Kamis, 23 September 2010

CINTA...,,,,EMANGYA BERANI...?

Penuh ketidaktahuan kini dirasakan oleh cowok yang satu ini, Agusta demikian fans–fansnya yang seabreg memanggilnya demikian , getar hatinya merambat sangat kuat hingga keseluruh tubuhnya. Entah dalam jantung hatinya ada perasaan aneh, hingga terus menggrogoti dirinya, terlebih lebih bila malam telah larut.

Terasa hanya dia dan malam saja yang saling membisu sepi, semakin malam larut semakin tertusuk jantungnya dengan keegoan malam ini. Apa lantaran dia mulai menambatkan hatinya pada Ellisa siswi baru, kala dia mengenal cewek ini pada acara Opsek siswa baru di sekolahnya. Toh perkenalannya hanya sepintas saja karena dia sendiri kala itu, sibuk sebagai ketua panitia opsek.

Setelah itu, pertemuannya antara Ellisa hanya sebatas ketemu di sekolah, kala kebetulan bareng di acara rapat osis. Sikapnya hanya biasa, tidak ada pandangan mata mereka berdua yang memiliki arti. Apalagi dari sikap Ellisa yang kaya mayat hidup aja. Sama sekali tidak ada desiran hati yang aneh dalam diri Agusto.

Waktu berjalan terus tanpa ada yang mampu menghentikan, Agustopun larut dengan seabreg tugas – tugas guru dan ulangan. Belum lagi aktifitas midsemester. Sangat menyita waktunya untuk belajar, agar dia bisa mendapatkan nilai maksimum.
Namun pertemuan antar mereka memang harus berlanjut. Kala sekolah mengadakan kegiatan classmeeting, usai ulangan umum semester genap kemarin.Ellisapun aktif di kepanitiaan classmeeting tadi, yang kebetulan diketuai oleh Agusta. Sehingga hampir tiap hari mereka berdua saling dekat. Saat itupun hati mereka berduapun tetap dungin, nggak punya geter apa –apa. Ellisapun tetap bermanja-manja dengan dia kalau ada maunya saja.

Menanggapi perilaku Ellisa ini, Agustopun memaklumi karena bagaimanapun juga Ellisa dalah cewek teenager yang masih lugu dan polos. Sebaliknya kalau Ellisa lagi nggak butuh pertolongannya, berubahlah Ellisa menjadi sosok yang dingin dan membisu seribu bahasa, layaknya mayat hidup.

Namun demikian juga Agusto tak pernah menghirukan Ellisa. Bagi Agusto Ellisa adalah cewek yang tidak begitu istimewa, lantaran menurutnya masih banyak cewek – cewek di sekolahnya yang segalanya lebih baik ketimbang Ellisa. Toh ada satu dua cewek seangkatannya yang sempat hadir di hati Agsto, namun Agustopun tak tahu, harus darimana dia akan memulainya.

Waktu terus menggeliat tiada satupun yang mampu menghentikannya, tibalah saat pembaagian rapot akhir tahun sekaligus pengumuman kenaikan kelas. Sudah barang tentu baik Agusto maupun Ellisa termasuk siswa yang tidak bermasalah, aktifis osis dan santun kepada semua guru. Sehingga wajar saja bila mereka kini meraih siswa teladan di sekolahnya. Tepuk tangan yang hingar bingar dari simpatisan baik guru maupun siwa memenuhi aula sekolah mereka. Merekapun kini berdua bersanding layaknya pengantin baru, untuk meraih tropi siswa teladan putra dan putri.

Senyum yang indah terpancar dari bibir Ellisa yng tipis itu membuat Agusto sebentar-sebentar melempar pandang pada gdis yang tinggi, berkulit kuning langsat dan berambut sedang hingga bahu. Ditambah dengan harum parfum kazi feminin dari baju Ellisa, mengukir keindahan tersendiri untuk hati Agusto, yang lagi happy hari ini. Serasa kakinya tidak menyentuh tanah kini, hatinya begitu dipenuhi wangi bunga selama berdampingan dengan Ellisa. Apalagi kini mereka menjadi pusat perhatian seluruh yang hadir di aula sekolah ini.

“Gus kalian berdua emang mirip raja dan ratu, nah gitu dong berdiri lebih dekat lagi. Biar gambarnya jadinya bagus “ teriak Hendra sambil melangkah surut untuk mengambil gambar pasangan ideal ini. Keduanyapun hanya tersenyum tipis, sesekali Agustopun melempar pandang. Sedangkan Ellisapun hanya membalasnya dengan senyum menawan dan tidak pernah melepaskan gayanya yang fotogenik.

Kini Agustopun tidak segan lagi untuk menawarkan diri mengantar Ellisa pulang. Meski dia tahu Ellisa tentunya akan keberatan membonceng sepeda motornya yang sudah agak gaek. Sementara itu Ellisa tiap hari diantar jemput dengan mobil gedongan.
“Lu kan bisa telepon sopir lu agar dia nggak usah jemput lu. Sekali kali aku ingin tahu rumahmu “
“Ntar aku telepon driver papiku dulu. Sabar ya. Kok tumben lu ngebet mau ngantar gua, ono po jal ! “ seru Ellisa yang nggak tahu entah karena apa hari ini kelihatan ganjen bener.
“Ah, , , nggak apa apa “ . Agusta menjawabnya dengan senyuman tipis terurai di wajahnya. Emang kalau cowok ini pemalunya minta ampun. Klo soal wajah semua temen ceweknya mengakui, layaknya actor ganteng pemain sinetron. Tapi kalau soal pemalu nggak ada duanya juga.

Namun meski demikian Ellisa adalah termasuk cewek yang pinter menilai cowok. Dasar Ellisa adalah cewek gaul, maka jumpa dengan cowok kaya Agusta dia nggak canggung. Dia seenaknya aja ceplas-ceplos, karena Ellisapun tahu meski Agusta adalah cowok dari kalangan keluarga yang biasa-biasa, namun dari dalam diri cowok ini ada banyak kelebihan.Dan inipun sudah lama Ellisa ketahui. Tapi karena Ellisa kala itu nggak ada perlunya maka dia cuek aja dengan cowok pemalu ini.

“Eh kenapa bengong, emang rumahku banyak hantunya ?, Ayo dong masuk !. Mam ini lho Mas Agus main ke sini . Keluar dong mam, kenalkan temenku “ pinta Ellisa.
Kini mamanya Ellisa sudah berada di ruang tamu, duduk bersebrangan dengan Agusta, di sofa berkulit bulu warna hijau. Persis di tengah ruang tamu yang besar dan mewah. Wajahnya tak jauh berbeda dengan Ellisa, meskipun usianya telah menginjak setengah baya, namun wajahnya tetap kelihatan masih ayu dan lembut, Berbeda dengan Ellisa yang suka berang. tegas dan ceplas-ceplos.

