Minggu, 12 September 2010

Nyanyian Kosong Demi Sebuah Rindu

Memburu KaruniaMU
(Coretan dari Sastrawan Pinggiran)

Aku kembali terkapar….sementara…..
Langit masih menampakan kain sutra biru berenda
syahdu……
Di bawahnya bersusun angin yang meniup keteduhan
Tangga menuju pintuMU…
Telah aku sandarkan pada…
telaga bertepi untaian bulu gagak…
sementara aku biarkan mandi didalamnya

Aku terbangkan dengan nafas yang membulat
Agar menjauh dari “cermin miliku sendiri”
Atau aku yang hanya berani……
Mengayuhkan perahu berlayar getir
Berpilar duka lara

Sauh yang hanya untuk miliku
Tertambat pada bingkai hari yang menjauh
Sementara peluhpun memburu tepi tiada akhir
Aku lontarkan gemuruh nyanyian pilu
Agar terasa lega apa yang masih di tengah awan mendung
Aku coba mengaitkan pada seribu bidadari
Bermandi air sorga penuh warna

Tapi kembali, aku terjaga
Di tepi peraduan yang hampa menista
Aku kembalikan pula sebuah hasrat
Meraut ujung senja berlatar roda jaman bergigi tajam
Telikunglah aku…hingga penuh makna.

Semarang, 13 September 2010


Biarkan Aku Liar,

Biarkan seribu kuda binal
Berotot dalam hempasan apa yang di depan
Berkaki menebarkan debu yang menghitamkan wajah
Biarkan pula langit berjelaga.
Bergambar debu gunung yang liar

Biarkan fatamorgana di kaki langit
Akan aku robek
Layaknya pengantin putri yang berkhianat
pada jejaka di malam penganten

Biarkan pula aku tumpahkan telaga
Yang menyimpan seribu kebohongan
Akan aku tusuk juga mata burung hantu
Yang tak berkedip memandangku.

Akupun lari sekencang anganku
Merengkuh Jonggringsaloko tempat…..
Bidadari dan para dewa mengatur nafasnya
Akan aku tebas pula dengan nafsu amarah
Peraduan Gondo Mayit, tak perduli amarahnya
Ratu demit Bathara Durga,
Lantaran diapun takut dengan demit di hatiku
Aku dan hanya aku……
Yang mencoba melemparkan Ismoyo
Agar tiada penghalang lagi
Untuk terus liar yang kugalang..
Tuhan…..akupun bertepi.

Semarang, 13 September 2010

Larut Dalam Bening


Aku jadi larut…
Menjadi memudar ..segala yang meratap
Telah aku penuhi juga
Perjalanan menyebrang tujuan dalam hati
Menyelnap tiap lekukan tubuhku
Aku jadi dikemas daun yang melekang

Telah pula aku langkahi
Untuk satu mahkota bersusun seribu
Aku tiada arti
Hingga Tuhan sendiri memberiku arti

Semarang, 13 September 2010

Rindu Kepada KOTAKU

Sepanjang jalan merengkuh Semarang Bulan sabit bertepi pita jingga, aku sertakan pada deru debu. sepanjang jalan dengan gempita manusia yang mengais sebuah Kota Besar aku terjepit di dalamnya, Mana sawah ladang kalian atau hanya ditumbuhi ilalang dan belalang bukankah di pematang, juga terselip kehidupan selamat berjuang saudara Semarang, 13 September 2010

ARINI

Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?.

Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku.
”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku..

“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. Betapa aku tidak mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas pnggang. Namun dibalik keindahan wajahnya, tersembunyi hati yang keras sekeras batu karang di lautan.

“Mengapa, apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu. Aku manusia biasa lho Rin, apalah artinya Septian ? “ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan ketidaktahuanku.

“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! “. Sekali lagi aku coba, mungkin ini kata-kataku yang terakhir kali.
”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku disampingmu

”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” .
Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut.

Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu akupun melangkah pergi, sempat mungkin yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini. Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini.

Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu menundukan kehidupan ini, akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan. Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini demi kebahagiaan Arini.
Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku terima. Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun dibalik itu semua tersimpan hikmah yang begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri ini.

Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti bulan dan datanglah waktu hampir satu tahun . Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang sebuah kata maaf yang dia tulis dari rumah sakit.

Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras. Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama kali masuk SMA. Kini dia terbaring lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi. Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini hanyalah tatapan kosong untuk menerima kenyataan ini.

Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini.

” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata.
”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup Arini

”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa membesarkan hatinya.

”Aku tidak pernah merasakan perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ”
” Benar, Yan ”
” Sungguh ”
” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ”
” Tapi keadaanku begini, Yan ”
”Tapi, kau tetap Arini ”
” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta perpisahan ini, Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ”
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita tentunya masih bisa berbuat salah ”
” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !, aku minta kau menungguiku ”
” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ”

Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali.
” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati.

” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”.
Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan pertanda bahwa operasi berlangsung. Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.

Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang hidupku hampir tak berujung

Sabtu, 11 September 2010

BERCERMIN DI GAGAHNYA TANAH AIRKU

Merah Padam Ronamu

Ketika kita beranjak dari peraduan…
Bermandi semilir angin dari tenggara
Yang mengusung buih laut
Menuju pantai…
Tanpa berkawan lembayung jingga

Ada seuntai “janji”….
Yang meringkuk di kepalan tangan kita
Untuk menandu sang ibu pertiwi
Agar tiada lagi kerikil tajam
Yang tiada pernah mengerti akan iba
Dari sebuah perjalanan

Akupun hanya menguatkan pegangan
Agar tangan ibu yang keriput memucat
Bernafas lega…….
Mampu bermandi air bunga
Dalam gubug sederhana
Beranyam bambu
Berhalaman bunga melati, kenanga dan mawar

Jangan kau biarkan ibu
Merah rona wajahmu…
Terbawa angin debu mengusung biadab
Biarkan ibu bersemayan dalam cakrawala archipelago

Semarang, 12 September 2010

Episoda Negri Sebrang

Meski nasi dan jagung..
Beralasan piring tanah..
Dimasak dari tungku tanah liat…
Berteman sepotong ubi…
Tertata rapi di atas daun pisang

Kita terlahir dari lengan yang legam
Bahu yang melepuh karena terik matahari…
Mengatur beberapa nafas dari bilik bambu
Tapi kita rimbuni dengan pohon buah
Yang menjadi lalu lalang kenari, perkutut dan kutilang

Kita batasi gubug kita yang kokoh
Meski dari batang kayu nangka
Rumputpun menebar hijau
Yang tertata bagi permadani dewa.

Jangan kita sodorkan rembulan
Yang telah hinggap di atap rumah kita
Meski lantang dan angkuh mengusik
Dari negeri sebrang..yang nampak
berceloteh dari balik gedong loji
berkelambu sutra
belantai marmer pujaan para raja

Kita adalah kita…
Meski negri sebrang meradangkan
singa lapar, bersuara sampai ke ujung fatamorgana
tidak pernah di lingkaran langit nusantara
Kita surut untuk memangku nestapa
Kita mampu menerjang bak prajurit ‘segelar sepapan”
Dari Majapahit yang merengkuh negeri para dewa

Semarang, 12 September 2010

Bara Api dari Rumpun Bambu

Di tepian telaga
Tempat mandi bidadari
Sang jalak menawarkan bulu hitamnya
Pada kutilang yang bersayap putih
Kenaripun manyimpan rapat rapat bulu kuningnya

Sang perkutut diam membisu..
Meski dia ingin meminjam bulu merah
dari Cendrawasih

Telagapun menjadi bermandi kuning keemasan
Dari semburat sinar mentari
Yang mengalahkan warna bulu mereka semua
Namun tiada mereka mau membasuh
bulu mereka dengan air telaga…
Mereka malah menajamkan paruh dan cakar
untuk memungut sebuah bara…...

Tiada pernah mereka tahu.
Bahwa negeri gerimis ini …
Adalah negeri tempat mandi bidadari
Ketika Manikmaya membasuh mahkotanya
Untuk pertemuan agung esok hari…
Mereka tidak pernah tahu…..
di bawah lambaian daun nyiur di tepi pantai..
adalah tempat dewa melepas lelah
“Jayalah Negeriku”

Semarang, 12 September 2010

Menjaring Lazuardi ASMAMU

Langit telah membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit yang biru-terharu.

Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit

“Akulah sinar putih dari beranda langit”

“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.

“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”

“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”

“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...

Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.

Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”

“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.

“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.

Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.

Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.

“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.

“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”

“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”

“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”

“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “

“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”

Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.

Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.

Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.

Senin, 22 Februari 2010

DUNIA TAK SELEBAR KOTA TEGAL


      Wayahe wis  rendeng,  saben dina  anane  mung udan  lan udan bae, tan  ora ana  srengenge jumedul saka langit. Biasane yen kaya kiye  wong-wong sing makarya  nang pabrik, apa maning sing ning  sawah pada wegah metu, milih ngringkel ning umah, medang poci karo mangan pacetan  pisang goreng.  Termasuk  Kang  Raisan sing sadina-dina anane mung ngringkel bae nang peturon.
      Padahal  Yu Zaenab  bojone wis saminggu kiye bengak-bengok bae,  awit jengkel weruh bojone kringkal - kringkel bae ora nyambut gawe. Lha. . . kepriben  wong  bolak-balik  Mahendra anak mbarepe  disurati gurune,  saben wulan mesti dikirime surat  tagihan SPP, LKS,  uang laboratorium, Uang Ekskul ( Ekstra kurikuler ), durung  uang buku,  uang piknik, uang pelajaran tambahan / les, uang perpustakaan,  uang  les  komputer   lan sapiturute. 
      Padahal jamane Yu Zaenab sekolah, ora ana  pungutan apa -  apa, wong mbiyen sekolah bae pada nyeker ora sepatunan. Tapi pada dadi wong gede barang wis lulus. Ora kaya jaman saiki, sekolah isine mung urunan lan urunan. Pantesan barang dadi pejabat anane mung korupsi. Lha. . . kepriben ?
      Apa maning  sing  mbontot  nganti wis wegah sekolah, sebabe sering diundang kepala sekolahe sing galake  pol  temenan, gara-gara SPP nunggak nem sasi. Terus kepriben ?, arep mbayar nganggo godong ? Apa arep utang nang rentenir sing bungane  sakandang macan. Apa enake njukut duit nang BPR bae ?. Lha  terus bayare kepriben.
       Mbuh setan apa sing ngrasuk ning ragane Yu  Zaenab, seketika itu juga ndeweke  ngugah bojone sing lagi ngorok,  kemulan sarung, ngringkel lan  loyo sebabe mau mbengi bar begadang nang pinggir kali, kumpul karo Karso sing dodol Kacang Ijo  lan  Saripan  sing  dodol  wedang  ronde.
      ” Kiye wis  awan,  sing kira- kira  o Mas !,  tangi awan ora pantes  ditonton nak – anake awake dewek “, Yu Zaenab  mbengok  nganti tanggane pada krungu.
      “ Ana apa sih Nab,  kowen  sapeneke  ngugah turune inyong,  aku esih ngantuk “  Kaya kuwe  jawabane Kang  Raisan.
      “ Kiye wis awan, ayo tangi golet pangan, kae surate gurune bocah-bocah isine mung tagihan, apa kudu mandeg  sekolahe anake dewek ? “ Yu Zaenab tambah ora sabar.
      “  La terus maring endi aku kudu nggolet duwit ”
      ”  Ya  mbuh, kuwe  urusane  sampeyan sing wong lanang ”
      ” Wis,  aku  arep minggat,  ora usah  diogoleti ”.  Ora ndadak nunggu  waktu maning  Kang Raisan  langsung  brubut  metu njaba,  ora  ndadak mlengas-mlengos maning  langsung  lunga  ninggalaken bojone sing lagi bingung.
       ”  Kang  aja  minggat, pan maring endi, Kang  !. ”  Yu Zaenab  mbengok, esuk esuk  ndadeaken   keadaane tangga-tanggane dadi pada menyat  saka pawon,  pada  ndeleng tukarane wong loro  sing lagi susah uripe.. Tapi  kacek sedelat awake Kang Maisan wios ora katon maning, kaya-kayane mlingsep nang njero bumi. Mbuh kabur kanginnan tekan endi maning.  Karuan bae Yu Minah  dadi sedih.  Padahal karepe deweke mung pan ngonkon supaya bojone kae sregep kerja ora mung ngorok terus nang omah.
      Ora suwe Yu Minah mlebu  njero  omahe lan njagong nang kursi tamu karo deleg – deleg, ora ngurusi  mbontote,   sing krungu  bapak karo ibune pada bengak – bengok tukaran mau,  dadi wedi la  nangis ora karuan tatane.
____oo___

