Merah Padam Ronamu
Ketika kita beranjak dari peraduan…
Bermandi semilir angin dari tenggara
Yang mengusung buih laut
Menuju pantai…
Tanpa berkawan lembayung jingga
Ada seuntai “janji”….
Yang meringkuk di kepalan tangan kita
Untuk menandu sang ibu pertiwi
Agar tiada lagi kerikil tajam
Yang tiada pernah mengerti akan iba
Dari sebuah perjalanan
Akupun hanya menguatkan pegangan
Agar tangan ibu yang keriput memucat
Bernafas lega…….
Mampu bermandi air bunga
Dalam gubug sederhana
Beranyam bambu
Berhalaman bunga melati, kenanga dan mawar
Jangan kau biarkan ibu
Merah rona wajahmu…
Terbawa angin debu mengusung biadab
Biarkan ibu bersemayan dalam cakrawala archipelago
Semarang, 12 September 2010
Episoda Negri Sebrang
Meski nasi dan jagung..
Beralasan piring tanah..
Dimasak dari tungku tanah liat…
Berteman sepotong ubi…
Tertata rapi di atas daun pisang
Kita terlahir dari lengan yang legam
Bahu yang melepuh karena terik matahari…
Mengatur beberapa nafas dari bilik bambu
Tapi kita rimbuni dengan pohon buah
Yang menjadi lalu lalang kenari, perkutut dan kutilang
Kita batasi gubug kita yang kokoh
Meski dari batang kayu nangka
Rumputpun menebar hijau
Yang tertata bagi permadani dewa.
Jangan kita sodorkan rembulan
Yang telah hinggap di atap rumah kita
Meski lantang dan angkuh mengusik
Dari negeri sebrang..yang nampak
berceloteh dari balik gedong loji
berkelambu sutra
belantai marmer pujaan para raja
Kita adalah kita…
Meski negri sebrang meradangkan
singa lapar, bersuara sampai ke ujung fatamorgana
tidak pernah di lingkaran langit nusantara
Kita surut untuk memangku nestapa
Kita mampu menerjang bak prajurit ‘segelar sepapan”
Dari Majapahit yang merengkuh negeri para dewa
Semarang, 12 September 2010
Bara Api dari Rumpun Bambu
Di tepian telaga
Tempat mandi bidadari
Sang jalak menawarkan bulu hitamnya
Pada kutilang yang bersayap putih
Kenaripun manyimpan rapat rapat bulu kuningnya
Sang perkutut diam membisu..
Meski dia ingin meminjam bulu merah
dari Cendrawasih
Telagapun menjadi bermandi kuning keemasan
Dari semburat sinar mentari
Yang mengalahkan warna bulu mereka semua
Namun tiada mereka mau membasuh
bulu mereka dengan air telaga…
Mereka malah menajamkan paruh dan cakar
untuk memungut sebuah bara…...
Tiada pernah mereka tahu.
Bahwa negeri gerimis ini …
Adalah negeri tempat mandi bidadari
Ketika Manikmaya membasuh mahkotanya
Untuk pertemuan agung esok hari…
Mereka tidak pernah tahu…..
di bawah lambaian daun nyiur di tepi pantai..
adalah tempat dewa melepas lelah
“Jayalah Negeriku”
Semarang, 12 September 2010
Sabtu, 11 September 2010
Menjaring Lazuardi ASMAMU
Langit telah membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit yang biru-terharu.
Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit
“Akulah sinar putih dari beranda langit”
“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.
“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”
“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”
“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...
Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.
Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”
“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.
“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.
Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.
Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.
“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.
“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”
“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”
“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”
“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “
“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”
Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.
Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.
Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.
Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit
“Akulah sinar putih dari beranda langit”
“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.
“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”
“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”
“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...
Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.
Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”
“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.
“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.
Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.
Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.
“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.
“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”
“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”
“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”
“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “
“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”
Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.
Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.
Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.
