggun mulai melepas pelukannya secara pelan meski dia sama sekali belum siap menerima kenyataan ini. Antara papa dan kekasihnya, tiada yang mampu dia pilih. Hanya desir angin malam Kota Jogja yang kini membaluti tubuh kedua anak Adam.
‘Hari sudah malam, aku antar kau pulang. Pasti mama dan papamu mengkhawatirkanmu”.
Anggun memilih berjalan kaki menuju rumahnya melewati jalan jalan kota Jogja yang mulai lengang. Keduanya melewai malam ini sebagai malam terakhir sebuah pertemuan cinta anak manusia yang lembut, agung sekaligus romantis. Meski harus berakhir di pintu gerbang rumah Anggun yang kokoh, yang menjadi saksi akan perpisahan kedua insan itu. Meski Anggun masih belum mampu menerimanya.
“Mas Rony, terimalah aku lagi, bila suatu saat aku kembali”. Ronypun hanya menganggukan kepalanya sembari melepas kedua tangan Anggun, yang hilang di kegelapan malam halaman rumahnya.
Langganan:
Postingan (Atom)