Kamis, 21 April 2011

Entahlah

Bila aku letakan tangga bertali emas
Di tengah kebon sayur milik emak
Agar, aku mampu melihat kala kau menyisir rambut
Setelah mandi bunga di sore hari
Aku tak perduli lagi
Kau terkam hatiku dengan kedua biji matamu

Jangankan hanya sore hari, malampun aku
Letakan ujung langit dengan tangga emasku
Asal kau mau merentangkan kedua tanganmu

Untuk, mewarnai tepi kebun sayur emaku
Agar dia tersenyum tiap pagi, meski kelihatan semua giginya yang menghitam
Emak bersabarlah.....
Akan aku bungkus bulan dengan anyaman
Hati berderai rendaan bunga warna warni

Emak, simpan dulu…apa yang emak sambut dengan senyum
Lantaran harus aku sebrangi lautan
Entah dimana akan bertepi
Tapi haluan sudah aku arahkan,
Untuk pantai dimana aku dan kasihku mandi bersama

Emak hanya ini miliku
Tapi emak tetaplah berderai senyum
Bertaut pada tepi tepi langit.

Pondok Sastra HASTI Semarang. April 2011

Senin, 11 April 2011

Kota Pelacur


Lampu lampu jalan yang redup turut membunuh kota itu…kota di jantung
Archipelago…kubangan mandi bidadari
Yang tanpa nafas menggeliat, untuk memelantingkan rumah kardus
Di tepian sungai berwarna hitam dan menyesakan rongga dada,
Dengan langkah berat bersepatu kulit dari “Sang Koruptor” yang membuat aspal jalan
Menganga berlubang….menghardik bajaj dan abang becak,
Akupun menyelinap di sela tubuh beton pengap, tempat tawa ‘kelu’ bibir
Pucat.. untuk menghabiskan selembar demi selembar penghidupan

Noni yang hitam kelam kulitnya, namun berbibir sumbing
Melampiaskan deru eksotis Kota Pelacur ini.
Seakan sang ratu dari negeri Anderson dalam lakon Sepatu Kaca
Belum ada lekukan tubuhnya yang, membuatkan semilir sejuk angin kehidupan,
Sementara sang abang becak hanya mampu menjaring terkaman panas matahari
Roda rodanya berkeluh kesah menerbangkan debu debu,
Meninggalkan jejak kemaksiatan…


Dalam birama reformasi, yang tidak kunjung mengerti semua mata yang nanar
Dan menawarkan air tawar dalam gelas beralas daun pandan,
Hingga tulang rusukpun tidak ikut mengoyak jantung yang meradang
Dalam kota itu “Festival Pelacur” berlangsung dengan meriah,
Tidak ada lagi dada telanjang dari anak desa
Yang bermesraan dengan kelembutan malam, untuk menjemput bulan purnama

Bulan…!, jangan kau ikutkan angin yang tidak punya tautan
Menghardik semua yang mampu memincingkan mata pada Kota Pelacur ini,
Tapi tawarkan angin segar, agar wanita wanita di taman kota
Yang bergaun warna warni, tak ada lagi kain yang lapuk dan pengap,
Biarkan aku selipkan apa yang harus aku pegang kuat kuat
Meski Kota Pelacur ini telah kuat menggigitku
Hingga lengan ini tak ringan lagi bertaut dengan tubuhku
Kota Pelacurku, akupun tak akan menyambutmu dengan wajah
Berlipat, bergayut bulan mati, berenda gerigi ilalang

Aku sudah tidak sanggup lagi pada gelisah dan jalangnya
Tiap sudut Kota Pelacur yang ikut memercikan wajah wajah marah
Dengan tubuh yang terbujur kaku dan sorot kebencian,
Masih saja dalam sudut hati, aku susun sedikit bunga rampai kesabaran
Agar mampu kutautkan ornament “warna jingga” milik yang sedang menggapai
Cinta…yang membius anganku
Sehingga kau tampak seperti “Taman Pelangi”
Yang berbicara dengan bahasa warna

