Menyapa
Hujan
Sepotong
hujan menyelinap dalam kamarku
berdinding
anyaman bambu,…tak sempat ku tanya
apa
yang kau jinjing
dengan
bibir gincu
kau
merengkuh selimut biru malamu…
lantas
kau berikan sedikit canda
agar
aku mampu …terbang ke langit jingga
tempat
sekumpulan awan berseloroh
hujanku,
kini mulai membasahi
selimut
malamku ……(Semarang, 20 Oktober 2011)
Merajut
Bunga Setaman
Kini
kau kehilangan nafas
setelah
seharian membasahi bumi ini
namun
masih kau kuat menerkam
sudut
jantungku yang bersemayam sebuah prosa
hidup
terbangkan
juga bilik jantung ini
hingga
aku tidak letih memungut nafasku,
dan
kau ikat saja pada kilat dan petirmu
agar
mampu menggertak tidur pagiku,
agar
rajutan bunga setaman
mulai
nampak indah…akupun berteman dengan
kupu
kupu, tanpa melipat wajahnya
karena
telah letih sudah
dan
penat semua sendi tulangku
terbangkan
aku dalam taman bunga
yang
kurajut sendiri ,,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)
Pesta Petir
Saat
ini, semua temaram jalan bergerigi
dari
basahnya tanah liat, dan timbunan jerami
adalah
milikmu
Tidak usah kau
tebak,
warna apa yang
melecut, membelah gerimis senja,
yang menukik dan
menyergap
semua yang
berlengan kurus
karena semua
adalah milikmu
Sempat aku buru,
pijakanmu
tempat kau
menebarkan petir, dan mengosongkan atmosfer
tempat kita
bertaut nafas,
namun tiada
satupun burung, awan dan pelangi
yang aku jinakan
semua hanya
membanting sorot mata
pada
tatapanku yang kosong ….Semarang, 20 Oktober 2011)
2
Nyanyian
Tentang Hujan
Bila
kau tautkan ujung ujung langit
dalam
mozaik yang memenuhi atmosfer
yang
dahulu, adalah bening melebihi ketulusan
sebuah
kaca
Lantas
kau redupkan hingga menghitam
dan tak mampu
lagi, menidurkan bocah pada tidur siangnya
saat kau
menghujam mereka dengan
kuku dan
taringmu yang menghitam,
Adakah karena
hutan, yang tak semulus
pipi perawan
desa
yang melegamkan pula tanah gambut
karena berteman
dengan api
Padahal dahulu
adalah tempat bercengkerama dewata
di bawah naungan
daun palma dan nyiur
di pantai penuh kesejukan
dan canda riuh
dari
semua yang diusung alam ini ,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)
Hujan
Yang Tak Kumengerti
Masih saja kau
ikatkan
seloroh yang
menghempaskan sungai, ladang, sawah
padi menguning
dan sekeranjang harap ilalang
yang berderet di
wajah bumi
Masih saja kau
menghempas
kaki kaki telanjang, dengan genggaman hidup
yang rapuh,
meski sempat menengadahkan kedua tangan
agar kau lebih
ramah lagi
menyanyikan
tembang dolanan
pada haribaan
yang menguning padinya
telah ranum buah
buahan
telah matang
palawija dan seikat bunga harap
Lantas mengapa
kau usung juga wajah garang
hingga lepas semua
mentimun
dari ranting
ranting yang ringkih
jangan kau
tebarkan kelopak bunga yang berduri
hingga membuat
manusia menyeringai
dan mengeluh
bermandi peluh
Mengapa tak kau
sejukan atap rumbai
gubug bambu di tengah sawah
agar lebih
terasa leluasa angin barat
yang
membawamu ke tiap penjuru bumi ,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)
Hujan,
Sebuah Kado untuk Istriku
Masihkah
kau ulang lagi……..
kau
rajut pagi dengan mata nanar, hingga gendang
telingaku
ikut
larut dalam sumpah serapah
kala
halaman rumah kita, hanya menyongsong tawa parau
berlantai rumput liar dan ilalang yang mengering
3
sekali
sekali hanya meluruh bunga kamboja
lantas
kau terkam aku dengan senyum hambar
Kini
telah basah, halaman rumah, kebon
singkong
di
sisi taman bunga anyelirmu, saat kau tanam
di
tengah kemarau yang menelan kulit dan dagingmu
Istriku,
kini sambutlah hari yang sejuk dan dingin
berenda
pagi dan nyanyian kenari
serta
riang dan jenaka anak anak kita
yang
telah kenyang dengan tiwul dan nasi aking,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)