Selasa, 17 Mei 2011

LEILA


Entah sudah berapa kali Santiago Prayogo mendenguskan bilah nafas gelisah di kursi pesawat, yang menghantarkan dia dari Banjarmasin untuk pulang ke Semarang kampung halamannya. Perasaanya begitu getir, meski dari balik jendela pesawat terlihat gugusan awan berkejaran, mencoba mendinginkan hati Prayogo yang sedang diterjang bara api. Sesekali dia menengok kursi disampingnya,yang kini tidak lagi diduduki Leila dan anak mungil mereka Rakian, yang meluruhkan seluruh kekuatan sendi tulang Prayogo.

Mata Rakian bocah mungil itu, tawa candanya dan celoteh celotehnya yang memberikan kedamamian hatinya, kini hanya ada di langit menggelantung bersama awan hitam, yang dihembuskan oleh prahara di tengah bahtera rumah tangga Prayogo. Dia merasakan seluruh hidupnya terhempas prahara. yang ditiupkan oleh kedua orang tua Leila sendiri, hingga tibalah kursi pesawat yang diduduki, langit biru di balik jendela pesawat dan barangkali desah nafas yang masuk tenggorokannya ikut pula menyalahkan dan menyudutkan, mengapa dia harus kalah begitu saja. Padahal Leila masih membuka kedua tanganya, meski berada di tengah himpitan yang kuat dari sorot mata kebencian ortunya dan semua saudara saudara Leila yang cantik itu.

Kini dari kaca jendela, Prayogo hanya melihat permadani biru bertabur buih putih. Jelas sudah dia tahu kini, kalau Banjarmasin telah jauh dia tinggalkan. Berkali kali dia mengeluarkan HP dari kantong bajunya, karena berharap HP itu akan memekakan telinganya, lantaran panggilan dari Leila yang menyuruhnya dia kembali ke Banjarmasin demi Leila dan anak tunggal satu satunya. Meski Pengadilan Agama telah mensahkan perceaian antara mereka, namun Prayogo masih saja menyimpan nomor panggilan Leila. Wanita berkulit kuning langsat, anak Juragan Romli pedagang besar kayu, bersama dengan putri tunggalnya itulah Prayogo telah 12 tahun mengarungi hidup di Banjarmasin, sebagai guru swasta.


Masih kuat dalam ingatan Prayogo, beberapa tahun yang lalu, Si Kuning Langsat jelita hatinya, terus saja melipat wajahnya tiap dia pulang dari mengajar. Namun unjuk easa Leila, yang tambah kelihatan cantik itu, tak begitu digubrisnya, apalagi bila putra tuggalnya berada dalam pangkuanya. Prayogo tahu betul, bila bahtera rumah tangganya telah menemui lautan dangkal berpasir, yang dikelilingi karang terjal, Siap menghancurkan bahteranya yang tidak seberapa kokohnya.

“Bapak terus saja mengejar uang yang abang pinjam, mengapa hingga kini abang belum mulai membayarnya, abang kan bisa saja mengangsur hutang modal itu Bang ?” bibir merah yang berhasil merontokan hati Prayogo, seperti biasanya terus saja menghakimi Prayogo yang sering tersudut dalam kekalutan hidupnya.

“Kalau saja aku tahu bakal seperti ini. Tentu saja aku tidak mau berdagang kayu seperti Bapak, Leila !!!! “ entah perasaan apa yang mengganjal sanubari Prayogo kala itu, tidak pernah selama jarum waktu bergerak menghantarkan sang waktu, Prayogo menepis permintaan Leila sekasar itu. Bilah hati yang sedang disudutkan kekalutan itu, tidak mampu lagi menerima permintaan Leila. Seribu kunang kini bertebaran di sekitar kepalanya, tubuh Rakian didekapnya kuat kuat dan kini dia duduk di sofa penganti baru pemberian mertuanya yang bergelimang harta.

Prayogo mengusap punggung Rakian berkali kali, yang melengkingkan tangis manjanya, seakan akan tahu keadaan orang tuanya yang sedang didera kekalutan hidup.

“Bang Yoga !, bapak juga mengerti keadaan kita. Tapi seharusnya abang juga tahu kalau bapak minta abang lebih serius lagi dalam mengembangkan usaha kayu”

“Leila !, kamu kan tahu, aku sering rugi berdagang kayu. Aku jadi bertambah pusing ! ”

*Percuma saja aku bicara dengan abang, modal yang bapak pinjamkan kan tidak sedikit. Wajar saja bila bapak menanyakan usaha kayu kita, bang ? ” .

“Kamu kan bisa menjadi wakil aku di depan bapak tentang bisnis kayu kita. Katakan saja !, kalau aku bangkrut, modalnya akan aku kembalikan secepatnya, Leila ?”

“Bukan begitu bang !, jangan abang menempatkan masalah ini hanya dari aspek bisnis saja. Bang !, aku anak tunggal, jadi wajar bila bapak ingin aku bahagia, termasuk diri abang. Bapak hanya ingin tahu tentang usaha kita. Usaha yang diharapkan bisa berkembang demi masa depak kita bersama’

“Tidak usah kamu ajari, aku tahu masalah itu. Aku hanya minta waktu ?”

“Bang !, aku anak seorang pedagang. Dari kecil aku menyaksikan betapa sengsaranya bapak yang jatuh bangun mengembangkan usaha ini. Hingga kinipun bapak masih hati hati mengembangkan usaha ini. Inilah yang akan bapak ajarkan pada abang dan aku “

“ Leila !, aku bosan dengan ini semua, cobalah bicara yang lain saja. “

“Lantas, apa lagi yang akan aku bicarakan, Bang Yoga !!!! “

“Maksud kamu ? “

“Ya !, karena kita sudah tidak punya apa apa lagi, rumah yang kita tempati, sepda motor dan lainya adalah milik bapak. Masa depanpun kita sudah tidak punya lagi, jadi apa yang dapat kita bicarakan lagi “

Pandangan mata Prayoga seluruhnya dilemparkan kea rah tembok tembok rumah yang kini mulai kusam. Tembok tembok itu dulu berwarna putih bersih, kala mereka menempati sejak malam pertama. Prayoga masih terdiam, hanya anganya yang mengembara bberapa tahun silam, kala mereka bersua masih menjadi mahasiswa IKIP di Semarang. Leila kala itu, dikenal kembang kampus dari sebrang, dengan penampilan sederhana meski putra tunggal seorang pedagang kayu yang sukses.

Prayoga menautkan cintanya kepada si kuning langsat, lantaran awalnya Prayoga tidak menduga bahwa Leila anak tunggal seorang pedagang besar yang kaya raya, namun memiliki cita cita sederhana ingin menjadi seorang pendidik. Sungguh bersahaja cewek gedongan ini, tak melekat sedikitpun di tubuhnya yang atletis segala macam perhiasan yang gemelap, meski bagi Leila yang berkelas milyarder, masalah itu gampang saja.

“Bang Yoga !, aku serius !, abang sebaiknya bertemu bapak untuk mempertanggung jawabkan modal itu “

“Dengan apa aku bisa membayar, Leila ?”

“Bertemu dengan bapak dulu, bang !. Meski rugi dan habis modal abang, bapak kan memaklumi bila abang bersedia menelaskan alasan yang tepat. Siapa tahu bapak akan memberi solusi yang tepat?”

“Aku belum siap, Leila ?”. Santiago Prayogo tanpa berkata lagi sepatah katapun, membawa tubuhnya dengan bergegas ke luar rumah dengan membanting pintu dan pergi tak tentu arah entah kemana, kini tinggal

“Abang, abang…!!!!”
***

Suara batuk batuk dari Juragan Romli memenuhi seluruh ruang tamu rumah besar itu, sementara Leila sedang asyik menidurkan Rakian di Sofa tamu berwarna hijau lembut. Cuaca siang itu memang sangat panas, namun tidak sepanas perasaan Leila yang membarakan amarah dan kekecewaan kepada Santiago Prayoga, yang selalu menghindar dari pembicaraan serius tentang nasib meeka. Leilapun mengerti bahwa mereka berdua adalah sama sama berprofesi sebagai pendidik, sesuai yag dicita citakan meeka berdua. Meski untuk beberapa tahun ini Leila memilih untuk berhenti sementara, karena kesibukan membantu usaha mereka dan mengasuh Rakian.

“Leila ! Itulah kehidupan. Dahulu tentu saat kamu masih kecil, kamu sering menyaksikan bapak dan mamak bertengkar. Namun saat terjadi pertengkaran, salah satu harus bersikap dingin, yang dapat menyiram bara api yang hinggap di hati yang membara. Bila kedua belah pihak saling membara hatinya, maka darimana mereka akan mendapat kedamaian ?“

“Aku sangat prihatin dengan sikap Bang Yoga, aku harapkan Bang Yoga mau mempertanggung jawabkan modal yang diberikn bapak, mengapa rugi dan berapa sisa modal yang ada ?” Suara Leila terdengar terbata, di kedua pipinya kini mengalir titik titik air mata.

“Leila !, bagi bapak tidak menjadi masalah serius tentang kerugian Prayoga, karena modal itu memang milik kamu, dan bapak masih punya banyak harta milik kamu. Semua itu tidak dibawa mati bapak dan emakmu. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan !”

“Betul Pak, tapi aku tidak enak sama bapak dan emak, bagi Leila abang Yoga mau ketemu dan mempertanggungkawabkan sama bapak itu saja sudah senang, Pak ?”

