Senin, 28 Maret 2011

Bayang Bayang Malam

Lampu hias di jalan sepanjang Kota Semarang telah mengguratkan wajah kota ini menjadi tambah moncer, bagaikan gadis gadis penari di latar Prambanan kala bulan purnama tiba, meski kerlip sinarnya tidak mampu meyaingi sang rembulan yang berdandan lebih menantang, dengan kuning sinarnya menambah terangnya lorong lorong Kota Semarang di malam itu. Eksotis malam itu telah sanggup memagutkan remaja remaja yang sedang merajut hati, untuk sekedar menuangkan komposisi warna amour dalam kanvas hidup.

Namun malam ini bagi Rinjani tak lebih hanya malam yang bertabur bayang bayang hitam dari hantu hantu entah datang dari penjuru mana. Sehingga warna malamnya hanya hitam kelam, tak satupun berkas sinar rembulan yang menggapai bernnda rumahnya, sejak perpisahan dia dengan Albert. Hati rinjani kini tak ubahnya media untuk merekam saat saat mereka berdua dipeluk dewi asmara. Meski mereka kala itu saling menyayangi, menghormati serta saling mengerti pribadi masing masing. Namun Albert juga tetap manusia biasa.

Malam bertambah menampakan sifatnya yang egois, tetap saja patuh dengan kendaraan waktu yang merambat dari sisi ke sisi, sementara beranda rumahnya kini masih tetap membujur dingin. Hanya sebentar sebentar Rinjani hinggap terkulai dengan suara sauara hatinya sendiri, yang kadang lebih tajam dai belati yang menusuk dalam dalam jantungnya. Segera Rinjani kumpulkan kekuatan untuk menikam suara hatinya dan menelikungnya. Namun lama kelamaan dia sendiri tifsak msmpu melawanya. Karena begitu kuatnya mmenerang anganya.

Barngkali saja karena malam minggu ini dia hanya sendiri di beranda rumahnya, sementara rembulan kini telah mengerutkan wajahnya, dan awan hitam terus saja melingkungi. Maka suara cegkerik dari kebun sebelah rumah setengah tembok yang mau menerima kegetiran hati putri lajang yang anggun itu. Ditambah dengan desah suara daun pisang yang terirama angin malam. Rinjani kini terperosok jauh dengn suara nhatinya

“Lantas untuk apa kamu menyendiri di sini. Sementara Albert kini bercumbu dengan Netty di pavilyun cintanya”. Gemetar seluruh tubuh Rinjani mendengar suara hatinya yang tak mampu ditepisnya.

“Dunia yang aku rengkuh, tidak sebatas Kota Semarang saja, tapi dunia terhampar dari mulai Artic hingga Antartika, dari mulai Mount Everest hingga Mahameru. Kenapa mesti Abert yang harus disisiku ?”

“Tapi mengapa engkau malam ini terkulai lesu, kenapa pula kau bohongi malam jalang ini ?, kamu merindukan Albert kan ?”

Rinjani tersentak kaget, mendengar halilintar yang memecut hati yang sedang meradang pilu itu. Nama yang disebut hatinya sendiri, kini bagaikan bara api yang menguliti seluruh hatinya dan menyalakan bara amarah. Nama itu beberapa hari lalu, ia rasakan bagaikan seribu keindahan yang mewarnai prosa hidupnya. Namun kini nama itu bagaikan bara dari gunung Merapi yang hendak menelan hidup hidup seluruh tubuhnya yang tidak seberapa kuatnya.

“Hai !, hati yang sedalam laut Atlantik, jangan kau sebut lagi nama Albert. Enyahlah kau sejauh jauhnya. Biarkan malam jalang ini menemaniku. Lebih baik aku terpagut dengan kelamnya malam ini, ketimbang aku harus dekat dengan durjana itu”

Baik Rinjani dan malam jalang itu kini sendiri sendiri saling memagut sepi di sisi yang brsebrangan. Namun masih sekali sekali suara angin malam yang jalang itu menyebut nama Raymond. Cowok ganteng, berkulit sawo matang agak gelap dan bertubuh atletis. cowok ini memang piawai untuk mejeng, saat Albert masih di sisinya, diapun sering terkesima melihat sang actor yang senang berkaca mata hitam mirip Tom Cruise. Tapi bagi Rinjani kala itu tidak pernah berniat untuk membuat sayatan luka di hati Albert, yang kadang bersikap seperti gunung es namun kadamg pula dia melebihi adegan sinetron picisan kalau sedang mabok kasmaran.

Desir angin malam bertambah kuat, dentang jam dinding di ruang tamu memecut udara malam hingga sebelas kali. Angin malam kini lebih lantang lagi menyebut nama Raymond.

“Rinjani !, Raymond malam ini merindukanmu, berdandanlah seperti bulu burung merak yang meregangkan seribu warna. Hiasi senyumanmu dengan hiasan penuh rasa simpatik pada pria ganteng itu. Desiran hati kamu sering mengakui kalau dia lebih pinter mejeng ketimbang Albert?”

“Tapi aku bukan cewek murahan yang gampang jatuh kepelukan pria, aku memang kesepian. Betapa kejamnya kau hai malam, kejalanganmu semakin dalam menghimpitku”

Sementara jalangnya malam diam membisu, bahkan sekarang menebar kembang setaman warna warni yang semerbak harum memenuhi beranda hati Rinjani sang bidadari malam yang kehilangan sayap sayap. Maka malampun lantas meminjami sayap yang berwarna merah jambum, hingga membuat Rinjani mampu terbang menuju pintu langit menjumpai Sang Dewi Asmara, yang telah siap membukakan buku harian sang bidadari malam kala masih bersanding dengan Albert.

Lembar demi lembar buku harian terbaca Rinjani, hingga akhirnya pada bagian akhir buku harian, kala dia berjumpa dengan Albert yang terakhir kali, malam minggu yang lalu di Great Zone Coffe di tengah Kota Semarang. Rinjani kala itu sempat kagum dengan dirinya sendiri yang tegar berhadapan dengan durjana cintanya, yang telah menjual cinta gombalnya pada Netty.

Perpisahan memang harus terjadi antara mereka bedua, disaksikan ornament Great Zone Coffe yang flamboyant yang masih menyisakan aura De’Amour. Namun Rinjani telah kukuh hatinya, sekuat tenaga dia harus mampu menepiskan jerat jerat sutera yang terus ditebarkan Albert, namun bagi Rinjani jerat itu hanya belati tajam yang akan mengoyak beranda hatinya.

Kala harmoni malam jalang telah menyuguhkan kidung tengah malam, sayap sayap Rinjani kembali melipat dan luruh di beranda rumahnya, diapun segera dengan perlahan mencabut belati belati yang mengkoyak hatinya. Buku harian yang bersampul pelangi jingga segera ditutupnya, senyum manis Albert masih tertera dengan samara di sampul belakangnya itu. Rinjani kembali duduk terkulai di korsi rotan beranda rumahnya, angina malam jalang yang dingin mulai merambah ke sumsum tulangnya. Namun kejalangan malam itu, kembali mendekati dan mulai menjamah hati Rinjani dengan bahasa malam.

“Bukankah Raymaond yang ganteng itu bukan type cowok penjaja cinta. Rinjani. Raymond yang dulu menjadi sasaran mata kamu yang nakal, seakan akan kau berniat menelan dia hidup hidup. Bukankah kau hanya tergoda dengan mobil mewah Albert, gaya hidup gokil Albert “

Rinjani menjerit dan sekuat hati berniat menepis godaan malam jalang, namun semakin keras Rinjani memekik semakin lantang malam jalang menelikung hatinya.

“Bukankah kau duku menolak Raymond karena tidak mampu memenuhi seleramu, dia hanya pakai sepeda motor untuk kuliah. Sementara sang bunga kampus dan bidadari malam harus duduk di kursi empuk yang mewah ? Apa beda Raymond dan Albert, Rinjani !!!”

Rinjani sudah tidak mampu berkilah lagi, suara hatinya telah redup bahkan telah tersumbat oleh sikapnya sendiri. Namun masih ada satu dua bisikan yang datang dari hatinya yang paling dalam “ Raymond datanglah, akan aku berikan sisa sisa hariku hingga kita mampu bermandikan embun dini hari yang berharum bunga De’Amour “. Seketika itu riuh rendah suara gumam jalangnya malam pekat telah memenuhi seluruh rumahnya, pekarangan dan sisi hati Rinjani. Rinjani kinipun terbang menerjang bintang di langit untuk menerangi hari hari yang akan datang.

Jumat, 04 Maret 2011

Biar Kuselipkan Dalam Doa


Dahulu pernah aku katakan…….
Bahwa lembayung senja akan selalu menjauh..
Sembari aku semai semua tanaman sayur..
Berdaun anggrek bulan dan bertangkai mawar biru…
Dapatkah kau selipkan…fajar, kala melati berembun pagi

Namun tetap saja aku sampaikan kala lidah telah kelu
Nyanyian itik dan unggas telah berteriak parau…

Aku telah membawakan seutas “kanvas dengan warna”
merah jambu, untuk kau lukis dendang semua tautan
di antara “ilalang” bertabur warna sorga

Apa harus lengkap aku tuliskan semua bait syair
Untuk sebuah nyanyian jiwa, yang hendak meraih bukit hidup
dalam rajutan warna langit
Kala masih ada guratan awan hitam….lantas
Semua cakrawala telah memalingkan…
Lantaran tiada hari yang bertanam halaman hidup

Jangan kau terburu untuk meruntuhkan langit
Bila ruang dadamu masih kau isi sayatan luka
Yang kau kerlingkan sorot matamu…..
Pada tulang igaku yang mulai rapuh….masihkah ada..?
Sebuah nampan beralas sutera merah jambu
Dengan buah segar menawan….

Sehingga semua belalang pada padang gersang
Berteriak lantang, lantaran telah dekatnya jarak hati
Antara kekesalan dan rumah bambu di tepi telaga
Yang kau pagari dengan tanaman pandan,
Dapatkah kau ceritakan lagi kisah cinta
Antara bidadari Supraba dengan Arjuna

Mengapa engkau terbungkam
Selamat pagi, namun tetap terselip dalam do’a

Semarang, 5 Maret 2011(PONDOK SASTRA HASTI)

Sabtu, 26 Februari 2011

Bu Guru D i Tengah Hutan Pinus


Kadarwasih berkali kali mengusap tas hitamnya yang ditebari debu-debu yang hinggap di kulit hitam tasnya, hingga kelihatan kumal. Lantaran debu debu itu masih saja terus beterbangan terbawa angin kemarau yang ditiupkan dari Gunung Slamet, setelah debu debu nakal itu menjelajahi hutan hutan pinus yang mulai tandus. Apalagi di tengah hari, saat matahari benar benar lurus di atas kepala, debu itu semakin liar menempel apa saja sesukanya. Seteguk air teh dingin yang terakhir kini membasahi tenggorokanya. Nafas kelelahan kembali terdengar dari bibir guru sekolah dasar yang terpencil itu. Setelah sehari di bawah udara yang gerah, dia masih setia menyelipkan setetes pengabdian kepada bangsa ini, dengan membimbing anak anak didiknya yang berkubang dengan kesusahan hidup di dusun Sirampok, Kabupaten Brebes.

Kadang dia merenung, meski dia masih di meja kerjanya yang sudah mulai kusam warnanya, mungkinkah dia harus kembali ke Semarang yang segalanya lebih menjanjikan ketimbang hanya terselip di tengah pohon pinus dan masyarakat desa yang hanya memiliki selembar hidup, tanpa guratan warna warni eksotisnya hidup. Ataukah memang mereka tidak butuh itu semua.

Siang itu memang udara begitu panasnya, Kadarwasih menjadi bertambah heran. Mengapa di kaki Gunung Slamet yang dulunya sejuk kini mulai terasa gerah sejak beberapa tahun belakangan ini. Ataukah karena manusia sudah tidak mampu menjadi sahabat setia dengan bumi, yang justru telah menjadi rumah kehidupanya sendiri. Dalam hatinya sering dia berbisik, mengapa tidak mulai sekarang anak anaknya diperkenalkan dengan ras cinta pada lingkunganya, kepedulian terhadap sesama, penuh tanggung jawab dan disiplin.

Ruang guru kini makin bertambah lengang, setelah semua anak anaknya pulang ke rumah masing masing. Hanya tiupan angin kemarau yang meriuhkan daun daun pinus. Yang serempak mendendangkan kidung alam tanpa nada dan birama. Kadarwasih tambah bertambah sepi hatinya. Lambat laun bayang bapak, ibu serta saudara saudaranya mulai menguat di hatinya, kini bagaikan gemerincing logam yang saling beradu terdengar dekat dengan telinganya. Tawa canda mereka kala pagi hari sebelum berangkat ke sekolah masing masing dan malam hari sebelum semua beranjak ke peraduan.

Kadarwasih dengan sayap sayapnya kini terbang melintasi jarak dan waktu, yang larut dalam dunia lamunan. Hingga sebuah usapan tangan halus terasa menyentuh pundaknya. Dia segera melipat sayap sayapnya dan kembali ke ruang guru yang bertambah berdebu.

“Memang Sirampok dusun yang sepi, ya Bu ?”

“Oh Bu Endang, saya tidak tahu kedatangan ibu, tahu tahu sudah di depan saya”

“Ya, karena Bu Darsih sedang asik melamun, apa kangen dengan yang di Semarang to Bu ?”

“Ah, sekarang sudah tidak rindu lagi, Bu. Tapi maklum saja ya Bu !, saya di sini baru bertugas belum genap satu tahun. Kadang jading seperti tadi,kenangan hidup di tengah saudara saudara saya dan lebih lebih sama mama sering datang. Tapi nanti juga akan hilang, Bu ?”