       ” Ana  apa  dengaren  esuk – esuk wis teka mertamu nang inyong, San ! ” Kaya kuwe  omonganen Pak Bina juragan  mebel sing  paling sugih sa desane Kang Raisan., 
       ” Lha. . .kepriben kiye, uripe inyong tambah ora karuan. Wong wadon esuk-esuk wis gemboran ora duwe duit maning. Dadi inyong mrene pan njaluk pegawean, masalah bayaran gampang, Kang ! “
       “ Maning – maning kowen  kaya kuwe, wis tak wanti – wanti nyambut gawemu sing sregep, aja  semblotongan, wong kowen kan wis nduwe bojo sing kudu dinafkahe “  jawabane Bose  Kang Raisan.
       “ Ya wis, sing mbiyen – mbiyen aja diungkit ungkit maning, saiki aku weis pan tobat, ora kaya gemiyen maning. Kepriben Kang  entuk apa ora “
      “  La kiye ding dadi masalah San, aku wis dioyk oyak pelangganku, supaya pesenanane cepet  rampung. Mulane aku ngerjaaken tenaga liyane, kanggo ngganti kowen. Ya mengko gampang  yen ana pegawean maning, kowe tak undang “
       “ Ya terus kepribewn Kang,  aku selek butuh gawean “
       “ Ya coba kerja nang LIK kana, nang kana kan akeh perusahaan mebel kanggo di eksport nang luar negeri, yen inyong saiki lagi megap – megap.  Pesenan mebel  saiki tambah sepi, embuh kiyhe jaman apa San. Wis maafe bae yan San “
       “ Ya wis ora apa – apa Kang. Yen bisa aku pan nyilih duit bae, aku pan maring Malaysia dijak Non Lisa penyalur tenaga kerja. Aku arep nggoleti pegawean nang kana, kepriben pendapatmu Kang ! “.Pak Bina krungu kaya kuwe mung mesem, lan geleng geleng sirahe.
       “ San  San , kowen kan nduwe ketrampilan, gaweane kowen alus, perkara mebel jarang ngalahaken pegaweanmu. Are apa nang Malaysia, kaya kuwi bae repot !, coba ndingin golet gawean liyane, Saiki lunga Malaysia ya ora cukup 25 juta ongkose, ya  luwih apik yen biayane kanggo modal usaha mebel to San “
       “ Tapi modal samono ya ora cukup Kang “
       “ La ketrampilanmu ya wis kelebu modal to San, sing diareni modal usaha, wis saiki ora usah bingung – bingung, semenatara kiye nggoleti gawean ndingin, karo setitk-setitik ngumpulaken modal. Mengko yen kowen temenan mengko tak goletaken order cilik – cilikan “
       “ Tapi jare Non Lisa nang Malaysia akeh pegawean lan bayarare gede, Kang ! “
       “ Lha kowen wis  tahu mrana ?.  Yen jare-jare ora usah didgugu ndingin. Aja bingung San, wong Tegal kiye akeh penguripan sing disebar Gusti Allah, ora mung ning Malaysia tok. Tegal kiye kota urip, gampang kanggo usaha yen temen. Mulane jare inyong Dunia kiye karo Tegal esih jembar Tegal kanggo penguripan. Aja pus asa ndingin. Wis ngono bae ya San, aku pan nyambut gawe.Mengko gampang ketemu  maning ! “  Pak Bina terus menyat nyandak  alat alat tukang kayune.
       Kang Raisan mung meneng baer, tapi atine ngakune yen Pak Bina bener  ngomonge.  Saiki deweke twrus pamit, arep golet gawean sing temenan.  Srenegenge wis  anjog nang bun – ubune sirah, berarti dina wios awan. Mulane Kang Raisan tambah semangat  kanggo nggoleti pegawean, kanggo  nafkahi anak bojone. Sing jelas saiki wis ora nduwe niat maning merantau nang Malaysia, cukup nang Tegal bae.