Mari kita labuhkan sampan…bercabda angin pagi,
Biarkan sore menunggu di balik cakrawala
Berilah kepadaku jalan jalan taman, agar aku mampu menyapu
Pandangan mata yang tampak “tak sahaja” lagi
Asal aku mengenal Kota Pelacur ini dan mampu meninggikan,
Kanopi menuju persembahan kepada Sang Penjaga Langit
Agar aku mampu mengintai jalan jalan
yang penuh dengan sedu sedan sang empu liar dan jalang

Semburat warna yang menyedu dalam tiap pagi
Yang disodorkan oleh Tangan Sang Pencipta
Akan aku tawarkan agar mampu meminang canda tawa mereka
Yang ada di cerita Kota Pelacur

Semarang, 12 April 2011-Pondok Sastra HASTI Semarang

Minggu, 10 April 2011

Cinta Bersemi di Hati "Gunung Es"



Harum mewangi bagaikan mawar merah yang tumbuh di pekarangan rumah, berkelopak hijau dengan keanggunanya bila ditiup angin pagi. Seberapa banyak kumbang yang berkaki tajam dan mata jalang, leher beruntai bulu warna warni dan sayapnya yang menebarkan rayuan gaul, mirip eksotisnya Smash kala di panggung hiburan. Namun kembang mawar, tetaplah melekat kokoh di kelopaknya.Bermandi derai kuning sinar mentari, menambah segar dan ayu wajahnya. Inilah Restu, “The Ice Girl” demikian teman gaulnya memberinya nama keren.

“Emangnya berapa lama lagi kamu tetap berwajah dingin, kaya Nada yang ketemu Mas Najib aja di Rock and Roll itu”, habis istirahat pertama teman teman gaulnya berani request sebuah pertanyaan, pada “The Ice Girl “ yang bersahaja itu.

“Aku harus bagaimana, orang dari kecil emang karakterku kaya gini” tanpa membanting sorot mata pada Irena yang nanya, Ice hanya angkuh saja memberi jawaban.

“Kamu memang udik !, Ice !! apa kamu nggak ngerti. Tuh Rush pelajar ca’em dan teladan lagi nguber kamu. Kamu kok malah gacir”

“Aku harus bagaimana to Ir, aku ya aku. Yang penting aku nggak nyakiti dia. Ya, siapa saja memang bisa berteman dengan aku”

“Ah, kamu sok nggak tahu aja, Ice!. Lain lho kalau kamu perhatikan betapa sayangnya Rush pada kamu. Minggu kemarin kamu dikasih kunci-kunci soal Try Out kan ?. Coba kamu pikir, nggak sembarangan Rush ngasih seperi itu sama orang lain”

“Kan sudah aku sampaikan terimakasih aku pada dia”

“Kalau aku jadi kamu, Ice ?. Bawa dia jalan jalan ke mana aja, ke Mall apa mejeng ke mana. He Ice, dia cowok ganteng berduit lho !. Banyak temen kita yang naksir dia, contohnya…...!!!”

“Kamu juga kan Irene ?” potong Ice Girls pada Irene, yang belum sempat merampungkan sepotong kalimatnya.

“Jadi kamu nggak naksir dia, Ice ?”

“Aku, biasa aja. Kemarin di ngajak aku lihat Karnaval Smart, tapi aku malas Ir !. Aku harus Bantu ibuku di warung. Lagian siapa yang mbantu adik adiku ?”jawab Ice dengan wajah yang sahaja , bagaikan “Sang Cleopatra” yang duduk di singasananya.

“Lantas, kemana bapak kamu ?, eh maaf ini privasi ya Ice?”