“ Itulah tantangan seorang pendidik yang bertumpu pada perasaan moral, demi anak anak kita yang sudah tidak punya masa depan lagi. Kita rela bertugas di daerah terpencil jauh dari keluarga. Ini sudah rame dusun Sirampok dibanding saat pertama saya datang di sini, tahun 1974 silam. Saat itu belum ada penerangan listrik, jalanya masih tanah dan masih banyak anak anak yang tidak mau sekolah”.

“Gimana perasaan Bu Endang saat itu ?’

“Wah seperti Bu Darsih saat ini, aku meninggalkan Klaten dengan tetesan air mata kesedihan. Apalagi saat iru aku baru saja lulus SPG dan langsung ditempatkan di daerah terpencil seperti ini. Bayngkan saja Bu, usia saya saat itu baru 17 tahun, masih berat meninggalkan emak dan bapak di desa. Tapi itulah pendidik !”

“Apa Bu Endang pernah mengajukan pindah ke Klaten ?”

“Awal awalnya memang sering, tapi setelah aku berumah tangga. Semua niat untuk kembali ke Klaten menjadi hilang. Menjadi manusia yang hidup bersama dengan keluarga yang saling mencintai adalah kebagian yang kita dambakan semua, apalagi bagi pendidik seperti kita yang bertugas mencerdaskan masyarakat. Sungguh suatu makna hidup yang berati “

Kadarwasih hanya diam sejenak, anganya berusaha menelanjangi hatinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti Bu Endang kepala sekolahnya, yang begitu mampu memaknai hidup sebagai pendidik di daerah terpencil. Ingin rasanya dia membunuh rasa sepi dan berkonsentrasi pada tugas memberi pembelajaran

Namun wajah Hardiman teman sekolah di SMP dulu masih saja terus menempel di benang otaknya. Tautan hati yang berjalan lebih dari 4 tahun serasa begiitu kuat bersimpul di hatinya. Hardiman kini memilih menjadi seorang pengusaha di Kota Jakarta, yang menurut surat terakhir yang dia terima Hardiman telah sukses dan mengajaknya ke Jakarta untuk bersama mengarungi bahtera kehidupan, ketimbang jadi guru SD di daerah terpencil. Kakalutan kina menghinggapi selembar hatinya, dalam keadaan terjepit seperti itu dia harus memilih jawaban ya apa tidak. Namun ini adalah realita, realita dimana dia harus menjadi pendidik yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sebuah realita yang dia rencanakan sejak lulus SMP untuk menjadi seorang pendidik.

“Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku, Bu ?” sela Kadarwasih memecah keheningan.

“Tentunya masalah pribadi kan Bu ?, kalau masalah dinas sepenuhnya aku Bantu, Bu ?”

“Betul Bu, tapi meski ini masalah pribadi, Bu Endang tidak merasa terganggukan kalau aku mau curhat ?”

“Oh sama sekali tidak Bu Darsih ?”

Matahari hampir berada tepat di atas atap sekolah, angin gunung dan debu yang bersuka ria selalu bercanda berkejaran dengan angin yang cukup cepat langkahnya. Mereka tidak pernah memerdulikan apa yang didera oleh manusia, termasuk pada guru yang masih gadis dan berperawakan tinggi semampai serta berwajah ayu, yang kini sedang didera kebimbangan hati.

“Yang paling berat bagi saya adalah menentukan pilihan, saya harus ke Jakarta menyusul seseorang yang saya cintai ataukah saya tetap di sini. Inilah yang selama ini membuat saya bimbang, Bu ?”. Terdengar dengusan nafas panjang dari Bu Endang kepala sekolah yang beberapa tahun lagi akan pensiun.

“Maafkan aku ya Bu, bila ini masalah privasinya ibu, Tapi aku juga pernah mengalami hal semacam itu. Tapi waktu itu saya memilh dua duanya. Saat kami masih pengantin baru, kegiatan kami hanya hilir mudik Sirampog dan Klaten. Saya sarankan Bu Darsih memilih kedua jalan”

“Memang suatu pilihan yang berat bgi aku, sebenarnya sering aku meminta Hardiman seperti itu Bu, tapi karena ambisinya yang besar untuk sukses di Jakarta dia tidak mau mengalah. Dia memaksaku untuk ke Jakarta dan saya belum memberi jawaban”

‘Huuh..kalau gitu bisa repot, Bu !”
“Betul, Bu. Dia orangnya sangat teguh pada pendirianya dan memiliki hati yang keras, selama ini saya hanya mengalah dan mengalah.”

“Betul Bu, jangan membuat keputusan yang gegabah. Tapi pada saatnya nanti Bu Darsih harus mampu membuat putusan yang berani. Saya hanya menyarankan bahwa kebahagian itu bukan datang dari seseorang, tapi dari Tuhan”

Baru kali ini Bu Endang menyaksikan senyuman bu guru yang cantik di depanya, sejak dari pagi tadi. Bu Endangpun membalas senyuman itu dengan perasaan hati yang tersentuh, meski dia yakin Kadarwasih adalah figure prbadi yang tangguh, terbukti dia selama ini bersedia bertugas di daerah terpencil. Bu Endang masih saja menyodorkan senyuman simpatik meski dia bergegas untuk segera pulang, karena hari sudah cukup siang.
***
Hujan sekali sekali sudah mul;ai turun membasahi lereng Gunung Slamet. Daun daun pinus dan semak kini mulai dibasahi air hujan. Beberapa diantaranya yang dahulu mengering kini mulai bersemi lagi, Jalan jalan desa yang kini beraspal sudah tak berdebu lagi. Beberapa petani mulai membersihkan ladangnya dari semak semak untuk bertanam padi.

Memang sudah seharusnya Kadarwasih yang mendambakan hidup berprofesi sebagai pendidik, apalagi berstatus PNS, perlahan lahan mampu mengarungi segala apa yang dia harus geluti. Mulai dari alam lingkungan tempat dia mengajar, anank anak peserta didik yang tiap hari dibimbingnya, masyarakat sekitarnya dan terlebih-lebih terhadap rekan rekan seprofesi, yang tiap hari berperan terhadap dirinya guna menemukan Kadarwasih yang sebenarnya. Hingga akhirnya bayangan Hardiman, dan bukan itu saja bayangan untuk tinggal di Jakarta telah perlahan lahan telah sirna,

Tidak terasa kemudian musimpun telah berganti, silih berganti berkejaran dengan pergantian siang dan malam. Sebagaimana yang sering dialami Kadarwasih dalam menapaki lamunanya antara menitipkan hidupnya di pangkuan Hardiman di Jakarta atau menggapai masa depan di kaki Gungnug Slamet. Hingga akhirnya Kadarwasih bertambah dewsa dan berbesar hati, untuk menghadapi segala resiko hidup sebagai seorang pendidik. Bukankah semua teman sekantornya, berasal dari kota kota di Jawa Tengah yang jauh dari tempat mengajarnya kini.

Mengapa dia harus cengeng, mengapa kadang kata hati lebih menuntutya untuk bersifat rapuh. Namun Kadarwasih adalah seorang manusia apalagi wanita yang belum banyak makan garam. Perasaan bimbang dan bersedih kembali memenuhi ruang batinya, saat dia menerima surat bersampul putih dengan tulisan nama dan alamat dari coretan tangan Hardiman yang terkesan ditulis dengan perasaan kecewa. Secara perlahan dia buka sampiul tersebuit, seketika nyanyian kutilang, jalak, kenari dan alunan suara alam berenti sejenak, sementara riuh daun paku yang bergesek di terpa angina menjadi diam sesaat pula.

Dari kedua mata yang bening itu, mulailah menitik air mata kesedihan dan kedua tanganya menjadi tergetar setelah membaca isi surat itu.

“Aku tidak menghendaki ini terjadi pada diri kita, namun apa artinya sebuah kasih sayang tanpa adanya kehadiranmu di sisiku. Aku mencoba menggapai kehidupan yang sarat dengan tantangan di kota yang buas ini demi kita. Namun tiadapun kamu bergeming barang sesaat untuk memenuhi permintaanku demi masa depan kita.

Sehingga inilah yang terpaksa aku lakukan agar kita mampu membenahi masa depan kita sendiri sendiri, tanpa adanya kehadiran kita berdua dalam satu pelaminan. Selamat Berbahagia”

Berkali kali tulisan dari Hardiman ini dia baca, hingga yakin betul apa yang seharusnya dia sikapi, sebuah perpisahan harus dia alami dengan perasaan yang terguncang Jauh dari lubuk hatinya yag paling dalam, timbul sesuatu yang mampu menepiskan kegontaian hatinya itu, yaitu nasehat Bu Endang yang mengatakan bahwa kebahagian bukan dari manusia datangnya, tapi dari yang Maha Kuasa. Kata kata itu kini menjadi seteguk air dingin yang mampu membasahi jiwanya yang sedang meradangkan bara asmara.
***

Jumat, 25 Februari 2011

Aku Hanya Mampu Berteriak

• Teriakan untuk Kasihku

Biar aku ikatkan suara hatiku pada seutas tali….
Yang aku tautkan pada dinding tebing
Dengan dendam di mata dan merah rona yang menghimpitku
Tak perduli bidadari malam mencibirkan bibir bunganya..
Aku telah terlanjur menitipkan tubuh ini, pada….
keremangan dan kegelapan malam,

Jangan kau sombongkan dan perlihatkan tentang…
Yang kau pergunakan untuk melipat hari hari
Di ketiakmu………
Dengan rajutan fatamorgana dan rajutan kembang halus
Yang kuning keemasan dari keranjang sinar mentari
Bukankah kau hanya debu, bila sudah
Meluruh warna pelangi …..

Akankah hari hari kau jadikan tangga
Lantas kau suruh mereka untuk bersyahwat dengan pelangi
Jangan kau harap mendapatkan …bibir langit
Lantas kau usung pula malam yang merenda,,,bunga bakung
Dan anyaman sutera yang pernah aku sodorkan

Aku coba pula mengunci jendela kamar.
Agar anginpun mau menelanjangi dirinya sendiri
Setelah menerjang malam yang belum mengenal arah
Sementara cakrawala telah aku benahi dengan
Sejuta lampu erotis dan dandanan taman bunga

Mengapa pula tidak kau titipkan
Sebuah sorot mata penuh dengan perjalanan menempuh……..
Mahameru yang digurati lekuk negeri dongeng
Kasihku, mampukah kau pegang erat sebelah tanganmu
Agar kau kokoh menerjang tabir hidup dank au jinjing
Pada sebelah tangan lainnya.

• Teriakan untuk Sang Negeri

Rajutan akar rotan cukup kokoh untuk menjadi kaitan
Saat ibu mengayunku di batang pohon belimbing
Rambut suteranya berderai diterkam angina pasat, yang membawa….
butir hujan dan pesan……

agar seteguk air tawar, jangan kau tinggalkan
hingga basah tenggorokan ini, yang merusak pagar bunga mawar
yang mengelilingi negeri dongeng di serambi sorga
entah karena kemarau yang telah buta matanya
menghempas semua dada yang dulunya kokoh,
membenamkan cangkul di semaian padi

Negeri ini telah dilingkungi batas langit
Yang bergigi tajam dan bernafas api dengan kerlingan mata tajam
Mendidihkan Bromo dan Merapi
Mana mungkin kita menitipkan sepotong tiwul untuk hidup
Bila semua kini bukan yang dulu lagi.

• Teriakan Lirih pada Tuhan

Tuhan, telah aku yakini, masih banyak hari
Yang kau taburkan pada semaian hidup manusia
Agar kami mau menjelang apa yang harus kami raih

Tuhan, telah aku dengar dari bahasa isyarat alam
Bahwa mutumanikam yang kau taburkan telah menanti di balik
Cakrawala negeri Archipelago ini
Namun kami telah memilih jalan lain
Yang tidak mungkin kami bertaut pada jalinan
Penuh misteri yang selama ini hanya berada di atas kepala kami

Tuhan, kiranya Engkau hanya sejenak
Menghiasi senyum di wajahMU

Semarang, 26 Pebruari 2011. PONDOK SASTRA HASTI

Selasa, 22 Februari 2011

Semua Nanti Kan Usai

“Sebuah Pesan Untuk Tiap …..ANAK BANGSA”


Bila hari masih saja berselingkuh dengan halimun pagi…
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidup…di negeri penuh dongeneg dan taman bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..

Kita yang masih, berlantai tanah di gubug bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi berharum anyelir.

Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…

Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar surgawi

Semarang, 22 Pebruari 2011, PONDOK SASTRA HASTI

Kamis, 06 Januari 2011

Kisah Tentang Negeri Tiwul

Entah memang kita pandai bermimpi…atau telah habis mimpi kita
Biar disemai saja dalam haribaan Archipelago
Yang bermanik Merapi, Krakatau atau Bromo,
Kita memang tidak pandai lagi, dalam merajut bunga bunga wangi
Dalam karangan yang bertepi Jaya Wijaya dan Semenanjung Malaka
Ataukah hanya deru dan debu prosa…..
Yang sarat dengan tema “kaki ilalang”, yang menepi…
Diantara buritan yang hendak mengencangkan layar
Melaju di birunya perdebatan kata hati……
Sang bunga bangsa yang telah lenyap separo hatinya

Kita hanya mampu belajar dari sesuap tiwul
Yang menyergap hidung, mulut dan tenggorokan kita
Hingga menyampakan tuang tulang iga yang kini
telah menusuk dada kita sendiri