“Oh ini to yang namanya Agusta. Kamu yang siswa teladan itu ya mas ?.
“Betul tante, tahu dari mana ?“ jawab Agusta dengan sikap yang malu-malu dan merendah.
“Tadi Lis sms, selamat ya. Oke silakan diminum jus jeruknya, tante tak kebelakang dulu, masih banyak pekerjaan dapur. Lis kalau mau makan silakan kalian berdua langsung aja ke dapur “.

Kini merekapun hanya berdua duduk di ruang tamu. Suasana romantispun menjadi milik mereka berdua. Sebentar-sebenta mereka berdua diam seribu bahasa, kadang pula salah satu dari mereka mencoba memecahkan kebisuan, dengan melontarkan bahan cerita yang sebenarnya nggak perlu.

Sebenarnya ada apa, tidak biasanya aku bersikap seperti ini. Mulutku terasa terkunci, aku merasakan melayang jauh tinggi ke tempat yang aku sendiri tidak tahu. Apa lntaran aku duduk berdua dengan Ellisa. Kenapa sebelumnya sikapku nggap seperti ini, padahal aku sering ngobrol bersamanya. Dulu sikap dia seperti mayat hidup yang berparas ayu, kini wajah itu memerah dan romantis, demikian bisik hati Agusta.
“Lis ini dah siang, aku pulang dulu ya “ seru Agusta.

“He..eh, makan dulu to mas, mami kan udah nyiapan makan, Ayo dong ms jangan malu “
“Lain kali aja Lis, aku. ..nggak tahu ah..”. Jawab Agusta dengan sikap canggung yang kentara sekali. Menghadapi sikap temannya itu, Ellisapun memaklumi, karena sikap seperti ini adalah sikap bawaan Agusta. Bersalahlkah dia dengan kesemuanya ini, Justru sikap inilah yang menjadikan Agusta berbeda dengan cowok lainnya, dan berhasil meruntuhkan kebekuan hatinya. Setelah sekian lama tiada satupun cowok yang bisa meruntuhkan kedinginan hatinya itu.
_______________ooo_____________

“Ndra, tolong dong! , aku harus bagaimana “ . Tak lama setelah Agusta duduk di teras rumah Hendra sahabatnya untuk curhat, kata-kata itu muncul begitu saja.
“Harus bagaimana apaan ?. Emangnya lu lagi bentrok ama bapak lu “. Seru Hendra penasaran

“Nggak gitu, Ndra. Itu tuh tentang Ellisa, aku harus gimana “
“Ya nggak gimana-gimana to friend !, diakan ratumu dan kau adalah sang pangeran. Ngapain susah amat, sih !. Kalau dia milikmu, nggak usah pakai susah-susah friend ! “ .
“Ah….Lu emang susah diajak curhat “ teriak Agusta yang jadi kesel pada Hendra.
“OK. . deh aku tak ndengerin, curhat Lu, cobadeh lu crita. Please ! “
“Aku kemarin nganter Ellisa pulang ke rumah “. Tutur Agusta dengan sikap malu-malu dan sejenak terdiam.
“Bagus dong, Gus !. Terus gimana “
“Aku lama ngobrol berdua aja dengan Ellisa, tapi aku tak bisa ngomong, jantungku berdegup keras, memandanginya aja nggak berani. Lantas aku harus gimana “
“Ini pertanda lu naksir dia, lho sikapnya dia gimana. Apa dia happy atau salah tingkah diantar pulang lu atau gimana ? “ tanya Hendra pada temanya ini yang kelihatan lagi salah tingkah nggak seperti biasanya.
“Ellisapun juga sama, nggak seperti biasanya dia ngobrol sama aku lepas dan ceplas-ceplos, tapi kali ini dia banyak diam. Hanya wajahnya aja yang kelihatan malu-malu “
“Terus sebelum pulang lu buat janji apa ama dia “
“Nggak sih, boro-boro janji, ngomong aja aku susah. Tapi Ndra. Semalam aku nggak bisa tidur penginya cuma bertemu dia terus “
“Kalau gitu, ya kalian berdua sama-sama naksir, Gus !. Lu yang lincah dong, jangan malu-malu. Nggak mungkin Ellisa yang lincah. Lu kan cowok, mestinya harus pandai-pandai buat acara. Eh Gus, kalau lu nggak lincah, keburu digaet Rio, aku dengar dia lagi pdkt ama cewek lu “
“Tapi aku yakin, Ellisa nggak bakalan mau “
“Itulah Gus kelebihan lu, aku liatain Ellisa selalu ceria di samping lu. Nggak seperti biasanya, kayanya lu adalah cowok pujaannya. Sikap Ellisa akhir-akhir ini berbeda dengan dulu-dulunya.

“Lho lu kok tahu
“Lho dia dulu adik kelasku di smp, jadi aku tahu betul. Eh Gus. .dia waktu di smp juga menjadi cewek pujaan bagi cowok-cowok. Jangan lu lepas begitu saja. Dia bukan hanya caem lho Gus, tapi cuakepnya kaya artis sinetron. Lu kemarin nganterin dia pake apa “
“Ya tak boncengin pakai motorku “
“Ah. . yang bener Gus, apa dia mau “
“Bener Ndra dia mau !, tadinya kan aku cuma basa-basi, tapi dia mau beneran. Ya udah pakai motor bututku tak anterin “

“Gila lu Gus, anak gedongan lu boncengin motor gaek. Udah nunggu apa lagi, aku yakin dia naksir lu juga. Eh Gus, aku liatin sudah seabreg cowok gedongan yang naksir dia juga. Beruntung lu nggak pake susah-susah dia mau ama lu “
“Lantas aku harus bagaimana ?. Aku jadi salah tingkah ngadepin cewek ini, Nggak seperti biasanya aku punya temen yang beda ama lainnya, Ndra “
“Sementara lu aktifin dia di kegiatan osis aja. Nantinya lu kan biasa berdua ama dia terus. Jadi nantinya lu nggak canggung lagi. Masa siswa teladan takut ama cewek
“Biasanya juga aku nggak takut, Ndra !, tapi ngadepin dia aku jadi grogi. Oh bidadariku. . . “ seru Agusta sambil berusaha tetap happy, kayanya advisenya Hendra bisa obat hatinya.