“Memang bagi Prayoga yang dilahirkan bukan dari keluarga pedagang, susah untuk berhasil. Maka dulu bapak kan pernah memberi saran, untuk menjadi pedagang kayu yang sukses, Prayoga harus mulai dari bawah.Tetapi kau memaksakan diri “

“Aku memang tidak mengerti, Pak. Sejak dari kami berpacaran dahulu, kami berjanji bersama untuk belajar bersama menjadi saudagar sukses seperti bapak. Makanua dengan modal 250 juta, kami berdua ingin belajar pada bapak hingga sukses. Tapi kini Bang Yoga sepertinya tidak serius lagi”

“Memang kalau bapak perhatikan, Prayoga bukan tipe pedagang tangguh, sama sekali tidak berani mengambil resiko dan takut tantangan. Mungkin saja dia lebih suka menjadi pendidik, disitulah kepuasan moral Prayoga “.

“Lantas aku harus bagaimana, Pak ! “

“Cobalah dinginkan perasaan kalian berdua dulu, nanti kalau sudah tenang mintalah pertanggungan jawab dari Praypga, meski modal itu dari bapak, tapi modal itu adalah uang, yang harus jelas pengeluarannya. Aku menginginkan kalian berdua belajar professional, aku percaya semua pengeluaran Prayoga tidak untuk hal yang tak berguna. Dari kehati hatian bapak terhadap pengeluaran itulah, bapak bisa sukses seperti ini “

Leila tidak menjawab kata kata bapaknua, Leila hanya mampu menyimpanya dalam hati. Ayahnya yang bijak itupun kini pamit, hingga tinggalah penantian Leila di dawai sang waktu hingga kepulangan Prayoga, yang akhir akhir ini sering beberapa hari tidak pulang, entah kemana perginya sang suami yang tercinta. Namun tidak ada satupun makhluk di dunai ini yang mampu menghentikan sang waktu. Santiago Prayoga yang mengalami kerugian besar, tidak segera untuk minta advis istri apalagi bapak dan emaknya Leila, tapi malah semakin nekat perilakunya.

Leilapun merasakan kini hidup bagai di atas panggangan api, demikian juga Rakian yang merasa asing dengan kedatangan Prayogo bapaknya,yang sering pulang malam tanpa memberi sentuhan kasih sayang. Tiap malam tiba, tembok kokoh rumah dengan arsitek Eropa itu telah bergetar, genting beton yang kokoh kinipun seakan beterbangan tiap kedua insan itu saling bertengkar hingga larut malam. Demikian juga kala di sebuah malam yang tidak pernah Prayoga lupakan. Pertengkaran natara mereka berbuah pada perpisahan yang diminta Leila sendiri.

“ Sebaiknya kita tidak usah bertengkar setiap saat di rumah ini, bang ?”

“Mengapa kamu bersikap seperti ini sekarang ?”

“Barangkali saja abang, lebih memilih tidak bertemu aku lagi yang selalu mengganggu kehidupan abang ?”
“Maksudmu ?”

“Abang tidak usah setiap hari pulang malam, hanya untuk menghilangkan beban yang ada di pundak abang “

“Leila !,. aku tiap hari mengejar teman teman yang meminjam uangku, banyak mandor hutan yang pinjam uang sama aku, teman guru dan juragan lainnya. Aku ingin uangku kembali dan mempertanggungkan pada bapakmu “

“Abang !, mereka semua saling kenal baik dengan bapak. Mestinya bapak cerita semua tentang itu. Jelas abang tidak jujur dengan aku ?”

“Leila !, jangan sembarangan kamu bicara ?.Apa karena kamu dan bapakmu orang kaya terus bisa bicara senaknya denganku ?”

“Tolong bang jangan sebut nama bapak dalam hal ini. Dia sudah berlaku baik dengan kita semua “

“Lantas maumu apa, Leila ?”

“Sederhana saja bang. Abang silakan bebes kemana saja tanpa diganggu aku”

Prayoga ingat betul, mengapa di malam berbintang terdengar suara petir yang mampu menghanguskan hatinya. Leila menginginkan perpisahan denganua bukan karena salahnya atau dia, tetapi memang suratan takdir berkata demikian. Lamunan itu kemudian terpagut, kala announcer dalam pesawat itu memberitahu kepada semua passenger, bahwa mereka kini telah tiba di Semarang

Kamis, 21 April 2011

Entahlah

Bila aku letakan tangga bertali emas
Di tengah kebon sayur milik emak
Agar, aku mampu melihat kala kau menyisir rambut
Setelah mandi bunga di sore hari
Aku tak perduli lagi
Kau terkam hatiku dengan kedua biji matamu

Jangankan hanya sore hari, malampun aku
Letakan ujung langit dengan tangga emasku
Asal kau mau merentangkan kedua tanganmu

Untuk, mewarnai tepi kebun sayur emaku
Agar dia tersenyum tiap pagi, meski kelihatan semua giginya yang menghitam
Emak bersabarlah.....
Akan aku bungkus bulan dengan anyaman
Hati berderai rendaan bunga warna warni

Emak, simpan dulu…apa yang emak sambut dengan senyum
Lantaran harus aku sebrangi lautan
Entah dimana akan bertepi
Tapi haluan sudah aku arahkan,
Untuk pantai dimana aku dan kasihku mandi bersama

Emak hanya ini miliku
Tapi emak tetaplah berderai senyum
Bertaut pada tepi tepi langit.

Pondok Sastra HASTI Semarang. April 2011

Senin, 11 April 2011

Kota Pelacur


Lampu lampu jalan yang redup turut membunuh kota itu…kota di jantung
Archipelago…kubangan mandi bidadari
Yang tanpa nafas menggeliat, untuk memelantingkan rumah kardus
Di tepian sungai berwarna hitam dan menyesakan rongga dada,
Dengan langkah berat bersepatu kulit dari “Sang Koruptor” yang membuat aspal jalan
Menganga berlubang….menghardik bajaj dan abang becak,
Akupun menyelinap di sela tubuh beton pengap, tempat tawa ‘kelu’ bibir
Pucat.. untuk menghabiskan selembar demi selembar penghidupan

Noni yang hitam kelam kulitnya, namun berbibir sumbing
Melampiaskan deru eksotis Kota Pelacur ini.
Seakan sang ratu dari negeri Anderson dalam lakon Sepatu Kaca
Belum ada lekukan tubuhnya yang, membuatkan semilir sejuk angin kehidupan,
Sementara sang abang becak hanya mampu menjaring terkaman panas matahari
Roda rodanya berkeluh kesah menerbangkan debu debu,
Meninggalkan jejak kemaksiatan…


Dalam birama reformasi, yang tidak kunjung mengerti semua mata yang nanar
Dan menawarkan air tawar dalam gelas beralas daun pandan,
Hingga tulang rusukpun tidak ikut mengoyak jantung yang meradang
Dalam kota itu “Festival Pelacur” berlangsung dengan meriah,
Tidak ada lagi dada telanjang dari anak desa
Yang bermesraan dengan kelembutan malam, untuk menjemput bulan purnama

Bulan…!, jangan kau ikutkan angin yang tidak punya tautan
Menghardik semua yang mampu memincingkan mata pada Kota Pelacur ini,
Tapi tawarkan angin segar, agar wanita wanita di taman kota
Yang bergaun warna warni, tak ada lagi kain yang lapuk dan pengap,
Biarkan aku selipkan apa yang harus aku pegang kuat kuat
Meski Kota Pelacur ini telah kuat menggigitku
Hingga lengan ini tak ringan lagi bertaut dengan tubuhku
Kota Pelacurku, akupun tak akan menyambutmu dengan wajah
Berlipat, bergayut bulan mati, berenda gerigi ilalang

Aku sudah tidak sanggup lagi pada gelisah dan jalangnya
Tiap sudut Kota Pelacur yang ikut memercikan wajah wajah marah
Dengan tubuh yang terbujur kaku dan sorot kebencian,
Masih saja dalam sudut hati, aku susun sedikit bunga rampai kesabaran
Agar mampu kutautkan ornament “warna jingga” milik yang sedang menggapai
Cinta…yang membius anganku
Sehingga kau tampak seperti “Taman Pelangi”
Yang berbicara dengan bahasa warna

Mari kita labuhkan sampan…bercabda angin pagi,
Biarkan sore menunggu di balik cakrawala
Berilah kepadaku jalan jalan taman, agar aku mampu menyapu
Pandangan mata yang tampak “tak sahaja” lagi
Asal aku mengenal Kota Pelacur ini dan mampu meninggikan,
Kanopi menuju persembahan kepada Sang Penjaga Langit
Agar aku mampu mengintai jalan jalan
yang penuh dengan sedu sedan sang empu liar dan jalang

Semburat warna yang menyedu dalam tiap pagi
Yang disodorkan oleh Tangan Sang Pencipta
Akan aku tawarkan agar mampu meminang canda tawa mereka
Yang ada di cerita Kota Pelacur

Semarang, 12 April 2011-Pondok Sastra HASTI Semarang

Minggu, 10 April 2011

Cinta Bersemi di Hati "Gunung Es"



Harum mewangi bagaikan mawar merah yang tumbuh di pekarangan rumah, berkelopak hijau dengan keanggunanya bila ditiup angin pagi. Seberapa banyak kumbang yang berkaki tajam dan mata jalang, leher beruntai bulu warna warni dan sayapnya yang menebarkan rayuan gaul, mirip eksotisnya Smash kala di panggung hiburan. Namun kembang mawar, tetaplah melekat kokoh di kelopaknya.Bermandi derai kuning sinar mentari, menambah segar dan ayu wajahnya. Inilah Restu, “The Ice Girl” demikian teman gaulnya memberinya nama keren.