Kita tidak lagi berseloroh dengan rayuan pulau kelapa
Kala anak anak kita bertelanjang kaki
Di pagi penuh halimun…….
Untuk menyuapi asa pada serumpun kembang taman
Ini adalah nanar pandang mata dengan lengan kecil
Meluruh, tak lagi mampu memaksakan kepalan tangan

Negeri ini telah bermandi air bunga surga
Saat bunga bangsa memerahkan mawar dengan darahnya sendiri
Melatipun memutihkan dinding hati mereka
Hingga kenanga dan anyelir tetap saja menerjangkan mereka
Melawan “water canon” milik begundal tanah sebrang
Merekapun menikmati tiwul…
Lantaran telah senyap rumah loji bertengger ornamen romawi
Lantran telah sunyi pula …melumat ilalang hingga berkeping

Tetapi tiwul yang berwarna lusuh dan kehitaman
Yang mampu membuat ilalang menjadi lunglai kakinya
Menatap jalan jalan reformasipun harus terhempas
Angina senja……
Lantas kepada siap lagi tiwul sebaiknya diramu
Dari singkong yang tak mengerti akan egoisme
Dari kelapa yang tetap menjulang di pohanya

Tiwulpun terasa masam
Tak lagi mampu menyanyikan kidung Sriwijaya
Samudra Pasai atau bahkan Majapahit
Selamat pagi negeri tiwul
(Semarang, 7 Januari 2011)
Penulis: Ir. Bambang Sukmadji Semarang

Jumat, 10 Desember 2010

"The Endess Love" Di Malam Tahun Baru

Terompet kertas dengan leher angsa pendek dan panjang dengan vatiasi warna yang kontras dijajakan sepanjang tepi jalan Malioboro, Jogja. Meski malam tahun baru kali ini masih kurang empat hari lagi. Lampu lampu jalan dengan pilar berarsitektur mataraman kini juga ikut berdandan eksotis, meski bekas debu debu Merapi sempat membuat warna pilarnya mengusam. Namun Jalan Malioboro tidak pernah sekalipun memperdulikan itu, dia lebih menyodorkan daya tarik pesta akhir tahun menyambut datangnya tahun baru. Malioboro laksana gadis yang sedang menyemai gairah cinta untuk kekasih hatinya yang bakal menjumpainya di malam tahun baru.

Dengan beralas sepatu cat dan berkaos kaki tebal warna coklat muda, Michel menapaki trotoar Malioboro pada malam hari ini. Meski dia harus meliak-liukan tubuhnya kesana kemari untuk menghindar benturan dengan meja pajangan souvenir khas Malioboro, namun semua tak mampu mencabut kepiluan yang sudah tertanam jauh di sumsum tulangnya.

puspa prasasti aji
“Selamat bahagia, Leila. Meski suatu pihan yang berat bagiku. Namun salah satu dari kita harus berani berkorban” Tangan Leila dipegangnya dengan erat, di tengah wajah Leila yang hanya mampu mengguratkan kebimbangan. Pertemuan mereka berdua memang terjadi di malam tahun baru 5 tahun lalu di Rotterdam Café di Malioboro. Sementara gerimis terus saja menyelimuti hati mereka berdua yang sedang tertusuk kepiluan. Namun anehnya hasrat cinta mereka berdua dan remaja remaja lainya yang memenuhi malam tahun baru kala itu, berhasil menghangatkan atmosfer malioboro.

Michel sengaja menapakan kakinya ke salah satu meja tempat 5 malam tahun baru yang lalu menjadi saksi pilu perpisahannya dengan Leila. Meja itu belum berpindah posisi meski lima tahun sudah ia tinggalkan. Belum pernah sekalipun dia menapakan kedua kakinya di Rotterdam Café ini, apalagi meja yang sanggup menghadirkan bayang Leila itu. Apalagi ornemen restoran itu sekarang berubah jauh dengan 5 tahun lalu, sekarang dipenuhi ornament dengan gaya western coboy, ditengah hangar bingar music country slowrock tempo dulu. Tak pelak lagi lagu The Green Green Grass, Boulevard terngiang ditelinganya.

Malam terus dengan egonya merambat menyambut saat saat pergantian tahun, udarapun terus bertambah menggigit tulang sumsum karena gerimis terus saja menawarkan siapa saja un tuk mencari kehangatan. Sebagian pengunjung café itu merasakan malam menjadi bertambah hangat dengan cumbu rayu dan buaian asmara dengan sang pujaan hati mereka. Hanya Michel saja yang terus merasakan jantung dan hatinya yang lepas dari rongga dadanya, kini sebuah lagu dari Elvys Presley “Are You Lone Some To Me” serasa berhasil menghadirkan Leila di sampingnya. Namun sebuah belaian tangan halus kini terasa menyentuh pundaknya, diapun menoleh kearah belakang dan sebuah senyum merayu dari seortang wanita penghibur café diberikan padanya.

“Maaf menganggu !, daripada melamun, kita nikmati saja malam tahun baru ini dengan dance !. Supaya malam ini terasa hangat. OK !” tangan halus wanita penghibur itu telah menarik pergelangan tangan kanan Mikhel.
2
“Oh, terimakasih. Aku lebih suka duduk saja disini sambil menikmati lagu jadul barat yang romantis”
“Kalau begitu boleh aku duduk menemani Mas malam ini”
“Oh tentu saja, silakan”. Mikhelpun menarik kursi yang ada disebelahnya agar sang wanita penghibur itu dapat leluasa duduk di sebelahnya.
“Terimakasih, sebaiknya kita ngobrol tentang apa Mas?. Atau Mas mau request lagu biar aku dampingi !”
“Trimakasih, panggil aku Mikhel saja, mau minum apa Mba ?”
“Sama dong !, kalau sama aku panggil saja Lisa, ah aku ngikut saja kamu mau minum apa”
Mikhel melewati malam saat saat menjelang berganti tahun dengan sejenak melepas kenangan terhadap Leila, meski Lisa hanya teman ngobrol saja, tapi karena dia gaul dan familiar terhadapnya, namun setidak tidaknya dia mampu menghibur hatinya yang terpagut sepi yang tiada henti dari tahun ke tahun. Apalagi sosok Lisa mirip dengan Leila, terbesit dalam benak Mikhel apa Leila kini menjelma menja di Lisa. Namun angan itu tertepis kala dia DJ Rotterdam Café mulai menyodorkan lagu lagu West Country yang lebih rancak.