“Tapi hati-hati lho, Gus “
“Hati-hati, apaan “
“Yang bikin Ellisa dingin seperti mayat hidup, adalah sikap papinya yang minta ampun galaknya. Wajar aja kalau banyak cowok yang pdkt jadi kelimpungan “
“Galak gimana, Ndra”
“Bapaknya Ellisa itu orang sukses, maka dia menuntut anak-anaknya harus seperti dia “ Lho gua kan cuma teman Ellisa “

“Klo lu Cuma temen ngapain pakai kangen segala, ngapain lu semalam nggak bisa tidur. Hai sobat !, papinya Ellisa bukan orang bego, tau nggak !. Yang penting lu harus siap mental kalau ketemu papi doimu itu. Understood ? “
“Kok jadi gitu, Ndra !, udah deh gua tak modal optimis aja Ndra, yang penting aku berteman dengan Ellisa maksudku baik “

Agusta kembali memiliki kekuatan hatinya. Meski dia tidak punya rencana apa bila kepergok papinya Ellisa nantinya. Apapun yang ada di dalam hatinya, hanyalah semata ingin berteman dengan Ellisa. Kalau toh lebih dari itu, kenapa harus pakai ngacir, ngadepi papinya Ellisa. Toh sekeras apaun ortunya Ellisa, pastilah akan bisa menerimanya, bila Agusta mampu menghadapi ortunya itu dengan sikap dewasa, tanggung-jawab dan jujur.

Kapan gua ketemu papinya Ellisa, tapi gue juga belum siap. Ntar bisa berabe klo aku ketemu dia. Aku nggak mau bersikap pengecut. Tapi masalahnya lain lagi bila papinya hanya mengijinkan Ellisa berteman dengan cowok gedongan. Kalau seperti itu, gua nggak bisa berbuat apapun. Tinggal Ellisa sendiri bersikap bagaimana. Seandainya Ellisa hanya menuruti kemauan papinya itu, ya itulah kehidupan. Demikian bisik hati Agusta yang terus mengalir tiada pernah berhenti.

Keduanya kini kembali aktif di setiap kegiatan sekolah, mereka berdua memang telah melupakan perbedaan antar mereka. Karena mereka hanyalah remaja yang hanya sekedarkan ingin menghadirkan suasana romantis di kehidupan mereka. Saling memberi dan melampiaskan curhat, saling bermanja dan memberi ataupun mencari perhatian satu sama lain.

“Mas Agus, udah siang kita langsung balik aja “ pinta Ellisa kepada cowok ganteng itu, sambil tangannya bergayut di pundak Agusta. Agusta hanya mengangguk kecil dan mereka berduapun meninggalkan ramenya kompitisi Kejuaraan Footsal antar sma se Kodya Semarang,
”Ngapain lu buru-buru pulang Lis, padahal permainan footsal lagi asyik-asyiknya ” tanya Agusta di tengah perjalanan mereka pulang.
” Lu, kecewa, Mas ! ”
” Ah, nggak, Cuma ingin na
nya doang, ada acara apa di rumah ? ”
”Rencananya papi hari ini pulang, aku dah kangen ingin segera ngobrol ”
”Kok lu nggak ngomong sih, kalau lu tadi pagi ngomong, kita nggak usah lihat footsal. Kita nunggu bareng kedatangan papimu di rumah,
”Apa lu berani ketemu papiku, Mas ! “
“Kenapa takut ?. Aku nggak pernah punya niat jahat terhadap lu kan ?”
”Bukan itu maksudku, Mas. Papi memang hidup hanya untuk harta Mas. Segala sesuatu di lihat dari sudut pandang uang. Termasuk dalam mendidik anak-anaknya juga dia sangat keras, semata – semata agar anak-anaknya berhasil seperti dia”
”Tapi lu kan berhasil membuktkan sama papimu, nyatanya lu bisa jadi siswi teladan ”
”Ya Mas, tapi bukan itu saja yang diharapkan papi, nantinya papipun minta agar semua anak-anaknyapun mendapatkan pendamping hidup yang sukses, Papi nggak mau anak-anaknya menjadi terlantar karena penderitaan hidup. Sebaiknya Mas Agusta jangan ketemu papiku dulu ”

”Kok nggak boleh ketemu papimu ?, apa AKU nggak boleh punya hak untuk menemui papi dari orang yang paling aku sayangi ?. Ayo dong Lis, nggak usah takut dengan resiko apapun ” jawab Agusta dengan nada yang meyakinkan.
”Aku takut Mas Agus akan sakit hati dengan sikap papiku, Dan maaf Mas,biasanya kan Mas Agus suka pemalu dan canggung. Lantas bagaimana papiku menilai mas nanti ? ” Tentang sikap papimu nggak usah lu pikir, yang aku butuhkan hanya hatimu. Bila engkau mau melangkah bersamaku, menggapai masa depan, itu sudah cukup untuku ” tutur Agusta.

Ellisapun hanya terdiam dan menundukan kapalanya, namun bibir yang tipis dan menawan itu masih memberikan senyum bahagia kepada cowok yang paling dicintainya. Sebuah senyuman yang menggambarkan kebahagian dan keteduhan hatinya berada disamping cowok yang berhasil meruntuhkan hatinya. Ellisapun merapatkan duduknya disamping Agusta yang sibuk memegang stir mobil.
_________oooo___________

Ellisa sontak berteriak kegirangan seraya berlari kecil menuju papinya, yang emang udah lama menunggunya. Keduanya lantas berpelukan mirip adegan sinetron. Rasa kangen antara keduanya memang langsung dilampiaskan dengan peluk manja antara bapak dan anaknya yang paling dimanja.

Agustapun segera mendekat mereka yang lagi kangen-kangenan, kentara dari sikap mereka, bahwa papi Ellisa sangat menyayangi putri bungsunya itu, demikian juga sebaliknya. Maka wajar saja, bila sikap papinya Ellisa sangat memperhatikan Ellisa dalam segalanya, termasuk juga bersikap hati-hati terhadap temen-temen Ellisa.

”Oh silakan duduk, ini temanya Ellisa, ya ? ” seru Pak William Laksono bapaknya Ellisa yang segera mengulurkan tangannya untukmemperkenalkan diripada Agusta. Karuan saja Agusta segera menyambutnya dengan membungkukan badan pada lelaki separoh baya, tapi masih kelihatan ganteng dengan kumis melintang di atas bibirnya. Apalagi dengan hem yang bercorak garis dan gaul. Nampak sama sekali tidak terlihat angker, namun bersahaja dan lembut. Tidak sesuai dengan yang dibayangkan Agusta sebelumnya.