“Emangnya berapa lama lagi kamu tetap berwajah dingin, kaya Nada yang ketemu Mas Najib aja di Rock and Roll itu”, habis istirahat pertama teman teman gaulnya berani request sebuah pertanyaan, pada “The Ice Girl “ yang bersahaja itu.

“Aku harus bagaimana, orang dari kecil emang karakterku kaya gini” tanpa membanting sorot mata pada Irena yang nanya, Ice hanya angkuh saja memberi jawaban.

“Kamu memang udik !, Ice !! apa kamu nggak ngerti. Tuh Rush pelajar ca’em dan teladan lagi nguber kamu. Kamu kok malah gacir”

“Aku harus bagaimana to Ir, aku ya aku. Yang penting aku nggak nyakiti dia. Ya, siapa saja memang bisa berteman dengan aku”

“Ah, kamu sok nggak tahu aja, Ice!. Lain lho kalau kamu perhatikan betapa sayangnya Rush pada kamu. Minggu kemarin kamu dikasih kunci-kunci soal Try Out kan ?. Coba kamu pikir, nggak sembarangan Rush ngasih seperi itu sama orang lain”

“Kan sudah aku sampaikan terimakasih aku pada dia”

“Kalau aku jadi kamu, Ice ?. Bawa dia jalan jalan ke mana aja, ke Mall apa mejeng ke mana. He Ice, dia cowok ganteng berduit lho !. Banyak temen kita yang naksir dia, contohnya…...!!!”

“Kamu juga kan Irene ?” potong Ice Girls pada Irene, yang belum sempat merampungkan sepotong kalimatnya.

“Jadi kamu nggak naksir dia, Ice ?”

“Aku, biasa aja. Kemarin di ngajak aku lihat Karnaval Smart, tapi aku malas Ir !. Aku harus Bantu ibuku di warung. Lagian siapa yang mbantu adik adiku ?”jawab Ice dengan wajah yang sahaja , bagaikan “Sang Cleopatra” yang duduk di singasananya.

“Lantas, kemana bapak kamu ?, eh maaf ini privasi ya Ice?”

“Oh..nggak apa apa, bapaku kan jadi TKI di Yaman dan entah sudah 6 bulan ini dia nggak ngasih kabar apalagi kirim wesel. Jadi ibu kalang kabut nyari duit dan aku harus mbantuin. Itulah Irene !, aku belum berani seperti kamu, aku kasihan sama ibuku”

“Ya..udahlah Ice, kamu bersabar aja, dan tetap optimis. Sorry yak klo aku sok tahu privasimu. Tapi betul lho Ice , banyak cowok yang naksir kamu. Baik baik aja sama mereka ya Ice !” pinta Irena.

“Ya, saat ini aku memang lagi nggak doyan senyum Ir, jangankan sekarang aku lagi bingung, dulu dulu aja aku nggak suka senyum, memang karakterku kaya gini”. Tatapan mata Ice Girls alias restu begitu polosnya, sehingga Irene pun tahu kalau cewek bidadari yang kadang kelihatan kampungan itu memang bicara apa adanya. Pertanda emang Restu belum mau menerima kehadiran siapapun. Tapi apa bener ya!, demikian bisik hati Irene.

Mengapa kadang kadang Ice Girls suka ngobrol dengan Gagah, dimanapun saat sekolah sedang nggak ada pelajaran, apa cowok yang udik itu telah berhasil merobohkan hati Ice Girls, yang isi hatinya hanya dipenuhi gleiser atau gunung es yang bukan main dinginnya. Atau memang piawainya gagah, atau memang apa?. Irene yang sok usil itu tak henti hentinya penasaran terhadap gadis ayu itu.

Yang jelas Irene menjadi takut dan cemburu, bila Rush sukses membawa gunung es itu terbang ke langit dengan sayap sayap Rush, yang penuh pesona.Ah, tapi mana mungkin Rush yang bokapnya eksportir itu mau dengan Ice Girls, yang keluarganya aja membuat cewek itu menjadi cuek dan tanpa glamour. Ah beruntungnya kamu Restu, yang punya wajah kaya Lady Dy, dan badan lho yang semampai dibungkus kulit yang putih bersih.

***
“Irene !”,
“Apa’an Ice “
“Bel masuk, kamu nglamun ya ?” Tanya Ice
“Ah..he..nggak kok, Cuma hari ini aku agak sluntruk” seru Irene dengan nada gagap, seakan melihat hantu di kantin sekolah.
“Kamu, kan yang naksir Rush ?terbuka aja sama aku Ir, aku nggak pantes deh enjoy sama cowok gedongan macam Rush. Kamu nggak usah takut , aku nggak marah kok ?” kata kata Ice begitu lembutnya, lantaran dia tidak ingin cewek dekatnya yang anak gaul dan super kaya itu jad sakit hati, lantaran dia menggapai cinta Rush.
“Jujur saja Ice, kamu nggak naksir sama Rush, kan ?” Tanya Irene sembari berjalan menuju kelas mereka.
“Aduh Irene, kita kan berteman sejak SMP, kapan kamu tahu aku bo’ong. Apalagi kalau masalah do’i. Aku seneng lho Ir, klo kamu juga enjoy sama Rush!”
“Bantu aku ya Ir, aku ngebet sama.Rush. Eh…dia malah ngebet sama kamu, aku tidak ingin Rush jatuh ke tangan cewek lainnya “
“Nggak usah la yao, nanti kamu cemburu “ Ice segera menyiapkan buku Bahasa Ingrisnya. Karena Pak Johan yang kaya Arjuna itu sudah berdiri di depan mereka.
“Ice, kamu mau jadi pacarnya Pak Johan, ganteng lho Ice !”
“Ngaco kamu ?”
“Tapi Ice, kalau aku perhatikan Pak Johan juga ganteng Ice !. Banyak lho temen temen yang naksir dia, tapi semuanya takut dekat sama “guru yang kaya Roy Marten itu”. Tapi kayanya dia naksir kamu juga Ice ?. Pernah main ke rumahmu, Ice ?’ Mulut Irene yang bawel itu masih saja meluncurkan oongan yang ceplas ceplos, meski Pak Johan sudah mulai mengajar mereka.
Sementara itu bidadari bidadari kelas XII, belum siap banget memasang telinga mereka untuk belajar Bahasa Inggris. Bahkan sebagian dari mereka malah asyik ngrumpi membincangkan penampilan Sang Roy Marten yang mengenakan kemeja bergaris merah biru dengan lengan panjang. Tapi masih saja guru ganteng itu memasang wajah yang angker, meski kadang kadang melempar pendangan ke arah Ice Girl.

Wajah Guru Arjuna itu menjadi merah padam kala anak anak bengal itu masih saja ribut. Sementara itu Irene segera melayang terbang ke angan, bertemu dengan Rush yang membawakan lagu lagu cinta, seperti Sharu Khan yang sedang merayu cewek pujaannya itu. Sebentar sebentar dia jatuh di pelukan Rush dan sebentar sebentar pula bibir yang membarakan De’Amour itu saling bertemu.

Ice tetap saja belum mampu bersikap setegar karang di lautan, bapaknya yang berkorban segalanya untuk ibu, dia dan adik adiknya belum terdengar kabarnya. Apalagi bila dia ingat nasib yang banting tulang menjual nasi pecel di depan rumah, serta manja adik adiknya yang merindukan kepulangan bapaknya. Ah, mengapa aku tidak seperti Irene. Angela, Ririn dan cewek lainnya yang begitu happy. Ah mana mungkin aku bisa menghias senyuman pada mereka, cowok yang memburuku. Meski aku tahu, Rush, Gagah, Pak Johan dan lainnya berusaha mendekatiku, tapi aku sendiri tidak tahu di mana aku simpan sebongkah hati ini.

Sayup sayup dan semakin keras, mereka berdua mendengar nama mereka dipanggil Pak Johan, sehingga mereka kembali lagi ke kelas mereka setelah mereka berkelana dari sudut ke sudut lamunan mereka.

“Sekarang saja kau Irene dan Restu !. Cepat keluar. Kamu berdua menghadap BP. Pak Guru tidak mau mengajar kalian yang kerjaanya hanya melamun. Curhatlah kamu pada BP sepuas puas kamu. Kelas bukan tempat untuk melamun, cepat kamu berdua ke luar kelas “

“Maaf Pak !, tapi apa salah kami berdua ?’ Irene yang punya karakter suka konyol menjadi uring-uringan, megapa dia berdua diusir dari kelas, padahal dari awal mereka berdua tidak membuat gaduh.
“Pokoknya bapak minta kamu berdua menghadap BP, disana nanti akan dijelaskan salah kamu itu apa “

Meski hati Irena masih menyimpan rasa dongkol, kini dia dan Ice ngeloyor ke ruang BP untuk ketemu Bu Shanti yang dikenal siswa sebagai guru BP yang bijak dan lembut. Pada guru yang cantik dn anggun inilah dia sering curhat, dan dari Bu Shanti inilah Ice Girls tahu bahwa Pak Johan sangat menaruh hati denganya, bila Ice lulus dari SMA kelak Pak Johan betul betul berniat untuk menikahi gadis Gunung Es ini. Ice hanya memberikan jawaban dengan sebuah senyuman yang tipis, yang sulit untuk diartikan oleh
Bu Shanti. Bu Sahntipun tahu senyuman inilah yang menjadi cirri khusus Ice Girls, tapi terbukti banyak merobohkan hati pria.
***

“Siang Bu Shanti !, aku disuruh Pak Johan menghadap Ibu, padahal kami belum tahu apa salah kami “
“Begini, ya Irene, kalian berdua sudah dikenal semua guru, kalau di kelas suka ngelamun, kadang ngomog sendiri, kadang tidur. Dan tadi Pak Johanpun lapor dengan Bu Shanti. Kalau kalian suka ngaco di kelas, tahu salah kalian ?”