“Mikhel, kamu kan suka nyanyi, ayo dong request lagu seperti beberapa waktu dulu !” sepotong kalimat terlepas begitu saja dari mulut Lisa, namun sanggup merontokan jantung dan hati Mikhel. Lantaran meski hanya sebuah pertanyaan, namun dia kini bukan berada di pub itu, angan dia menjadi melangkah surut kembali, kala dia dan Leila menyanyikan lagu “The Endless Love” di malam tyahun baru 5 tahun lalu. Mikhel kini berusaha meniti kembali kenangan itu, setidak tidaknya dari pertanyaan yang dilontarkan Lisa.
“Sorry Lis, mengapa kamu tahu aku dengan Leila request lagu disini dulu”
“Oh sorry, Mikhel. Kebetulan aku masih ingat saat kamu sama cewekmu menyanyikan lagu… ah.. aku sendiri lupa judulnya. Sorry Mikhel aku nggak control kata kataku?”
“Aku nggak tersinggung, Cuma memang kenangan itu begitu dalam bagi aku. Aku tidak menyangka kalau setelah Leila menyanyikan lagu itu, dia meminta suatu perpisahan. Karena suatu sebab dia harus married dengan dosen pembimbing skripsinya. Kini dia di mana aku tidak pernah tahu, aku sengaja ke pub ini hanya sekedar mengenang Leila kembali di tengah kesepian yang menyelimuti hatiku ini. Boleh aku tanya, mengapa kamu ingat kejadian itu”
“Saat Mbak Raras masih kerja disini dia sering cerita tentang kamu berdua”
3
“Siapa Mbak Raras ?”
“Dia teman Leila waktu di SMA dulu, Tapi kini dia tidak kerja disini lagi. Leila dulu sering main ke sini bertemu Mbak Raras, bahkan dia dulu sering menerima telepon dari Leila”
“Maaf Lisa, bukan aku sok seperti detektif swasta, tapi aku memang butuh kabar tentang Leila, meski hanya sebuah kabar saja aku sudah senang. Apa yang dikatakan Mba Raras tentang Leila sebelum dia pindah kerja”
“Leila minta doa dari Mbak Raras dan mohon maaf bila dia banyak bersalah dengan Mbak Raras”
“Ada apa dengan Leila ?” desak Mikhel pada Lisa, yang merasakan sesuatu layaknya dia menerima beban berat yang menindih semua rongga dadanya, jantungnya berdegu keras, serasa putaran nadi darahnya menjadi melonjak tak karuan.
“Maaf Mikhel, persisnya aku nggak tahu. Hanya Mbak Raras pernah cerita sama aku, kalau Leila mengidap penyakit kanker darah!”
“Kanker darah?, oh Leila di mana kamu sekarang ?”
“Maafkan aku Mikhel, aku membuatmu sedih ?”
“Tak apa Lisa, aku memang sengaja ingin menggali kenangan lama sebelum aku mencari pengganti Leila, aku tak ungkin terus memburu bayang Leila. Sedangkan aku putra tunggal. Mama papiku mendesaku untuk married secepatnya. Teruskan Lisa kabar apa lagi tentang Leila yang kamu tahu ?”
“Menjelang kepindahan Mbak Raras dari pub ini, dia sama sekali tidak lagi bicara masalah Leila. Namun dia suka bersedih bila ingat nasib Leila”
“Leila…Mengapa ?”
“Aku nggak tahu lagi, Mikhel ?, hanya kata Mba Raras dia masih menyimpan surat surat Leila di kamarnya”
“Terus sekarang suratnya di mana ?, apa sudah hilang ?. Tolonglah Lisa !, antarkan aku untuk bisa bertemu dengan Mbak Raras” untuk sekian kali, Mikhel mendesak Lisa untuk terus memburu bayang Leila, yang entah kemana setelah terhempas angin kembara yang tak pasti bertaut pada apapun.
“Kebetulan kamar Mba Raras sekarang aku tempati, dan surat surat itu masih ada !”
“Tunggu apa lagi, Lisa !. Sekarang juga antar aku ke kamarmu”
4
Mereka berdua kini melewati pintu bagian belakang pub itu, sesuatu dirasakan aneh oleh Mikhel saat Lisa merapatkan tubuhnya lebih rapat sambil menggandeng tangan Mikhel untuk berjalan melewati Malioboro menuju kamar Lisa, yang ternyata sebuah hotel berbintang. Berdesir sekali lagi perasaan aneh pada Mikhel, namun karena bayang Leila begitu kuatnya maka sementara itu keganjilan pada Lisa dia tepiskan.
“Inilah kamarku sekarang, Mikhel !”
puspa prasasti aji
“Oh sungguh bagus kamarmu. Lisa. Tapi mana surat itu, Lisa ?’
“Sabarlah dulu Mikhel sayang !, nanti aku berikan surat itu!”. Lisa segera merangkulkan kedua tanganya ke leher Mikhel, untuk mencium laki laki ganteng itu. Dengan penuh perasaan Lisa mencium berkali kali semua yang Mikhel miliki.
“Lisa, apaan sih, kamu mau menipuku ?”
“Lisa ?, Mikhel tidak ada yang bernama Lisa di sini ?”
“Jangan coba kamu menipuku Lisa ?”
Lisa segera melepas rambut wignya yang berwarna pirang dan melepas kaca mata bulat telurnya. Rambutnya yang hitam kini dia biarkan terurai sebatas bahunya. Mikhel merasakan langit yang ditunggu selama lima tahun kini runtuh sembari menaburkan bunga asmara pada mereka berdua.
“Leila…kaulah Leila…mengapa ?”
“Kenapa, ada yang salah tentangku ?. Kalau Tuhan menggariskan kita memang harus bersatu lagi, Kenapa tidak, kau masih mau menerimaku lagi ?”
Mikhel masih terpaku di sofa berwarna merah muda di kamar hotel itu, malam ini dia merasakan ketidak percayaan yang besar sekali, mengapa kenyataan ini begitu gampang terjadi di balik penantianya yang begitu lama.
“Mikhel, aku tidak menyalahkan kamu, rasa tidak percaya pasti menyelimutimu. Hanya saja aku perlu berpura pura menjadi Lisa untuk mengetahui apa kamu masih menginginkan kehadiranku, setelah aku membuatmu kecewa lima tahun yang lalu. Maafkan aku Mikhel ?, kalau aku langsung mengaku Leila, aku takut menimbulkan sakit hatimu ?. Maafkan ya sayang ?”.Kini giliran Mikhel yang sudah mampu menerima kenyataan, kemudian melepas kerinduan itu dengan peluk dan cium mesra untuk bunga sorga yang lama meninggalkanya.
“Aku punya permintaan sayang, ?”
“Katakan, saja ?”
“Kita nyanyi bersama “Endless Love” seperti lima tahun lalu?”
“Why not “
***
Pondok Sastra HASTI Semarang, 2010

Rabu, 01 Desember 2010

Aku, Kasihku Dan Waktuku

Jangan kau enggan lagi, kasihku…..
Untuk meniti apa yang kita punya, untuk membentangkan
Kata hati hingga menawan “Puncak Mount Everest”
Yang menangis pilu dan menyembunyikan wajahnya di ketiakmu….
Walau malam yang kau lewati mengutukmu sekeras hati.
Meski juga belum kau miliki hari hari beruntungmu
Dengan segelas air susu segar, penumbuh harap
Atau rumah pengantin beratap daun pandan
Dan berlantai keharuman…….
Dengan halaman luas bertanam bunga Anyelir

Bila sang waktu telah menyelinap di kantong bajumu
Embun pagipun mampu melonggarkan nafasmu
Kita mampu menyiangi sawah sawah berpagar lamtoro, daun milik
lenguh sapi, kambing dan domba milik kita, yang melingkungimu di pusaran.....
hari tanpa buruk sangka, sumpah serapan, gegap gempita
Bahasa hati yang serakah dan melekang tanpa bermandi…….
Gemercik air di tengah sawah kita.