”Betul Om, aku Agusta temannya Ellisa ”
”Ellisa !, temenmu dibuatin minum dong !,Kamu tinggal di mana Gus ? ” .
”Saya tinggal di Seroja, Om ! ”
”Bapakmu kerja di mana ?, apa pengusaha ? ”
”Nggak Om, bapak hanya kerja di bengkel di kawasan LIK ”
”Lantas bagaimana nanti bapakmu membiayai kuliah kamu ” tanya Om William yang langsung menanyakan pada inti permasalahan. Agustapun menyadarinya, karena dia memaklumi sikap seorang ayah yang sangat mengkhawatirkan masa depan putri kesayangannya.

”Aku berhasil lulus masuk Undip dengan program khusus Om, lagian aku mendapat program bea siswa dari Undip. Sehingga bisa meringankan biaya kuliah Om ”
”Oh...sungguh pandai lho, kamu Gus !. OK deh belajar yang tekun ya Gus. Sekarang jaman serba susah, tapi lain lagi bila kita pandai, itu akan sedikit menolong kehidupan kita ”
”Iya Om, terimakasih nasehatnya. Sama seperti bapak juga menasehati seperti itu. Dan hingga kini aku tetap ingat nasehat bapak ”
”Bagus, itu namanya anak yang baik. Kamu kenal Ellisa dah lama ? ”
”Belum Om, baru saja saat Ellisa masih di kelas sebelas ”
”Boleh kamu berteman dengan anaku, asal jangan seperti anak gaul yang kebablasan seperti anak sekarang. Kamu nggak boleh macam-macam dengan anaku ”

”Oh nggak . Om. Saya adalah dari keluarga yang tidak mampu Om. Maka dalam segala hal, aku harus berhati-hati. Bila saya bertindak gegabah maka kasihan bapak-ibu ” jawab Agusta dengan lantang. Sama sekali tidak terlihat rasa canggung atau minder dari cowok ganteng ini. Hal ini menambah rasa kagum dalam diri Ellisa.

Meliahat situasi yang demikian Tante Rima, maminya Ellisapun Cuma tersenyum senyum kecil, berbeda dengan Ellisa yang hanya duduk dengan wajah yang ditundukan.
”Oh ya, kamu mau kuliah di Undip mengambil jurusan apa ? ”
”Jurusan sipil, karena yang paling aku sukai Om ? ”
”Bagus semoga kamu berhasil, yang tekun belajar ya Gus ! ”

”Baik Om ”
”Om denger dari putra temen Om, yang satu sekolah denganmu. Kamu banyak yang naksir ya ! ” tanya Om William.
”Ah nggak tahu Om, itu cuma pendapat mereka. Yang jelas saya dipercaya temen-temen untuk menjadi ketua osis. Sehingga tiap hari banyak dekat dengan mereka
”Tapi banyak yang naksir kamu kan ? ”

”Persisnya aku nggak tahu. Kadang mereka sering ke rumah. Namun selalu saya anggap temen biasa, temen untuk urusan organisasi ”
”Ntar kamu bosan dengan Ellisa kalau lu nantinya banyak dekat cewek ca”em”
”Tapi aku baru kenal cewek yang cuakep hatinya Om, kalau cakep wajahnya sering aku menemukan. Seperti yang dinasehatkan bapak dan ibu, untuk tidak sembarangan bergaul dengan cewek, meski cukup banyak yang deket dengan aku, Om ! ”.
Om William tidak mampu lagi meneruskan obrolanya itu, yang ada di hatinya kini hanyalah rasa kagum terhadap cowok yang ada dihadapnya. Mungkin dalam hatinya mulai timbul rasa percaya dengan kejujuran cowok ini. Kehati-hatian dirinya dengan semua temen dekatnya Ellisa memang cukup beralasan, karena Ellisa putri bungsunya adalah segala-galanya bagi dia.

”Om tak istirahat dulu ya, karena semalam rapat proyek di Jakarta sampai larut. Pagi-pagi tadi Om sudah di bandara mengejar pesawat ke Semarang yang paling pagi, karena kangen dengan Ellisa. Ayo silakan di minum ”
Ternyata sikap papinya Ellisa biasa saja, layaknya seorang bapak yang ingin melindungi putrinya. Agustapun hampir tak percaya dengan dirinya sendiri atas keberaniannya itu, berbeda dengan bayangan kengerian sebelumnya menghadapi bapaknya Ellisa.

Namun itu semua ia lakukan demi tetap dekat dengan cewek pujaan hatinya, yang kini duduk di sebelahnya. Dan merekapun kini saling pandang. Sebuah ucapan kecil terdengar dari mulut Agusta.
”Lis, kamu cuakep bener. Aku sayang ama kamu ” . Ellisapun hanya memandangi Agusta, dan tak lama kemudian dia hanya menundukan wajahnya. Sangat berbeda jauh dengan Ellisa dulu. Ellisa sekarang adalah Ellisa yang penuh dengan kesejukan dan dambaan hati Agusta.
_____________ooo_________

Senin, 13 September 2010

Di Tengah Debu Terminal Gombong

Jarum jam melempar pandang
penuh kebencian…
hendak mencabik seluruh badanku
meski telah kukayuh langkah
memburu debu
bis bis kumal

Aku menyongsong bayangmu
Agar tidak ketinggalan
mendapatkan senyumu
kala memilin benang cinta
di tepian Sempor

Kau menambahkan warna lembayung
Pada langit biru di tengah hari
Lantas aku beri warna putih
Dari jiwaku yang lugu
Kau menambatkan wajah ayumu
Pada tepi Sempor yang mengusung ketidaktahuan

Di Terminal Gombong
Aku jinjing kerajang cinta
Agar disimpan jauh
di sebuah sepi…..

Gombong, Kebumen 1985

Sebuah Penantian

Selalu aku sambut mesra bila Camelia berhasrat merengkuh apa yang menurutnya indah, yang selalu tersimpan di sudut hatinya. Apalagi bila hasratnya itu berhias dengan senyuman mesra yang mengawali setiap perjumpaan kita. Saat itu sang bidadaripun berhenti mengepakan sayapnya, kupu kupu di dahan bunga yang mekar pun ikut mengerlingkan mata, bila hati ini sedang bertaut dengan telaga warna yang selalu di beranda hati. Tetapi gambaran dalam kanvas hatiku tentang Camelia kini hanya gambaran suram, seiring dengan tangan Camelia yang meluruh dari genggamanku.