“Oh..nggak apa apa, bapaku kan jadi TKI di Yaman dan entah sudah 6 bulan ini dia nggak ngasih kabar apalagi kirim wesel. Jadi ibu kalang kabut nyari duit dan aku harus mbantuin. Itulah Irene !, aku belum berani seperti kamu, aku kasihan sama ibuku”

“Ya..udahlah Ice, kamu bersabar aja, dan tetap optimis. Sorry yak klo aku sok tahu privasimu. Tapi betul lho Ice , banyak cowok yang naksir kamu. Baik baik aja sama mereka ya Ice !” pinta Irena.

“Ya, saat ini aku memang lagi nggak doyan senyum Ir, jangankan sekarang aku lagi bingung, dulu dulu aja aku nggak suka senyum, memang karakterku kaya gini”. Tatapan mata Ice Girls alias restu begitu polosnya, sehingga Irene pun tahu kalau cewek bidadari yang kadang kelihatan kampungan itu memang bicara apa adanya. Pertanda emang Restu belum mau menerima kehadiran siapapun. Tapi apa bener ya!, demikian bisik hati Irene.

Mengapa kadang kadang Ice Girls suka ngobrol dengan Gagah, dimanapun saat sekolah sedang nggak ada pelajaran, apa cowok yang udik itu telah berhasil merobohkan hati Ice Girls, yang isi hatinya hanya dipenuhi gleiser atau gunung es yang bukan main dinginnya. Atau memang piawainya gagah, atau memang apa?. Irene yang sok usil itu tak henti hentinya penasaran terhadap gadis ayu itu.

Yang jelas Irene menjadi takut dan cemburu, bila Rush sukses membawa gunung es itu terbang ke langit dengan sayap sayap Rush, yang penuh pesona.Ah, tapi mana mungkin Rush yang bokapnya eksportir itu mau dengan Ice Girls, yang keluarganya aja membuat cewek itu menjadi cuek dan tanpa glamour. Ah beruntungnya kamu Restu, yang punya wajah kaya Lady Dy, dan badan lho yang semampai dibungkus kulit yang putih bersih.

***
“Irene !”,
“Apa’an Ice “
“Bel masuk, kamu nglamun ya ?” Tanya Ice
“Ah..he..nggak kok, Cuma hari ini aku agak sluntruk” seru Irene dengan nada gagap, seakan melihat hantu di kantin sekolah.
“Kamu, kan yang naksir Rush ?terbuka aja sama aku Ir, aku nggak pantes deh enjoy sama cowok gedongan macam Rush. Kamu nggak usah takut , aku nggak marah kok ?” kata kata Ice begitu lembutnya, lantaran dia tidak ingin cewek dekatnya yang anak gaul dan super kaya itu jad sakit hati, lantaran dia menggapai cinta Rush.
“Jujur saja Ice, kamu nggak naksir sama Rush, kan ?” Tanya Irene sembari berjalan menuju kelas mereka.
“Aduh Irene, kita kan berteman sejak SMP, kapan kamu tahu aku bo’ong. Apalagi kalau masalah do’i. Aku seneng lho Ir, klo kamu juga enjoy sama Rush!”
“Bantu aku ya Ir, aku ngebet sama.Rush. Eh…dia malah ngebet sama kamu, aku tidak ingin Rush jatuh ke tangan cewek lainnya “
“Nggak usah la yao, nanti kamu cemburu “ Ice segera menyiapkan buku Bahasa Ingrisnya. Karena Pak Johan yang kaya Arjuna itu sudah berdiri di depan mereka.
“Ice, kamu mau jadi pacarnya Pak Johan, ganteng lho Ice !”
“Ngaco kamu ?”
“Tapi Ice, kalau aku perhatikan Pak Johan juga ganteng Ice !. Banyak lho temen temen yang naksir dia, tapi semuanya takut dekat sama “guru yang kaya Roy Marten itu”. Tapi kayanya dia naksir kamu juga Ice ?. Pernah main ke rumahmu, Ice ?’ Mulut Irene yang bawel itu masih saja meluncurkan oongan yang ceplas ceplos, meski Pak Johan sudah mulai mengajar mereka.
Sementara itu bidadari bidadari kelas XII, belum siap banget memasang telinga mereka untuk belajar Bahasa Inggris. Bahkan sebagian dari mereka malah asyik ngrumpi membincangkan penampilan Sang Roy Marten yang mengenakan kemeja bergaris merah biru dengan lengan panjang. Tapi masih saja guru ganteng itu memasang wajah yang angker, meski kadang kadang melempar pendangan ke arah Ice Girl.