Senin, 22 Februari 2010
DUNIA TAK SELEBAR KOTA TEGAL
Wayahe wis rendeng, saben dina anane mung udan lan udan bae, tan ora ana srengenge jumedul saka langit. Biasane yen kaya kiye wong-wong sing makarya nang pabrik, apa maning sing ning sawah pada wegah metu, milih ngringkel ning umah, medang poci karo mangan pacetan pisang goreng. Termasuk Kang Raisan sing sadina-dina anane mung ngringkel bae nang peturon.
Padahal Yu Zaenab bojone wis saminggu kiye bengak-bengok bae, awit jengkel weruh bojone kringkal - kringkel bae ora nyambut gawe. Lha. . . kepriben wong bolak-balik Mahendra anak mbarepe disurati gurune, saben wulan mesti dikirime surat tagihan SPP, LKS, uang laboratorium, Uang Ekskul ( Ekstra kurikuler ), durung uang buku, uang piknik, uang pelajaran tambahan / les, uang perpustakaan, uang les komputer lan sapiturute.
Padahal jamane Yu Zaenab sekolah, ora ana pungutan apa - apa, wong mbiyen sekolah bae pada nyeker ora sepatunan. Tapi pada dadi wong gede barang wis lulus. Ora kaya jaman saiki, sekolah isine mung urunan lan urunan. Pantesan barang dadi pejabat anane mung korupsi. Lha. . . kepriben ?
Apa maning sing mbontot nganti wis wegah sekolah, sebabe sering diundang kepala sekolahe sing galake pol temenan, gara-gara SPP nunggak nem sasi. Terus kepriben ?, arep mbayar nganggo godong ? Apa arep utang nang rentenir sing bungane sakandang macan. Apa enake njukut duit nang BPR bae ?. Lha terus bayare kepriben.
Mbuh setan apa sing ngrasuk ning ragane Yu Zaenab, seketika itu juga ndeweke ngugah bojone sing lagi ngorok, kemulan sarung, ngringkel lan loyo sebabe mau mbengi bar begadang nang pinggir kali, kumpul karo Karso sing dodol Kacang Ijo lan Saripan sing dodol wedang ronde.
” Kiye wis awan, sing kira- kira o Mas !, tangi awan ora pantes ditonton nak – anake awake dewek “, Yu Zaenab mbengok nganti tanggane pada krungu.
“ Ana apa sih Nab, kowen sapeneke ngugah turune inyong, aku esih ngantuk “ Kaya kuwe jawabane Kang Raisan.
“ Kiye wis awan, ayo tangi golet pangan, kae surate gurune bocah-bocah isine mung tagihan, apa kudu mandeg sekolahe anake dewek ? “ Yu Zaenab tambah ora sabar.
“ La terus maring endi aku kudu nggolet duwit ”
” Ya mbuh, kuwe urusane sampeyan sing wong lanang ”
” Wis, aku arep minggat, ora usah diogoleti ”. Ora ndadak nunggu waktu maning Kang Raisan langsung brubut metu njaba, ora ndadak mlengas-mlengos maning langsung lunga ninggalaken bojone sing lagi bingung.
” Kang aja minggat, pan maring endi, Kang !. ” Yu Zaenab mbengok, esuk esuk ndadeaken keadaane tangga-tanggane dadi pada menyat saka pawon, pada ndeleng tukarane wong loro sing lagi susah uripe.. Tapi kacek sedelat awake Kang Maisan wios ora katon maning, kaya-kayane mlingsep nang njero bumi. Mbuh kabur kanginnan tekan endi maning. Karuan bae Yu Minah dadi sedih. Padahal karepe deweke mung pan ngonkon supaya bojone kae sregep kerja ora mung ngorok terus nang omah.
Ora suwe Yu Minah mlebu njero omahe lan njagong nang kursi tamu karo deleg – deleg, ora ngurusi mbontote, sing krungu bapak karo ibune pada bengak – bengok tukaran mau, dadi wedi la nangis ora karuan tatane.