“Tapi kalau ngelamun, apa nggak boleh Bu ?” Tanya Irena dengan pipi masih kemerahan lantaran masih menyimpan seribu kedongkolan.
“Siapa yang melarang ?. Melamun, adalah hak kamu ?. Tapi kami semua khawatir, mengapa kamu semua melamun. Lebih baik masalah yang ada disharingkan dengan guru, jadi kami bisa memberikan way out-nya. Cobalah Irene, sharing denga Bu Shanti,ada masalah apa ?”. Bu Shanti dengan lembutnya membimbing Irene, cewek kaya yang kolokan itu, yang mudah uring uringan dan sering membuat marah guru guru.

“Ah, nggak kok Bu, Cuma masalah anak anak saja kok Bu !”
“Bener ?”
“Bener, Bu ?”
“Baiklah, kamu bisa ke kelas sekarang. Hanya Restu bisa tinggal sebentar?’

Restu atau “The Ice Girl” hanya mengangguk kecil, dan kini Bu Shanti sudah duduk disebelah Ice dengan sorot mata dan senyuman yang lembut.
“Restu ?, kalau Irene hanya masalah anak anak remaja saja. Tapi kalau masalah kamu, memang banyak menarik perhatian guru guru. Kamu dikenal oleh guru sebagai siswa yang baik dan santun, semua masalah yang kamu alami, bukan salah siapa siapa, tapi keadaan memang harus seperti itu. Belajar keras agar kamu lulus dulu, setidak tidaknya kamu sudah sedikit mengatasi masalahmu “
“Baik, Bu ?”
“Tentang masalah keluargamu, jangan kamu berpikir terlalu serius !”
“Maaf, Bu !, tapi aku nggak bisa Bu !. Bapak entah nasibnya bagaimana, Ibu terlalu keras membanting tulang. Sedangkan adik adiku sering menanyakan bapak. Kalu dulu bapak bisa kontak lewat Hp dengan Burhan dan Ikhsan yang masih kecil. Tapi sekarang, ah entah, Bu ?”

“Restu ?, masalah bapak kamu Ibu yakin, nanti juga akan ngirim kabar. Kamu kan tahu keadaan di Yaman sedang kacau, mungkin karena hanya gangguan komunikasi saja. Sedangkan masalah lainnya, adalah masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan ini,
Selama manusia masih berniat untuk memperbaiki nasibya, Tuhanpun akan memberikan jalan.”

“Terimakasih, nasehatnya Bu ?”
“Restu !, seperti yang Ibu katakana dulu. Pak Johan mengerti semua dengan keadaanmu, dan diapun tidak main main dengan niatnya. Dia sudah cerita sama Ibu, diapun berniat menyekolahkan kamu sampai perguruan tinggi. Bu Shanti perhatikan, kamu jauh lebih dewasa dengan gadia lain yang seusiamu, mungkin karena kamu sudah terbiasa dengan masalah dalam kehidupan ini. Maka cobalah kau mengerti, kalau kamu belum siap dengan ini semua, setidak tidaknya kamupun bisa mempertimbangkan masalah ini. Jelas sampai kanapanpun Pak Johan akan menunggumu, hingga kamu siap, Restu !, jangan sakit hati ya !”
“Ah, nggak Bu, Restu belum bisa menjawab Bu, entahlah…?”
“Sekarang kembalilah ke kelas !”

The Ice Girls belum mengerti betul, bagaimana dia harus bersikap dalam menghadapi ini semua. Dari balik awan, dia tahu, wajah Pak Johan mengintip dengan kumis tipis melintang, sekali sekali diapun menatap wajah itu di balik cakrawala dan wajah itupun tersenyum manis. Diapun tidak tahu mengapa dia kini menyambut senyuman itu. Apakah Gunung Es di hatinya telah mulai mencair, diapun tidak tahu.

***

Kamis, 07 April 2011

Bumi Kini Telah Uzur

Bilai bumi damai, Artic yang berwarna kelabu
Akan memberikan sebagian Ozonya…untuk merias Glasier di Antartika
Yang menjerit pilu….kita tak kentara mengenalnya,
Dan jangan kau lupakan perawan desa Archipelago
Yang dalam kemasan bajunya, kau nyanyikan’Rayuan Pulau Kelapa”
Bila mereka bersatu dalam pusaran senyum yang ramah
Mungkin akan ada kunjungan El Nino dengan nampan bunga
Yang berkain beludru, bukan dari bulu ulat

Dalam keranjang rotan, berbingkai Khatulistiwa
Yang dijinjing Ibu Pertiwi yang bermata sembab
Lantaran terbengkelai sedari pagi, karena ditinggal…..
Anak anak bungsunya bermain di padang ilalang
Lantas seharusnya kau tundukan saja muka yang bergaris
Keriput menghitam karena telah diterkam ganasnya
“wedus gembel” Merapi persembahan dari bibir neraka

Biar saja sang gagah Himalaya menabur benih kesucianya
di atmosfer…hingga melintaslah kereta biru senja, untuk remaja
yang kasmaran dalam kidung hidup tentram
Atau kala Toba mengenakan Ulos dengan titian pelangi
Agar angina kembara membawa benih padi, jagung dan kedelai
Hingga abang becak dan penjual es menjadi kenyang perutnya

Namun baru saja Fukushima menggertakan taringnya
Merobek kromosom yang ada di ketiak
Setiap helai nafas di pinggiran melambainya daun nyiur
Atau kita pekikan desah protes
Pada laut yang menghitam, tak terdengar lagi Asmarandhana
Tuna, lomba lomba atau jajanan pagi bagi camar

Kita usung bumi dalam tangan kanan kita
Biarkan tangan kiri menyelinap dalam pakaian kita
Yang kumal tetapi masih menyimpan mawar dan kenanga
Lantas kita pagut dengan sinar mata yang nanar….
Hentikan dan basuhlah dengan air dari Telaga Sarangan
Sehingga anak cucu kita, masih mampu melihat
Menghijaunya Sidoarjo, dengan kerlingan mata Lumpur Panas
Yang lebih berprosa dan sajak tentang Serambi Mekah
Bukit Barisan, Pegunungan Kidul, Gunung Agung dan Tambora

Aku hanya berlengan separo nafas
Dengan legam di sana sini
Karena keganasan hidup dan atmosfer
Tak mampu menuai anyaman atmosfer
Yang berisi pekarangan penuh ubi, singkong dan palawija
Yang sering dilahat Genderuwo yang datang dengan pesta petir
Berkuku durjana dengan sorot mata tajam seperti mata koruptor
Berpakaian penuh warna, karena telah hilang hatinya
Jangan kau pandangi dengan dada penuh kata Tanya
Tapi semaikan kidung suci untuk Sang Penjaga Langit

Semarang, April 8, 2011-Pondok Sastra HASTI SEMARANG

Senin, 28 Maret 2011

Bayang Bayang Malam

Lampu hias di jalan sepanjang Kota Semarang telah mengguratkan wajah kota ini menjadi tambah moncer, bagaikan gadis gadis penari di latar Prambanan kala bulan purnama tiba, meski kerlip sinarnya tidak mampu meyaingi sang rembulan yang berdandan lebih menantang, dengan kuning sinarnya menambah terangnya lorong lorong Kota Semarang di malam itu. Eksotis malam itu telah sanggup memagutkan remaja remaja yang sedang merajut hati, untuk sekedar menuangkan komposisi warna amour dalam kanvas hidup.

Namun malam ini bagi Rinjani tak lebih hanya malam yang bertabur bayang bayang hitam dari hantu hantu entah datang dari penjuru mana. Sehingga warna malamnya hanya hitam kelam, tak satupun berkas sinar rembulan yang menggapai bernnda rumahnya, sejak perpisahan dia dengan Albert. Hati rinjani kini tak ubahnya media untuk merekam saat saat mereka berdua dipeluk dewi asmara. Meski mereka kala itu saling menyayangi, menghormati serta saling mengerti pribadi masing masing. Namun Albert juga tetap manusia biasa.

Malam bertambah menampakan sifatnya yang egois, tetap saja patuh dengan kendaraan waktu yang merambat dari sisi ke sisi, sementara beranda rumahnya kini masih tetap membujur dingin. Hanya sebentar sebentar Rinjani hinggap terkulai dengan suara sauara hatinya sendiri, yang kadang lebih tajam dai belati yang menusuk dalam dalam jantungnya. Segera Rinjani kumpulkan kekuatan untuk menikam suara hatinya dan menelikungnya. Namun lama kelamaan dia sendiri tifsak msmpu melawanya. Karena begitu kuatnya mmenerang anganya.

Barngkali saja karena malam minggu ini dia hanya sendiri di beranda rumahnya, sementara rembulan kini telah mengerutkan wajahnya, dan awan hitam terus saja melingkungi. Maka suara cegkerik dari kebun sebelah rumah setengah tembok yang mau menerima kegetiran hati putri lajang yang anggun itu. Ditambah dengan desah suara daun pisang yang terirama angin malam. Rinjani kini terperosok jauh dengn suara nhatinya

“Lantas untuk apa kamu menyendiri di sini. Sementara Albert kini bercumbu dengan Netty di pavilyun cintanya”. Gemetar seluruh tubuh Rinjani mendengar suara hatinya yang tak mampu ditepisnya.