Wajah Guru Arjuna itu menjadi merah padam kala anak anak bengal itu masih saja ribut. Sementara itu Irene segera melayang terbang ke angan, bertemu dengan Rush yang membawakan lagu lagu cinta, seperti Sharu Khan yang sedang merayu cewek pujaannya itu. Sebentar sebentar dia jatuh di pelukan Rush dan sebentar sebentar pula bibir yang membarakan De’Amour itu saling bertemu.

Ice tetap saja belum mampu bersikap setegar karang di lautan, bapaknya yang berkorban segalanya untuk ibu, dia dan adik adiknya belum terdengar kabarnya. Apalagi bila dia ingat nasib yang banting tulang menjual nasi pecel di depan rumah, serta manja adik adiknya yang merindukan kepulangan bapaknya. Ah, mengapa aku tidak seperti Irene. Angela, Ririn dan cewek lainnya yang begitu happy. Ah mana mungkin aku bisa menghias senyuman pada mereka, cowok yang memburuku. Meski aku tahu, Rush, Gagah, Pak Johan dan lainnya berusaha mendekatiku, tapi aku sendiri tidak tahu di mana aku simpan sebongkah hati ini.

Sayup sayup dan semakin keras, mereka berdua mendengar nama mereka dipanggil Pak Johan, sehingga mereka kembali lagi ke kelas mereka setelah mereka berkelana dari sudut ke sudut lamunan mereka.

“Sekarang saja kau Irene dan Restu !. Cepat keluar. Kamu berdua menghadap BP. Pak Guru tidak mau mengajar kalian yang kerjaanya hanya melamun. Curhatlah kamu pada BP sepuas puas kamu. Kelas bukan tempat untuk melamun, cepat kamu berdua ke luar kelas “

“Maaf Pak !, tapi apa salah kami berdua ?’ Irene yang punya karakter suka konyol menjadi uring-uringan, megapa dia berdua diusir dari kelas, padahal dari awal mereka berdua tidak membuat gaduh.
“Pokoknya bapak minta kamu berdua menghadap BP, disana nanti akan dijelaskan salah kamu itu apa “

Meski hati Irena masih menyimpan rasa dongkol, kini dia dan Ice ngeloyor ke ruang BP untuk ketemu Bu Shanti yang dikenal siswa sebagai guru BP yang bijak dan lembut. Pada guru yang cantik dn anggun inilah dia sering curhat, dan dari Bu Shanti inilah Ice Girls tahu bahwa Pak Johan sangat menaruh hati denganya, bila Ice lulus dari SMA kelak Pak Johan betul betul berniat untuk menikahi gadis Gunung Es ini. Ice hanya memberikan jawaban dengan sebuah senyuman yang tipis, yang sulit untuk diartikan oleh
Bu Shanti. Bu Sahntipun tahu senyuman inilah yang menjadi cirri khusus Ice Girls, tapi terbukti banyak merobohkan hati pria.
***

“Siang Bu Shanti !, aku disuruh Pak Johan menghadap Ibu, padahal kami belum tahu apa salah kami “
“Begini, ya Irene, kalian berdua sudah dikenal semua guru, kalau di kelas suka ngelamun, kadang ngomog sendiri, kadang tidur. Dan tadi Pak Johanpun lapor dengan Bu Shanti. Kalau kalian suka ngaco di kelas, tahu salah kalian ?”