Pagi tiada bosannya menampakan wajahnya dengan semburat kuning sinar mentari, seakan tahu persis hatiku yang sedang galau lantaran kenangan itu selalu saja hadir, Camelia adalah diriku yang ada di hati diriku sendiri., layaknya fatamorgana yang selalu membungkus bilah hati ini.

California di bilangan negeri Paman Sam, adalah tanah terkutuk yang mampu menyeret Camelia yang tiada berdaya, yang harus tinggal di tanah ini, lantaran harus mengikuti papinya bertugas di bilangan itu. Hanya tatap mata sendu Camelia yang mengucapkan selamat jalan, ataukah tangis dia yang mengucapkan selamat berpisah, nampaknya sesuatu yang sudah melekang kuat telah mengaburkan realitas ini semua. Camelia tak satupun mengucapkan selamat berpisah, namun akupun tiada mungkin memburu bayangnya hingga California yang aku sendiri tak tahu kemana arahnya.

“Apakah ini suatu perpisahan ?” masih terngiang di sendu hatiku ketika pertemuan terakhir di beranda rumahnya.
“Aku tak tahu, Bra !”
“Lantas apa aku harus menunggu ?”
“Aku tak tahu”
“Aku harus bagaimana ?”
“Aku juga belum tahu !”
“Menurutmu aku harus bagamana, Mel ?”
“Jadilah Bharata yang selalu kuagungkan, yang selalu mampu menjadi laki-laki jantan yang memegang teguh janjinya. Bila kau sanggup menungguku, akupun akan berusaha pulang ke Indonesia, meski tanpa papa. Tapi bila kau menginginkan perpisahan ini, kau harus jadi laki-laki yang bahagia dan selalu ingat padaku. Bra !,. Inilah yang mampu aku berikan padamu, aku nggak punya cara lain”, tutur kata Camelia hingga kini masih aku ingat betul, lantaran tutur katanya telah berubah menjadi molekul-molekul darah yang selalu mengalir di nadiku.

“Mel !,aku bukan Romeo dalam adegan drama Romie dan Juli, aku dan kau bukan pemeran adegan picisan seperti itu, tapi kita benar benar dalam realita hidup”
“Jadi kamu memilih untuk meninggalkanku, Bra ?” kedua tangan Camelia kini telah berada di leherku, bibir yang penuh pesona kini benar-benar berada di depan wajahku. Semilir angin kemarau terasa lebih riuh, di tengah udara dingin yang mulai menyengat Kota Bandung.
“Aku tak pernah sekalipun merengkuh sebuah perpisahan, sesuai janjiku, Mel ?”
“Lantas kita harus bagaimana, Bra ?”. Sebuah kecupan mesra dari gadis pujaanku, serasa meruntuhkan langit yang bertemaram sinar rembulan, dan bintang-bintangpun memilih untuk berselimut dengan gulungan awan hitam. Tidak seperti biasanya kecuman mesra dari Camelia diiringi denga matanya yang sembab lantaran dibasahi air mata pilu.

Aku tertegun dalam ketidaktahuan, apakah aku harus ikut ke California, sementara baru dua tahun aku kuliah di ITB dan tak mungkin pula aku meninggalkan bapak ibuku yang sudah uzur. Yang kini tinggal di Semarang.

“Mel, kalau aku harus married denganmu akupun tak keberatan, walaupun aku harus bekerja. Dari kecil aku terbiasa membantu bapak jualan di Semarang. Inilah jalan satu satunya”
“Bila papa mengijinkan akupun tak masalah. Hanya saja papa memintaku kuliah di Universitas California. Papa benar benar menginginkan aku sukses Bra, karena aku anak pertama. Sementara sama seperti bapakmu, papi juga sudah mulai uzur. Hanya akulah anak pertama yang diminta menggantikan bisnis ekspor-import ini. Lalu aku harus bagaimana, Bra ?”. tangan Camelia masih saja kuat bergayut di pundaku.

Terasa kebimbangan yang mencekam kini menggrogoti hatinya, demikian juga aku yang tak mampu mengurai benang cinta yang mengusut. Namun sebagai anak laki-laki yang sudah kenyang dengan cobaan hidup, akupun akan terus berusaha tegar. Demikian juga akupun harus benar benar mampu menguatkan hati Camelia yang mulai limbung, meski hati ini juga tak kalah dalam kebimbangan.

“Bra aku ingin kau malam ini jangan pulang,, duduklah disampingku sampai larut malam
“Mel, perpisahan ini memang berat bagiku, aku tak bisa berpikir harus bagaimana, tapi hari sudah malam. Aku harap kau dewasa, memang ini kenyataan. Bila Tuhan memepertemukan kita lagi, kenapa nggak…kita ketemu lagi !”
“Tapi besok pagi, kita sudah nggak ketemu lagi, Bra !. Sebuah perpisahan?, yang aku sendiri tak tahan menghadapinya “
“Lantas, aku harus bagaimana Mel ?. Aku yakin papamu menaruh harapan besar untukmu, demi masa depanmu. Kuatkan hatimu, Mel !. Aku harap kabar yang kuterima darimu nantinya, adalah kabar tentang kebahagianmu “
“Kok kamu ngomong, kaya gitu, Bra !. Kamu sudah lega dengan perpisahan ini, bagi seorang pria perpisahan seberat apapun akan mudah dilupakan, tapi bagi wanita sepertiku…” Camelia tidak mampu meneruskan lagi, dadanya kini berguncang, pipinya hanya dipenuhi oleh air mata.

Sementara daun palma yang berjejer di halaman rumah Camelia kini terpagut dalam kebisuan. Mereka seakan hendak menyimak episode tentang hidup yang diusung dua remaja yang mencoba menggapai masa depan dengan benih-benih cinta yang tumbuh jauh di dalam hatinya. Suara batuk batuk kecil Om Allan, papi Camelia sekali sekali terdengar dari dalam rumah besar dan kokoh itu.
Camelia merasakan tubuhnya bertambah dingin lantaran terbalut dengan angin malam Bulan Agustus yang kering dan dingin. Namun disamping pria pujaan yang kini disampingnya, pada malam terakhir mampu menepiskan kedinginan itu.

“Bra, aku minta tolong untuk malam ini ?”
“Tentu, Mel untuk siapa lagi diriku ini,kalau bukan untukmu?”
“Jadi kau tidak menghendaki perpisahan ini?”
“Aku tak pernah berpikir untuk meninggalkanmu, Mel”
“Kamu tentunya mau kan menungguku kembali ke Bandung?”
“Tentu, Mel. Tapi aku tidak suka sebuah luka hati”
“Maksud kamu gimana ?”
“Bila aku harus menunggumu, akupun minta tidak ada satu priapun pernah menyentuhmu. Kecuali itu pilihanmu yang terakhir, akupun nggak keberatan asalkan aku dikasih tahu. Aku akan menunggumu dengan penuh kejujuranku dan kejujuran kamu “
“Kamu kok punya pikiran, klo aku berkhianat “

Bhatara hanya diam membisu, anganya kembali ke masa lima tahun lalu ketika dia harus menerima kenyataan berpisah dengan Andry kala masih di SMA dulu, yang mencampakan dia begitu saja. Luka itu hingga kini masih membekas lantaran dia masih belum menemukan pembalut luka yang menyembuhkan luka dalamnya. Pertemuan dengan Camellia memang mampu sedikit menyembuhkan luka hatinya. Namun baru saja dia menggapai kembang warna warni pembalut luka, sebuah penantian harus dia hadapi.

“Kenapa, Bra”
“Ah..nggak. Aku cuma lagi membayangkan betapa kamu nanti di amrik jatuh ke pangkuan pria bule!”
“Ah kamu kok gitu, Bra !, aku akan menghargai sebuah penantianmu Bra” Kembali kedua tangan Camela menggapai leher Bharata, kedua tubuh insan yang dipagut dewa Amour itu kian mendekat membangkitkan kehangatan pada tubuh mereka dengan dada mereka yang saling berguncang.

“Bra, aku akan tetap setia, aku tak akan membuat hatimu terluka” desah bisik bibir Camelia kini persis di telinga Bharata. Bhatarapun kini merenggangkan pelukanya.
“Kalau kamu jujur sama aku, akupun akan menantimu di Bandung”

Kedua insan itupun tak mampu lagi melawan datangnya sang fajar. Kini rumah mewah mirip gedung kompeni menjadi sunyi.

Dan kini Bhatara memenuhi hari hari penantianya dengan hati berhalaman sepi. Metamorfosis detik, menit, jam hingga hampir lima tahun terasa memberati perjalanannya. Kini lamunanya berangsur memudar lantaran ujian skripsi menghadangnya. Namun tiba tiba saja, hari hari penantianya berubah wujud menjadi raksasa yang menghimpit tubuhnya,hingga terasa semua tulangnya telah berpisah dari dagingnya. Kala sebuah surat berada di kedua tanganya dengan nama Rista Camellia Anderson, yang kini menjadi warga negara amrik lantaran bersanding dengan Stewart Anderson. Seorag doctor ahli dirgantara.

Sang pria yang terpagut sepi dalam penatian itupun menjadi bertambah sunyi hatinya.

Minggu, 12 September 2010

Nyanyian Kosong Demi Sebuah Rindu

Memburu KaruniaMU
(Coretan dari Sastrawan Pinggiran)

Aku kembali terkapar….sementara…..
Langit masih menampakan kain sutra biru berenda
syahdu……
Di bawahnya bersusun angin yang meniup keteduhan
Tangga menuju pintuMU…
Telah aku sandarkan pada…
telaga bertepi untaian bulu gagak…
sementara aku biarkan mandi didalamnya

Aku terbangkan dengan nafas yang membulat
Agar menjauh dari “cermin miliku sendiri”
Atau aku yang hanya berani……
Mengayuhkan perahu berlayar getir
Berpilar duka lara

Sauh yang hanya untuk miliku
Tertambat pada bingkai hari yang menjauh
Sementara peluhpun memburu tepi tiada akhir
Aku lontarkan gemuruh nyanyian pilu
Agar terasa lega apa yang masih di tengah awan mendung
Aku coba mengaitkan pada seribu bidadari
Bermandi air sorga penuh warna

Tapi kembali, aku terjaga
Di tepi peraduan yang hampa menista
Aku kembalikan pula sebuah hasrat
Meraut ujung senja berlatar roda jaman bergigi tajam
Telikunglah aku…hingga penuh makna.

Semarang, 13 September 2010


Biarkan Aku Liar,

Biarkan seribu kuda binal
Berotot dalam hempasan apa yang di depan
Berkaki menebarkan debu yang menghitamkan wajah
Biarkan pula langit berjelaga.
Bergambar debu gunung yang liar

Biarkan fatamorgana di kaki langit
Akan aku robek
Layaknya pengantin putri yang berkhianat
pada jejaka di malam penganten

Biarkan pula aku tumpahkan telaga
Yang menyimpan seribu kebohongan
Akan aku tusuk juga mata burung hantu
Yang tak berkedip memandangku.

Akupun lari sekencang anganku
Merengkuh Jonggringsaloko tempat…..
Bidadari dan para dewa mengatur nafasnya
Akan aku tebas pula dengan nafsu amarah
Peraduan Gondo Mayit, tak perduli amarahnya
Ratu demit Bathara Durga,
Lantaran diapun takut dengan demit di hatiku
Aku dan hanya aku……
Yang mencoba melemparkan Ismoyo
Agar tiada penghalang lagi
Untuk terus liar yang kugalang..
Tuhan…..akupun bertepi.

Semarang, 13 September 2010

Larut Dalam Bening


Aku jadi larut…
Menjadi memudar ..segala yang meratap
Telah aku penuhi juga
Perjalanan menyebrang tujuan dalam hati
Menyelnap tiap lekukan tubuhku
Aku jadi dikemas daun yang melekang

Telah pula aku langkahi
Untuk satu mahkota bersusun seribu
Aku tiada arti
Hingga Tuhan sendiri memberiku arti

Semarang, 13 September 2010

Rindu Kepada KOTAKU

Sepanjang jalan merengkuh Semarang Bulan sabit bertepi pita jingga, aku sertakan pada deru debu. sepanjang jalan dengan gempita manusia yang mengais sebuah Kota Besar aku terjepit di dalamnya, Mana sawah ladang kalian atau hanya ditumbuhi ilalang dan belalang bukankah di pematang, juga terselip kehidupan selamat berjuang saudara Semarang, 13 September 2010

ARINI

Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?.

Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku.
”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku..

“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. Betapa aku tidak mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas pnggang. Namun dibalik keindahan wajahnya, tersembunyi hati yang keras sekeras batu karang di lautan.

“Mengapa, apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu. Aku manusia biasa lho Rin, apalah artinya Septian ? “ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan ketidaktahuanku.