“Dunia yang aku rengkuh, tidak sebatas Kota Semarang saja, tapi dunia terhampar dari mulai Artic hingga Antartika, dari mulai Mount Everest hingga Mahameru. Kenapa mesti Abert yang harus disisiku ?”

“Tapi mengapa engkau malam ini terkulai lesu, kenapa pula kau bohongi malam jalang ini ?, kamu merindukan Albert kan ?”

Rinjani tersentak kaget, mendengar halilintar yang memecut hati yang sedang meradang pilu itu. Nama yang disebut hatinya sendiri, kini bagaikan bara api yang menguliti seluruh hatinya dan menyalakan bara amarah. Nama itu beberapa hari lalu, ia rasakan bagaikan seribu keindahan yang mewarnai prosa hidupnya. Namun kini nama itu bagaikan bara dari gunung Merapi yang hendak menelan hidup hidup seluruh tubuhnya yang tidak seberapa kuatnya.

“Hai !, hati yang sedalam laut Atlantik, jangan kau sebut lagi nama Albert. Enyahlah kau sejauh jauhnya. Biarkan malam jalang ini menemaniku. Lebih baik aku terpagut dengan kelamnya malam ini, ketimbang aku harus dekat dengan durjana itu”

Baik Rinjani dan malam jalang itu kini sendiri sendiri saling memagut sepi di sisi yang brsebrangan. Namun masih sekali sekali suara angin malam yang jalang itu menyebut nama Raymond. Cowok ganteng, berkulit sawo matang agak gelap dan bertubuh atletis. cowok ini memang piawai untuk mejeng, saat Albert masih di sisinya, diapun sering terkesima melihat sang actor yang senang berkaca mata hitam mirip Tom Cruise. Tapi bagi Rinjani kala itu tidak pernah berniat untuk membuat sayatan luka di hati Albert, yang kadang bersikap seperti gunung es namun kadamg pula dia melebihi adegan sinetron picisan kalau sedang mabok kasmaran.

Desir angin malam bertambah kuat, dentang jam dinding di ruang tamu memecut udara malam hingga sebelas kali. Angin malam kini lebih lantang lagi menyebut nama Raymond.

“Rinjani !, Raymond malam ini merindukanmu, berdandanlah seperti bulu burung merak yang meregangkan seribu warna. Hiasi senyumanmu dengan hiasan penuh rasa simpatik pada pria ganteng itu. Desiran hati kamu sering mengakui kalau dia lebih pinter mejeng ketimbang Albert?”

“Tapi aku bukan cewek murahan yang gampang jatuh kepelukan pria, aku memang kesepian. Betapa kejamnya kau hai malam, kejalanganmu semakin dalam menghimpitku”

Sementara jalangnya malam diam membisu, bahkan sekarang menebar kembang setaman warna warni yang semerbak harum memenuhi beranda hati Rinjani sang bidadari malam yang kehilangan sayap sayap. Maka malampun lantas meminjami sayap yang berwarna merah jambum, hingga membuat Rinjani mampu terbang menuju pintu langit menjumpai Sang Dewi Asmara, yang telah siap membukakan buku harian sang bidadari malam kala masih bersanding dengan Albert.

Lembar demi lembar buku harian terbaca Rinjani, hingga akhirnya pada bagian akhir buku harian, kala dia berjumpa dengan Albert yang terakhir kali, malam minggu yang lalu di Great Zone Coffe di tengah Kota Semarang. Rinjani kala itu sempat kagum dengan dirinya sendiri yang tegar berhadapan dengan durjana cintanya, yang telah menjual cinta gombalnya pada Netty.

Perpisahan memang harus terjadi antara mereka bedua, disaksikan ornament Great Zone Coffe yang flamboyant yang masih menyisakan aura De’Amour. Namun Rinjani telah kukuh hatinya, sekuat tenaga dia harus mampu menepiskan jerat jerat sutera yang terus ditebarkan Albert, namun bagi Rinjani jerat itu hanya belati tajam yang akan mengoyak beranda hatinya.

Kala harmoni malam jalang telah menyuguhkan kidung tengah malam, sayap sayap Rinjani kembali melipat dan luruh di beranda rumahnya, diapun segera dengan perlahan mencabut belati belati yang mengkoyak hatinya. Buku harian yang bersampul pelangi jingga segera ditutupnya, senyum manis Albert masih tertera dengan samara di sampul belakangnya itu. Rinjani kembali duduk terkulai di korsi rotan beranda rumahnya, angina malam jalang yang dingin mulai merambah ke sumsum tulangnya. Namun kejalangan malam itu, kembali mendekati dan mulai menjamah hati Rinjani dengan bahasa malam.

“Bukankah Raymaond yang ganteng itu bukan type cowok penjaja cinta. Rinjani. Raymond yang dulu menjadi sasaran mata kamu yang nakal, seakan akan kau berniat menelan dia hidup hidup. Bukankah kau hanya tergoda dengan mobil mewah Albert, gaya hidup gokil Albert “

Rinjani menjerit dan sekuat hati berniat menepis godaan malam jalang, namun semakin keras Rinjani memekik semakin lantang malam jalang menelikung hatinya.

“Bukankah kau duku menolak Raymond karena tidak mampu memenuhi seleramu, dia hanya pakai sepeda motor untuk kuliah. Sementara sang bunga kampus dan bidadari malam harus duduk di kursi empuk yang mewah ? Apa beda Raymond dan Albert, Rinjani !!!”

Rinjani sudah tidak mampu berkilah lagi, suara hatinya telah redup bahkan telah tersumbat oleh sikapnya sendiri. Namun masih ada satu dua bisikan yang datang dari hatinya yang paling dalam “ Raymond datanglah, akan aku berikan sisa sisa hariku hingga kita mampu bermandikan embun dini hari yang berharum bunga De’Amour “. Seketika itu riuh rendah suara gumam jalangnya malam pekat telah memenuhi seluruh rumahnya, pekarangan dan sisi hati Rinjani. Rinjani kinipun terbang menerjang bintang di langit untuk menerangi hari hari yang akan datang.

Jumat, 04 Maret 2011

Biar Kuselipkan Dalam Doa


Dahulu pernah aku katakan…….
Bahwa lembayung senja akan selalu menjauh..
Sembari aku semai semua tanaman sayur..
Berdaun anggrek bulan dan bertangkai mawar biru…
Dapatkah kau selipkan…fajar, kala melati berembun pagi

Namun tetap saja aku sampaikan kala lidah telah kelu
Nyanyian itik dan unggas telah berteriak parau…

Aku telah membawakan seutas “kanvas dengan warna”
merah jambu, untuk kau lukis dendang semua tautan
di antara “ilalang” bertabur warna sorga

Apa harus lengkap aku tuliskan semua bait syair
Untuk sebuah nyanyian jiwa, yang hendak meraih bukit hidup
dalam rajutan warna langit
Kala masih ada guratan awan hitam….lantas
Semua cakrawala telah memalingkan…
Lantaran tiada hari yang bertanam halaman hidup

Jangan kau terburu untuk meruntuhkan langit
Bila ruang dadamu masih kau isi sayatan luka
Yang kau kerlingkan sorot matamu…..
Pada tulang igaku yang mulai rapuh….masihkah ada..?
Sebuah nampan beralas sutera merah jambu
Dengan buah segar menawan….

Sehingga semua belalang pada padang gersang
Berteriak lantang, lantaran telah dekatnya jarak hati
Antara kekesalan dan rumah bambu di tepi telaga
Yang kau pagari dengan tanaman pandan,
Dapatkah kau ceritakan lagi kisah cinta
Antara bidadari Supraba dengan Arjuna

Mengapa engkau terbungkam
Selamat pagi, namun tetap terselip dalam do’a

Semarang, 5 Maret 2011(PONDOK SASTRA HASTI)

Sabtu, 26 Februari 2011

Bu Guru D i Tengah Hutan Pinus


Kadarwasih berkali kali mengusap tas hitamnya yang ditebari debu-debu yang hinggap di kulit hitam tasnya, hingga kelihatan kumal. Lantaran debu debu itu masih saja terus beterbangan terbawa angin kemarau yang ditiupkan dari Gunung Slamet, setelah debu debu nakal itu menjelajahi hutan hutan pinus yang mulai tandus. Apalagi di tengah hari, saat matahari benar benar lurus di atas kepala, debu itu semakin liar menempel apa saja sesukanya. Seteguk air teh dingin yang terakhir kini membasahi tenggorokanya. Nafas kelelahan kembali terdengar dari bibir guru sekolah dasar yang terpencil itu. Setelah sehari di bawah udara yang gerah, dia masih setia menyelipkan setetes pengabdian kepada bangsa ini, dengan membimbing anak anak didiknya yang berkubang dengan kesusahan hidup di dusun Sirampok, Kabupaten Brebes.

Kadang dia merenung, meski dia masih di meja kerjanya yang sudah mulai kusam warnanya, mungkinkah dia harus kembali ke Semarang yang segalanya lebih menjanjikan ketimbang hanya terselip di tengah pohon pinus dan masyarakat desa yang hanya memiliki selembar hidup, tanpa guratan warna warni eksotisnya hidup. Ataukah memang mereka tidak butuh itu semua.