“Tapi kalau ngelamun, apa nggak boleh Bu ?” Tanya Irena dengan pipi masih kemerahan lantaran masih menyimpan seribu kedongkolan.
“Siapa yang melarang ?. Melamun, adalah hak kamu ?. Tapi kami semua khawatir, mengapa kamu semua melamun. Lebih baik masalah yang ada disharingkan dengan guru, jadi kami bisa memberikan way out-nya. Cobalah Irene, sharing denga Bu Shanti,ada masalah apa ?”. Bu Shanti dengan lembutnya membimbing Irene, cewek kaya yang kolokan itu, yang mudah uring uringan dan sering membuat marah guru guru.

“Ah, nggak kok Bu, Cuma masalah anak anak saja kok Bu !”
“Bener ?”
“Bener, Bu ?”
“Baiklah, kamu bisa ke kelas sekarang. Hanya Restu bisa tinggal sebentar?’

Restu atau “The Ice Girl” hanya mengangguk kecil, dan kini Bu Shanti sudah duduk disebelah Ice dengan sorot mata dan senyuman yang lembut.
“Restu ?, kalau Irene hanya masalah anak anak remaja saja. Tapi kalau masalah kamu, memang banyak menarik perhatian guru guru. Kamu dikenal oleh guru sebagai siswa yang baik dan santun, semua masalah yang kamu alami, bukan salah siapa siapa, tapi keadaan memang harus seperti itu. Belajar keras agar kamu lulus dulu, setidak tidaknya kamu sudah sedikit mengatasi masalahmu “
“Baik, Bu ?”
“Tentang masalah keluargamu, jangan kamu berpikir terlalu serius !”
“Maaf, Bu !, tapi aku nggak bisa Bu !. Bapak entah nasibnya bagaimana, Ibu terlalu keras membanting tulang. Sedangkan adik adiku sering menanyakan bapak. Kalu dulu bapak bisa kontak lewat Hp dengan Burhan dan Ikhsan yang masih kecil. Tapi sekarang, ah entah, Bu ?”

“Restu ?, masalah bapak kamu Ibu yakin, nanti juga akan ngirim kabar. Kamu kan tahu keadaan di Yaman sedang kacau, mungkin karena hanya gangguan komunikasi saja. Sedangkan masalah lainnya, adalah masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan ini,
Selama manusia masih berniat untuk memperbaiki nasibya, Tuhanpun akan memberikan jalan.”

“Terimakasih, nasehatnya Bu ?”
“Restu !, seperti yang Ibu katakana dulu. Pak Johan mengerti semua dengan keadaanmu, dan diapun tidak main main dengan niatnya. Dia sudah cerita sama Ibu, diapun berniat menyekolahkan kamu sampai perguruan tinggi. Bu Shanti perhatikan, kamu jauh lebih dewasa dengan gadia lain yang seusiamu, mungkin karena kamu sudah terbiasa dengan masalah dalam kehidupan ini. Maka cobalah kau mengerti, kalau kamu belum siap dengan ini semua, setidak tidaknya kamupun bisa mempertimbangkan masalah ini. Jelas sampai kanapanpun Pak Johan akan menunggumu, hingga kamu siap, Restu !, jangan sakit hati ya !”
“Ah, nggak Bu, Restu belum bisa menjawab Bu, entahlah…?”
“Sekarang kembalilah ke kelas !”

The Ice Girls belum mengerti betul, bagaimana dia harus bersikap dalam menghadapi ini semua. Dari balik awan, dia tahu, wajah Pak Johan mengintip dengan kumis tipis melintang, sekali sekali diapun menatap wajah itu di balik cakrawala dan wajah itupun tersenyum manis. Diapun tidak tahu mengapa dia kini menyambut senyuman itu. Apakah Gunung Es di hatinya telah mulai mencair, diapun tidak tahu.