____oo___
” Ana apa dengaren esuk – esuk wis teka mertamu nang inyong, San ! ” Kaya kuwe omonganen Pak Bina juragan mebel sing paling sugih sa desane Kang Raisan.,
” Lha. . .kepriben kiye, uripe inyong tambah ora karuan. Wong wadon esuk-esuk wis gemboran ora duwe duit maning. Dadi inyong mrene pan njaluk pegawean, masalah bayaran gampang, Kang ! “
“ Maning – maning kowen kaya kuwe, wis tak wanti – wanti nyambut gawemu sing sregep, aja semblotongan, wong kowen kan wis nduwe bojo sing kudu dinafkahe “ jawabane Bose Kang Raisan.
“ Ya wis, sing mbiyen – mbiyen aja diungkit ungkit maning, saiki aku weis pan tobat, ora kaya gemiyen maning. Kepriben Kang entuk apa ora “
“ La kiye ding dadi masalah San, aku wis dioyk oyak pelangganku, supaya pesenanane cepet rampung. Mulane aku ngerjaaken tenaga liyane, kanggo ngganti kowen. Ya mengko gampang yen ana pegawean maning, kowe tak undang “
“ Ya terus kepribewn Kang, aku selek butuh gawean “
“ Ya coba kerja nang LIK kana, nang kana kan akeh perusahaan mebel kanggo di eksport nang luar negeri, yen inyong saiki lagi megap – megap. Pesenan mebel saiki tambah sepi, embuh kiyhe jaman apa San. Wis maafe bae yan San “
“ Ya wis ora apa – apa Kang. Yen bisa aku pan nyilih duit bae, aku pan maring Malaysia dijak Non Lisa penyalur tenaga kerja. Aku arep nggoleti pegawean nang kana, kepriben pendapatmu Kang ! “.Pak Bina krungu kaya kuwe mung mesem, lan geleng geleng sirahe.
“ San San , kowen kan nduwe ketrampilan, gaweane kowen alus, perkara mebel jarang ngalahaken pegaweanmu. Are apa nang Malaysia, kaya kuwi bae repot !, coba ndingin golet gawean liyane, Saiki lunga Malaysia ya ora cukup 25 juta ongkose, ya luwih apik yen biayane kanggo modal usaha mebel to San “
“ Tapi modal samono ya ora cukup Kang “
“ La ketrampilanmu ya wis kelebu modal to San, sing diareni modal usaha, wis saiki ora usah bingung – bingung, semenatara kiye nggoleti gawean ndingin, karo setitk-setitik ngumpulaken modal. Mengko yen kowen temenan mengko tak goletaken order cilik – cilikan “
“ Tapi jare Non Lisa nang Malaysia akeh pegawean lan bayarare gede, Kang ! “
“ Lha kowen wis tahu mrana ?. Yen jare-jare ora usah didgugu ndingin. Aja bingung San, wong Tegal kiye akeh penguripan sing disebar Gusti Allah, ora mung ning Malaysia tok. Tegal kiye kota urip, gampang kanggo usaha yen temen. Mulane jare inyong Dunia kiye karo Tegal esih jembar Tegal kanggo penguripan. Aja pus asa ndingin. Wis ngono bae ya San, aku pan nyambut gawe.Mengko gampang ketemu maning ! “ Pak Bina terus menyat nyandak alat alat tukang kayune.
Kang Raisan mung meneng baer, tapi atine ngakune yen Pak Bina bener ngomonge. Saiki deweke twrus pamit, arep golet gawean sing temenan. Srenegenge wis anjog nang bun – ubune sirah, berarti dina wios awan. Mulane Kang Raisan tambah semangat kanggo nggoleti pegawean, kanggo nafkahi anak bojone. Sing jelas saiki wis ora nduwe niat maning merantau nang Malaysia, cukup nang Tegal bae.
Langganan:
Postingan (Atom)