Siang itu memang udara begitu panasnya, Kadarwasih menjadi bertambah heran. Mengapa di kaki Gunung Slamet yang dulunya sejuk kini mulai terasa gerah sejak beberapa tahun belakangan ini. Ataukah karena manusia sudah tidak mampu menjadi sahabat setia dengan bumi, yang justru telah menjadi rumah kehidupanya sendiri. Dalam hatinya sering dia berbisik, mengapa tidak mulai sekarang anak anaknya diperkenalkan dengan ras cinta pada lingkunganya, kepedulian terhadap sesama, penuh tanggung jawab dan disiplin.

Ruang guru kini makin bertambah lengang, setelah semua anak anaknya pulang ke rumah masing masing. Hanya tiupan angin kemarau yang meriuhkan daun daun pinus. Yang serempak mendendangkan kidung alam tanpa nada dan birama. Kadarwasih tambah bertambah sepi hatinya. Lambat laun bayang bapak, ibu serta saudara saudaranya mulai menguat di hatinya, kini bagaikan gemerincing logam yang saling beradu terdengar dekat dengan telinganya. Tawa canda mereka kala pagi hari sebelum berangkat ke sekolah masing masing dan malam hari sebelum semua beranjak ke peraduan.

Kadarwasih dengan sayap sayapnya kini terbang melintasi jarak dan waktu, yang larut dalam dunia lamunan. Hingga sebuah usapan tangan halus terasa menyentuh pundaknya. Dia segera melipat sayap sayapnya dan kembali ke ruang guru yang bertambah berdebu.

“Memang Sirampok dusun yang sepi, ya Bu ?”

“Oh Bu Endang, saya tidak tahu kedatangan ibu, tahu tahu sudah di depan saya”

“Ya, karena Bu Darsih sedang asik melamun, apa kangen dengan yang di Semarang to Bu ?”

“Ah, sekarang sudah tidak rindu lagi, Bu. Tapi maklum saja ya Bu !, saya di sini baru bertugas belum genap satu tahun. Kadang jading seperti tadi,kenangan hidup di tengah saudara saudara saya dan lebih lebih sama mama sering datang. Tapi nanti juga akan hilang, Bu ?”

“ Itulah tantangan seorang pendidik yang bertumpu pada perasaan moral, demi anak anak kita yang sudah tidak punya masa depan lagi. Kita rela bertugas di daerah terpencil jauh dari keluarga. Ini sudah rame dusun Sirampok dibanding saat pertama saya datang di sini, tahun 1974 silam. Saat itu belum ada penerangan listrik, jalanya masih tanah dan masih banyak anak anak yang tidak mau sekolah”.

“Gimana perasaan Bu Endang saat itu ?’

“Wah seperti Bu Darsih saat ini, aku meninggalkan Klaten dengan tetesan air mata kesedihan. Apalagi saat iru aku baru saja lulus SPG dan langsung ditempatkan di daerah terpencil seperti ini. Bayngkan saja Bu, usia saya saat itu baru 17 tahun, masih berat meninggalkan emak dan bapak di desa. Tapi itulah pendidik !”

“Apa Bu Endang pernah mengajukan pindah ke Klaten ?”

“Awal awalnya memang sering, tapi setelah aku berumah tangga. Semua niat untuk kembali ke Klaten menjadi hilang. Menjadi manusia yang hidup bersama dengan keluarga yang saling mencintai adalah kebagian yang kita dambakan semua, apalagi bagi pendidik seperti kita yang bertugas mencerdaskan masyarakat. Sungguh suatu makna hidup yang berati “

Kadarwasih hanya diam sejenak, anganya berusaha menelanjangi hatinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti Bu Endang kepala sekolahnya, yang begitu mampu memaknai hidup sebagai pendidik di daerah terpencil. Ingin rasanya dia membunuh rasa sepi dan berkonsentrasi pada tugas memberi pembelajaran

Namun wajah Hardiman teman sekolah di SMP dulu masih saja terus menempel di benang otaknya. Tautan hati yang berjalan lebih dari 4 tahun serasa begiitu kuat bersimpul di hatinya. Hardiman kini memilih menjadi seorang pengusaha di Kota Jakarta, yang menurut surat terakhir yang dia terima Hardiman telah sukses dan mengajaknya ke Jakarta untuk bersama mengarungi bahtera kehidupan, ketimbang jadi guru SD di daerah terpencil. Kakalutan kina menghinggapi selembar hatinya, dalam keadaan terjepit seperti itu dia harus memilih jawaban ya apa tidak. Namun ini adalah realita, realita dimana dia harus menjadi pendidik yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sebuah realita yang dia rencanakan sejak lulus SMP untuk menjadi seorang pendidik.

“Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku, Bu ?” sela Kadarwasih memecah keheningan.

“Tentunya masalah pribadi kan Bu ?, kalau masalah dinas sepenuhnya aku Bantu, Bu ?”

“Betul Bu, tapi meski ini masalah pribadi, Bu Endang tidak merasa terganggukan kalau aku mau curhat ?”

“Oh sama sekali tidak Bu Darsih ?”

Matahari hampir berada tepat di atas atap sekolah, angin gunung dan debu yang bersuka ria selalu bercanda berkejaran dengan angin yang cukup cepat langkahnya. Mereka tidak pernah memerdulikan apa yang didera oleh manusia, termasuk pada guru yang masih gadis dan berperawakan tinggi semampai serta berwajah ayu, yang kini sedang didera kebimbangan hati.

“Yang paling berat bagi saya adalah menentukan pilihan, saya harus ke Jakarta menyusul seseorang yang saya cintai ataukah saya tetap di sini. Inilah yang selama ini membuat saya bimbang, Bu ?”. Terdengar dengusan nafas panjang dari Bu Endang kepala sekolah yang beberapa tahun lagi akan pensiun.

“Maafkan aku ya Bu, bila ini masalah privasinya ibu, Tapi aku juga pernah mengalami hal semacam itu. Tapi waktu itu saya memilh dua duanya. Saat kami masih pengantin baru, kegiatan kami hanya hilir mudik Sirampog dan Klaten. Saya sarankan Bu Darsih memilih kedua jalan”

“Memang suatu pilihan yang berat bgi aku, sebenarnya sering aku meminta Hardiman seperti itu Bu, tapi karena ambisinya yang besar untuk sukses di Jakarta dia tidak mau mengalah. Dia memaksaku untuk ke Jakarta dan saya belum memberi jawaban”

‘Huuh..kalau gitu bisa repot, Bu !”
“Betul, Bu. Dia orangnya sangat teguh pada pendirianya dan memiliki hati yang keras, selama ini saya hanya mengalah dan mengalah.”

“Betul Bu, jangan membuat keputusan yang gegabah. Tapi pada saatnya nanti Bu Darsih harus mampu membuat putusan yang berani. Saya hanya menyarankan bahwa kebahagian itu bukan datang dari seseorang, tapi dari Tuhan”

Baru kali ini Bu Endang menyaksikan senyuman bu guru yang cantik di depanya, sejak dari pagi tadi. Bu Endangpun membalas senyuman itu dengan perasaan hati yang tersentuh, meski dia yakin Kadarwasih adalah figure prbadi yang tangguh, terbukti dia selama ini bersedia bertugas di daerah terpencil. Bu Endang masih saja menyodorkan senyuman simpatik meski dia bergegas untuk segera pulang, karena hari sudah cukup siang.
***
Hujan sekali sekali sudah mul;ai turun membasahi lereng Gunung Slamet. Daun daun pinus dan semak kini mulai dibasahi air hujan. Beberapa diantaranya yang dahulu mengering kini mulai bersemi lagi, Jalan jalan desa yang kini beraspal sudah tak berdebu lagi. Beberapa petani mulai membersihkan ladangnya dari semak semak untuk bertanam padi.

Memang sudah seharusnya Kadarwasih yang mendambakan hidup berprofesi sebagai pendidik, apalagi berstatus PNS, perlahan lahan mampu mengarungi segala apa yang dia harus geluti. Mulai dari alam lingkungan tempat dia mengajar, anank anak peserta didik yang tiap hari dibimbingnya, masyarakat sekitarnya dan terlebih-lebih terhadap rekan rekan seprofesi, yang tiap hari berperan terhadap dirinya guna menemukan Kadarwasih yang sebenarnya. Hingga akhirnya bayangan Hardiman, dan bukan itu saja bayangan untuk tinggal di Jakarta telah perlahan lahan telah sirna,

Tidak terasa kemudian musimpun telah berganti, silih berganti berkejaran dengan pergantian siang dan malam. Sebagaimana yang sering dialami Kadarwasih dalam menapaki lamunanya antara menitipkan hidupnya di pangkuan Hardiman di Jakarta atau menggapai masa depan di kaki Gungnug Slamet. Hingga akhirnya Kadarwasih bertambah dewsa dan berbesar hati, untuk menghadapi segala resiko hidup sebagai seorang pendidik. Bukankah semua teman sekantornya, berasal dari kota kota di Jawa Tengah yang jauh dari tempat mengajarnya kini.

Mengapa dia harus cengeng, mengapa kadang kata hati lebih menuntutya untuk bersifat rapuh. Namun Kadarwasih adalah seorang manusia apalagi wanita yang belum banyak makan garam. Perasaan bimbang dan bersedih kembali memenuhi ruang batinya, saat dia menerima surat bersampul putih dengan tulisan nama dan alamat dari coretan tangan Hardiman yang terkesan ditulis dengan perasaan kecewa. Secara perlahan dia buka sampiul tersebuit, seketika nyanyian kutilang, jalak, kenari dan alunan suara alam berenti sejenak, sementara riuh daun paku yang bergesek di terpa angina menjadi diam sesaat pula.

Dari kedua mata yang bening itu, mulailah menitik air mata kesedihan dan kedua tanganya menjadi tergetar setelah membaca isi surat itu.