***

Kamis, 07 April 2011

Bumi Kini Telah Uzur

Bilai bumi damai, Artic yang berwarna kelabu
Akan memberikan sebagian Ozonya…untuk merias Glasier di Antartika
Yang menjerit pilu….kita tak kentara mengenalnya,
Dan jangan kau lupakan perawan desa Archipelago
Yang dalam kemasan bajunya, kau nyanyikan’Rayuan Pulau Kelapa”
Bila mereka bersatu dalam pusaran senyum yang ramah
Mungkin akan ada kunjungan El Nino dengan nampan bunga
Yang berkain beludru, bukan dari bulu ulat

Dalam keranjang rotan, berbingkai Khatulistiwa
Yang dijinjing Ibu Pertiwi yang bermata sembab
Lantaran terbengkelai sedari pagi, karena ditinggal…..
Anak anak bungsunya bermain di padang ilalang
Lantas seharusnya kau tundukan saja muka yang bergaris
Keriput menghitam karena telah diterkam ganasnya
“wedus gembel” Merapi persembahan dari bibir neraka

Biar saja sang gagah Himalaya menabur benih kesucianya
di atmosfer…hingga melintaslah kereta biru senja, untuk remaja
yang kasmaran dalam kidung hidup tentram
Atau kala Toba mengenakan Ulos dengan titian pelangi
Agar angina kembara membawa benih padi, jagung dan kedelai
Hingga abang becak dan penjual es menjadi kenyang perutnya

Namun baru saja Fukushima menggertakan taringnya
Merobek kromosom yang ada di ketiak
Setiap helai nafas di pinggiran melambainya daun nyiur
Atau kita pekikan desah protes
Pada laut yang menghitam, tak terdengar lagi Asmarandhana
Tuna, lomba lomba atau jajanan pagi bagi camar

Kita usung bumi dalam tangan kanan kita
Biarkan tangan kiri menyelinap dalam pakaian kita
Yang kumal tetapi masih menyimpan mawar dan kenanga
Lantas kita pagut dengan sinar mata yang nanar….
Hentikan dan basuhlah dengan air dari Telaga Sarangan
Sehingga anak cucu kita, masih mampu melihat
Menghijaunya Sidoarjo, dengan kerlingan mata Lumpur Panas
Yang lebih berprosa dan sajak tentang Serambi Mekah
Bukit Barisan, Pegunungan Kidul, Gunung Agung dan Tambora

Aku hanya berlengan separo nafas
Dengan legam di sana sini
Karena keganasan hidup dan atmosfer
Tak mampu menuai anyaman atmosfer
Yang berisi pekarangan penuh ubi, singkong dan palawija
Yang sering dilahat Genderuwo yang datang dengan pesta petir
Berkuku durjana dengan sorot mata tajam seperti mata koruptor
Berpakaian penuh warna, karena telah hilang hatinya
Jangan kau pandangi dengan dada penuh kata Tanya
Tapi semaikan kidung suci untuk Sang Penjaga Langit

Semarang, April 8, 2011-Pondok Sastra HASTI SEMARANG

Senin, 28 Maret 2011

Bayang Bayang Malam

Lampu hias di jalan sepanjang Kota Semarang telah mengguratkan wajah kota ini menjadi tambah moncer, bagaikan gadis gadis penari di latar Prambanan kala bulan purnama tiba, meski kerlip sinarnya tidak mampu meyaingi sang rembulan yang berdandan lebih menantang, dengan kuning sinarnya menambah terangnya lorong lorong Kota Semarang di malam itu. Eksotis malam itu telah sanggup memagutkan remaja remaja yang sedang merajut hati, untuk sekedar menuangkan komposisi warna amour dalam kanvas hidup.