“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! “. Sekali lagi aku coba, mungkin ini kata-kataku yang terakhir kali.
”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku disampingmu

”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” .
Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut.

Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu akupun melangkah pergi, sempat mungkin yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini. Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini.

Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu menundukan kehidupan ini, akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan. Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini demi kebahagiaan Arini.
Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku terima. Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun dibalik itu semua tersimpan hikmah yang begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri ini.

Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti bulan dan datanglah waktu hampir satu tahun . Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang sebuah kata maaf yang dia tulis dari rumah sakit.

Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras. Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama kali masuk SMA. Kini dia terbaring lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi. Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini hanyalah tatapan kosong untuk menerima kenyataan ini.

Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini.

” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata.
”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup Arini

”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa membesarkan hatinya.

”Aku tidak pernah merasakan perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ”
” Benar, Yan ”
” Sungguh ”
” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ”
” Tapi keadaanku begini, Yan ”
”Tapi, kau tetap Arini ”
” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta perpisahan ini, Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ”
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita tentunya masih bisa berbuat salah ”
” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !, aku minta kau menungguiku ”
” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ”

Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali.
” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati.

” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”.
Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan pertanda bahwa operasi berlangsung. Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.

Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang hidupku hampir tak berujung

Sabtu, 11 September 2010

BERCERMIN DI GAGAHNYA TANAH AIRKU

Merah Padam Ronamu

Ketika kita beranjak dari peraduan…
Bermandi semilir angin dari tenggara
Yang mengusung buih laut
Menuju pantai…
Tanpa berkawan lembayung jingga

Ada seuntai “janji”….
Yang meringkuk di kepalan tangan kita
Untuk menandu sang ibu pertiwi
Agar tiada lagi kerikil tajam
Yang tiada pernah mengerti akan iba
Dari sebuah perjalanan

Akupun hanya menguatkan pegangan
Agar tangan ibu yang keriput memucat
Bernafas lega…….
Mampu bermandi air bunga
Dalam gubug sederhana
Beranyam bambu
Berhalaman bunga melati, kenanga dan mawar

Jangan kau biarkan ibu
Merah rona wajahmu…
Terbawa angin debu mengusung biadab
Biarkan ibu bersemayan dalam cakrawala archipelago

Semarang, 12 September 2010

Episoda Negri Sebrang

Meski nasi dan jagung..
Beralasan piring tanah..
Dimasak dari tungku tanah liat…
Berteman sepotong ubi…
Tertata rapi di atas daun pisang

Kita terlahir dari lengan yang legam
Bahu yang melepuh karena terik matahari…
Mengatur beberapa nafas dari bilik bambu
Tapi kita rimbuni dengan pohon buah
Yang menjadi lalu lalang kenari, perkutut dan kutilang

Kita batasi gubug kita yang kokoh
Meski dari batang kayu nangka
Rumputpun menebar hijau
Yang tertata bagi permadani dewa.

Jangan kita sodorkan rembulan
Yang telah hinggap di atap rumah kita
Meski lantang dan angkuh mengusik
Dari negeri sebrang..yang nampak
berceloteh dari balik gedong loji
berkelambu sutra
belantai marmer pujaan para raja

Kita adalah kita…
Meski negri sebrang meradangkan
singa lapar, bersuara sampai ke ujung fatamorgana
tidak pernah di lingkaran langit nusantara
Kita surut untuk memangku nestapa
Kita mampu menerjang bak prajurit ‘segelar sepapan”
Dari Majapahit yang merengkuh negeri para dewa

Semarang, 12 September 2010

Bara Api dari Rumpun Bambu

Di tepian telaga
Tempat mandi bidadari
Sang jalak menawarkan bulu hitamnya
Pada kutilang yang bersayap putih
Kenaripun manyimpan rapat rapat bulu kuningnya

Sang perkutut diam membisu..
Meski dia ingin meminjam bulu merah
dari Cendrawasih

Telagapun menjadi bermandi kuning keemasan
Dari semburat sinar mentari
Yang mengalahkan warna bulu mereka semua
Namun tiada mereka mau membasuh
bulu mereka dengan air telaga…
Mereka malah menajamkan paruh dan cakar
untuk memungut sebuah bara…...

Tiada pernah mereka tahu.
Bahwa negeri gerimis ini …
Adalah negeri tempat mandi bidadari
Ketika Manikmaya membasuh mahkotanya
Untuk pertemuan agung esok hari…
Mereka tidak pernah tahu…..
di bawah lambaian daun nyiur di tepi pantai..
adalah tempat dewa melepas lelah
“Jayalah Negeriku”

Semarang, 12 September 2010

Menjaring Lazuardi ASMAMU

Langit telah membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit yang biru-terharu.

Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit

“Akulah sinar putih dari beranda langit”

“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.

“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”

“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”

“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...

Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.

Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”

“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.

“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.

Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.

Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.

“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.

“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”

“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”

“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”

“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “

“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”

Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.

Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.

Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.