Bila waktu kita telah tiba.
Tiada lagi wereng coklat atau wedus gembel, yang mengguratimu
Dengan lara hati…
Bila juga telah sirna panorama padang belantara
Dengan segudang panorama tanaman berduri…
Aku hanya mampu menyisipkan hati
Pada kesegaran air tawar dan sejuk dari telaga
Yang membentang di balik langit

Bila waktu kita tiba, kekasihku…..
Kita dirikan saja rumah bambu, yang berornamen Suralaya…..
Dari jendelanya kita mampu memandang “hati hati bersenyum kebon bunga”
Bukan hati hati layaknya singa lapar
Yang mampu mengoyak tabir zaman yang rapuh,
Biarlah anak anak kita mampu menepisnya
Dan bermain sesuka hati di beranda
“Awang Awang Semilir” yang bertangga “Amarta, Widarakandang, Jodipati
Rose Wiki 2010
Karang Kedempel” dan jargon para ksatria.

Bukan di beranda penuh kambing menjulurkan lidahnya
Karena ringkih termakan nafsu hedonism, suka memfitnah
Dan menganyam keranjang perseteruan
Kekasihku,….kita adalah anak bangsa yang…
Memiliki bilah hati,

(Semarang, 2 Desember 2020, Pondok Sastra HASTI Semarang).

Senin, 22 November 2010

Samepoint Social Conversation Search Ir. BAMBANG SUKMADJI | Discussion Points

Samepoint Social Conversation Search Ir. BAMBANG SUKMADJI | Discussion Points: "- Sent using Google Toolbar"

Ir Bambang Sukmadji | Mother Guides

Ir Bambang Sukmadji | Mother Guides: "- Sent using Google Toolbar"

Sebuah Sunyi Yang Penuh Makna

puspa prasasti aji
Saat Uttara yana menghembuskan angin berita…….
Tentang rumput hijau yang tiba tiba saja mongering.
Semua kawanan burung memekik tidak percaya
Seorang penggembala kerbau menyelinap ke pangkuan ibunya, seraya berkata:

“ Ibu seandainya, Sang Resi telah bersemayam di balik Mahameru, apakah masih ada lagi hari hari indah untuk anak miskin seperti aku ?”.
Saat itu sang mentaripun berkalang sejuta selendang bidadari, yang beranyam daun pandan semerbak harum mewangi, dan awan awan hitampun telah pulang ke peraduanya di balik Mount Everest.

Bulanpun di balik tirai kamar pengantinya telah sembab dengan air mata ksedihan
Sementara itu….., di pangkuan Sang Arjuna, Dewi Srikandi yang telah berslingkuh dengan Demi Amba, wanita dengan kulit kuning langsat, mengulum biji biji mentimun di bibir yang hangat menawan dan merah membara, tak ubahnya seperti merah mawar hasrat.

Demi sebuiah cinta Dewi Amba telah memperdaya busur waktu, untuk menjelajah dari episode ke episode berikutnya, guna sebuah pertemuan dengan Resi Bisma, pemuda tampan perkasa,halus budi pekertinya. Lantaran senyumnya semua Bunga Anyelir di Hastinapura menggelorakan kelopaknya.

***
Di Negara Kasi, saat Sang Resi Bisma telah menghamburkan sejuta sayap pesona, sehingga mata bening indah dari Sang Amba tiada lepas memagutnya.
Tersebutlah suatu Titah Dewa, bahwa Resi yang piawai tentang filosofis hidup,pikologi social dan pria Metroseksual serta cerdas, terbukti dengan sejuta prestasi akedemis yang pernah disandangnya berkat gemblengan Resi Bhrihaspati (Mahaguru ilmu politik ) dan Resi Vedangga (Mahaguru Ilmu Sosial ) dan ilmu perang dari Resi Parasurama. Mengikuti Sayembara tentang segala macam ilmu di Negara Kasi dan menanglah Sang Resi yang arif bijaksana tersebut.

Maka berserilah Dewi Amba yang telah merona jantung hatinya, gairah yang terpendam terus saja berkecamauk, . Namun Bisma telah bersumpah kepada dewa untuk tidak bersanding dengan siapapun. Maka merahlah wajah Dewi Amba dengan sekujur tubuhnya yang bergetar lantaran kekecewaan yang mendalam. Hatinya kini berkeping seribu lantaran langit jingga asmaranya kini menghitam jelaga.

Bahkan Sang Resi yang telah membulatkan tekad untuk menyerahkan jiwa raganya semata demi “kesentosaan hidup jalma manusia” terus saja melakukan tapa bratanya meminta Anugerah dan Petunjuk Kepada Yang Maha Kuasa. Bagi Dewi Amba sikap pemuda pujaannya itu, bukanlah halangan yang berarti, maka teruslah dia mencoba menggapai sebilah cinta yang agung itu.

Suatu saat pagi tersenyum gembira dihangati kuning langsat sang mentari yang genit, ilalang dan semak berhenti sesaat menggoyangkan badanya. Sang Merapi tiada lagi membarakan gelora amarahnya, tetapi duduk bersimpuh melihat adegan pertemuan dua insan manusia yang saling berjumpa. Sang Amba menagih janji lantaran Sang Resi yan telah memenangkan sayembara di negaranya itu. Di lain pihak Sang Resi tetap menginginkan tugas sucinya demi kedamaian umat manusia di bumi ini.

Keduanya Nampak bersitegang, kemudian berujung dengan ancaman Sang Resi dengan mengarahkan busur panahnya kepada Sang Amba, entah putaran bumi memang harus berjalan seperti itu, lepaslah anak panah dari busurnya secara tak sengaja hingga tewaslah Sang Amba dengan meninggalkan sebuah janji pada Bharatayuda kelak, dia akan menitis menjadi Dyah Woro Srikandi.

Gusti Ingkah Makaryo Jagadpun mengabulkan sumpah janji Sang Amba,dengan mempertemukan Sang Resi dengan Srikandi, yang berakhir dengan gugurnya Sang Resi.

Rabu, 17 November 2010

Senja Di Pantai Utara

Roda roda baja terus saja menggilas batang batang baja, yang terbujur dingin di keremangan senja, hijau tanaman padi yang dari sore terus saja berkejaran sepanjang jendela kereta yang berdebu, kini lelah dan terbungkam sepi. Hanya gertakan roda dan batang baja yang menyeruak ke telinga setiap penumpang yang tertunduk lesu. Angin sore pantai utara dengan usilnya menerobos kaca jendela kereta, dan membelai hitam rambut berderai sepanjang bahu milik seorang wanita yang tepat di depan tempat duduku.. Pasang mataku menjadi cemburu, menyaksikan dengan leluasanya angin nakal membelai rambut wanita itu.