Namun malam ini bagi Rinjani tak lebih hanya malam yang bertabur bayang bayang hitam dari hantu hantu entah datang dari penjuru mana. Sehingga warna malamnya hanya hitam kelam, tak satupun berkas sinar rembulan yang menggapai bernnda rumahnya, sejak perpisahan dia dengan Albert. Hati rinjani kini tak ubahnya media untuk merekam saat saat mereka berdua dipeluk dewi asmara. Meski mereka kala itu saling menyayangi, menghormati serta saling mengerti pribadi masing masing. Namun Albert juga tetap manusia biasa.

Malam bertambah menampakan sifatnya yang egois, tetap saja patuh dengan kendaraan waktu yang merambat dari sisi ke sisi, sementara beranda rumahnya kini masih tetap membujur dingin. Hanya sebentar sebentar Rinjani hinggap terkulai dengan suara sauara hatinya sendiri, yang kadang lebih tajam dai belati yang menusuk dalam dalam jantungnya. Segera Rinjani kumpulkan kekuatan untuk menikam suara hatinya dan menelikungnya. Namun lama kelamaan dia sendiri tifsak msmpu melawanya. Karena begitu kuatnya mmenerang anganya.

Barngkali saja karena malam minggu ini dia hanya sendiri di beranda rumahnya, sementara rembulan kini telah mengerutkan wajahnya, dan awan hitam terus saja melingkungi. Maka suara cegkerik dari kebun sebelah rumah setengah tembok yang mau menerima kegetiran hati putri lajang yang anggun itu. Ditambah dengan desah suara daun pisang yang terirama angin malam. Rinjani kini terperosok jauh dengn suara nhatinya

“Lantas untuk apa kamu menyendiri di sini. Sementara Albert kini bercumbu dengan Netty di pavilyun cintanya”. Gemetar seluruh tubuh Rinjani mendengar suara hatinya yang tak mampu ditepisnya.

“Dunia yang aku rengkuh, tidak sebatas Kota Semarang saja, tapi dunia terhampar dari mulai Artic hingga Antartika, dari mulai Mount Everest hingga Mahameru. Kenapa mesti Abert yang harus disisiku ?”

“Tapi mengapa engkau malam ini terkulai lesu, kenapa pula kau bohongi malam jalang ini ?, kamu merindukan Albert kan ?”

Rinjani tersentak kaget, mendengar halilintar yang memecut hati yang sedang meradang pilu itu. Nama yang disebut hatinya sendiri, kini bagaikan bara api yang menguliti seluruh hatinya dan menyalakan bara amarah. Nama itu beberapa hari lalu, ia rasakan bagaikan seribu keindahan yang mewarnai prosa hidupnya. Namun kini nama itu bagaikan bara dari gunung Merapi yang hendak menelan hidup hidup seluruh tubuhnya yang tidak seberapa kuatnya.

“Hai !, hati yang sedalam laut Atlantik, jangan kau sebut lagi nama Albert. Enyahlah kau sejauh jauhnya. Biarkan malam jalang ini menemaniku. Lebih baik aku terpagut dengan kelamnya malam ini, ketimbang aku harus dekat dengan durjana itu”

Baik Rinjani dan malam jalang itu kini sendiri sendiri saling memagut sepi di sisi yang brsebrangan. Namun masih sekali sekali suara angin malam yang jalang itu menyebut nama Raymond. Cowok ganteng, berkulit sawo matang agak gelap dan bertubuh atletis. cowok ini memang piawai untuk mejeng, saat Albert masih di sisinya, diapun sering terkesima melihat sang actor yang senang berkaca mata hitam mirip Tom Cruise. Tapi bagi Rinjani kala itu tidak pernah berniat untuk membuat sayatan luka di hati Albert, yang kadang bersikap seperti gunung es namun kadamg pula dia melebihi adegan sinetron picisan kalau sedang mabok kasmaran.

Desir angin malam bertambah kuat, dentang jam dinding di ruang tamu memecut udara malam hingga sebelas kali. Angin malam kini lebih lantang lagi menyebut nama Raymond.

“Rinjani !, Raymond malam ini merindukanmu, berdandanlah seperti bulu burung merak yang meregangkan seribu warna. Hiasi senyumanmu dengan hiasan penuh rasa simpatik pada pria ganteng itu. Desiran hati kamu sering mengakui kalau dia lebih pinter mejeng ketimbang Albert?”

“Tapi aku bukan cewek murahan yang gampang jatuh kepelukan pria, aku memang kesepian. Betapa kejamnya kau hai malam, kejalanganmu semakin dalam menghimpitku”

Sementara jalangnya malam diam membisu, bahkan sekarang menebar kembang setaman warna warni yang semerbak harum memenuhi beranda hati Rinjani sang bidadari malam yang kehilangan sayap sayap. Maka malampun lantas meminjami sayap yang berwarna merah jambum, hingga membuat Rinjani mampu terbang menuju pintu langit menjumpai Sang Dewi Asmara, yang telah siap membukakan buku harian sang bidadari malam kala masih bersanding dengan Albert.

Lembar demi lembar buku harian terbaca Rinjani, hingga akhirnya pada bagian akhir buku harian, kala dia berjumpa dengan Albert yang terakhir kali, malam minggu yang lalu di Great Zone Coffe di tengah Kota Semarang. Rinjani kala itu sempat kagum dengan dirinya sendiri yang tegar berhadapan dengan durjana cintanya, yang telah menjual cinta gombalnya pada Netty.

Perpisahan memang harus terjadi antara mereka bedua, disaksikan ornament Great Zone Coffe yang flamboyant yang masih menyisakan aura De’Amour. Namun Rinjani telah kukuh hatinya, sekuat tenaga dia harus mampu menepiskan jerat jerat sutera yang terus ditebarkan Albert, namun bagi Rinjani jerat itu hanya belati tajam yang akan mengoyak beranda hatinya.

Kala harmoni malam jalang telah menyuguhkan kidung tengah malam, sayap sayap Rinjani kembali melipat dan luruh di beranda rumahnya, diapun segera dengan perlahan mencabut belati belati yang mengkoyak hatinya. Buku harian yang bersampul pelangi jingga segera ditutupnya, senyum manis Albert masih tertera dengan samara di sampul belakangnya itu. Rinjani kembali duduk terkulai di korsi rotan beranda rumahnya, angina malam jalang yang dingin mulai merambah ke sumsum tulangnya. Namun kejalangan malam itu, kembali mendekati dan mulai menjamah hati Rinjani dengan bahasa malam.

“Bukankah Raymaond yang ganteng itu bukan type cowok penjaja cinta. Rinjani. Raymond yang dulu menjadi sasaran mata kamu yang nakal, seakan akan kau berniat menelan dia hidup hidup. Bukankah kau hanya tergoda dengan mobil mewah Albert, gaya hidup gokil Albert “

Rinjani menjerit dan sekuat hati berniat menepis godaan malam jalang, namun semakin keras Rinjani memekik semakin lantang malam jalang menelikung hatinya.

“Bukankah kau duku menolak Raymond karena tidak mampu memenuhi seleramu, dia hanya pakai sepeda motor untuk kuliah. Sementara sang bunga kampus dan bidadari malam harus duduk di kursi empuk yang mewah ? Apa beda Raymond dan Albert, Rinjani !!!”

Rinjani sudah tidak mampu berkilah lagi, suara hatinya telah redup bahkan telah tersumbat oleh sikapnya sendiri. Namun masih ada satu dua bisikan yang datang dari hatinya yang paling dalam “ Raymond datanglah, akan aku berikan sisa sisa hariku hingga kita mampu bermandikan embun dini hari yang berharum bunga De’Amour “. Seketika itu riuh rendah suara gumam jalangnya malam pekat telah memenuhi seluruh rumahnya, pekarangan dan sisi hati Rinjani. Rinjani kinipun terbang menerjang bintang di langit untuk menerangi hari hari yang akan datang.