“Aku tidak menghendaki ini terjadi pada diri kita, namun apa artinya sebuah kasih sayang tanpa adanya kehadiranmu di sisiku. Aku mencoba menggapai kehidupan yang sarat dengan tantangan di kota yang buas ini demi kita. Namun tiadapun kamu bergeming barang sesaat untuk memenuhi permintaanku demi masa depan kita.

Sehingga inilah yang terpaksa aku lakukan agar kita mampu membenahi masa depan kita sendiri sendiri, tanpa adanya kehadiran kita berdua dalam satu pelaminan. Selamat Berbahagia”

Berkali kali tulisan dari Hardiman ini dia baca, hingga yakin betul apa yang seharusnya dia sikapi, sebuah perpisahan harus dia alami dengan perasaan yang terguncang Jauh dari lubuk hatinya yag paling dalam, timbul sesuatu yang mampu menepiskan kegontaian hatinya itu, yaitu nasehat Bu Endang yang mengatakan bahwa kebahagian bukan dari manusia datangnya, tapi dari yang Maha Kuasa. Kata kata itu kini menjadi seteguk air dingin yang mampu membasahi jiwanya yang sedang meradangkan bara asmara.
***

Jumat, 25 Februari 2011

Aku Hanya Mampu Berteriak

• Teriakan untuk Kasihku

Biar aku ikatkan suara hatiku pada seutas tali….
Yang aku tautkan pada dinding tebing
Dengan dendam di mata dan merah rona yang menghimpitku
Tak perduli bidadari malam mencibirkan bibir bunganya..
Aku telah terlanjur menitipkan tubuh ini, pada….
keremangan dan kegelapan malam,

Jangan kau sombongkan dan perlihatkan tentang…
Yang kau pergunakan untuk melipat hari hari
Di ketiakmu………
Dengan rajutan fatamorgana dan rajutan kembang halus
Yang kuning keemasan dari keranjang sinar mentari
Bukankah kau hanya debu, bila sudah
Meluruh warna pelangi …..

Akankah hari hari kau jadikan tangga
Lantas kau suruh mereka untuk bersyahwat dengan pelangi
Jangan kau harap mendapatkan …bibir langit
Lantas kau usung pula malam yang merenda,,,bunga bakung
Dan anyaman sutera yang pernah aku sodorkan

Aku coba pula mengunci jendela kamar.
Agar anginpun mau menelanjangi dirinya sendiri
Setelah menerjang malam yang belum mengenal arah
Sementara cakrawala telah aku benahi dengan
Sejuta lampu erotis dan dandanan taman bunga

Mengapa pula tidak kau titipkan
Sebuah sorot mata penuh dengan perjalanan menempuh……..
Mahameru yang digurati lekuk negeri dongeng
Kasihku, mampukah kau pegang erat sebelah tanganmu
Agar kau kokoh menerjang tabir hidup dank au jinjing
Pada sebelah tangan lainnya.

• Teriakan untuk Sang Negeri

Rajutan akar rotan cukup kokoh untuk menjadi kaitan
Saat ibu mengayunku di batang pohon belimbing
Rambut suteranya berderai diterkam angina pasat, yang membawa….
butir hujan dan pesan……

agar seteguk air tawar, jangan kau tinggalkan
hingga basah tenggorokan ini, yang merusak pagar bunga mawar
yang mengelilingi negeri dongeng di serambi sorga
entah karena kemarau yang telah buta matanya
menghempas semua dada yang dulunya kokoh,
membenamkan cangkul di semaian padi

Negeri ini telah dilingkungi batas langit
Yang bergigi tajam dan bernafas api dengan kerlingan mata tajam
Mendidihkan Bromo dan Merapi
Mana mungkin kita menitipkan sepotong tiwul untuk hidup
Bila semua kini bukan yang dulu lagi.

• Teriakan Lirih pada Tuhan

Tuhan, telah aku yakini, masih banyak hari
Yang kau taburkan pada semaian hidup manusia
Agar kami mau menjelang apa yang harus kami raih

Tuhan, telah aku dengar dari bahasa isyarat alam
Bahwa mutumanikam yang kau taburkan telah menanti di balik
Cakrawala negeri Archipelago ini
Namun kami telah memilih jalan lain
Yang tidak mungkin kami bertaut pada jalinan
Penuh misteri yang selama ini hanya berada di atas kepala kami

Tuhan, kiranya Engkau hanya sejenak
Menghiasi senyum di wajahMU

Semarang, 26 Pebruari 2011. PONDOK SASTRA HASTI

Selasa, 22 Februari 2011

Semua Nanti Kan Usai

“Sebuah Pesan Untuk Tiap …..ANAK BANGSA”


Bila hari masih saja berselingkuh dengan halimun pagi…
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidup…di negeri penuh dongeneg dan taman bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..

Kita yang masih, berlantai tanah di gubug bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi berharum anyelir.

Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…

Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar surgawi

Semarang, 22 Pebruari 2011, PONDOK SASTRA HASTI

Kamis, 06 Januari 2011

Kisah Tentang Negeri Tiwul

Entah memang kita pandai bermimpi…atau telah habis mimpi kita
Biar disemai saja dalam haribaan Archipelago
Yang bermanik Merapi, Krakatau atau Bromo,
Kita memang tidak pandai lagi, dalam merajut bunga bunga wangi
Dalam karangan yang bertepi Jaya Wijaya dan Semenanjung Malaka
Ataukah hanya deru dan debu prosa…..
Yang sarat dengan tema “kaki ilalang”, yang menepi…
Diantara buritan yang hendak mengencangkan layar
Melaju di birunya perdebatan kata hati……
Sang bunga bangsa yang telah lenyap separo hatinya

Kita hanya mampu belajar dari sesuap tiwul
Yang menyergap hidung, mulut dan tenggorokan kita
Hingga menyampakan tuang tulang iga yang kini
telah menusuk dada kita sendiri

Kita tidak lagi berseloroh dengan rayuan pulau kelapa
Kala anak anak kita bertelanjang kaki
Di pagi penuh halimun…….
Untuk menyuapi asa pada serumpun kembang taman
Ini adalah nanar pandang mata dengan lengan kecil
Meluruh, tak lagi mampu memaksakan kepalan tangan

Negeri ini telah bermandi air bunga surga
Saat bunga bangsa memerahkan mawar dengan darahnya sendiri
Melatipun memutihkan dinding hati mereka
Hingga kenanga dan anyelir tetap saja menerjangkan mereka
Melawan “water canon” milik begundal tanah sebrang
Merekapun menikmati tiwul…
Lantaran telah senyap rumah loji bertengger ornamen romawi
Lantran telah sunyi pula …melumat ilalang hingga berkeping

Tetapi tiwul yang berwarna lusuh dan kehitaman
Yang mampu membuat ilalang menjadi lunglai kakinya
Menatap jalan jalan reformasipun harus terhempas
Angina senja……
Lantas kepada siap lagi tiwul sebaiknya diramu
Dari singkong yang tak mengerti akan egoisme
Dari kelapa yang tetap menjulang di pohanya

Tiwulpun terasa masam
Tak lagi mampu menyanyikan kidung Sriwijaya
Samudra Pasai atau bahkan Majapahit
Selamat pagi negeri tiwul
(Semarang, 7 Januari 2011)
Penulis: Ir. Bambang Sukmadji Semarang

Jumat, 10 Desember 2010

"The Endess Love" Di Malam Tahun Baru

Terompet kertas dengan leher angsa pendek dan panjang dengan vatiasi warna yang kontras dijajakan sepanjang tepi jalan Malioboro, Jogja. Meski malam tahun baru kali ini masih kurang empat hari lagi. Lampu lampu jalan dengan pilar berarsitektur mataraman kini juga ikut berdandan eksotis, meski bekas debu debu Merapi sempat membuat warna pilarnya mengusam. Namun Jalan Malioboro tidak pernah sekalipun memperdulikan itu, dia lebih menyodorkan daya tarik pesta akhir tahun menyambut datangnya tahun baru. Malioboro laksana gadis yang sedang menyemai gairah cinta untuk kekasih hatinya yang bakal menjumpainya di malam tahun baru.

Dengan beralas sepatu cat dan berkaos kaki tebal warna coklat muda, Michel menapaki trotoar Malioboro pada malam hari ini. Meski dia harus meliak-liukan tubuhnya kesana kemari untuk menghindar benturan dengan meja pajangan souvenir khas Malioboro, namun semua tak mampu mencabut kepiluan yang sudah tertanam jauh di sumsum tulangnya.

puspa prasasti aji
“Selamat bahagia, Leila. Meski suatu pihan yang berat bagiku. Namun salah satu dari kita harus berani berkorban” Tangan Leila dipegangnya dengan erat, di tengah wajah Leila yang hanya mampu mengguratkan kebimbangan. Pertemuan mereka berdua memang terjadi di malam tahun baru 5 tahun lalu di Rotterdam Café di Malioboro. Sementara gerimis terus saja menyelimuti hati mereka berdua yang sedang tertusuk kepiluan. Namun anehnya hasrat cinta mereka berdua dan remaja remaja lainya yang memenuhi malam tahun baru kala itu, berhasil menghangatkan atmosfer malioboro.

Michel sengaja menapakan kakinya ke salah satu meja tempat 5 malam tahun baru yang lalu menjadi saksi pilu perpisahannya dengan Leila. Meja itu belum berpindah posisi meski lima tahun sudah ia tinggalkan. Belum pernah sekalipun dia menapakan kedua kakinya di Rotterdam Café ini, apalagi meja yang sanggup menghadirkan bayang Leila itu. Apalagi ornemen restoran itu sekarang berubah jauh dengan 5 tahun lalu, sekarang dipenuhi ornament dengan gaya western coboy, ditengah hangar bingar music country slowrock tempo dulu. Tak pelak lagi lagu The Green Green Grass, Boulevard terngiang ditelinganya.

Malam terus dengan egonya merambat menyambut saat saat pergantian tahun, udarapun terus bertambah menggigit tulang sumsum karena gerimis terus saja menawarkan siapa saja un tuk mencari kehangatan. Sebagian pengunjung café itu merasakan malam menjadi bertambah hangat dengan cumbu rayu dan buaian asmara dengan sang pujaan hati mereka. Hanya Michel saja yang terus merasakan jantung dan hatinya yang lepas dari rongga dadanya, kini sebuah lagu dari Elvys Presley “Are You Lone Some To Me” serasa berhasil menghadirkan Leila di sampingnya. Namun sebuah belaian tangan halus kini terasa menyentuh pundaknya, diapun menoleh kearah belakang dan sebuah senyum merayu dari seortang wanita penghibur café diberikan padanya.

“Maaf menganggu !, daripada melamun, kita nikmati saja malam tahun baru ini dengan dance !. Supaya malam ini terasa hangat. OK !” tangan halus wanita penghibur itu telah menarik pergelangan tangan kanan Mikhel.
2
“Oh, terimakasih. Aku lebih suka duduk saja disini sambil menikmati lagu jadul barat yang romantis”
“Kalau begitu boleh aku duduk menemani Mas malam ini”
“Oh tentu saja, silakan”. Mikhelpun menarik kursi yang ada disebelahnya agar sang wanita penghibur itu dapat leluasa duduk di sebelahnya.
“Terimakasih, sebaiknya kita ngobrol tentang apa Mas?. Atau Mas mau request lagu biar aku dampingi !”
“Trimakasih, panggil aku Mikhel saja, mau minum apa Mba ?”
“Sama dong !, kalau sama aku panggil saja Lisa, ah aku ngikut saja kamu mau minum apa”
Mikhel melewati malam saat saat menjelang berganti tahun dengan sejenak melepas kenangan terhadap Leila, meski Lisa hanya teman ngobrol saja, tapi karena dia gaul dan familiar terhadapnya, namun setidak tidaknya dia mampu menghibur hatinya yang terpagut sepi yang tiada henti dari tahun ke tahun. Apalagi sosok Lisa mirip dengan Leila, terbesit dalam benak Mikhel apa Leila kini menjelma menja di Lisa. Namun angan itu tertepis kala dia DJ Rotterdam Café mulai menyodorkan lagu lagu West Country yang lebih rancak.

“Mikhel, kamu kan suka nyanyi, ayo dong request lagu seperti beberapa waktu dulu !” sepotong kalimat terlepas begitu saja dari mulut Lisa, namun sanggup merontokan jantung dan hati Mikhel. Lantaran meski hanya sebuah pertanyaan, namun dia kini bukan berada di pub itu, angan dia menjadi melangkah surut kembali, kala dia dan Leila menyanyikan lagu “The Endless Love” di malam tyahun baru 5 tahun lalu. Mikhel kini berusaha meniti kembali kenangan itu, setidak tidaknya dari pertanyaan yang dilontarkan Lisa.
“Sorry Lis, mengapa kamu tahu aku dengan Leila request lagu disini dulu”
“Oh sorry, Mikhel. Kebetulan aku masih ingat saat kamu sama cewekmu menyanyikan lagu… ah.. aku sendiri lupa judulnya. Sorry Mikhel aku nggak control kata kataku?”
“Aku nggak tersinggung, Cuma memang kenangan itu begitu dalam bagi aku. Aku tidak menyangka kalau setelah Leila menyanyikan lagu itu, dia meminta suatu perpisahan. Karena suatu sebab dia harus married dengan dosen pembimbing skripsinya. Kini dia di mana aku tidak pernah tahu, aku sengaja ke pub ini hanya sekedar mengenang Leila kembali di tengah kesepian yang menyelimuti hatiku ini. Boleh aku tanya, mengapa kamu ingat kejadian itu”
“Saat Mbak Raras masih kerja disini dia sering cerita tentang kamu berdua”
3
“Siapa Mbak Raras ?”
“Dia teman Leila waktu di SMA dulu, Tapi kini dia tidak kerja disini lagi. Leila dulu sering main ke sini bertemu Mbak Raras, bahkan dia dulu sering menerima telepon dari Leila”
“Maaf Lisa, bukan aku sok seperti detektif swasta, tapi aku memang butuh kabar tentang Leila, meski hanya sebuah kabar saja aku sudah senang. Apa yang dikatakan Mba Raras tentang Leila sebelum dia pindah kerja”
“Leila minta doa dari Mbak Raras dan mohon maaf bila dia banyak bersalah dengan Mbak Raras”
“Ada apa dengan Leila ?” desak Mikhel pada Lisa, yang merasakan sesuatu layaknya dia menerima beban berat yang menindih semua rongga dadanya, jantungnya berdegu keras, serasa putaran nadi darahnya menjadi melonjak tak karuan.
“Maaf Mikhel, persisnya aku nggak tahu. Hanya Mbak Raras pernah cerita sama aku, kalau Leila mengidap penyakit kanker darah!”
“Kanker darah?, oh Leila di mana kamu sekarang ?”
“Maafkan aku Mikhel, aku membuatmu sedih ?”
“Tak apa Lisa, aku memang sengaja ingin menggali kenangan lama sebelum aku mencari pengganti Leila, aku tak ungkin terus memburu bayang Leila. Sedangkan aku putra tunggal. Mama papiku mendesaku untuk married secepatnya. Teruskan Lisa kabar apa lagi tentang Leila yang kamu tahu ?”
“Menjelang kepindahan Mbak Raras dari pub ini, dia sama sekali tidak lagi bicara masalah Leila. Namun dia suka bersedih bila ingat nasib Leila”
“Leila…Mengapa ?”
“Aku nggak tahu lagi, Mikhel ?, hanya kata Mba Raras dia masih menyimpan surat surat Leila di kamarnya”
“Terus sekarang suratnya di mana ?, apa sudah hilang ?. Tolonglah Lisa !, antarkan aku untuk bisa bertemu dengan Mbak Raras” untuk sekian kali, Mikhel mendesak Lisa untuk terus memburu bayang Leila, yang entah kemana setelah terhempas angin kembara yang tak pasti bertaut pada apapun.
“Kebetulan kamar Mba Raras sekarang aku tempati, dan surat surat itu masih ada !”
“Tunggu apa lagi, Lisa !. Sekarang juga antar aku ke kamarmu”
4
Mereka berdua kini melewati pintu bagian belakang pub itu, sesuatu dirasakan aneh oleh Mikhel saat Lisa merapatkan tubuhnya lebih rapat sambil menggandeng tangan Mikhel untuk berjalan melewati Malioboro menuju kamar Lisa, yang ternyata sebuah hotel berbintang. Berdesir sekali lagi perasaan aneh pada Mikhel, namun karena bayang Leila begitu kuatnya maka sementara itu keganjilan pada Lisa dia tepiskan.
“Inilah kamarku sekarang, Mikhel !”
puspa prasasti aji
“Oh sungguh bagus kamarmu. Lisa. Tapi mana surat itu, Lisa ?’
“Sabarlah dulu Mikhel sayang !, nanti aku berikan surat itu!”. Lisa segera merangkulkan kedua tanganya ke leher Mikhel, untuk mencium laki laki ganteng itu. Dengan penuh perasaan Lisa mencium berkali kali semua yang Mikhel miliki.
“Lisa, apaan sih, kamu mau menipuku ?”
“Lisa ?, Mikhel tidak ada yang bernama Lisa di sini ?”
“Jangan coba kamu menipuku Lisa ?”
Lisa segera melepas rambut wignya yang berwarna pirang dan melepas kaca mata bulat telurnya. Rambutnya yang hitam kini dia biarkan terurai sebatas bahunya. Mikhel merasakan langit yang ditunggu selama lima tahun kini runtuh sembari menaburkan bunga asmara pada mereka berdua.
“Leila…kaulah Leila…mengapa ?”
“Kenapa, ada yang salah tentangku ?. Kalau Tuhan menggariskan kita memang harus bersatu lagi, Kenapa tidak, kau masih mau menerimaku lagi ?”
Mikhel masih terpaku di sofa berwarna merah muda di kamar hotel itu, malam ini dia merasakan ketidak percayaan yang besar sekali, mengapa kenyataan ini begitu gampang terjadi di balik penantianya yang begitu lama.
“Mikhel, aku tidak menyalahkan kamu, rasa tidak percaya pasti menyelimutimu. Hanya saja aku perlu berpura pura menjadi Lisa untuk mengetahui apa kamu masih menginginkan kehadiranku, setelah aku membuatmu kecewa lima tahun yang lalu. Maafkan aku Mikhel ?, kalau aku langsung mengaku Leila, aku takut menimbulkan sakit hatimu ?. Maafkan ya sayang ?”.Kini giliran Mikhel yang sudah mampu menerima kenyataan, kemudian melepas kerinduan itu dengan peluk dan cium mesra untuk bunga sorga yang lama meninggalkanya.
“Aku punya permintaan sayang, ?”
“Katakan, saja ?”
“Kita nyanyi bersama “Endless Love” seperti lima tahun lalu?”
“Why not “
***
Pondok Sastra HASTI Semarang, 2010