Sepasang Mata Bola dari Jogjakarta, demikian aku memberi nama pada wanita terbalut misteri itu dan berkali aku dendangkan untuk membunuh sepi yang terus menjalar , apalagi sepasang mata bola yang kerap tertunduk malu di balik kaca mata bundar sekarang benar benar di depanku.. Kala kedua mata bundar tadi berpadu dengan tatapan mata eksotis miliku, aku tak kuasa lagi menghindar kala berjuta sayap membawaku terbang ke langit. Lantas akupun hanya terdiam lantaran bara api kini bersemayam di tenggorokanku yang mengganjalku hingga tak mampu berbicara sepatah katapun.

“Hai kau laki laki dungu, bukankah kamu laki laki dungu yang belum pernah mendapat sepotong cinta dari seorang wanitapun di dunia ini. Lihatlah dia sekali kali mencuri pandang mengamati kegantenganmu. Mengapa kau diam saja, dungu !!!! “ Sebuah suara dari bilik jantungku bertubi tubi menerjang anganku. “Ah..aku tidak mau sembaragan memperlakukan wanita, aku bukan durjana. Aku manusia yang menghargai segala sesuatu meski sudah menjadi miliku. Dengan cara beginilah manusia mampu menyemai benih kebahagian di dunia”.

Aku hanya bisa diam kala suara suara itu terus menderaku hingga diapun kini terdiam lantaran telah bosan menggumuli kedinginanku. Kereta semakin lama semakin melambat dan berhenti tepat di emplacemen tasiun Pekalongan. Aku menjadi terperangah karena jarum waktu membawaku secepat kilat dan separo dari perjalanan kini telah aku tempuh tanpa mampu menyelinapkan hatiku ke tengah sepasang mata bundar dalam Kereta Senja Kaligung.

“Tidak seperti baisanya Mba, kereta ini nyanggong di Pekalongan lama seperti ini. Biasanya paling banter hanya 10 menit “. Sang mata bola masih menyembunyikan matanya, kini hanya seutas senyum kecil kala mendengar sepotong suaraku yang mencoba membunuh hening suasana kita berdua.

“Mba belum pernah naik kereta ini, kan ?” kembali aku mencoba membuka tabir dalam hatinya dan kuharap sorot sepasang mata bundar ini mampu menguliti seluruh tubuhku.

“Iya, Mas aku baru kali ini, naik Kaligung ?” .



2
“Rupanya kali ini kita terlambat sampe di Tegal. Biasanya masuk Tegal jam delapan malam, tapi malam ini sudah jam setengah sembilan baru nyampe Pekalongan. Mba mau kemana ?”.

“Aku mau ke rumah Pamanku di Tegal “

“Alamatnya mana, Mba ?”

“Adiwerna ?”

“Tepatnya, Adiwerna sebelah mana ?”

“Aku nggak tahu !”

“Jadi baru kali ini, Mba kesana ? “

“Iya !”

“Padahal, kereta ini tiba di Tegal nanti menjelang tengah malam..Lebih baik Mba mencari saudara Mba saja yang ada di Kota Tegal. Adiwerna dengan stasiun kereta masih jauh, sekitar 10 km ?” , aku terperanjat, mengapa gadis sepasang mata bola ini berani menembus pekatnya malam. Padahal kereta senja ini akan memasuki Kota Tegal hampir tengah malam nanti. Lantas akupun sama sekali tidak tega bila sepasang mata bola ini menjadi takut, mengapa ini terjadi, mana ortunya, kakaknya atau teman setianya.

Sepasang mata bola terlihat merebahkan kepalanya di sandaran kursi kereta yang berwarna biru. Sorot matanya sama sekali tidak mampu menyembunyikan kepanikanya, apalagi putih wajahnya menjadi kian meregang. Sementara kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Pekalongan menembus gelap malam. Rasa iba mulai tumbuh dalam belukar hati ini. Terkadang aku memberanikan diri menyodorkan senyuman, agar lebih mendingin wajah yang sedang dipagut kepiluan. Sepasang mata bolapun dengan tesipu memberikan senyumanya pula, seketika sudut jantungku hanya dipenuhi anyelir, mawar jingga dan harum kembang lainnya.

“Mengapa kamu sendiri ke Tegal, kok nggak ngajak teman “

“Keadaan di rumahku sedang tidak karuan, semua warga Desa Srumbung di lereng Merapi dalam keadaan kacau, aku nggak sempat mengajak teman “

“Jadi Mba, siapa ya, sampai aku lupa belum tahu nama Mba. Jadi kamu korban letusan Merapi? ”.

“Aku Mila”

“Aku Hartomo, kenapa kamu ke Tegal, mana bapak ibumu, suadara-saudaramu ?”.
3

Tanpa diminta, aku tanpa ragu memberi namaku, lantaran mulai terselip dihati ini tentang perasaan ingin lebih dekat lagi dengan sepasang mata bola yang ternyata bernasib malang .
“Aku ke Tegal mencari Paman Indrawan, satu satunya kakak bapak, yang masih hidup. Seentara bapak menunggu Ibu yang sakit asma di Rumah Sakit Boyolali, juga adiku yang sakit”

“Oh jadi semua keluargamu mengungsi ke Boyolali “. Mila hanya memberikan senyum yang masam, pertanda dalam hatinya didera kegetiran.

“Betul Mas, dan sekarang semua tetanggaku berniat untuk transmigrasi. Mereka kebanyakan sudah ngeri merasakan kegarangan Merapi “

“Lantas bapak kamu juga mau transmigrasi ?”

“Itulah Mas, maka aku ke Tegal diutus bapak, untuk menyampaikan maksud bapak pengin pindah ke Tegal saja, hanya itu pesan bapak sama Paman Indrawan “

Mila tidak melanjutkan curhatnya itu, lantaran dia lebih suka mengajak curhat dengan lampu lampu penerangan sepanjang jalan Kota Tegal yang keminclong, atau lantaran sejuta kebimbangan yang memenuhi semua sisi jantungnya. Dia hanya diam membisu dan tak merasa ahwa sepasang mata Hartomo telah mulai menelanjangi semua lekuk tubuhnya.

“Mila, kita sudah sampai Kota Tegal, biar aku antar saja kamu sampai ketemu alamat pamanmu “. Mila hanya mengangguk kecil sambil memberi senyumnya yang agak cerah.

Udara Kota Tegal malam tengah malam itu terasa kering di tengah cuaca ekstrim. Kedua remaja bagaikan sepasang insane yang telah lama saling mengenal, barangkali diantara keduanya telah tumbuh perasaan yang aneh. Mila kini merasakan dewa fortuna berada disampingnya, setelah selama hampir 3 minggu dia merasakan kegetiran hidup di bawah tenda pengungsian.