Senin, 22 Februari 2010

DUNIA TAK SELEBAR KOTA TEGAL


      Wayahe wis  rendeng,  saben dina  anane  mung udan  lan udan bae, tan  ora ana  srengenge jumedul saka langit. Biasane yen kaya kiye  wong-wong sing makarya  nang pabrik, apa maning sing ning  sawah pada wegah metu, milih ngringkel ning umah, medang poci karo mangan pacetan  pisang goreng.  Termasuk  Kang  Raisan sing sadina-dina anane mung ngringkel bae nang peturon.
      Padahal  Yu Zaenab  bojone wis saminggu kiye bengak-bengok bae,  awit jengkel weruh bojone kringkal - kringkel bae ora nyambut gawe. Lha. . . kepriben  wong  bolak-balik  Mahendra anak mbarepe  disurati gurune,  saben wulan mesti dikirime surat  tagihan SPP, LKS,  uang laboratorium, Uang Ekskul ( Ekstra kurikuler ), durung  uang buku,  uang piknik, uang pelajaran tambahan / les, uang perpustakaan,  uang  les  komputer   lan sapiturute. 
      Padahal jamane Yu Zaenab sekolah, ora ana  pungutan apa -  apa, wong mbiyen sekolah bae pada nyeker ora sepatunan. Tapi pada dadi wong gede barang wis lulus. Ora kaya jaman saiki, sekolah isine mung urunan lan urunan. Pantesan barang dadi pejabat anane mung korupsi. Lha. . . kepriben ?
      Apa maning  sing  mbontot  nganti wis wegah sekolah, sebabe sering diundang kepala sekolahe sing galake  pol  temenan, gara-gara SPP nunggak nem sasi. Terus kepriben ?, arep mbayar nganggo godong ? Apa arep utang nang rentenir sing bungane  sakandang macan. Apa enake njukut duit nang BPR bae ?. Lha  terus bayare kepriben.
       Mbuh setan apa sing ngrasuk ning ragane Yu  Zaenab, seketika itu juga ndeweke  ngugah bojone sing lagi ngorok,  kemulan sarung, ngringkel lan  loyo sebabe mau mbengi bar begadang nang pinggir kali, kumpul karo Karso sing dodol Kacang Ijo  lan  Saripan  sing  dodol  wedang  ronde.
      ” Kiye wis  awan,  sing kira- kira  o Mas !,  tangi awan ora pantes  ditonton nak – anake awake dewek “, Yu Zaenab  mbengok  nganti tanggane pada krungu.
      “ Ana apa sih Nab,  kowen  sapeneke  ngugah turune inyong,  aku esih ngantuk “  Kaya kuwe  jawabane Kang  Raisan.
      “ Kiye wis awan, ayo tangi golet pangan, kae surate gurune bocah-bocah isine mung tagihan, apa kudu mandeg  sekolahe anake dewek ? “ Yu Zaenab tambah ora sabar.
      “  La terus maring endi aku kudu nggolet duwit ”
      ”  Ya  mbuh, kuwe  urusane  sampeyan sing wong lanang ”
      ” Wis,  aku  arep minggat,  ora usah  diogoleti ”.  Ora ndadak nunggu  waktu maning  Kang Raisan  langsung  brubut  metu njaba,  ora  ndadak mlengas-mlengos maning  langsung  lunga  ninggalaken bojone sing lagi bingung.
       ”  Kang  aja  minggat, pan maring endi, Kang  !. ”  Yu Zaenab  mbengok, esuk esuk  ndadeaken   keadaane tangga-tanggane dadi pada menyat  saka pawon,  pada  ndeleng tukarane wong loro  sing lagi susah uripe.. Tapi  kacek sedelat awake Kang Maisan wios ora katon maning, kaya-kayane mlingsep nang njero bumi. Mbuh kabur kanginnan tekan endi maning.  Karuan bae Yu Minah  dadi sedih.  Padahal karepe deweke mung pan ngonkon supaya bojone kae sregep kerja ora mung ngorok terus nang omah.
      Ora suwe Yu Minah mlebu  njero  omahe lan njagong nang kursi tamu karo deleg – deleg, ora ngurusi  mbontote,   sing krungu  bapak karo ibune pada bengak – bengok tukaran mau,  dadi wedi la  nangis ora karuan tatane.
____oo___

       ” Ana  apa  dengaren  esuk – esuk wis teka mertamu nang inyong, San ! ” Kaya kuwe  omonganen Pak Bina juragan  mebel sing  paling sugih sa desane Kang Raisan., 
       ” Lha. . .kepriben kiye, uripe inyong tambah ora karuan. Wong wadon esuk-esuk wis gemboran ora duwe duit maning. Dadi inyong mrene pan njaluk pegawean, masalah bayaran gampang, Kang ! “
       “ Maning – maning kowen  kaya kuwe, wis tak wanti – wanti nyambut gawemu sing sregep, aja  semblotongan, wong kowen kan wis nduwe bojo sing kudu dinafkahe “  jawabane Bose  Kang Raisan.
       “ Ya wis, sing mbiyen – mbiyen aja diungkit ungkit maning, saiki aku weis pan tobat, ora kaya gemiyen maning. Kepriben Kang  entuk apa ora “
      “  La kiye ding dadi masalah San, aku wis dioyk oyak pelangganku, supaya pesenanane cepet  rampung. Mulane aku ngerjaaken tenaga liyane, kanggo ngganti kowen. Ya mengko gampang  yen ana pegawean maning, kowe tak undang “
       “ Ya terus kepribewn Kang,  aku selek butuh gawean “
       “ Ya coba kerja nang LIK kana, nang kana kan akeh perusahaan mebel kanggo di eksport nang luar negeri, yen inyong saiki lagi megap – megap.  Pesenan mebel  saiki tambah sepi, embuh kiyhe jaman apa San. Wis maafe bae yan San “
       “ Ya wis ora apa – apa Kang. Yen bisa aku pan nyilih duit bae, aku pan maring Malaysia dijak Non Lisa penyalur tenaga kerja. Aku arep nggoleti pegawean nang kana, kepriben pendapatmu Kang ! “.Pak Bina krungu kaya kuwe mung mesem, lan geleng geleng sirahe.
       “ San  San , kowen kan nduwe ketrampilan, gaweane kowen alus, perkara mebel jarang ngalahaken pegaweanmu. Are apa nang Malaysia, kaya kuwi bae repot !, coba ndingin golet gawean liyane, Saiki lunga Malaysia ya ora cukup 25 juta ongkose, ya  luwih apik yen biayane kanggo modal usaha mebel to San “
       “ Tapi modal samono ya ora cukup Kang “
       “ La ketrampilanmu ya wis kelebu modal to San, sing diareni modal usaha, wis saiki ora usah bingung – bingung, semenatara kiye nggoleti gawean ndingin, karo setitk-setitik ngumpulaken modal. Mengko yen kowen temenan mengko tak goletaken order cilik – cilikan “
       “ Tapi jare Non Lisa nang Malaysia akeh pegawean lan bayarare gede, Kang ! “
       “ Lha kowen wis  tahu mrana ?.  Yen jare-jare ora usah didgugu ndingin. Aja bingung San, wong Tegal kiye akeh penguripan sing disebar Gusti Allah, ora mung ning Malaysia tok. Tegal kiye kota urip, gampang kanggo usaha yen temen. Mulane jare inyong Dunia kiye karo Tegal esih jembar Tegal kanggo penguripan. Aja pus asa ndingin. Wis ngono bae ya San, aku pan nyambut gawe.Mengko gampang ketemu  maning ! “  Pak Bina terus menyat nyandak  alat alat tukang kayune.
       Kang Raisan mung meneng baer, tapi atine ngakune yen Pak Bina bener  ngomonge.  Saiki deweke twrus pamit, arep golet gawean sing temenan.  Srenegenge wis  anjog nang bun – ubune sirah, berarti dina wios awan. Mulane Kang Raisan tambah semangat  kanggo nggoleti pegawean, kanggo  nafkahi anak bojone. Sing jelas saiki wis ora nduwe niat maning merantau nang Malaysia, cukup nang Tegal bae.