Rabu, 27 Oktober 2010

Atmosfer Di Atas Negeriku

Biarkan Kubersajak Untuk Negeriku yang Berjelaga

ATMOSFER NEGERIKU

Bila lentera telah menyerpih dalam wajah menghitam
Menggantung di atmosfer menebar jelaga pengap
Ditelikung dengan bedak gincu, bertebar sembilu menusuk langit
Pantas sudah sebuah pentas hidup
Dari selaksa ilalang,
Berakar tak seberapa kokoh
Masih mendenguskan nafas di semilir
angin pagi…..tiada penat melepas galau
Kala harus menebas tabir kokoh

Ilalang yang tak kuasa menjaring angina
Harus menanggalkan tenggorokanya yang mongering
Tiada mereka pernah tahu warna pelangi
Tempat menanggalkan sebelah tanganya
Mungkin pula rona pelangi di Negeri Yunani
Atau tersangkut di padang Nigeria
Nyanyi pilupun tak mampu
Meronakan pelangi dengan nafas manusiawi

Atmosferpun kini terkapar …berdandan lusuh
Mengerang bagai singa penjaga kaki langit
Masih adakah sebilah jantung
Agar ilalang bercanda dengan kesejukan
Atmosfer menggurat langit

(Semarang, 22 Oktober 2010)



HYMNE DI PENGHUJUNG TAHUN

Empat penjuru langit telah melampiaskan pekik
Meradang tebing dan batas langit
Menembus cakrawala
Hingga bergantung pada jingga mentari
Yang telah lelah

Namun belum kentara juga
Meski halilintar berteriak seribu meriam
Tak mampu menggoyahkan sebuah kematian
Untuk peduli pada “sayatan luka” milik…..
Buih buih putih seperti kain kafan
Yang bertaut pada ombak Laut Pantai Selatan.
Kini mereka terhempas dalam hymne
Ibu pertiwi

(Semarang, 22 Oktober 2010)


HINGGA DI UJUNG LANGIT

Kala aku sampaikan esai tentang…..
Halaman rumah biru bertebar asa
Harusnya berpintu rapat dari musim..
Yang menebar debu anarkis
Menghalau lakon dengan kerah baju
Bercorak koruptor…berenda nanar

Kita tak mungkin lagi mengusung
Detik waktu hingga ujung langit
Bila halaman rumah bertebar duri
Bila semai keteduhan jiwa
Menyalak dengan taring tajam
Dan kuku yang menerkam leher
Negeri ini

Marilah kita sambung tali
Hingga ujung langit
Untuk bersandar anak cucu kita

(Semarang, 22 Oktober 2010)


TELAH HABIS WAKTU KITA

Ketika para dewa tidur di ketiak langit
Berbantal mega, berselimut kain biru
Berseloroh dengan hijau alam, dengan…
Duduk manja di Puncak Merapi
Membasuh badanya di Danau Toba
Maka terciptalah “archipelago”.

Namun beranda para dewa kini..
Bersimbah air mata dan darah
Beraroma mesiu dan ego,
Adakah waktu lagi, hingga….
Lebih eksotis lagi dandanan “archipelago”
Agar mampu menyunting cakrawala timur
Dan mengais keadilan di tumpukan…
Jerami kering, melekang tak beruntai senyum
Hingga bocah bocah lugu
Masih bisa mendengar lenguh sapi …
Di negeri hijau makmur,,
Bermandi angin katulistiwa.

(Semarang, 22 Oktober 2010)




KERETA API PRESIDEN

Telah berkemas semua anak bangsa
Agar bisa menderu bersama kereta api
Yang berangkat dari halama istana Negara
Sementara pagi masih berkabut,
Melewati stasiun Semanggi dan Ampera
Di atas roda roda besi
Ada seonggok nyanyi kumbang
Dengan bulu warna warni
Untuk siap meranggas padang yang
Diterkam kemarau panjang

Sang kereta apipun,
Terus melaju memecah angin muson
Di bantaran rel hedonisme dan lancung
Lantas sang kereta api sejenak
Melepas lelah, ditepian kubangan Lumpur
Yang panas dari perut bumi

Sang kereta api meradang pilu
Bila telah hilang nyanyian para dewa

(Semarang, 22 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar