Minggu, 23 Oktober 2011

Kala Di Tengah Sayap Cintamu



Kutitipkan Miliku Untukmu

Hanya sebuah awal saja, bila kau torehkan..
sebuah senyap, ....
lantas bila dinding  bambu, yang mengungkungmu,
apalagi  angin prahara yang bermata juling
telah mau pula, menumpahkan cawan cawan seduhan teh
kala beranda rumah telah kau tanami melati

lekuk kali di belakang rumah
kini ikut pula menghitam, mengungsikan tetumbuhan
“bunga sedap malam”,  yang  lekang terpagut kemarau
aku hanya memiliki karangan bunga
berkemas rindu.....tetapi jangan kau tumpahi
dengan angan kosong, dendam dan prahara

Aku titipkan bunga semusim, agar menjulur kelopak kelopak
lalu kau hias dengan minyak wangi tubuhmu
saat kau tak ragu, berlabuh di peraduan
namun kau tetap terjaga....
dan memunguti sisi malam yang tak berbintang

Sudah berapa lagi, kau pelantingkan pagi
dalam keranjang sampah, di bilik hati....
akupun hanya berkelana bersama angin senja hari
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Kupatahkan Sayapku sendiri

Biarkan aku terkucil...
membunuh  sorot mata,
membekukan  sudut kamarku,
membelenggu lengan lenganku

aku terbangkan kain hitam tak  bertepi
untuk menghalangi mentari,
hingga pagi terbunuh,
cinta anak ingusan tersayat pilu,

semai cinta dalam vas bunga
telah berkali membentur tebing kokoh
dalam lembah penuh manusia durjana

kupatahkan sayapku
dan  mengait  pada buluh rindu
yang dirajut sang rembulan
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Tetaplah Menjadi  Miliku Apa yang Kupunya

Kau inginkan “bulan berenda emas” ?
di tengah pesta minuman, dengan gelas kaca berelief
negri impian....lantas bajumu bermanik
mutiara tujuh warna...
bukankah itu milikmu sendiri
biarlah ada dalam kantong bajumu
jangan lagi mengerling matamu,
pada diriku  yang galau dan risau

hidup yang kita miliki,
adalah perjalanan menyeberangi benang bertinta hitam
yang kau kaitkan di tengah malam gulita
sehingga langkahku
hanya mampu setengah hati,

Aku adalah ilalang yang kini punya nyali
untuk melepas mawar jingga berduri tajam
yang telah lama menjadi ornamen
baju tidurku.....

(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Sajak untuk Effinta

Kita berdandan bagai raja dan ratu,
dalam kereta berkuda delapan ekor
di depan kita terdengar teriakan nyaring
genderang genderang yang menggetarkan
wajah bumi.....

bergetar debu debu jalan
hingga petirpun tak berani berpose di atas
aku menggunakan topi sang pangeran
dan kaupun mengikat rambutmu
dengan ikatan emas bergambar  melati

dalam sekali ini
kau lupa bahwa kita tidak memiliki apa apa
untuk sarapan “tiwul dan singkong rebus”, yang tiap pagi
memenuhi perut perut kita
yang tak pernah menggerutu

kau begitu bahagia
dengan sorot mata sejuk dan terkadang liar
ingin menggandeng bumi dan seisinya
selamat pagi Effinta........
negeri  “atas angin” ingin berselingkuh denganmu
(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Lajulah Perahu Cintamu

Sudah kita kemasi angin prahara,
yang bergambar  sayatan bambu, dengan mata sebelah
pernah menghardikmu,  hingga tidak tersisa tulang igamu
Bersabarlah, kita mampu berdiri tegak
meski lutut kita masih ditelan bumi,
hanya air mata saja yang patut kita takuti
saat tertumpah di halaman rumah
yang mampu menyingkap bau busuk
bila debu telah memenuhi jantung kita

Dengan kedua mataku yang terpincing
aku menyaksikan lenganmu yang tak kukuh
menggelar layar kumal,
namun ombak siapa yang berani menantangnya
mereka semua menggerutu  dengan kata yang dalam
tapi tak jelas......
apa kau mampu berpijak di pantai biru
bila kau hanya mampu membuka layar
tak tegar......
kenali dahulu sayap- sayap burung camar
nyanyian ombak yang sendu dalam rindu
nyanyian ombak yang menjalin cinta,
nyanyian ombak yang meradang berang

Namun, bukankah tetap kau bersikeras melaju
dengan perahu, yang berkayu tekad, bertiang semangat
hidupmu....
nanti juga bakal kau temui, malam berbenah kembang
setaman.... (Semarang, 23 Oktober, 2011)


Bulan dalam Keranjang Cinta

Bertahun aku jaring sinar rembulan
dalam keranjang cinta, dari bambu yang menggambar
kehalusan...
beralas sutra jingga, milik para dewa
dan kau adalah bidadari,
yang bersemayam di tengahnya

(Semarang, 23 Oktober, 2011)

Bambang Sukmadji-Semarang.

Jumat, 21 Oktober 2011

Di Tengah Kemarau Panjang



1.Berdiri di Kaki Langit
Mengapa kau sembunyikan, titik hujan di
tulang igamu
Bila kau harus lukiskan kanvas alam
Dengan warna bugenvile, melati, anyelir dan kenanga
Sudah pernahkah kau dengar,
Lenguh sapi yang menyusui anaknya, disamping peraduan
jerami yang mengering

Mereka semua kini berdiri di kakiMU
Dengan saling melempar sorot mata mereka
Seakan telah habis semua dengus nafas
Aku rengkuh apa yang harus aku ceritakan
Pada daun palma yang mengering
Pada tiap tepian belukar yang memalingkan muka
Menunjamkan dalam dalam dengan kesal
Pada air  sungai yang menghitam

Sudahkah kita semua mengatur nafas
Agar di nadi nadi kita tidak tertinggal tepian cakrawala
Yang menambatkan pelangi yang bersusun
warna warna ranjang peraduan dan “pakem”  hidup kita
Tentang lengan lengan kecil bocah…..
Yang kita papah untuk menerima suapan nasi

Tetapi kini semua mengering
dan mengadukan pada semua penjuru langit
yang halus KAU susun semua plasma tubuhmu (Semarang, 7 Oktober 2011)

2.Malam Bertabur Bintang

Satu dua bintang mulai bereksotis
Semakin kencang berlari jarum waktu
Semakin berani mereka mengencangkan langit
Dan kini semakin banyak mereka menyalakan
lampu lampu minyak, menggelantung
di tengah marahnya bintik hujan

Sengaja aku berhasrat memunguti bintang bintang itu,
Agar mampu merajut bintik hujan
Namun angin kemarau yang kering menghempaskanku
Dan kini menelikungku di halaman rumah yang kering
Menyendiri dalam merajut asa
Memelantingkan sorot mata kepada semua
dahan ranting yang kering dan asing

Tidak lagi lagi menyimpan jejak kaki kaki Kenari
Bahkan digantikan dengan debu yang asam
Dan mampu meluruhkan tulang belulang
Namun tidak mampu aku enyahkan
Hanya menanti semua yang telah dicatat langit biru

2
Dalam “jejer” para “nawangga” yang berdiri di panggung
Menyesakan dada akar akar rumput yang telah mulai goyah
Semakin menghiasi langit
Yang masih bertabur bintang  (Semarang, 7 Oktober 2011)

3.Nyanyian Padi

Kuning bulir padi terlihat samar, tanpa bayangan
Tanpa gemersik daun  daunya
Mereka menunda dalam perjalanan panjang
Dalam pusingan hidup manusia

Atau kini mereka telah sembunyi
Di balik gubug bambu di tengah sawah mengering
Dengan centang perentang keluhan dan umpatan
Manusia yang berlisan durjana   (Semarang, 7 Oktober 2011)

4.Dalam  Sebuah Perjalanan

Dalam perjalanan munyusur benang malam
Kita menyisihkan hardikan “Bathara Kala”
Menepiskan penat setiap sendi, yang mengencangkan
keluh kesah dari sisi bilik jantung yang kusam
Mari kita mewarnai dinding batas kita
Dengan cat berwarna putih yang kaya sulaman kain sutra
Kita ungkapkan semua yang telah menyesakan dada
Pada batas yang tiada bertepi

Bukankah kita hanya sekejap dalam menggelantungkan
semua yang kita tidak mampu simpan dalam ketiak
Meski dalam kantong baju kita
Hanya berisi “tembang dolanan” yang menggulir
Demi sesuap nasi dan secercah kuning sinar mentari
Yang menerobos rumah bambu kita yang lusuh (Semarang, 7 Oktober 2011)

5. Penatku

Jangan ada lagi umpatan
Yang mampu meruntuhkan tebing tinggi
Yang mengungkung dalam lilitan yang kokoh

Jangan ada lagi rasa penat
Dalam mengintip mendung yang menyisir
Kelambu biru

Kita gandeng alam dalam
“Panembromo” sentuhan sentuhan halus
Bila kita sekedar meraih keramahan hutan
Untuk meluuruhkan sengatan tajam
kemarau panjang (Semarang, 7 Oktober 2011)

Puisi Tentang Hujan



Menyapa Hujan

Sepotong hujan menyelinap dalam kamarku
berdinding anyaman bambu,…tak sempat ku tanya
apa yang kau jinjing

dengan bibir gincu
kau merengkuh selimut biru malamu…
lantas kau berikan sedikit canda
agar aku mampu …terbang ke langit jingga
tempat sekumpulan awan berseloroh
hujanku, kini mulai membasahi
selimut malamku  ……(Semarang, 20 Oktober 2011)


Merajut Bunga Setaman

Kini kau kehilangan nafas
setelah seharian membasahi  bumi ini
namun masih kau kuat menerkam
sudut jantungku yang  bersemayam sebuah prosa hidup

terbangkan juga bilik jantung ini
hingga aku tidak letih memungut nafasku,
dan kau ikat saja pada kilat dan petirmu
agar mampu menggertak tidur pagiku,

agar rajutan bunga setaman
mulai nampak indah…akupun berteman dengan
kupu kupu, tanpa melipat wajahnya
karena telah letih sudah
dan penat semua sendi tulangku
terbangkan aku dalam taman bunga
yang kurajut sendiri    ,,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Pesta Petir                         

Saat ini, semua  temaram jalan bergerigi
dari basahnya tanah liat, dan timbunan jerami
adalah milikmu

Tidak usah kau tebak,
warna apa yang melecut, membelah gerimis senja,
yang menukik dan menyergap
semua yang berlengan kurus
karena semua adalah milikmu

Sempat aku buru, pijakanmu
tempat kau menebarkan petir, dan mengosongkan atmosfer
tempat kita bertaut nafas,
namun tiada satupun burung, awan dan pelangi
yang aku jinakan

semua hanya membanting sorot mata
pada tatapanku yang kosong              ….Semarang, 20 Oktober 2011)



2
Nyanyian Tentang Hujan

Bila kau tautkan ujung ujung langit
dalam mozaik yang memenuhi atmosfer
yang dahulu, adalah bening melebihi ketulusan
sebuah kaca

Lantas kau redupkan hingga menghitam
dan tak mampu lagi, menidurkan bocah pada tidur siangnya
saat kau menghujam mereka dengan
kuku dan taringmu yang menghitam,

Adakah karena hutan, yang tak semulus
pipi perawan desa
yang  melegamkan pula tanah gambut
karena berteman dengan api

Padahal dahulu adalah tempat bercengkerama dewata
di bawah naungan daun palma dan nyiur
di pantai penuh kesejukan dan canda riuh
dari semua yang diusung alam ini ,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Hujan Yang Tak Kumengerti
Masih saja kau ikatkan
seloroh yang menghempaskan sungai, ladang, sawah
padi menguning dan sekeranjang harap ilalang
yang berderet di wajah bumi

Masih saja kau menghempas
kaki  kaki telanjang, dengan genggaman hidup
yang rapuh, meski sempat menengadahkan kedua tangan
agar kau lebih ramah lagi
menyanyikan tembang dolanan
pada haribaan yang menguning padinya
telah ranum buah buahan
telah matang palawija dan seikat bunga harap

Lantas mengapa kau usung juga wajah garang
hingga lepas semua mentimun
dari ranting ranting yang ringkih
jangan kau tebarkan kelopak bunga yang berduri
hingga membuat manusia menyeringai
dan mengeluh bermandi peluh

Mengapa tak kau sejukan atap rumbai
gubug bambu  di tengah sawah
agar lebih terasa leluasa angin barat
yang membawamu ke tiap penjuru bumi ,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Hujan, Sebuah Kado untuk Istriku

Masihkah kau ulang lagi……..
kau rajut  pagi dengan mata nanar, hingga gendang telingaku
ikut larut dalam sumpah serapah
kala halaman rumah kita, hanya menyongsong tawa parau
berlantai  rumput liar dan ilalang yang mengering
3
sekali sekali hanya meluruh bunga kamboja
lantas kau terkam aku dengan senyum hambar

Kini telah basah,  halaman rumah, kebon singkong
di sisi taman bunga anyelirmu, saat kau tanam
di tengah kemarau yang menelan kulit dan dagingmu

Istriku, kini sambutlah hari yang sejuk dan dingin
berenda pagi dan nyanyian kenari
serta riang dan jenaka anak anak kita
yang telah kenyang dengan tiwul dan nasi aking,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)

Jumat, 07 Oktober 2011

K E N A N G A


Kenanga terus menguntai senyumnya di bibir bertanam bunga mawar merah jambu. Seakan  sedari pagi hingga tingginya sang mentari hari ini, adalah miliknya. Lantaran Kenanga hari ini betul betul menuai keindahan, dengan menyelipkan warna warni bunga di beranda hatinya. Sementara itu langit bagaikan kelambu biru ranjang pengantinya, yang tergelar di empat kaki langit. Bunga mawar berkelopak merah jambu, mulai Kenanga semaikan setelah sepotong kalimat Indra betul betul bersemayam dengan kokohnya di keranjang hatinya. “Kenanga , aku suka kamu “. Sepotong kalimat inilah, yang menjadi rajutan kain sutra, yang melilit di lubuk hatinya.
Kenanga hanya mampu membalasnya dengan senyum berkemas lebay, mirip kala Kenanga di depan mamanya, untuk merayu minta dibelikan mobil baru atau acessori terbaru yang keren. “Ah, tapi Indra gimana ya, apa dia serius atau cuma making a joke. Aku benar benar bingung.  Cowok jenius ini, tidak seperti biasanya, dia suka acuh tapi akhir akhir ini,  dia seperti serius dan minta ampun romantisnya. Memang dia penuh pesona, dengan rambut ikal, hidung mancung dan berkumis tipis mirip penyanyi country Frankie, yang sanggup menerbangkan hatiku. Tapi rasa salut juga aku berikan sama cowok ini, yang tergolong mahasiswa tidak mampu tapi dengan penuh PD yang kuat dia berani pdkt aku, yang tak mampu menepisnya”. Entah sayap malaikat mana yang mengipasi kalbu Kenanga hingga terus melamun.
“Kenapa aku harus seperti cewek nggak gaul?, seribu cowok kaya Indra bisa aku dapatkan dalam satu hari. Mengapa aku harus dibuat penasaran dengan rayuanya yang nylonong begitu saja?”. Tak hentinya hati Kenanga dipenuhi rasa penasaran. Di salah satu beranda hatinya, dia tidak mau  seperti cewek yang tidak  punya gengsi, tapi di beranda hati lainnya diapun takut kehilangan cowok jenius yang misterius, meski kadang terkesan cowok yang jadul. Tapi “duilah”, kalau cowok yang satu ini mulai bertutur kata, dia mirip Morgan Smesh, bahkan lebih santun lagi.
***
Kenanga menginjak pedal gas mobil sedan trendy merah metalik dengan pelan, melintasi jalan aspal berdebu di depan kampusnya, meski beberapa cewek temen gaulnya sudah melaju kencang mendahuluinya. Tatapanya kini dia lemparkan pada kaca jendela sebelah kiri dan kanan secara bergantian. Siapa lagi kalau bukan Indra yang dia telisik. Barangkali saja Indra di siang terik seperti ini masih nongkrong sehabis kuliah.
Sedan merah metalik yang flamboyant masih melaju pelan, meski beribu peluru senapan mesin telah diberondongkan sokib sokibnya pada dia, pagi hari tadi, yang sama sekali tidak merestui Indra menjadi tambatan hati Kenanga,
“Eh Inga!, gila kamu !, cowok dekil kaya Indra nggak usah diberi kesempatan dekat dengan kamu!” sahut Ririn dengan mata tajam seakan berhasrat menelanjangi seluruh tubuh Kenanga,
“Kamu nggak kasihan sama papi dan mama kamu ?. Aku pernah dengar langsung dari mama kamu!. Kamu tidak bakalan sengsara di masa depan, bila Aldo yang menjadi pendamping hidupmu. Kurang apa lagi dengan Aldo, cowok gaul dan juga smart, tidak kalah sama Indra, cowok jadul yang hidup di bawah kolong”. Ucapan Beti yang meluncur begitu saja dan masih kuat melekat di sanubari Kenanga.
“Anga !, aku sudah lama kenal kamu mulai dari SMA dulu, cewek seusia kamu bukan lagi ABG, yang cuma kenal cinta buta dan ingusan. Apa yang diharapkan dari Indra. Piss Anga !, ini kan demi kamu, kita  ini bener bener  sokib  yang sayang sama kamu ”. Pinta Resti sambil melilitkan tanganya di leher Kenanga dan tak lama kemudian Restipun mencium kedua pipi Kenanga, yang mulai dibasahi air mata bening cewek kolokan ini.
Kini Kenanga benar benar tersudut, himpitan dari sokib sokibnya menuai kabut hitam dan tebal di langit hatinya. Silih berganti bayangan Indra dengan senyum yang tulus, yang mengisyaratkan apapun nantinya mereka berdua mengalami goncangan hidup, Indra akan tetap disampingnya. Namun lecutan suara sokib sokibnyapun tak lama kemudian
2
menghilang terbawa kerontangnya angin kemarau dan bayangan  Indra kini mulai menepis butir butir awan gelap.
“Mengapa ini terjadi kala Indra mulai ada di hatiku ?” Kenanga dengan wajah yang lugu dan lebai, mulai berani menatap sorot mata sokib sokibnya.
Ya, udahlah Anga !, semua adalah semata saran untukmu. Apapun pilihanmu kami tetap menjadi sokibmu. Karena pertemuan dan perpisahan semata milik Yang Kuasa, hanya saja kamu harus merelakan cinta kamu di atas semua yang akan kamu hadapi, kalau memang kamu memilih Indra”.
***
Setiap sudut Kota Semarang kini terlihat kumal diterkam kemarau panjang., sementara Kenanga masih terus menyelesuri jalan aspal yang melentingkan sinar mentari yang menerpanya. Satu dua buah berkas angin kemarau di tengah hari yang ingin berselingkuh denganya mulai menerobos kaca jendela mobilnya. Berkas angin itupun mulai mampu mendinginkan hatinya, yang mulai menggulirkan bayangan Indra, yang kini seperti biasanya sehabis kuliah, cowok The Ice Cool itu nongkrong di Buffalo Café di salah satu sudut bundaran Simpang Lima Semarang.
“Tidak langsung pulang, Anga ?” sapa manis Indra, yang kini telah ibarat terhisap dalam kontes “Miss Universe 2011” di Brasilia beberapa bulan yang lalu, yang kini mereka semua telah menjelma menjadi Kenanga yang kini duduk disampingnya.
May I joint ?“ Pinta Kenanga dengan tetap menghiaskan senyum di bibir. Tapi apakah Kenanga biasa bersikap kaya gini dengan cowok lainnya, atau memang sikap manis ini hanya untuk aku, ataukah karena aku yang GR, ataukah memang aku nggak bisa bersikap dewasa atau memang aku yang nggak mampu menilai hati wanita. Tetapi bagi Indra.  langit biru yang mengungkungi mereka berdua seakan mampu menelikung dirinya, agar tidak mampu lagi bergerak menjauh dari tempat duduk Kenanga.
“Tentu, tapi seperti inilah tempatnya. Namanya aja Buffalo Café , sudah pasti kan Anga?, tempat ini cocok untuk nongkrong mahasiswa dekil dan norak”
No problem, Dra!. Biarkan saja dulu!,  aku  kongkow di sini karena aku butuh enjoy  dan refresh”
“Please  Anga !, kamu mau pesan menu apa?, biar aku yang tlaktir, tapi menunya hanya bakso dan nasi pecel. Paling kamu nggak suka menu kaya gitu. Menu seperti ini hanya cocok untuk mahasiswa yang udik, dekil dan  nggak gaul”
“Ah, canda kamu  tendensius!, emangnya aku ini putri kahyangan atau sengaja kamu ingin menjaga jarak denganku, Indra?’
“Kamu kok jadi aneh!, Anga!, aku Cuma bercanda. Ada apa kamu jadi sensitif seperti itu?”
“Biarin !!!, apa salahnya kalau aku marah. Kamu mau ngomomg aku cewek kolokan kan ?, Aku cewek yang hanya bisa gaul dengan sokib dari kalangan the have saja kan ?, aku cewek putra kesayangan mama papa, kan ?. Indra!. Model gaul kaya gitu sudah bukan jamanya lagi. Aku nggak suka kalau kamu norak kaya gitu!. Oke !!!, Dra kalau kamu terganggu dengan kedatanganku, lebih baik aku pulang saja”
“Eh, nanti dulu, Anga !. Sure dech, aku sama sekali nggak bermaksud norak sama kamu. Malah aku enjoy kamu mau gabung ?. Please staying for a while Anga !”
“Ok !!! Dra, tapi aku minta kamu jujur, mengapa sikap kamu norak kali ini?, ucapanmu tajam menyakiti aku”. Sepasang mata Kenanga yang bulat dan tajam kini menusuk Indra dan siap untuk membelah isi jantung Indra.
“Nggak apa apa, Anga !, tadi cuma nylonong begitu saja”
“Aku kenal kamu sudah lama sejak dari semester tiga, aku selalu enjoy dekat kamu, tapi belum pernah aku lihat sikap kamu yang nggak familiar seperti ini. Dra!,  jujur
3
saja sama aku ?, Aku ingat kamu sering ngajarin aku tentang pentingnya nilai kejujuran”
       “Kamu tadi ngumpul bareng Resti, Beti dan Ririn  di kantin kampuskan ?”
       “Tahu dari mana ?, dan apa hubungan dengan kamu?”
       “Aku lihat sendiri, tapi aku milih nggak gabung sama mereka. Sekarang gantian kamu yang jujur sama aku, mereka nggak mau dan takut kan kalau kamu dekat aku?”
Kenanga mulai menghisap es jeruk dalam gelas piala perlahan, dia baru sadar  kalau tenggorokanya mulai kering, debu dan deru dari asap knalpot kendaraan yang merebak di bundaran Simpang Lima mulai sedikit menyesakan dadanya, lantaran hari sudah lewat tengah hari. Hanya suasana diam seribu bahasa menyelimuti hati mereka berdua meski hanya sesaat.
       “Kamu tersinggung, Anga ?”         
       “Tidak, Dra!!!. Hanya saja aku harus bilang apa. Mereka bertiga tidak tahu bahwa hati manusia sudah semestinya dihiasi dengan kelembutan dan kepedulian antar sesama, ibaratnya taman bunga warna warni, tempat burung burung berceria di pagi hari, termasuk hati aku ini, yang bebas disemai bunga yang aku sukai”. Setetas air mata Kenanga mulai membasahi pipinya.
       “Itulah yang aku takuti. Anga ?”
       “Apa yang kamu takuti?, aku melihat dalam diri kamu bukan anak manja, tak mudah menyerah dan tegar. Berbeda dengan aku, Dra !”
       “Tetapi dalam hal ini, aku seperti anak kecil yang diliputi ketakutan dan kebimbangan”
       “Sekali lagi aku jadi nggak ngerti, apa sih yang yang kamu takuti ?”
       “Aku takut kamu terpengaruh sokib sokibmu, dan aku harus kehilangan kamu, karena perbedaan antara kita. Itulah yang aku akui dengan jujur, aku seperti anak kecil”.
Indra tidak henti hentinya melempar sorot mata ke arah Kenanga, lantaran Indra menginginkan kejujuran Kenanga, tentang tempat yang dia harapkan di bilik jantung Kenanga, Sehingga tiap pagi hari dia bisa bermandikan cahaya pelangi hanya milik Kenanga.
         “Indra !, aku bukan anak kecil lagi, dan mama papaku tak pernah bersifat otoriter terhadapku. Sudah bukan jamanya lagi kita dikungkung dengan aturan kolot.  Aku nggak suka kalau kamu bersikap seperti itu”
        “Tapi realita berkata lain, papa kamu menginginkan Aldo menjadi pendampingmu”
       “Jangan kecewakan aku Dra !, seakan kita baru kenal kemarin sore. Mana sikap dewasa , yang selalu kau tunjukan padaku”
       “Tapi masalahnya bukan seperti itu ?”
       “Jadi seperti apa ?”
       “Ah, aku sendiri nggak tahu “
       “Jadi harus aku yang menebak isi hatimu?. Jujur saja aku menilaimu, kamu sekarang kehilangan percaya diri berada di sampingku kan?, Kamu membandingkan dirimu sendiri dengan Aldo yang kamu anggap segalanya lebih baik darimu, iya kan ?. Terus dimana Indra yang kata temen temen sekampus, termasuk mahasiswa yang gigih, hingga hampir menyelesaikan studinya dengan perjuangan yang tegar. Apa sih perbedaan antara kita ?”
Indra melemparkan semua kekesalanya kepada rumput di bundaran Simpang Lima dan mengajak mereka agar mampu menepiskan sisi hatinya yang mulai robek diterkam rasa bimbang dan ketidakpercayaanya.
4
             “Ternyata kamu Kenanga yang aku harapkan bisa memberi spirit bagi aku, yang sering merasa terpingit karena keadaan, sukurlah kalau kamu bisa  dewasa”
            “Aku memang harus bisa tegar dan tanpa mengenal surut untuk tiap yang aku pilih, itulah yang mama  papa harapkan. Aku harus  bergelut dengan   apa yang harus aku raih. Dan ini semua  aku dapatkan dari kamu”
Angin musim kemarau mulai meniupkan daun daun palma di seputar Simpang Lima, kedua insan itu kini mulai dipinang oleh rasa percaya diri yang hinggap pada diri mereka masing masing, dengan tetap mengusung sebuah kejujuran dari Kenanga dan Indra serta garis takdir yang bakal mereka lalui di masa depan. Entahlah mereka sendiri tidak tahu apa yang mesti terjadi pada diri mereka kelak, hanya saja kini lampu lampu jalan di bundaran Simpang Lima sudah mulai mengeksotiskan wajah Kota Semarang. Kini merekapun  tenggelam dalam lautan asmara, yang hanya mereka sendiri yang merasakan.